Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

3.14.2025

[1] Explore Sumba : Keberangkatan, Nasi Pedas Bu Okky dan Bukit Lendongara !

Arin, Aku dan Mbak Hayu menikmati Bukit Lendongara, Sumba Barat Daya, NTT


Suatu hari di Surabaya, bulan November 2018

"Luh, akhir tahun traveling kemanaa gitu yuk," kata Arin, teman kerja kantorku. Aku dan Arin memang bisa dibilang teman sejak kuliah sampe kerja, dan kita punya hobi yang sama yaitu traveling. Kita juga udah beberapa kali traveling bareng, yaitu di Eksplore Pulau Timor, Eksplore Karimunjawa, sama Eksplore Ambon-Ora.

"Ayuuk. Kemana?" Balasku. Posisiku memang aku sedang punya Sriwijaya Travel Pass, semacam member/keanggotaan dari Sriwijaya sehingga aku bisa membeli tiket Sriwijaya Air secara gratis dengan destinasi manapun (Well, hanya membayar pajak dan IWJR), sehingga mau kemanapun aku pergi selama tiketnya masih ada maka bisa-bisa aja.

"Sumba yuk? Kamu belum pernah kan?" Jawab Arin.

"Sumba? Okeee. Siaap. Aku ajak Fredo ya."

"Okee aku ajak Mbak-ku juga." 

"Siap Rin, tapi kamu yang bikin rencana perjalanan ya. Aku ngikut aja."

"Siap, nanti aku bikin."

Aku, Arin, Fredo, Mbak Hayu. Bukan susunan travelmate yang baru karena kita juga melakukan trip serupa di akhir 2017 lalu dengan mengunjungi Ambon dan Pantai Ora di Pulau Seram. Jadilah rencana ini kami mantapkan untuk libur natal akhir 2018. Sebenarnya aku ada sedikit kegalauan juga. Aku udah izin kerja beberapa hari di tahun 2018 ini untuk traveling. Dan dengan rencana baruku dengan Arin, artinya aku butuh 1 hari lagi izin kerja. Duhhh... Aku benar-benar nggak enak sebenernya....tapi... Ya gimana ya...Kita soalnya belum dapat hak cuti juga...

Surabaya, 21 Desember 2018
Hari ini adalah hari keberangkatanku, Arin, Fredo dan Mbak Hayu backpackeran ke Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perjalanan ini diawali dari beberapa kota yang berbeda. Aku dan Arin, karena kita sekantor, berangkat dari Surabaya. Fredo dari Yogyakarta, dan Mbak Hayu dari Jakarta. Kami sepakat untuk bertemu di titik transit: Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Dari Ngurah Rai, kami terbang bersama-sama ke Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya.

Aku dan Arin berangkat pagi-pagi dari Surabaya. Pesawat kita dijadwalkan take off dari Surabaya jam 6 dan landing di Denpasar jam 8.  Sepanjang berdua,  kami banyak membahas mengenai rencana perjalanan dan rencana sewa mobil selama disana. Arin merincikan rencana perjalanan yang sudah dia buat sebelumnya, bahkan menjelaskan dengan petanya. Aku mendengarkannya dengan serius sambil sesekali bertanya detailnya.

Begitu tiba di Denpasar, kami langsung menuju ke area kedatangan untuk menunggu Fredo dan Mbak Hayu. Menurut jadwal pesawat yang dibagikan Fredo, seharusnya dia mendarat kurang lebih 15 menit setelah kami mendarat. Aku udah kirim pesan ke dia, berpesan akan menunggunya di area kedatangan. Tapi kok sudah lewat 25 menit, 30 menit, WA-ku masih centang satu? Jujur aku mulai kuatir. Kalau jadwal pesawat Mbak Hayu memang agak lebih siang dan saat itu belum waktunya landing.

"Mungkin delayed pesawatnya," kata Arin sedikit mengusir kekawatiranku.

"Iya mungkin ya Rin."

Syukurlaah.. tidak berapa lama kemudian WA-ku ke Fredo sudah centang dua, menandakan dia baru saja landing. Menunggu kurang lebih satu jam, Mbak Hayu juga sudah landing dari Jakarta. Syukurlaah semuanya sudah berkumpul. Trip ini benar-benar seperti reuni kami berempat hehe.. karena jujur gaya traveling kita memang cenderung mirip-mirip. Menyukai wisata alam (laut, gunung) dengan tipe karakter satu lama lain yang tidak terlalu ribet.

"Eh ini sambil nunggu transit kita makan di Warung Nasi Pedas Bu Okky dulu ya. Deket kok dari bandara sekitar 1 km aja," kata Arin.

Kita semua kompak setuju. Toh memang sudah waktunya makan siang, dan perut sudah mulai keroncongan. Namun ada satu masalah, yaitu transportasi. Tidak ada transportasi keluar dengan harga masuk akal untuk jarak 1 km, hampir semuanya mematok harga lumayan mahal.

"Yaudah jalan kaki aja Rin," kata Fredo.

"Iyaudah yuk." Jawab Arin.

Dengan mengangkat backpack masing-masing, kita mulai berjalan keluar bandara. Tapi tentu saja tidak senyaman itu berjalan berdampingan dengan matahari Pulau Bali yang siang itu bersinar dengan begitu teriknya. Peluh-peluh mulai berjatuhan begitu kami mulai berjalan. 'Seratus meter, dua ratus meter, tiga ratus meter .. hhh... Hhhh... Sabar dikit lagi sampe' kataku dalam hati. Dan akhirnyaaa... Setelah sekitar 15 menit berjalan kaki, sampai juga kami akhirnya di Nasi Pedas Bu Okky. Nasi Pedas Bu Okky merupakan kuliner khas Bali yang terkenal di Denpasar. Hidangan ini terdiri dari nasi putih yang disajikan dengan berbagai lauk pedas khas Bali. Kami langsung memesan 4 porsi nasi pedas lengkap dengan lauk ayam suwir pedas, lawar kacang panjang, daging sapi bumbu Bali, kencang goreng, pepes ikan dan sambel terasi. Mantaaapnyaaa....

Nasi Pedas Bu Okky dekat Bandara Ngurah Rai, Bali

Dominasi rasa gurih, pedas, dan manis langsung mendominasi ketika kami mulai memakannya. Disempurnakan dengan pedasnya sambal dan es teh manis, langsung membangkitkan energi dan membuat kami siap untuk petualangan berikutnya.

Setelah makan, kami kembali ke bandara dengan perasaan puas dan perut kenyang. Bedanya kali ini kami bisa memesan grabcar jadi lumayan menghemat tenaga. Tidak butuh waktu lama bagi kami sampai Bandara Ngurah Rai kembali. Menunggu sesaat, boarding penerbangan Denpasar - Waikabubak telah dibuka. Kami mengantre dan masuk pesawat dengan tertib. Akhirnyaa.. berangkat juga kami ke Pulau Sumba. Bagi kami berempat, ini adalah pertama kalinya kami menginjakkan kaki di salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.

Penerbangan Denpasar–Tambolaka (Sumba Barat Daya) berlangsung lancar dengan minim turbulensi. Kami terbang menggunakan pesawat NAM Air Boeing 737-500, dan sepertinya ketinggian jelajahnya tidak terlalu tinggi karena sepanjang perjalanan, daratan di bawah masih terlihat jelas. Selama satu jam di udara, aku menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau kecil dan lautan biru yang membentang luas. Saat pesawat mulai menurunkan ketinggian, hamparan hijau Pulau Sumba menyambut kami; musim hujan membuat alam di sini terlihat lebih segar dan subur.

Kami akhirnya landing di Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya sekitar jam 13.30 WITA. Begitu tiba di Bandara Tambolaka, kami segera mengambil bagasi dan menuju pintu keluar. Bandara ini kecil, lebih mirip terminal domestik sederhana, namun suasananya nyaman dan tidak terlalu ramai. Udara hangat dan angin sepoi-sepoi langsung terasa begitu kami melangkah keluar. Seorang sopir taksi menawarkan jasanya, dan setelah negosiasi singkat, kami sepakat dengan tarif Rp 100.000/sekali antar ke hotel di pusat Kota Tambolaka.

