Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.26.2025

Solo, 25 Maret 2010 : Menjelang UAN Ekonomi - Akuntansi, Antara Pasrah dan Doa 😁 !

Solo, 25 Maret 2010

Let's go back ke cerita nostalgia! Haha. Salah satu topik penulisan di blog-ku yang paling aku sukai, karena membuatku mengenang masa-masa aku masih bocah SMA yang ababil wkwkwk.. Jadi cerita ini aku ingat dari status Facebook-ku 15 tahun silam, tepatnya pada 25 Maret 2010. Saat itu jam 10 malam, aku sedang dirumah (Perumahan GN), dan sedang belajar keras karena besok akan mengikuti Ujian Akhir Negara (UAN) mata pelajaran Ekonomi - Akuntansi. Saat itu UAN sangat penting banget ya karena menentukan kelulusan kita dari SMA. Jadi kami memang benar-benar harus belajar keras materi Ekonomi - Akuntasi dari kelas X-XII yang buanyaaak banget. Padahal udah mulai belajar sejak dari sore pulang UAN mapel sebelumnya, tapi rasanya kok ga selesai-selesai ini materi. Berikut merupakan status FB yang kumaksud dan ceritanya.


Malam itu tanggal 25 Maret 2010, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku duduk di meja belajar dengan mata yang mulai berat, buku-buku ekonomi berserakan. Materi dari kelas X sampai XII seperti gunung yang tak kunjung bisa kudaki sepenuhnya. Rasanya otakku sudah overload. Materi ekonomi itu luas banget, dari teori klasik sampai grafik kurva yang naik-turun bagai hidup remaja penuh kegalauan. Ujian Akhir Nasional tinggal hitungan jam, dan aku masih merasa belum benar-benar siap.

“Kenapa materi ekonomi banyak banget sih, GUSTI...” gumamku dalam hati. Aku merasa seperti sedang mengejar kereta yang sudah hampir berangkat, tapi kakiku tertahan oleh waktu dan keterbatasan tenaga.

Akhirnya, dengan kepala penuh angka, teori permintaan-penawaran, elastisitas, dan APBN, aku menulis sebuah status Facebook. Isinya? Doa pasrah yang kocak sekaligus tulus. Aku bilang, “kuserahkan materi yang belum bisa kupelajari lagi karena masalah keterbatasan waktu ini padaMU...” Semoga apa yang sempat kupelajari bisa nyangkut di otak meski cuma kulihat sekilas-sekilas.

Tulisan itu kutulis dalam kondisi setengah pusing, pasrah, setengah berharap, dan sepenuhnya memohon campur tangan Tuhan. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Dan keesokan harinya...26 Maret 2010

Ternyata, Tuhan mendengar. Soal-soal UAN Ekonomi tidak seekstrem yang kutakutkan. Memang ada materi kelas X dan XI, tapi tidak se-mendetail yang kubayangkan. Banyak yang justru fokus pada materi kelas XII, yang masih segar dalam ingatan karena baru kupelajari dalam beberapa bulan terakhir.

Aku bisa mengerjakan dengan cukup lancar. Tidak sempurna, tentu. Tapi juga tidak tersungkur. Saat itu aku merasa lega... semua kepanikan malam sebelumnya ternyata terlalu didramatisir oleh rasa takutku sendiri. Sewaktu pengumuman nilai UAN, aku agak lupa, sepertinya nilai UAN Ekonomi-Akuntansiku saat itu ada di angka 8 koma sekian—aku sendiri jujur nggak ingat lagi, saking udah lamanya. Hehe.

Dan hari ini...26 Mei 2025

Hari ini, 26 Mei 2025, 15 tahun berselang sejak malam itu. Usiaku sudah 33 tahun wkwk. Aku membaca kembali status Facebook lamaku dan tersenyum geli—juga sedikit terharu. Anak remaja yang dulu menulis dengan penuh doa dan kekhawatiran itu... sekarang sedang menulis ini, sambil mengenang, bahwa kita semua pernah muda, pernah takut, dan pernah pasrah sepenuhnya, berharap semesta memberi sedikit kelonggaran.

