Trip ini merupakan rangkaian trip Thailand - Kamboja - Malaysia yang kulakukan dari 23 Januari 2012 - 2 Februari 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan linknya di bagian paling bawah postingan.
Part Sebelumnya : DISINI
Penang, 29 Januari 2012
Menaiki travel dengan jarak tempuh 220 kilometer dan waktu tempuh 7 jam dari Hat Yai (Thailand selatan), kami akhirnya tiba di Pulau Pinang atau biasa disebut Penang sekitar pukul 1 siang. Perjalanan menuju pulau ini menurutku cukup menarik karena beberapa saat sebelum sampai, travel yang kami naiki sempat melintasi jembatan tengah laut yang menghubungkan daratan utama Malaysia dengan Pulau Pinang, sering disebut Jembatan Pulau Pinang. Jembatan ini memberikan pemandangan horizon yang luas: birunya laut yang membentang, kapal-kapal yang berlayar, dan langit cerah yang seperti menyatu dengan horizon. Kalau di Indonesia, mungkin seperti Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura. Hanya jalan diatas jembatan lebih lebar disini.
Begitu sampai di area Georgetown - ibukota Pulau Pinang, kami segera turun dari travel dan mencari penginapan. Setelah berjalan beberapa saat, kami menemukan tempat yang nyaman untuk bermalam dan membayar semalam. Rencana kami akan menghabiskan 2 hari 1 malam saja untuk eksplor Pulau Pinang. Besok siang rencana kami akan langsung naik bus ke tujuan akhir dari perjalanan ini, Kuala Lumpur.
Sekitar jam 3 sore, setelah beristirahat sejenak dan makan siang, kami mulai jalan keluar penginapan untuk eksplor Pulau Pinang. Aku cukup bersemangat karena ini adalah negara ketiga yang kueksplor di traveling luar negeri pertamaku. Dari penginapan kami berjalan ke Lorong Seck Chuan, sebuah jalan kecil yang bisa dibilang kaya akan sejarah. Lorong ini dulunya adalah bagian dari pusat perdagangan aktif pada masa kolonial. Suasana di sini sangat unik, dengan bangunan tua yang berjejer rapat, sebagian besar masih mempertahankan arsitektur aslinya. Kami berjalan kaki sembari mengamati pintu-pintu kayu klasik, jendela berjeruji besi, dan mural-mural seni modern yang menghiasi beberapa temboknya.
Salah satu yang kupahami ketika mulai berjalan-jalan di Lorong Seck Chuan, budaya China sangat kental. Toko-toko berjejer dengan papan nama berbahasa Melayu dan Mandarin, menciptakan suasana otentik yang menunjukkan perpaduan budaya antara Melayu dan China. Wangi dupa dari kuil-kuil kecil, suara percakapan dalam berbagai dialek Tionghoa, dan tampilan arsitektur lama membuat setiap langkah di lorong ini penuh warna budaya. Lorong Seck Chuan sendiri mendapatkan namanya dari seorang tokoh Tionghoa berpengaruh, Koo Seck Chuan. Ia adalah seorang pedagang sukses yang berperan penting dalam perkembangan ekonomi dan komunitas Tionghoa di Penang pada masa kolonial. Namanya diabadikan sebagai penghormatan atas kontribusinya terhadap perkembangan kota, khususnya di bidang perdagangan dan filantropi. Berkat tokoh-tokoh seperti Koo Seck Chuan, kawasan ini berkembang menjadi salah satu pusat aktivitas bisnis dan budaya Tionghoa yang hidup hingga sekarang.