Welcome to Bandar Udara Tambolaka, Sumba Barat Daya, NTT

Pemandangan Bandara Tambolaka

Perjalanan dari bandara menuju hotel memakan waktu sekitar 15 menit. Sepanjang jalan, kami ditemani oleh angin sore yang sejuk. Langit biru dengan sedikit awan putih membuat perjalanan ini terasa santai. Mobil yang kami tumpangi melaju di jalanan yang cukup sepi, hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain.

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Di kiri dan kanan, rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, banyak yang berpagar bambu dan dinaungi pepohonan hijau. Beberapa rumah bercat warna cerah, sementara yang lain lebih alami dengan tembok batu atau kayu. Kami sempat bercanda soal betapa tenangnya suasana di sini, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Sepanjang perjalanan, jalanan mulus meskipun ada sedikit bagian yang bergelombang. Angin sore masuk melalui jendela mobil yang terbuka sedikit, membawa aroma tanah kering bercampur dengan angin laut dari kejauhan. Kami sempat melihat beberapa anak kecil bermain di halaman rumah, dan beberapa penduduk duduk santai di teras, menikmati sore.

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Sesaat kemudian, akhirnya kami sampai juga di hotel tempat kami akan menginap. Hotelnya terlihat bagus dan nyaman, dengan desain yang sederhana tapi elegan.
 
"Tarif menginapnya Rp 250.000/malam," kata Arin menginfokan ke kami yang menunggu. 

Kami semua langsung setuju dan mengumpulkan uang ke Arin, toh hotel ini sudah sangat bagus menurut standar kami. Hotelnya bersih, kamarnya cukup luas dengan dua kasur terpisah, dilengkapi dengan balkon kecil dan jemuran.

Hotel kami

Setelah menata barang dan beristirahat sejenak, kami berkumpul di balkon depan kamar untuk mendiskusikan rute perjalanan dan transportasi. Arin, yang sejak awal menyusun rencana perjalanan, membuka peta buatannya sendiri di buku catatannya. 

"Jadi, seperti yang sudah kita bahas, dua hari ini kita eksplor daerah Sumba Barat Daya dulu. Dari situ baru geser ke Sumba Barat dan ke Sumba Timur, sampai tujuan akhir di Waingapu," kata Arin dengan serius. " Di Sumba Barat Daya sini yang paling terkenal ada Laguna Waikuri, Pantai Mandorak, Kampung Adat Ratenggaro, Tanjung Mareha, Waikelo Sawah. Di Sumba Tengah ada Kampung Adat Prai Ijing. Di Sumba Timur ada Bukit Warinding, Padang Savana Puru Kambera, Pantai Walakiri sama Air Terjun Tanggedu," tambah Arin sambil menunjukkan titik-titik lokasi yang sudah ia tandai di petanya.

Kami semua setuju dengan konsep perjalanan ini—destinasi yang dipilih sudah tepat dan waktunya cukup fleksibel untuk menikmati setiap tempat tanpa terburu-buru. Namun, ada satu pertanyaan besar yang harus segera dijawab: bagaimana transportasinya?

"Opsi paling realistis adalah sewa mobil," kata Arin akhirnya setelah mempertimbangkan semua pilihan. "Jadi nanti supirnya yang nganterin kita dari sini sampai tujuan akhir di Waingapu. Kita berempat, jadi bisa sharing biaya. Cuma aku masih belum tahu nih sewa di mana dan harganya berapa. Coba aku tanya resepsionis dulu ya."

Tanpa menunggu jawaban, Arin - ditemani Mbak Hayu, segera bangkit dan berjalan menuju lobi hotel. Aku dan Fredo tetap menunggu di balkon.

Tak lama kemudian, Arin dan Mbak Hayu kembali dengan wajah sumringah. "Udah dapat drivernya!" kata Arin antusias. "Tadi resepsionis kasih kontaknya, kita telepon langsung, dan dia setuju. Sehari dia minta Rp750.000, udah termasuk BBM. Nanti dia bakal nganterin kita ke tempat-tempat wisata dari Sumba Barat Daya sini sampai ke Sumba Timur! Ini sebentar lagi bapaknya mau kesini untuk ngefixkan jadwal dan rute."

Aku langsung merasa lega mendengar kabar itu. Harga yang ditawarkan cukup masuk akal mengingat rute perjalanan kami cukup jauh. Dengan mobil dan sopir sendiri, perjalanan pasti lebih nyaman dan fleksibel. 

Tak lama kemudian, mobil yang kami tunggu akhirnya tiba di depan hotel. Seorang pria dengan kaos polos dan celana jeans turun dari kursi kemudi, lalu berjalan menuju lobi. Arin dan Mbak Hayu segera menghampirinya untuk membicarakan detail perjalanan, termasuk pembayaran DP serta rute untuk tiga hari ke depan.

Sementara mereka berdiskusi, aku dan Fredo masih duduk di balkon, mengobrol santai sambil update-update kabar kehidupan. Setelah selesai berdiskusi dengan sopir, Arin kembali ke balkon dan langsung membahas soal keuangan trip ini, yang memang cukup fleksibel. Kalau masing-masing membawa cukup uang tunai, biasanya kami akan mengumpulkan sejumlah uang dulu ke satu orang yang ditunjuk sebagai bendahara. Tapi kalau ada yang kebetulan tidak pegang cash banyak, yang punya lebih akan menalangi dulu—sistem gotong royong yang sudah biasa kami lakukan di perjalanan. Kami sepakat bahwa yang menjadi bendahara untuk kali ini adalah.... Arin juga hehehe..

Arin kemudian menarik iuran dari kami berempat untuk membayar DP. "Oke, semuanya setor ya, biar aman urusan transportasi kita sampai Waingapu nanti," katanya sambil mencatat di catatan kecilnya. Setelah semua urusan keuangan beres, Arin menatap kami dengan senyum penuh semangat.

"Eh, sore ini kita ke Bukit Lendongara ya," katanya tiba-tiba.

Aku langsung terkejut. "Wah, langsung mulai sore ini?"

Arin mengangguk. "Iya, biar kita bisa lihat sunset di sana."

"Siaap!" kataku antusias. 

Aku pikir petualangan baru akan dimulai esok hari, ternyata sore ini juga sudah dimulai. Mantap!

Kami bersiap-siap, membawa barang seperlunya dan masuk ke mobil yang akan membawa kita berpetualang beberapa hari kedepan. Perjalanan dari hotel kami menuju Bukit Lendongara memakan waktu sekitar 20 menit dengan jarak sekitar 10 km. Kondisi jalanan yang awalnya didominasi jalan aspal perlahan-lahan mulai berubah menjadi jalan tanah dengan lebar satu mobil begitu mendekati tujuan. Pemandangan sepanjang jalan didominasi oleh pepohonan hijau, ciri khas Pulau Sumba yang masih sangat alami. Setiap kali mobil melaju, suara batu yang terguncang di bawah ban terdengar seperti dentingan kecil, membuat suasana perjalanan terasa sedikit lebih petualangan.

Setelah melewati beberapa tikungan dan jalanan yang sedikit menanjak, akhirnya kami tiba di Bukit Lendongara. Pemandangan yang tersaji di depan mata langsung membuat kami terpana. Bukit ini begitu indah, terutama karena musim hujan telah membuat rerumputan dan pepohonan di lembah-lembah tampak begitu hijau dan segar. Lansekapnya sangat alami—bukit-bukit kecil saling berjajar, berlapis, dan membentuk lekukan-lekukan yang terlihat begitu sempurna hingga akhirnya berakhir di lautan biru di kejauhan.