Dan kadang, keajaiban memang datang bukan karena kita belajar sempurna, tapi karena kita cukup berusaha... dan sisanya diserahkan pada semesta.

5.15.2025

[2] China-Tibet 2025 : Persiapan yang cukup menguras fisik, mental dan duit😅

Akhir Februari 2025.
Waktu keberangkatan sudah semakin dekat, dan itu artinya—waktunya mengurus visa China. Karena aku tinggal di Solo, maka kota terdekat untuk urus visa adalah Konsulat Jenderal China di Surabaya. Dari sinilah rangkaian persiapan teknis beneran dimulai. Semua yang sebelumnya cuma wacana, sekarang mulai terasa nyata dan mendesak.

Hal pertama yang kulakukan adalah memantapkan kembali itinerary kasar yang udah lama aku susun, sebagai syarat penting untuk pengajuan visa. Karena aku akan berpindah kota cukup sering selama di China, satu hal krusial yang harus diamankan terlebih dahulu adalah:
tiket kereta cepat antar kota.

Aku sempat belajar kalau pembelian tiket kereta cepat di China baru dibuka H-14 sebelum tanggal keberangkatan. Tapi untungnya, lewat aplikasi Trip.com, kita bisa booking duluan hingga H-30. Sistemnya: kita bayar dulu, lalu Trip.com akan otomatis membelikan tiket itu saat penjualan resmi dibuka. Aman banget buat traveler yang nggak mau kehabisan. Akhirnya aku booking tiket-tiket penting ini:

  1. Kunming – Lijiang
  2. Lijiang – Shangri-La
  3. Shangri-La – Dali
  4. Dali – Kunming
  5. Chengdu – Huanglong Jiuzhai
  6. Huanglong Jiuzhai – Chengdu

Huahhh... lega rasanya. Setelah semua pembelian tiket kereta selesai, setidaknya aku tahu spine dari itinerary ini udah terbentuk kuat.

Lanjut ke bagian yang lebih “berani”:
membeli tiket pesawat ke Tibet.

Masalahnya, nggak semua agen penerbangan mau jual tiket ke Lhasa karena untuk masuk Tibet harus punya Tibet Travel Permit (TTP). Tapi untungnya, aku nemu satu website: eDreams, yang masih memungkinkan pembelian tiket Kunming – Lhasa tanpa harus input TTP.
Aku pun beli tiket ini via China Eastern Airlines.

Setelah itu aku cari tiket keluar dari Lhasa menuju Chengdu. Beberapa hari hunting, dan akhirnya ketemu harga yang masuk akal:
1,8 juta rupiah dengan Lucky Air, sudah termasuk bagasi.
Aku sempat baca bahwa Lucky Air ini adalah maskapai budget asal Kunming, jadi wajar banyak rute dari Tibet ke arah barat daya China mereka tangani.

Terakhir, bagian penutup petualangan:
tiket pulang ke Asia Tenggara.
Setelah pencarian yang cukup intens, aku memutuskan beli tiket Shenzhen Airlines dari Chengdu ke Kuala Lumpur, transit di Shenzhen. Harganya oke, waktunya pas, dan yang penting: landing di KL, yang punya banyak opsi bus/kereta murah ke Indonesia kalau mau overland.

Dan begitu semua tiket itu terbeli—dari kereta, pesawat domestik, hingga tiket pulang—aku duduk di depan laptop dan rasanya…
LEGAAA BANGET.
Akhirnya, pondasi perjalanan ini sudah benar-benar terbentuk.

Tapi tentu, masih ada target selanjutnya yang harus dituntaskan:

  • Booking penginapan di setiap kota, biar tenang dan nggak bingung pas sampai
  • Booking aktivitas penting yang butuh slot jauh-jauh hari, seperti:
    • Tiket + cableway ke Yulong Snow Mountain di Lijiang
    • Tiket masuk Taman Nasional Jiuzhaigou

Perjalanan besar ini sudah mulai punya bentuk. Tinggal satu per satu dilengkapi detailnya, dan aku siap melangkah ke petualangan paling ambisiusku sejauh ini.