Dari Lorong Seck Chuan, langkah kami berlanjut, menyusuri jalan-jalan kecil George Town yang penuh sejarah. Tidak lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan megah berpagar hitam dengan menara berkubah hitam pula — Masjid Kapitan Keling. Masjid ini begitu ikonik, dengan arsitektur yang mencerminkan perpaduan budaya India-Muslim, Melayu, dan sentuhan kolonial Eropa. Masjid ini dibangun pada awal abad ke-19 oleh komunitas Muslim India, khususnya keturunan Tamil. Nama "Kapitan Keling" sendiri berasal dari "Kapitan," gelar pemimpin komunitas, dan "Keling," istilah lama untuk menyebut orang India Selatan. Masjid ini mencerminkan perpaduan budaya Melayu, India, dan China yang sangat khas di Malaysia yang tercermin dari gaya arsitekturnya, yaitu kubah hitam besar khas Mughal India, dipadukan dengan sentuhan arsitektur kolonial Eropa (seperti lengkungan bergaya Gothic) dan unsur Melayu dalam desain ukirannya. Kami memutuskan hanya menfotonya dari bagian depan dan eksplor lebih jauh.
Tak jauh dari masjid, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah klenteng yang berdiri anggun di sisi jalan, bernama Han Jiang Ancestral Temple. Kami pun memutuskan untuk masuk. Aroma dupa yang khas segera menyambut begitu kaki melangkah ke dalam, membawa harumnya yang menenangkan. Di sudut-sudut klenteng, beberapa orang terlihat khusyuk berdoa, tangan mereka menggenggam dupa, kepala menunduk dalam hening. Suasana di dalam begitu syahdu, penuh warna merah dan emas, simbol keberuntungan dan penghormatan dalam budaya Tionghoa. Ornamen naga, dewa-dewi, dan lentera menggantung indah.
Sebagai informasi, kuil ini merupakan kuil klan Teochew (suku Tionghoa dari wilayah Chaozhou, Tiongkok selatan) yang dibangun pada tahun 1870 oleh komunitas Teochew imigran di Penang, yang dalam praktik keagamaannya mengikuti ajaran Taoisme. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat penghormatan leluhur dan pusat budaya untuk komunitas Teochew. Taoisme (atau Daoisme) itu adalah agama dan filosofi yang berasal dari Tiongkok kuno, fokus utamanya pada hidup selaras dengan Tao (道), yang artinya "jalan" atau "aturan alam semesta". Kitab utamanya namanya Tao Te Ching, ditulis oleh Laozi (Lao Tzu).
Inti ajaran Tao sendiri mencakup:
-
Alam dan kehidupan punya ritme alami sendiri, manusia sebaiknya mengikuti aliran itu, bukan melawannya.
-
Menekankan kesederhanaan, keseimbangan, harmoni, dan mengurangi ambisi berlebihan.
-
Taoisme banyak berbicara tentang konsep Yin dan Yang — keseimbangan antara dua kekuatan yang berlawanan tapi saling melengkapi.
-
Dalam praktiknya, Taoisme juga melibatkan ritual, pemujaan dewa-dewi, dan kadang pencarian keabadian lewat meditasi atau teknik pernapasan.
Lelah setelah berjalan kaki, kami akhirnya berhenti untuk makan siang. Pilihan kami jatuh pada sebuah kedai lokal yang terkenal dengan hidangan nasi kari ayam. Rasanya sungguh lezat—kuah kari yang kaya rempah berpadu sempurna dengan ayam yang empuk dan nasi hangat. Makan siang ini menjadi penutup sempurna untuk eksplorasi hari pertama kami di Penang.
Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke lorong yang dipenuhi mural-mural artistik. Lorong ini adalah salah satu atraksi terkenal di Penang, menampilkan seni jalanan yang menceritakan kehidupan masyarakat lokal. Beberapa mural menggambarkan anak-anak bermain, pedagang tua, atau adegan kehidupan sehari-hari. Karya-karya ini memberikan kehidupan baru pada bangunan-bangunan tua di sekitarnya, menciptakan perpaduan antara tradisi dan modernitas.
Dari lorong mural, kami berjalan menuju Dewan Sri Pinang, sebuah bangunan bersejarah yang kini sering digunakan untuk acara seni dan budaya. Arsitekturnya yang megah menjadi latar yang sempurna untuk foto.