Bukit Lendongara

Kami langsung bersemangat berjalan kesana kemari, naik turun bukit, mencari sudut terbaik untuk menikmati panorama yang luar biasa ini. Setiap sudut menawarkan pemandangan yang berbeda. Dari beberapa titik tinggi, kami bisa melihat ke bawah, di mana lembah-lembah yang berkembang di antara bukit-bukit itu tampak subur dengan pepohonan yang tumbuh rimbun. Di beberapa bagian, tampak aliran air kecil yang menyelinap di antara vegetasi, menandakan adanya sumber kehidupan yang terus mengalir di balik keindahan perbukitan ini.

Di kejauhan, beberapa ekor kuda terlihat merumput dengan tenang, menambah kesan bahwa tempat ini benar-benar masih alami. Kami sempat ingin mendekat, tapi begitu kami mencoba berjalan lebih dekat, mereka justru berlari menjauh dengan anggun, seolah menjaga jarak dari para pengunjung yang penasaran.

Banyak pepohonan hijau yang berkembang di lembah-lembah, menandakan adanya sumber air disitu. Kemungkinan berupa alur-alur/sungai kecil.

Rimbunnya pepohonan di Bulan Desember..

Meskipun sunset yang kami harapkan sedikit terhalang oleh awan mendung,namun itu bukan menjadi masalah besar. Ada sesuatu yang menenangkan tentang hamparan luas bukit, udara segar yang membelai wajah, dan pemandangan hijau yang terasa seperti terapi bagi mata dan pikiran. Kami duduk sejenak di salah satu bukit, menikmati momen ini dalam diam, membiarkan keindahan Bukit Lendongara mengisi hati dan pikiran kami.

Sunset yang terhalang awan..

Kami menghabiskan waktu berfoto-foto di beberapa titik, memotret pemandangan dan diri kami sendiri di antara lanskap hijau yang luas. Ada juga beberapa traveler lain yang datang, tampaknya sekelompok muda-mudi yang sedang berlibur. Mereka terlihat asyik berfoto di atas mobil mereka, berpose di puncak kendaraan, menambahkan sedikit kegembiraan di lokasi yang sudah indah ini.

"Yuk foto bareng" kata Fredo. "Kalian foto bertiga dulu ya, aku fotoin,"tambahnya.

"Siap yuk Rin, mbak," kataku.

Klik. Klik. Klik. 

Arin, Aku dan Mbak Hayu menikmati Bukit Lendongara

Selalu bersyukur atas setiap kesempatan mengunjungi tempat baru...

Berpose...

Aku berjalan lebih jauh, menuruni lembah, menuju ke lekukan bukit berikutnya. Setiap langkah membawa aku semakin dekat dengan lanskap yang terasa begitu luas dan bebas. Angin berhembus lembut, membelai wajahku, membawa aroma rumput basah yang segar.

Beberapa kali aku berhenti, membiarkan diriku sepenuhnya tenggelam dalam pemandangan di depan mata, menikmati bukit-bukit hijau yang bergulung seperti ombak. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk memenuhi paru-paruku. Ada sesuatu yang begitu menenangkan di sini—seperti pelukan alam yang lembut, membebaskanku dari segala beban. Aku merasa nyaman. Perasaan nyaman dan ringan, seolah semua hal yang membebani pikiran luruh bersama angin yang berhembus di antara perbukitan.

Berjalan di beberapa sudut bukit dan menikmati momen..

Naik turun menjelajah beberapa bukit..

Berpose..

Terlalu asyik menikmati suasana, mengobrol, dan berfoto-foto, kami tidak sadar matahari mulai terbenam perlahan di balik awan tebal. Cahaya keemasan yang tersisa menciptakan siluet indah di sepanjang perbukitan, sementara sinarnya yang redup memantul lembut di rerumputan hijau. Langit berubah perlahan menjadi gradasi jingga dan ungu, berpadu dengan bayangan bukit yang semakin gelap. Menandakan akan berakhirnya hari.

Kuda-kuda yang sedang merumput

Sinar rembulan..

Kami kemudian memutuskan untuk jalan pulang. Mobil meluncur kembali melewati jalan tanah, dengan lampu jalanan yang mulai temaram menyinari jalur yang kami lewati.

Kembali pulang ditemani sinar temaram senja

Setibanya di hotel, kami langsung menuju warung lalapan yang terletak tidak jauh dari penginapan. Kami duduk dan memesan beberapa menu lalapan—ikan goreng, ayam goreng, dan sambal. Makanan sederhana ini terasa sangat nikmat setelah seharian beraktivitas. Setelah makan malam, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Masing-masing dari kami mulai menata barang dan mempersiapkan diri untuk perjalanan seharian besok. 

"Besok jam 7 kalau bisa udah sarapan ya, supaya sebelum jam 8 udah mulai berangkat. Besok ada beberapa tujuan soalnya,"kata Arin.

"Siaaap Rin," jawab kami kompak. Hehehe..

Selamat tidur....

Making memories together in Bukit Lendongara, Sumba Barat Daya, NTT (Desember 2018)

Making memories together in Resort Ora, Pulau Seram, Maluku (Desember 2017)

Part Selanjutnya : Disini

3.10.2025

[5] Karimunjawa : Pulau Panjang dan Kepulangan (Finished)

Part Sebelumnya : Disini

Aku, Ega dan Arin di Pulau Panjang, Jepara

Matahari masih malu-malu menampakkan diri ketika aku, Arin, dan Ega sudah sibuk bergiliran mandi dan menyiapkan barang-barang kami. Hari ini adalah hari kepulangan kami kembali ke Jepara setelah 2 hari terakhir menikmati keindahan Pulau Karimunjawa. Bedanya, jika saat berangkat kami menggunakan kapal cepat Express Bahari (karena KMP Siginjai sedang off), untuk kepulangan kali ini kami berencana naik kapal Ferry, tepatnya KMP Siginjai. Tentunya perjalanan akan berlangsung lebih lama yakni 6 jam, dimana jika kapal cepat hanya membutuhkan 3 jam. Mengingat lamanya perjalanan, kami harus menyiapkan bekal yang cukup. Air minum dan beberapa cemilan menjadi hal wajib agar perjalanan tidak terasa membosankan. Kami pun mengepak barang-barang dengan hati-hati, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. 

"Udah semua? Yuk berangkat," kataku ke Arin dan Ega.

Dengan membawa tas masing-masing, kita jalan kaki ke Pelabuhan Karimunjawa. Memang jaraknya dengan penginapan tidak terlalu jauh, tidak sampai 500 meter.

"Kita sarapan dulu aja ya, sama beli bekel air sama cemilan," kataku ke mereka sesampainya di Pelabuhan Karimunjawa.

Setelah sarapan yang cukup mengisi energi, kami segera menuju loket untuk membeli tiket KMP Siginjai. Beruntungnya, proses pembelian tiket berjalan lancar tanpa kendala berarti. Rasanya lega karena tidak ada kejutan tak terduga seperti yang sempat terjadi di awal perjalanan.

Kami langsung naik ke kapal dan mencari tempat duduk yang nyaman. Tak butuh waktu lama, sirine KMP Siginjai pun berbunyi, menandakan kapal akan segera berangkat.  Awalnya, kami duduk di bangku dalam kapal, mencoba mencari tempat se-PW mungkin untuk duduk. Namun perjalanan 6 jam memang cukup lama. Tidak beberapa saat kami bosan dan memutuskan untuk naik ke dek atas kapal, ke area terbuka. Rupanya, banyak penumpang lain yang juga memilih duduk di sana, menikmati hembusan angin laut dan pemandangan lepas.

Waktu di dek kapal kami habiskan dengan berbagai cara. Sambil menikmati semilir angin dan suara ombak yang menghantam lambung kapal, kami mengobrol panjang lebar, saling bertukar cerita tentang perjalanan sejauh ini. Kadang pembicaraan mengarah ke hal-hal random, kadang juga membahas kenangan lama yang membuat kami tertawa. Setelah cukup lama mengobrol, kami mulai bermain kartu, mencoba mengusir kebosanan di tengah lautan luas. Sesekali kami tiduran, membiarkan tubuh beristirahat sambil menikmati getaran lembut kapal yang bergoyang mengikuti arus laut.