Proses booking-booking itu… bener-bener bikin lelah.
Lelah fisik karena harus mantengin layar lama banget, klik sana-sini, bandingin review, buka peta, cek fasilitas. Dan lelah mental karena ya… duit keluar terus, tanpa jeda. Satu klik, ratusan ribu melayang. Belum bayar visa, udah keluar lagi buat tiket kereta. Belum beli tiket cable car, udah harus bayar hostel.

Tapi aku sadar, ini pilihanku sendiri.
Dan seperti pepatah bilang: kalau sudah terlanjur basah… ya sekalian berenang sekalian lah!
Jadi setelah beberapa hari mental cooldown, aku lanjut lagi:
Booking hotel-hotel tempat nginap di setiap kota.

Kriteriaku sih simpel dan sangat manusiawi:

  1. Lokasi harus strategis—tengah kota, deket pusat keramaian traveler atau spot populer kayak kota tua, pasar malam, atau jalur backpacker. Biar gampang nyari makan dan suasana nggak sepi.
  2. Harga maksimal 250 ribu rupiah per malam—karena ini trip panjang dan nginepnya banyak malam, budget harus dikontrol banget.
  3. Toilet dan shower harus berdekatan. Bukan demi drama air panas, tapi demi satu hal: cebok.
    Ya, aku butuh shower yang bisa ditarik ke WC, karena hidup adalah tentang kebersihan.
    Wkwkwk… kebutuhan dasar, tapi krusial.

Prosesnya nggak sebentar. Aku buka satu per satu kota:
Kunming, Dali, Lijiang, Shangri-La, Chengdu, Jiuzhaigou.
Liat peta, zoom in lokasi, baca review, filter harga, intip foto kamar mandinya—yes, foto kamar mandi itu penting! Dan akhirnya aku nemu satu aplikasi yang cocok banget buat semua ini yaitu trip.com.

Pilihan akomodasinya banyak banget, mulai dari yang super murah sampai fancy.
Tapi enaknya, banyak hostel atau hotel lokal China yang hanya muncul di Trip.com, bukan di platform barat seperti Booking atau Agoda.

Satu demi satu, aku kunci semua penginapan.
Dan walaupun prosesnya makan waktu, begitu semua udah ter-booking, rasanya kayak:
“Oke… satu layer stres lagi terangkat.”

Sekarang tinggal lanjut ke persiapan akhir: booking aktivitas yang harus dirampungkan dari jauh-jauh hari.

Traveling ke China kali ini benar-benar jadi proses persiapan paling panjang dan terdetail yang pernah kulakukan. Nggak seperti perjalanan-perjalananku sebelumnya yang kadang serba spontan dan "yaudah nanti cari di tempat", kali ini semua harus dirancang dengan teliti—dari rute, visa, tiket kereta, tiket pesawat, hotel, sampai itinerary harian.

Setelah semua hotel resmi terbooking, tinggal satu langkah lagi sebelum aku bisa benar-benar bilang:
“Semua siap!”

Yaitu:

  1. Booking Tiket + Cableway ke Yulong Snow Mountain di Lijiang
  2. Booking Tiket Masuk Taman Nasional Jiuzhaigou

Sebelum nekat langsung klik “book now”, aku menyempatkan waktu untuk mempelajari dulu detail aktivitas di Yulong Snow Mountain. Karena bukan cuma sekadar naik cable car dan foto-foto salju doang, ternyata kompleks ini luas dan punya banyak spot menarik.

Berikut poin-poin penting yang aku pelajari tentang Yulong Snow Mountain:

  • Ada beberapa cableway (kereta gantung) dengan ketinggian dan tujuan yang berbeda. Yang paling populer dan tinggi adalah:

    • Glacier Park Cableway: naik ke ketinggian 4.506 meter (ini yang iconic)
    • Yak Meadow Cableway dan Spruce Meadow Cableway: ketinggian lebih rendah, tapi lebih tenang dan view-nya luas
  • Tiket masuk kawasan Yulong Snow Mountain itu terpisah dari tiket cableway. Jadi kita harus beli dua tiket: satu untuk kawasan, satu lagi untuk cable car-nya. Biasanya juga ada tambahan biaya shuttle bus wajib, karena kendaraan umum/pengunjung tidak boleh masuk langsung ke area cable car.