Kemudian, kami tiba di Town Hall Penang, sebuah bangunan megah bergaya arsitektur kolonial yang merupakan salah satu landmark penting di George Town. Dibangun pada tahun 1880, Town Hall ini awalnya berfungsi sebagai pusat administrasi kolonial Inggris. Kini, bangunan ini difungsikan sebagai tempat acara-acara resmi, pameran, dan konser. Keindahan arsitekturnya yang masih terawat dengan baik menunjukkan dedikasi kota ini untuk melestarikan warisan budaya.
Di seberang Town Hall, kami menemukan Esplanade Penang, yang juga dikenal sebagai Padang Kota Lama. Kawasan ini merupakan ruang terbuka hijau yang sudah ada sejak era kolonial. Pada masa itu, Esplanade digunakan sebagai tempat parade militer dan acara-acara besar. Kini, area ini menjadi tempat favorit warga lokal dan wisatawan untuk bersantai, terutama karena lokasinya yang berada tepat di tepi laut.
Pemandangan laut dari Esplanade sangat memukau. Kami duduk di bangku taman, menikmati angin sepoi-sepoi sambil memandangi kapal-kapal yang berlayar di kejauhan. Suara ombak yang tenang berpadu dengan aktivitas warga lokal yang jogging atau bercengkerama bersama keluarga. Cahaya matahari sore yang memantul di permukaan air laut menambah kesan magis pada tempat ini.
Dari Esplanade Penang, kami melanjutkan perjalanan ke Padang Kota Lama, sebuah taman yang terletak di tengah-tengah area George Town yang bersejarah. Taman ini merupakan salah satu ruang hijau penting di Penang dan sering dijadikan tempat berkumpul bagi warga lokal maupun wisatawan. Padang Kota Lama memiliki fungsi ganda: sebagai ruang rekreasi dan lokasi untuk berbagai acara umum, seperti konser, pasar malam, atau festival budaya.
Saat kami tiba, taman ini tampak hidup dengan berbagai aktivitas. Di salah satu sudut, beberapa anak kecil bermain bola sambil tertawa riang, sementara di sisi lain terlihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku taman di bawah pohon besar yang rindang. Jalan setapak di taman dipenuhi orang-orang yang berjalan santai atau jogging. Beberapa penjual es krim keliling menambah suasana santai sore itu. Kami memutuskan untuk duduk sejenak di atas rumput sambil menikmati pemandangan di sekitar, dengan latar belakang bangunan-bangunan kolonial yang megah.
Setelah menikmati suasana Padang Kota Lama, kami melanjutkan langkah ke Fort Cornwallis, yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki dari taman. Ketika kami mendekati pintu masuk Fort Cornwallis, dinding batu yang kokoh langsung menarik perhatian kami. Benteng ini adalah salah satu situs sejarah paling penting di Penang. Dibangun pada tahun 1786 oleh Kapten Francis Light, Fort Cornwallis awalnya dirancang sebagai benteng pertahanan untuk melindungi George Town dari ancaman serangan musuh, terutama dari bangsa Belanda dan Perancis. Meski benteng ini tidak pernah digunakan untuk pertempuran, ia tetap menjadi simbol penting dari masa kolonial Inggris di Asia Tenggara.
Kami memasuki benteng melalui gerbang kayu besar, dan suasana di dalam langsung membawa kami kembali ke masa lalu. Area benteng ini cukup luas, dengan sisa-sisa struktur tua seperti gudang amunisi, penjara kecil, dan kapel. Beberapa meriam tua masih berdiri kokoh di atas tembok, menghadap ke laut, seolah bersiap menghadapi ancaman yang tak pernah datang. Salah satu meriam yang terkenal di sini adalah Meriam Seri Rambai, yang konon memiliki mitos membawa keberuntungan bagi pasangan yang berdoa di dekatnya.