Cuaca hari itu juga syukurlah cukup bersahabat. Laut tampak tenang, tidak terlalu berangin, sehingga perjalanan terasa nyaman. Tidak ada gelombang besar yang mengganggu, hanya riak-riak kecil yang sesekali terlihat di kejauhan.

Setelah berjam-jam terapung di laut, akhirnya daratan Jepara mulai terlihat dari kejauhan. Perlahan kapal semakin mendekat ke pelabuhan, dan sekitar pukul 2 siang, kami telah tiba di Pelabuhan Kartini, Jepara. Dari sini kami sebenarnya sudah tidak mempunyai agenda wajib selain menunggu jadwal bus untuk kepulangan ke Surabaya nanti jam 6 sore. Itu berarti kami punya waktu beberapa jam untuk dihabiskan di Jepara sebelum kembali ke perjalanan panjang darat.

Di kapal tadi, aku sempat melontarkan ide ke Arin dan Ega, "Gimana kalau nanti kita mampir ke Pulau Panjang dulu? Daripada hanya menunggu di terminal atau sekadar duduk-duduk di sekitar pelabuhan," usulku.

"Boleeh, wah dimana tu Pulau Panjang?" Tanya Ega antusias.

"Deket kok Ga, cuma 2.5 km dari Pelabuhan Kartini. Aku baca sih katanya ada kapal rakyat yang kesana tiap hari dari pelabuhan. Perjalanannya cuma 10 menitan" Jawabku.

Sebenarnya aku baru tau tentang Pulau Panjang saat sudah di Jepara, tepatnya pas sebelum keberangkatan ke Pulau Karimunjawa kemarin. Aku tahu tentang pulau ini dari obrolan random dengan seorang traveler waktu peristiwa chaotic di pelabuhan pas keberangkatan kemarin. Saat itu, KMP Siginjai mendadak tidak beroperasi sesuai jadwal (off) sehingga bikin banyak orang bingung dan panik mencari alternatif perjalanan. Di tengah situasi itu, ada seorang traveler yang nyeletuk,

"Apa kita kunjungi Pulau Panjang aja nih kalau batal ke Karimun?"

Waktu itu, aku langsung penasaran, "Pulau Panjang? Itu di mana?" Dari situlah aku mulai kepo, dan ternyata pulau ini cukup menarik buat dikunjungi.

Lokasi Pulau Panjang dari Pantai Kartini, Jepara

Pulau Panjang sendiri adalah pulau kecil yang terletak di sebelah barat laut Jepara, berjarak sekitar 2,5 km dari Pelabuhan Kartini. Pulau Panjang adalah pulau kecil yang memiliki ekosistem pesisir yang cukup lengkap, terumbu karang, lamun dan vegetasi pantai yang tumbuh di pantai berpasir yang landai, akan tetapi luput dari upaya perlindungan (Munasik, 2017). Upaya perlindungan telah dilakukan pemerintah Kabupaten Jepara melalui Perda No. 2 Tahun 2011 menetapkan Pulau panjang sebagai kawasan lindung sekaligus kawasan wisata berbasis ekologi. Selanjutnya Tahun 2013 telah ditetapkan sebagai pencadangan Kawasan Konservasi Taman Pulau Kecil melalui Keputusan Bupati Jepara No. 522.5.2/728 (Munasik, 2017).

Pulau Panjang, Jepara

Setelah aku menjelaskan soal Pulau Panjang ke Arin dan Ega, mereka langsung antusias.

"Serius cuma 10 menit naik perahu?" tanya Ega.

"Iya, nggak jauh kok. Kita bisa main di pantai sebentar, jalan-jalan keliling pulau, terus langsung balik ke Jepara setelahnya," jawabku.

Arin mengangguk, terlihat tertarik. "Daripada cuma nunggu di terminal, mending kita ke sana aja, ya kan?"

Keputusan sudah sepakat. Sekarang tinggal mencari perahu yang bisa mengantar kami ke sana. Setelah bertanya kepada petugas pelabuhan, kami diarahkan ke dermaga kapal rakyat yang melayani penyeberangan ke Pulau Panjang. Kapalnya berupa perahu kayu bermotor sederhana yang digunakan masyarakat setempat untuk mengantar wisatawan. Biaya penyeberangannya cukup murah, hanya Rp25.000 per orang sekali jalan. Penyeberangan siang itu terlihat penuh dengan sekelompok ibu-ibu yang sepertinya hendak wisata bersama ke Pulau Panjang hehehe...

Wisatawan menuju Pulau Panjang, Jepara

Tanpa menunggu terlalu lama, perahu pun berangkat. Perjalanan menuju Pulau Panjang hanya kami lalui sekitar 10 menit, melewati perairan tenang dengan warna air biru kehijauan yang agak keruh. Angin laut bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma khas laut yang bercampur dengan suara burung-burung yang sesekali melintas. Dari kejauhan, siluet Pulau Panjang semakin jelas, tampak hijau dan rimbun dengan deretan pohon cemara yang menjulang tinggi.

Selamat Datang di Pulau Panjang, Jepara

Begitu kami tiba di dermaga Pulau Panjang, kami langsung disambut dengan suasana yang cukup ramai. Ada beberapa perahu lain yang juga baru merapat, menurunkan wisatawan yang juga tampak antusias untuk mengunjungi pulau ini. Dekat area dermaga, berjejer warung-warung sederhana yang menjual berbagai makanan ringan, kelapa muda, ikan bakar, serta minuman ringan. Beberapa wisatawan terlihat duduk santai menikmati es kelapa dibawah pohon-pohon yang membantu menghalangi sengatan matahari. Karena kami bertiga barusan sudah makan siang di Pelabuhan Kartini, kami memutuskan langsung jalan kaki saja berkeliling pulau.

Wisatawan di Pulau Panjang, Jepara

Keanekaragaman fauna laut di Pulau Panjang, Jepara

Daftar vegetasi pantai kategori pohon yang tumbuh disini

Jalan yang mengelilingi pulau ternyata berupa jalur paving yang tertata rapi, cukup lebar untuk berjalan santai. Kanan-kirinya dipenuhi pepohonan tinggi, didominasi oleh pohon cemara laut, stigi, lamtoro, kapuk randu dan asam yang menjulang rapat, menciptakan kanopi alami yang memberikan keteduhan. Udara di sini terasa segar, berbeda dengan panasnya Jepara yang baru saja kami tinggalkan. Oiya untuk eksplor Pulau Panjang ini sangat mudah karena jalannya hanya satu, yaitu melingkari pulau. 

Keanekaragaman flora di Pulau Panjang

Keanekaragaman flora di Pulau Panjang

Karena Pulau Panjang ini sudah ditetapkan sebagai wisata berbasis ekologi, kurang lengkap rasanya jika kita tidak membahas tentang keanekaragaman flora yang ada di pulau ini. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Fara El Alfa Fauzia dkk dalam Journal of Biology Education Vol 3 No1 (2020), mereka menemukan 15 spesies yang terdiri atas 10 ordo dan 11 famili, terbagi atas 13 spesies pohon, 1 spesies semak, dan 1 spesies perdu. Adapun beberapa famili yang banyak dijumpai yaitu Fabaceae, Malvaceae, Meliaceae, serta Rubiaceae. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan adanya dominasi dari beberapa spesies diantaranya sebagai berikut. 

 1. Casuarina equisetifolia L. (Cemara Laut). Tumbuhan ini tumbuh pada substrat berpasir di area pesisir tepi pantai Pulau Panjang. Tumbuhan ini paling banyak ditemukan di area bibir pantai dikarenakan pihak Pulau Panjang dan masyarakat sekitar mengadakan konservasi atau pelestarian pohon cemara laut dikarenakan alasannya yang sangat bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat, selain menjadi pohon peneduh, cemara laut juga dapat membantu memperbaiki iklim Pulau Panjang. 