  • Di atas, ada oksigen tipis, jadi banyak orang beli tabung oksigen kecil sebelum naik cable car. Ini penting apalagi kalau badan lagi kurang fit.

  • Cuaca dan suhu bisa sangat dingin, bahkan saat musim semi, jadi jaket tebal dan sarung tangan wajib hukumnya.

  • View di atas luar biasa: pemandangan salju, pegunungan, dan langit biru jernih yang benar-benar bikin takjub. Nggak heran kalau tempat ini sering disebut “Swiss-nya China”.

Setelah yakin ngerti sistemnya, barulah aku akan lanjut ke proses booking tiketnya secara online, supaya saat tiba di Lijiang, aku tinggal tunjuk bukti booking dan langsung berangkat.

Persiapan sudah hampir 100%.
Tiket-tiket pesawat sudah di tangan, kereta cepat udah dibooking, semua hotel sudah terkunci, bahkan aktivitas-aktivitas penting seperti Yulong Snow Mountain dan Jiuzhaigou pun sudah direncanakan matang. Sekarang tinggal satu langkah krusial terakhir sebelum semuanya resmi siap:
Mengajukan visa China.

[1] China-Tibet 2025 : Kenapa China dan Tibet?

Asal muasal aku tertarik mengunjungi China sebenarnya cukup simpel. Sepanjang tahun 2024, banyak konten reels maupun tiktok tentang wisata China yang membanjiri FYP-ku. Awalnya aku cuma scroll-scroll iseng, tapi kok lama-lama jadi sering banget muncul video yang menunjukkan tangga-tangga yang membelah gunung-gunung berkabut, desa-desa tradisional yang sepi tapi luar biasa indah, padang rumput luas yang seakan-akan dekat banget dengan awan, kota modern dengan lampu warna-warni futuristik, pegunungan berwarna-warni dan pegunungan yang mirip latar film Avatar. 

Perasaanku waktu nonton tentu aja terkagum-kagum. 

"Lho, ini beneran ada di dunia nyata? Dan itu… di China?!" 

 Serius, vibe-nya tuh nggak main-main. Ada yang keliling naik kereta gantung menembus awan di Zhangjiajie, ada yang eksplor desa-desa cantik seperti Wuyuan atau Xidi, terus ada juga yang jalan-jalan malam di kota Chongqing atau Chengdu yang suasananya kayak gabungan antara cyberpunk dan budaya tradisional. Belum lagi kalau lihat jalan setapak di puncak gunung Huashan yang ekstrem tapi cantik banget—surreal, kayak dunia fantasi. Dan entah kenapa, narasi tentang China yang selama ini kudengar—yang katanya ribet, susah, atau penuh batasan—kayak bertolak belakang banget sama apa yang aku lihat dari para konten kreator. Mereka dengan santai bisa naik kereta cepat, jajan di night market, dan interaksi sama warga lokal yang kelihatan ramah dan helpful. 

Dari situ muncul rasa penasaran: "Aku harus lihat sendiri nih. Bener nggak sih seindah itu? Se-tidak nyata itu pemandangannya?" 

Dan karena aku tipe orang yang nggak bisa puas cuma dengan nonton, akhirnya China resmi menjadi tempat yang kukunjungi tahun 2025 ini. Dan karena aku suka tujuan antimainstream, serta lokasinya sudah berdekatan dengan China - sayang banget untuk dilewatkan - maka aku memutuskan untuk menambahkan juga Mongolia ke dalam perjalanan ini.

Selanjutnya aku pun mulai serius mencari tahu tentang kota mana aja ya yang cocok buat aku kunjungi? Aku sadar banget, minat wisataku lebih ke alam yang dramatis, budaya lokal yang kental, dan sejarah. Jadi aku butuh destinasi yang bukan cuma cantik di kamera, tapi juga punya cerita dan nuansa.