Saat berjalan-jalan di dalam benteng, kami melihat berbagai panel informasi yang menceritakan sejarahnya, lengkap dengan foto-foto lama dan peta zaman kolonial. Ada juga menara pengawas kecil di salah satu sudut, dari mana kami bisa menikmati pemandangan indah ke arah laut dan George Town.
Sore itu, suasana di Fort Cornwallis terasa damai. Hanya ada beberapa pengunjung lain selain kami, sehingga kami bisa menjelajah dengan leluasa. Angin laut yang sepoi-sepoi membuat udara terasa sejuk, meskipun matahari masih bersinar terang. Kami mengambil beberapa foto, mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang tentara Inggris yang berjaga di benteng ini berabad-abad lalu.
Setelah puas menjelajahi Fort Cornwallis, kami memutuskan untuk keluar dan berjalan kembali menuju pusat kota. Penang memang kota yang penuh cerita dan selalu ada hal menarik di setiap sudutnya.
Dalam perjalanan pulang menuju penginapan, langkah kami terhenti oleh suara tabuhan drum, dentuman simbal, dan sorakan riuh dari kejauhan. Saat berjalan lebih dekat, kami melihat rombongan barongsai yang tengah beraksi di sebuah persimpangan jalan. Rupanya, kami beruntung bisa menyaksikan salah satu atraksi budaya khas yang sangat meriah, apalagi saat itu mendekati perayaan Imlek.
Rombongan barongsai tersebut terdiri dari beberapa kelompok, masing-masing membawa barongsai berwarna-warni. Ada barongsai berwarna merah menyala yang melambangkan keberuntungan, kuning keemasan sebagai simbol kemakmuran, dan hijau cerah yang mewakili harapan. Tidak ketinggalan, barongsai biru yang melambangkan harmoni dan ketenangan. Kostum-kostum mereka sangat mencolok dengan detail yang indah, dihiasi bulu-bulu halus di sekeliling kepala dan ekor, serta pola-pola bersulam yang memancarkan kilauan saat terkena cahaya.
Rombongan barongsai itu ternyata tidak hanya berhenti di satu tempat, tetapi membentuk arak-arakan yang bergerak sepanjang jalanan Kota Penang. Suasana semakin semarak dengan iring-iringan pemain drum dan gong yang terus menabuh ritme dinamis, mengiringi setiap langkah barongsai yang menari-nari di jalanan. Di depan arak-arakan, ada pembawa bendera besar berwarna merah keemasan dengan tulisan Tionghoa yang mengalir megah tertiup angin.
Para pemain barongsai menampilkan gerakan yang lincah dan penuh energi, mengikuti irama tabuhan drum dan suara gong yang bertalu-talu. Penonton yang berkumpul di sekeliling memberikan semangat dengan tepuk tangan dan sorakan setiap kali barongsai melompat-lompat atau membuat gerakan akrobatik. Beberapa anak kecil terlihat sangat antusias, bahkan ada yang berusaha menyentuh kepala barongsai dengan harapan mendapatkan keberuntungan.
Di antara rombongan itu, ada juga para pengiring yang membawa lampion merah besar, menambah suasana semarak malam itu. Pedagang kaki lima di sepanjang jalan pun tampak sibuk melayani pembeli, menjual makanan ringan khas seperti kue keranjang, bakpao, dan permen kapas. Aroma makanan bercampur dengan suasana riuh, menciptakan kombinasi yang menyenangkan bagi semua indra.
Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, ikut menikmati pertunjukan tersebut. Rasa lelah setelah seharian menjelajahi Penang seolah hilang dalam suasana yang penuh keceriaan ini. Meski malam mulai larut, semangat rombongan barongsai dan para penonton tak surut.
Setelah pertunjukan selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju penginapan dengan senyum lebar dan hati yang hangat. Malam itu terasa seperti penutup sempurna untuk hari yang penuh petualangan di Penang. Semangat dan keramaian yang kami saksikan seakan menjadi pengingat akan keindahan budaya dan tradisi yang tetap hidup di tengah modernitas kota ini.
Part Setelahnya : DISINI