 2. Pemphis acidula (Stigi). Tumbuhan endemik Pulau panjang ini tumbuh pada substrat tanah berpasir, banyak ditemukan di area pemakaman Syekh Abu Bakar, sering juga disebut dengan Taman Stigi. Ditemukannya banyak pohon stigi di area pemakaman disebabkan pohon stigi diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai pohon bertuah yang memiliki kekuatan supranatural. Selain itu pohon stigi juga memiliki manfaat untuk kesehatan yaitu sebagai antibisa. 

 3. Leucaena sp. (Lamtoro), Ceiba sp. (Kapuk Randu), Tamarindus sp. (Asam), dan Terminalia sp. (Ketapang). Kesemua tumbuhan tersebut tumbuh pada substrat tanah berpasir di area dalam Pulau Panjang. Tumbuhan-tumbuhan tersebut banyak ditemukan sebab memberikan banyak manfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitar, misalnya Leucena sp (Lamtoro) memiliki manfaat yaitu sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar, dan pakan ternak, selain itu biji lamtoro dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Ceiba sp (Kapuk Randu) memiliki manfaat yaitu kayumya digunakan untuk industry mebel, serat kapuk digunakan untuk pengisian bantal, dan kasur, kulit batang randu dapat digunakan sebagai bahan pembuatan tali, daun randu digunakan sebagai obat tradisional. Tamarindus sp (Asam) memiliki manfaat yaitu kayunya dapat digunakan untuk industry mebel, dan buahnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, bumbu, dan penambah rasa asam. Terminalia sp (Ketapang) memiliki manfaat sebagai pohon peneduh, selain itu daun dan kulit batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tinta, biji buah ketapang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan.

Di sepanjang jalan setapak, sesekali kami bertemu dengan wisatawan lain yang juga berjalan kaki mengelilingi pulau. Ada yang berjalan santai sambil mengobrol, ada yang sibuk mencari spot foto, dan beberapa lainnya terlihat membawa perlengkapan snorkeling. Rupanya, di beberapa sisi pantai Pulau Panjang terdapat area snorkeling yang cukup populer.

Kami terus berjalan, menikmati suasana pulau yang masih alami. Di beberapa titik, terdapat bangku kayu sederhana untuk beristirahat. Dari sini, suara ombak yang lembut terdengar jelas, berpadu dengan suara burung yang berkicau di antara dahan-dahan pohon cemara.

Klik. Making memories in Panjang Island.

Terus berjalan membelah hutan..

Setelah sekitar 15 menit berjalan, kami sampai di sebuah pantai berpasir putih yang cukup sepi. Airnya jernih dengan gradasi biru kehijauan yang cukup menggoda. Beberapa wisatawan terlihat duduk santai di tepi pantai, ada yang bermain air, dan beberapa lainnya terlihat berayun di hammock yang diikat di antara dua pohon cemara.

"Eh foto-foto yuk. Ada tulisan Pantai Panjang juga," seru Ega.

Making memories together...

Jadilah kamu menghabiskan waktu beberapa saat di tepi pantai sambil mengambil memori sebagus mungkin. Toh kapan kembali lagi kesini kan?

Total kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Pulau Panjang sebelum memutuskan kembali ke Jepara. Meskipun singkat, pengalaman menjelajahi pulau kecil dengan hutan cemara yang rimbun, pantai berpasir putih, dan suasana santai cukup memberikan kesegaran di tengah perjalanan panjang kami. Kami kembali naik perahu menuju Jepara, bersiap untuk perjalanan selanjutnya ke Surabaya.

Dermaga sudah terlihat kembali menunjukkan kami sudah hampir selesai mengelilingi pulau

Saat perahu kembali merapat di Pelabuhan Kartini, waktu masih menunjukkan pukul 4 sore. Masih ada 2 jam sebelum bus kami berangkat ke Surabaya, jadi kami memutuskan untuk makan lebih dulu. Selesai makan, kami segera menuju Terminal Bus Jepara. Biarpun bus baru berangkat setelah magrib, kami lebih memilih standby lebih awal, karena lebih aman daripada buru-buru di menit-menit terakhir. Lagipula, lebih tenang rasanya kalau sudah sampai di terminal dan tinggal menunggu jadwal keberangkatan.


Surabaya...

Singkat cerita, setelah perjalanan darat yang panjang dari Jepara, kami sampai di Surabaya sekitar pukul 2 pagi. Terminal Bungurasih ternyata masih cukup ramai dengan orang-orang yang turun dari bus malam. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung memesan Grab untuk menuju kos masing-masing.

Begitu tiba di kos, aku merebahkan diri di kasur, menarik napas panjang, lalu pikiranku kembali memutar memori keindahan dua hari terakhir. Besok pagi aku sudah harus kembali bekerja, kembali ke rutinitas sehari-hari. Tapi bukankah justru perjalanan seperti ini yang membuat semangat kita terpompa lagi?

Setiap perjalanan selalu meninggalkan cerita. Dan perjalanan ini, dengan segala kejutannya—dari drama KMP Siginjai, penangkaran hiu, snorkeling cantik, ide spontan ke Pulau Panjang—akan tetap terkenang selamanya.

Dan tentu saja, aku abadikan dalam bentuk tulisan di blog ini. Agar kelak, ketika aku membaca ulang, aku bisa kembali mengingat semua detailnya dan menikmati setiap momen kecil yang membuat hidup ini lebih berwarna.

Finished...

3.09.2025

[4] Karimunjawa : Eksplor Pulau Menjangan Besar, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Menjangan Kecil

Part Sebelumnya : Disini

Ega, Aku dan Arin snorkeling di Pulau Menjangan Kecil

Hoammm... Pagi telah menyapa di Pulau Karimunjawa 🙂. Tidur kami semalam cukup nyenyak. Well, mungkin karena efek kurang tidur akibat perjalanan panjang dengan bus kemarin malam dari Surabaya ke Jepara. Aku melirik ke arah Ega dan Arin yang terlihat sudah bangun juga. Hari ini agenda kami - yang juga merupakan agenda utama setiap orang yang berkunjung ke Karimunjawa - yakni akan melaksanakan Island Hopping yaitu berkeliling pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Karimunjawa. Island Hopping ini sendiri aku booking dari agen tour lokal di Karimunjawa sini, dengan biaya yang sangat terjangkau yakni Rp 170.000/orang.

"Nanti gabung dengan traveler lainnya, Mbak, kumpul jam 9 di Pelabuhan Rakyat di sebelah barat Alun-Alun. Pulau yang dikunjungi ada Pulau Menjangan Besar untuk melihat penangkaran hiu, sehabis itu bergeser ke Pulau Cemara Kecil untuk makan siang menu ikan bakar dan setelahnya waktu bebas, kemudian setelahnya bergeser ke Pulau Menjangan Kecil untuk snorkeling. Nanti selesainya sekitar jam 5 sore," penjelasan Pak Arif - agen tour - via WA sewaktu aku booking untuk 3 orang.

"Siaap pak. Saya booking ya pak untuk 3 orang," jawabku bersemangat.

Pulau-pulau di sekitar Pulau Karimunjawa

Well, melihat itinerary-nya memang sangat menarik. Apalagi penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. Aku sudah sering melihatnya di media sosial, dan benar-benar pengen berenang langsung dengan hiu-hiu jinak tersebut.

"Siapa mau mandi duluan nih?" Tanyaku ke Arin dan Ega. 

"Aku duluan ya," jawab Arin.

"Iya Rin, habis itu kamu ya Ga. Terakhir aku," jawabku.

Setelah mandi dan bersiap, sekitar jam 6.30 kami keluar penginapan untuk mencari sarapan. Jalanan masih cukup sepi, hanya beberapa warung yang mulai buka. Kami berjalan santai sambil menikmati suasana pagi di pulau ini—orang-orang lokal yang ramah menyapa, beberapa wisatawan lain tampak baru keluar dari penginapan mereka. Kami akhirnya memilih sarapan di sebuah warung kecil yang menjual nasi campur. Rasanya sederhana, tapi nikmat. Kami juga sempat mampir ke Pelabuhan Karimunjawa untuk berfoto dengan sign "Selamat Datang di Karimunjawa", yaa sebagai kenang-kenangan. Maklum kemarin sampainya sini malam sehingga belum sempat foto. 