Setelah beberapa minggu mengulik—dari nonton vlog, baca blog, sampai buka-buka peta digital dan rute kereta—akhirnya aku menyusun draft rencana perjalananku ke China, dan ini destinasi awal yang kupilih:

1. Zhangjiajie
Udah pasti masuk daftar teratas. Pemandangannya kayak dunia lain—gunung batu menjulang tinggi, kabut tipis yang melayang di antara tebing, dan jembatan-jembatan kaca yang bikin lutut gemeter. Tempat ini katanya jadi inspirasi dunia Pandora di film Avatar, dan dari video-video yang aku tonton, suasananya memang kayak negeri dongeng. Alamnya luar biasa, dan cocok banget buat aku yang suka mendaki atau sekadar eksplor tempat-tempat yang bikin speechless.

2. Shaolin Temple 
Sebagai pecinta budaya dan spiritual, aku nggak mungkin melewatkan kunjungan ke Kuil Shaolin, yang terletak di kaki Gunung Song, provinsi Henan. Tempat ini nggak cuma terkenal sebagai pusat seni bela diri legendaris, tapi juga punya sejarah panjang sebagai biara Buddha Chan (Zen). Aku ingin melihat langsung para biksu Shaolin berlatih kungfu, mengunjungi kuil tua yang tenang, serta menjelajah Pagoda Forest, kompleks pemakaman kuno yang ikonik. Tempat ini adalah perpaduan antara kekuatan fisik dan ketenangan batin—kombinasi yang sangat menarik buatku.

3. Beijing
Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi Beijing pada tahun 2017, tapi tetap saja kota ini masuk lagi ke daftar. Kenapa? Karena masih banyak tempat yang dulu belum sempat aku jelajahi. Dan jujur aja, aku juga nggak masalah balik lagi ke Tembok Besar China—buatku, pemandangannya tetap luar biasa walau dikunjungi lebih dari sekali. Selain itu, Beijing jadi titik strategis karena dari sinilah aku akan terbang menuju Mongolia. Jadi sekalian saja aku sempatkan eksplor ulang—mungkin kali ini dengan sudut pandang berbeda dan itinerary yang lebih santai.

Setelah puas eksplor China, aku akan lanjut ke negara kedua yaitu Mongolia dengan penerbangan langsung dari Beijing. Entah kenapa, bayangan tentang padang rumput luas, tenda-tenda yurt, dan kehidupan nomaden di bawah langit biru Mongolia itu sangat menggoda. 


Berubah Pikiran karena Racun Yunnan
Nah, di suatu waktu yang random, aku ngobrol via chat Instagram dengan Mbak Piksan, travelmate-ku tahun 2012 ke India. Saat itu karena lagi menyelesaikan penulisan trip-ku ke Kolkata, aku meminta file foto-foto kita di Kolkata yang dia punya. Karena aku inget banget, saat itu memori kameraku habis sehingga seluruh foto di Kolkata pakai kamera Mbak Piksan. Di tengah obrolan ringan tentang rencana perjalananku ke China—aku sebutin target ruteku saat itu: Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing g, dan lanjut ke Mongolia—eh, Mbak Piksan malah nyeletuk santai:

“Kalau kamu suka alam, kamu harus ke Yunnan juga.”

Yunnan? Waduh, dimana ini?? nambah lagi nih…

Aku pun refleks buka Google Maps. Dan ternyata, provinsi Yunnan itu letaknya di barat daya China, berbatasan langsung dengan Vietnam, Laos, dan Myanmar. Aku belum pernah dengar banyak soal tempat ini sebelumnya, jadi rasa penasaranku langsung meningkat tajam.

Seperti biasa, langkah pertamaku: buka TikTok.
Ketik: Places to visit in Yunnan
Scroll… scroll…
Dan kemudian…
OMG.