Selamat Datang di Karimunjawa

Kesibukan Pelabuhan Karimunjawa. Terlihat Kapal Express Bahari 9C yang bersiap kembali ke Pelabuhan Kartini di Jepara.

Setelah sarapan, kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang yang diperlukan untuk berkeliling pulau. Kami sudah mempersiapkan tas kecil berisi sunblock, kacamata hitam, air minum, dan beberapa camilan. Tak lupa, kamera dan HP untuk mengabadikan momen di nanti. Khusus untuk momen dibawah laut, agen tour mengatakan bahwa nanti masing-masing dari kami akan diberikan foto underwater. Setelah semuanya siap, kami bertiga jalan menuju Pelabuhan Rakyat sebagai titik pertemuan dengan Pak Arif, agen tour kami.

Suasana pagi hari di perkampungan Pulau Karimunjawa

Suasana pagi hari di perkampungan Pulau Karimunjawa

Sekitar jam 9 pagi, kami tiba di pelabuhan. Suasana di sana sudah cukup ramai oleh para peserta tour yang hari ini mempunyai jadwal yang sama dengan kami yakni keliling pulau. Tidak sulit bagi kami menemukan Pak Arif  setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang. Ternyata hampir semua peserta trip Pak Arif terlihat sudah berkumpul. Setelah diberi arahan sejenak, dan diberi pelampung yang wajib dipakai selama perjalanan, kami dipersilahkan naik ke perahu kayu motor berwarna biru putih. 

Setelah semua peserta naik, tepat jam 9 pagi kapal pun mulai berangkat meninggalkan Pulau Karimunjawa. Raungan mesin kapal menandai dimulainya perjalanan kami menuju pulau pertama: Pulau Menjangan Besar. Angin laut berhembus sejuk, membawa serta aroma khas asin yang menenangkan. Kami duduk di sisi kapal, menikmati pemandangan laut yang luas, dengan pulau-pulau kecil di kejauhan mulai terlihat. Air laut di sekitar kami tampak bergradasi dari biru tua ke biru muda,  pertanda bahwa perairan di sini cukup dangkal dan jernih.

Berangkaaat....

Perjalanan ke Pulau Menjangan Besar ditempuh dalam waktu 20 menit saja. Begitu kapal merapat di dermaga kayu, kami langsung disambut pantai dangkal dengan air berwarna biru kristal yang begitu jernih hingga dasar berpasir putihnya terlihat jelas. Air laut tersebut membentuk riak-riak kecil yang pecah perlahan di area pesisir. Cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air juga menciptakan kilauan yang indah, seperti serpihan kaca yang berkilau di atas biru laut. Di sekitarnya, pohon kelapa dan cemara laut melambai-lambai tertiup angin, menciptakan suasana tropis yang hangat.

Sambutan pemandangan laut biru kristal di Pulau Menjangan Besar

Sambutan pemandangan laut biru kristal di Pulau Menjangan Besar

Pulau Menjangan Besar ini paling terkenal dengan penangkaran hiu-nya. Sesampainya di sana, kami disambut oleh pemandu lokal yang menjelaskan tentang konservasi hiu yang ada di tempat ini. Kolam-kolam besar berisi hiu sirip hitam terlihat jelas. Meskipun kami datang cukup pagi, namun suasana penangkaran sudah cukup ramai dengan wisatawan dari agen tour lain. Beberapa peserta trip dengan berani masuk ke kolam untuk berenang dan berfoto bersama hiu. 

Sedikit cerita, penangkaran hiu ini mulai didirikan tahun 2002, dimana awalnya dibuat untuk konservasi dan pemeliharaan hiu, tetapi kemudian berkembang menjadi destinasi wisata, dimana pengelolanya adalah pihak swasta. Fungsi spesifi pendiriannya sendiri yaitu sebagai : 1) tempat konservasi dan pemeliharaan dimana penangkaran ini berfungsi untuk menjaga populasi hiu, terutama yang terancam akibat perburuan dan perdagangan sirip hiu 2) Sarana edukasi yakni pengunjung dapat belajar lebih banyak tentang hiu, kebiasaan hidupnya, serta pentingnya menjaga ekosistem laut selain itu 3)Wisata dan Interaksi dimana Wisatawan bisa berenang bersama hiu jinak di kolam penangkaran, sehingga menjadi pengalaman unik dan menarik.

Beberapa jenis hiu yang umum dijumpai di penangkaran ini ada 2 yakni Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus) yang memiliki karakter memiliki ujung sirip hitam, umumnya jinak dan sering terlihat di perairan dangkal; serta Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus) yang memiliki karakter Hidup di perairan dangkal berbatu, termasuk hiu yang cukup tenang dan tidak agresif.

Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus)

Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus)

Lantas, apa sebenarnya fungsi Hiu Blacktip Reef dan Hiu Sirip Putih di Ekosistem Laut? Setelah aku browsing, beginilah jawabannya:


Sebelum kami turun, pemandu penangkaran memberi beberapa arahan. "Jari-jari tangan diusahakan harus tetap di atas air. Soalnya kalau masuk kedalam air dan bergerak-gerak bisa dikira umpan/ikan kecil," katanya serius. "Jangan kecipak-cipuk air, tetap tenang."

Kami mendengarkan arahan dengan seksama. Well, meskipun hiu-hiu di penangkaran ini ukurannya masih relatif kecil—rata-rata kurang dari 1 meter —tetapi bagaimanapun mereka tetaplah predator. Naluri berburu mereka masih ada, dan itu yang membuat pengalaman ini bakal terasa sedikit menegangkan.

Setelah berdiskusi sejenak bertiga, akhirnya aku memutuskan untuk masuk lebih dulu ke kolam hiu. Aku menarik napas dalam, lalu jalan perlahan menuruni anak tangga kayu. Begitu kakiku menyentuh air, sensasi dingin bercampur hangat langsung terasa, kontras dengan teriknya matahari pagi ini.

Menunggu beberapa saat di kolam, beberapa hiu kecil langsung terlihat berenang di sekitarku. Tubuh mereka ramping, gerakannya begitu anggun di dalam air. Aku mengingat instruksi pemandu: tetap tenang, jangan bergerak tiba-tiba, dan yang paling penting—usahakan jari tangan tetap diatas air. Maka, aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, memastikan tidak ada gerakan yang bisa menarik perhatian mereka secara agresif.

Berenang bersama hiu jinak di Pulau Menjangan Besar

Hiu-hiu itu hanya melintas santai di dekatku, seolah mengamatiku sebentar sebelum kembali berputar ke arah lain. Aku bisa melihat sirip mereka naik sedikit ke permukaan, menciptakan gelombang kecil yang pecah perlahan di sekitar tubuhku. Sensasinya… luar biasa. Ada ketegangan, tapi juga keindahan melihat mereka begitu dekat tanpa sekat.

"Fotoin ya, Ga," kataku ke Ega, yang sedang berdiri di atas dermaga dengan ponselku.

"Siaaap!" jawabnya antusias, langsung mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Aku sempat melirik ke atas, melihatnya berkonsentrasi mencari angle terbaik. Aku berusaha tersenyum sewaktu foto, namun bisa dibilang, senyum dengan ketakutan. Hahaha...

Selama sekitar 10 menit aku menikmati pengalaman ini, membiarkan adrenalinku mengalir sementara hiu-hiu itu terus berenang di sekitarku. Akhirnya, aku kembali naik ke dermaga, meminta gantian dengan Arin dan Ega. "Oke, giliran kalian!" kataku sambil mengulurkan tangan untuk memberikan semangat.

Sebenarnya di penangkaran hiu ini ada beberapa kolam, dimana masing-masing kolam terisi oleh beberapa hiu kecil. Ada yang kolam kecil dan kolam besar. Namun kami memutuskan masuk ke satu kolam besar aja, "yang penting udah ada fotonya" itu prinsip kami bertiga hehe.

Wisatawan bermain dan berenang bersama hiu jinak

Hiu dikonservasikan pada beberapa kolam, dimana yang berada di kolam ini ukurannya masih agak kecil

Selanjutnya sembari menunggu peserta trip lain mengambil foto, kami duduk-duduk santai di sekitar Pulau Menjangan Besar. Hari ini wisatawan terlihat cukup ramai. Ya tidak heran sih, soalnya ini lagi libur panjang.

Ramainya wisatawan di penangkaran hiu

Kami bertiga berfoto di Pulau Menjangan Besar

Sekitar pukul 09.45, Pak Arif mulai memanggil dan mengumpulkan kami kembali. "Kita geser ke Pulau Cemara Kecil ya. Nanti makan siang disana," katanya ke seluruh peserta trip.

Beda dengan sebelumnya, kali ini perjalanan dari Pulau Menjangan Besar ke Pulau Cemara Kecil cukup jauh. Menurut peta jaraknya sekitar 10 km, dan kami tempuh dalam 30 menit. Air laut yang semua biru kristal secara perlahan mulai berubah menjadi biru tua semakin perahu melaju, menandakan laut yang semakin dalam. Ombak di sekitar perahu mulai terasa lebih kuat dibanding sebelumnya. Tidak sampai membuat kami oleng, tapi cukup untuk membuat perahu sedikit terayun-ayun. Aku duduk di tepi kapal, menikmati semilir angin yang membawa aroma laut yang khas. Matahari mulai terasa lebih terik, tapi angin laut membuat udara tetap sejuk.

Perahu terus melaju membelah laut, meninggalkan jejak buih putih di belakangnya. Dari kejauhan, kami mulai bisa melihat garis pantai Pulau Cemara Kecil—pulau kecil yang dikelilingi pasir putih dengan jejeran pohon cemara yang menjulang. Air di sekitar pulau itu tampak lebih tenang, berkilauan di bawah sinar matahari, kembali memancarkan gradasi biru kehijauan yang menenangkan. Dasar laut terlihat jelas, dihiasi oleh hamparan rumput laut yang menjulur lembut diatas pasir putih, bergoyang perlahan mengikuti arus yang nyaris tak terasa.

Sambutan pemandangan Pulau Cemara Kecil

Pulau Cemara Kecil menyambut kami dengan pasir putihnya yang halus, berpadu dengan pantai dangkal dengan air laut yang memantulkan warna biru kehijauan. Di sepanjang pantainya, deretan pohon kelapa menjulang, daunnya melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut yang khas. Dari tepi pantai, kami bisa melihat perbukitan menjulang yang sepertinya merupakan Pulau Cemara Besar.

"Jam 12 nanti berkumpul disini ya untuk makan siang. Sekarang jam bebas boleh keliling pulau atau foto-foto," pesan Pak Arif kepada kami peserta tour sesaat setelah turun dari kapal.

"Jalan-jalan aja dulu yuk foto-foto," kata Ega kepada kami berdua.

Kami langsung mengangguk setuju. Pantai di Pulau Cemara Kecil ini memang luar biasa indah—pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, serta suasana yang begitu tenang membuat kami ingin menikmati setiap sudutnya. 


Kami bertiga mengabadikan memori di Pulau Menjangan Kecil

Selain garis pantainya, bagian dalam Pulau Cemara Kecil ini sendiri tak kalah indah. Deretan pohon kelapa, pohon cemara, warung-warung yang terbuat dari anyaman bambu beratapkan daun kelapa membuat suasana sejuk yang entah kenapa terasa nyaman di hati.

Pesisir Pulau Cemara Kecil

Pesisir Pulau Cemara Kecil

Sesaat kemudian Pak Arif memanggil kami para peserta tour untuk makan siang. Kami segera bergabung dengan peserta trip lainnya yang sudah duduk melingkar di atas tikar yang dibentangkan di pasir. Angin pantai yang sejuk berhembus perlahan, membawa aroma ikan bakar yang menggoda selera. Asap tipis masih mengepul dari panggangan, menandakan ikan baru saja matang dengan sempurna.

Di tengah lingkaran, agen tour dengan cekatan membagikan porsi makan siang kami—nasi hangat yang mengepul, ikan bakar dengan bumbu meresap, serta sambal segar yang menggiurkan. Tak lupa, ada juga potongan timun dan sayur sebagai pelengkap. Di sebelahnya, es batu berjejer dalam wadah besar, siap dicampur dengan minuman segar untuk menyejukkan dahaga setelah seharian beraktivitas di bawah matahari.

Kami bertiga langsung mengambil tempat dan menikmati hidangan dengan lahap. Suasana santai dan kebersamaan terasa begitu hangat, dengan suara deburan ombak sebagai latar belakang alami. 

"Setelah selesai makan kita akan snorkeling ya. Nanti kalau sudah selesai langsung menuju ke kapal saja," pesan Pak Arif kepada kami peserta tour.

"Siaap pak," jawab kami kompak.

Sekitar jam 2 siang kami melanjutkan perjalanan menuju spot snorkeling dengan mengendarai kapal selama kurang lebih 20 menit. Saking jernihnya air, bahkan sebelum turun dari kapal kami sudah bisa melihat beberapa karang yang membentuk ekosistem laut dangkal disini, dimana yang paling utama adalah koral keras (hard coral) jenis karang bercabang (branching koral).

Berfoto diatas kapal..

Begitu masuk ke dalam air, pemandangan bawah laut langsung memukau kami. Di kedalaman beberapa meter, terumbu karang yang berwarna-warni tampak hidup dengan segala keindahannya. Salah satu yang paling mencolok adalah karang bercabang (branching koral) yang tumbuh rimbun, berwarna coklat kekuningan, membentuk semacam hutan bawah laut yang dihuni berbagai jenis ikan. Di antara karang-karang tersebut, aku bisa melihat ikan-ikan kecil seperti ikan Nemo, ikan putih belang hitam, ikan oranye, ikan hitam, yang ceria berenang di antara terumbu karang. Terkadang, ikan-ikan tersebut berkelompok, menciptakan gerakan yang begitu harmonis, seolah menyatu dengan lingkungan mereka. 

Kami snorkeling cukup lama, berputar ke sana kemari, menyusuri terumbu karang yang dipenuhi ikan-ikan berwarna-warni. Setiap sudut lautan seperti menyimpan kumpulan kehidupan baru—gerombolan ikan kecil yang berkilauan tertimpa cahaya matahari, bintang laut yang bertengger di antara karang, serta koral-koral yang menjadi 'rumah' bagi kehidupan laut yang sangat beragam tersebut. Arus air yang lembut membawa kami melayang perlahan.

Di tengah kekaguman itu, kakak pemandu snorkeling mulai berenang di sekitar kami, memastikan semua baik-baik saja. Ia mulai bertanya satu per satu, "Kakak sudah foto underwater?"

"Belum, Kak," jawabku sambil menyesuaikan masker yang sedikit berembun.

"Oke, kita foto dulu, ya, Kak. Pelampungnya dilepas dulu," ujarnya sambil bersiap membantu. "Saya akan dorong Kakak masuk ke dalam air. Setelahnya, coba pegangan di karang sebentar supaya posisinya stabil untuk difoto."

Aku mengangguk, sedikit gugup tapi juga bersemangat. Dengan hati-hati, aku melepas pelampung, lalu merasakan dorongan lembut dari pemandu yang membawaku sedikit lebih dalam. Begitu tanganku menyentuh permukaan karang yang kasar, aku mencoba tetap tenang, menyesuaikan posisi. Cahaya matahari yang menembus air menciptakan gradasi warna biru yang menawan, memperindah suasana.

Dalam hitungan detik, pemandu memberi isyarat untuk bersiap. Aku memasang ekspresi seceria mungkin, berusaha tampak natural di tengah air yang begitu jernih. Kamera underwater pun mengabadikan momen ini—sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan.

Snorkeling di dekat Pulau Menjangan Kecil. What a view....

Setelah memastikan semua peserta tur mendapatkan foto underwater masing-masing, kakak pemandu kembali berkeliling, memastikan semuanya masih menikmati snorkeling. Lalu, dengan senyum ramah, ia bertanya, “Ada yang mau foto underwater bareng teman-temannya?”

Aku, Arin, dan Ega langsung saling pandang dan tanpa ragu menjawab, “Mau, Kak! Hehehe.”

Beberapa kakak pemandu dengan sigap membantu kami. Satu per satu, mereka mendorong kami masuk ke dalam air, memastikan posisi kami tetap stabil agar hasil fotonya bagus. Aku merasakan dorongan lembut di punggungku, lalu tiba-tiba aku sudah berada di antara Arin dan Ega, melayang di dalam air, dikelilingi birunya lautan yang jernih.

Kami bertiga saling bergaya dengan gaya masing-masing, menahan tawa agar tidak keluar sebagai gelembung udara. Dalam beberapa detik, kamera menangkap ekspresi bahagia kami—momen kebersamaan yang begitu berharga. Aku menyukai ini. Masa muda yang penuh petualangan, terekam dalam satu foto underwater yang akan selalu membawa kami kembali ke momen ini—tiga sahabat, birunya lautan, dan petualangan yang tak terlupakan. 

'1,2,3 cheeese...'

Beberapa saat kemudian, para peserta tur mulai kelelahan setelah puas snorkeling. Satu per satu, mereka naik ke kapal, mengusap wajah yang masih basah dan melepas perlengkapan snorkeling dengan senyum puas. Aku sendiri masih merasa betah di air, tetapi akhirnya ikut naik juga.

Begitu semua sudah berkumpul, Pak Arif, pemandu kami, berdiri di depan kapal dan berkata, “Sekarang kita akan mampir ke tujuan akhir hari ini, yaitu Pulau Menjangan Kecil.”

Menurut peta, Pulau Menjangan Kecil terletak di sebelah barat Pulau Menjangan Besar, dan jaraknya sudah tidak jauh dari Pulau Karimunjawa. Kupikir, menghabiskan sore di sana sambil melihat matahari terbenam pasti akan jadi penutup sempurna untuk hari ini.

Perjalanan menuju Pulau Menjangan Kecil hanya sekitar 15 menit. Sepanjang perjalanan, kami menikmati hembusan angin laut yang sejuk, sementara kapal melaju dengan tenang di atas air yang semakin lama semakin berubah warna. Dari biru tua di tengah laut, perlahan air mulai bergradasi menjadi biru kehijauan, pertanda bahwa kami semakin dekat dengan pesisir.

Sambutan Pulau Menjangan Kecil

Dari atas kapal, dasar laut terlihat begitu jelas—rumput laut yang tumbuh subur di dasar laut melambai-lambai mengikuti arus yang tenang. Riak kecil terbentuk di permukaan, menciptakan bayangan yang berkilauan terkena sinar matahari sore. Beberapa kapal nelayan tertambat di kejauhan, dan bahkan ada satu kapal nelayan yang karam, menciptakan pemandangan yang kontras namun tetap menarik.

Kapal karam

Saat akhirnya kapal merapat ke pantai, pemandangan yang menyambut kami begitu menenangkan. Pasir putih yang bersih membentang di sepanjang pantai, dihiasi pohon-pohon kelapa dan cemara laut yang tertiup angin. Beberapa warung kecil berdiri di tepi pantai, menawarkan makanan ringan dan minuman segar. Di kejauhan, perbukitan hijau terbentang, menambah kesan eksotis pulau ini.

Dermaga Pulau Menjangan Kecil

Tidak banyak yang bisa kami lakukan selain duduk santai di pasir, menikmati sore yang damai. Angin sepoi-sepoi berhembus, langit perlahan berubah warna keemasan, menandakan senja mulai mendekat.

Perbukitan dari Pulau Menjangan Kecil

Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah ayunan yang tertambat di salah satu pohon di tepi pantai. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, Ega sudah lebih dulu berseru, “Foto yuk sama ayunan!”

Tanpa berpikir panjang, kami bertiga langsung berlari ke sana, bergantian berpose di ayunan sambil tertawa-tawa. Ada yang berayun tinggi, ada yang bergelantungan, dan ada juga yang hanya duduk santai menikmati momen.

“Ini dia, gaya Ega paling keren!” seruku sambil tertawa melihat hasil fotonya.

Main ayunan...

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Pulau Menjangan Kecil, menikmati setiap detik hingga matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Sore itu, langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi semburat jingga keemasan. Beberapa awan tipis menggantung di langit, sedikit menutupi matahari yang akan kembali ke peraduan, tetapi tidak mengurangi keindahannya.

Cahaya jingga tajam memantul di permukaan laut, menciptakan kilauan emas yang berpendar mengikuti riak air. Siluet kapal-kapal nelayan tampak begitu kontras di kejauhan, seolah menjadi bagian dari lukisan alam yang sempurna. Ombak kecil sesekali menyapu pasir pantai, membawa serta buih-buih putih yang perlahan menghilang.

Kami berjalan menuju tepi pantai, ingin mengabadikan momen ini dalam foto. Pasir yang mulai terasa sejuk di bawah kaki berpadu dengan semilir angin laut yang membawa aroma asin khas lautan.

Kissing the sunset...

“Ini keren banget, lihat cahaya di langit!” seru Arin sambil mengangkat kameranya.

Kami bergantian berpose dengan latar belakang matahari yang perlahan turun ke cakrawala. Siluet tubuh kami berpadu dengan rona jingga dan merah di langit, menciptakan bayangan yang dramatis.

Sunset...

Berfoto di Pulau Menjangan Kecil sebelum kembali

Tidak berapa lama kemudian, suara Pak Arif terdengar memanggil kami semua untuk kembali ke kapal. “Ayo, teman-teman! Waktunya kembali ke Karimunjawa,” serunya. 

Meski masih ingin menikmati sunset di Pulau Menjangan Kecil sampai benar-benar tuntas, kami tahu perjalanan harus berlanjut. Langit semakin gelap, tetapi semburat jingga keemasan masih tersisa di cakrawala, menciptakan perpaduan warna yang begitu indah. Satu per satu, kami menaiki kapal, membawa serta lelah yang manis setelah seharian penuh petualangan.

Selamat tinggal Pulau Menjangan Kecil...

Mesin kapal dinyalakan, menggetarkan permukaan air yang tenang. Perlahan, kami meninggalkan Pulau Menjangan Kecil, membelah lautan yang mulai temaram. Siluet kapal-kapal nelayan tampak samar di kejauhan, menyatu dengan langit yang berangsur gelap. Cahaya matahari yang semakin redup menciptakan pantulan jingga di permukaan air, seperti jalur emas yang mengantar kami pulang.

Sea and sunset..

Selama perjalanan, tidak banyak yang berbicara. Sebagian dari kami hanya duduk menikmati hembusan angin laut, sementara yang lain sesekali melihat kembali foto-foto yang telah diambil sepanjang hari. Aku menyandarkan kakiku di sisi kapal, membiarkan setiap indraku menangkap momen ini sebelum harus kembali ke rutinitas.

Thank you for the experience, Karimunjawa..

Tak butuh waktu lama, sekitar 15 menit kemudian, kami sudah tiba kembali di Pelabuhan Rakyat Karimunjawa. Lampu-lampu pelabuhan mulai menyala, menyambut kepulangan kami. Dengan langkah santai, kami berjalan kaki kembali ke penginapan, masih tenggelam dalam euforia perjalanan hari ini.

Sesampainya di penginapan, kami langsung mandi untuk menghilangkan sisa garam dan pasir yang masih menempel di kulit. Setelah itu, kami keluar lagi mencari makan malam, menikmati hidangan hangat sambil sesekali tertawa melihat foto-foto kebersamaan kami.

Hari ini akan selalu menjadi bagian dari memori indah yang kami kenang dalam waktu lama. Sebuah perjalanan yang bukan hanya tentang tempat yang kami kunjungi, tetapi juga tentang kebersamaan yang membuat segalanya lebih berharga.


Part Selanjutnya : Disini