Video demi video memperlihatkan keindahan Yunnan yang benar-benar luar biasa! Ada Kota tua Lijiang dengan atap-atap kayunya yang rapi dan sungai kecil yang mengalir di antara rumah-rumah tradisional. Pegunungan bersalju di Yulong Snow Mountain yang berdiri megah di bawah langit biru. Desa kuno Shuhe, Danau Erhai yang tenang, sawah bertingkat di Yuanyang yang katanya setara dengan Banaue di Filipina, dan jalan setapak di Shangri-La yang seperti di dunia fiksi.

Dan vibe-nya beda banget dari tempat-tempat China yang biasanya muncul di media. Di Yunnan, aku merasa seperti menemukan sisi lain China—yang lebih tenang, lebih hijau, lebih etnik, dan penuh budaya lokal dari suku-suku minoritas seperti Bai, Naxi, hingga Tibetannya.

Aku bahkan sempat mikir:
“Ini Yunnan kok kayak gabungan antara Swiss, Tibet, dan Kyoto sekaligus?”
Cantik banget, tapi dengan harga ala backpacker. Wkwk.

Sejak saat itu, daftar perjalananku pun resmi bertambah: Yunnan harus masuk!
Dan entah kenapa, makin ditambah justru makin bikin semangat. Eh, makin pusing! Wkwkwk...

Sejak itu, jujur aja… aku malah mulai “selingkuh” dari tujuan awal perjalananku. Zhangjiajie yang tadinya jadi bintang utama perlahan mulai tenggelam di bayang-bayang Lijiang, Dali, Shangri-La, dan—kalau keterusan—sampai ke Tibet segala. Bukan karena Zhangjiajie nggak menarik ya, tapi vibe Yunnan itu beda. Lebih luas, lebih dalam, dan… lebih magis.

Semakin aku ngulik, semakin yakin:
Yunnan bukan cuma destinasi, tapi perjalanan spiritual dan visual.

Kota tuanya bukan sekadar lucu buat foto-foto, tapi hidup dengan budaya lokal. Lanskapnya bukan cuma pemandangan, tapi kombinasi antara danau, pegunungan salju, padang rumput, dan desa-desa etnik yang seolah berhenti di waktu. Bahkan, jalan darat dari Lijiang ke Shangri-La itu katanya salah satu rute tercantik di China barat daya. Apalagi kalau sempat nyerempet Tibet… wah, makin nggak bisa mikir lurus.

Tapi realitanya:
Waktu travelingku biasanya cuma 2–3 minggu. Dan dengan durasi segitu, aku tahu harus memilih. Mau fokus di satu wilayah biar eksplorasi lebih dalam, atau sekadar lari-lari dari satu tempat ke tempat lain cuma demi checklist.

Jadi aku mulai mikir serius:
Yunnan, atau kombinasi Zhangjiajie dan Mongolia?

Dan semakin aku mempertimbangkan…
Aku pun mulai memantapkan diri ke satu arah: YUNNAN.
Kenapa? Karena:

  • Secara logistik, lebih ringkas. Banyak tempat indah berdekatan: Lijiang, Dali, Shaxi, Shangri-La, semua bisa dijangkau darat.
  • Alamnya bervariasi: danau, gunung, kota tua, padang rumput, hutan pinus, hingga desa Tibet.
  • Budayanya kental dan beragam: suku Bai, Naxi, Tibetan, dan lainnya.
  • Lebih minim turis asing dibanding Zhangjiajie dan Beijing, jadi lebih otentik.
  • Dan yang paling penting: vibe-nya klik banget sama aku.

Mongolia dan Zhangjiajie? Mungkin nanti. Tapi Yunnan sekarang terasa seperti panggilan yang terlalu kuat untuk diabaikan.

Kenapa akhirnya aku ambil keputusan ini? Ya karena logika dan hati nurani travelingku bersekongkol bilang: "Ini yang paling masuk akal dan paling menyenangkan."

Pertama, dari sisi rute dan konektivitas, Yunnan menang telak. Begitu aku landing di Kunming, aku udah punya banyak pilihan ke mana-mana—tinggal naik kereta cepat atau bus jarak jauh. Semua tempat kece itu, kayak Dali, Lijiang, Shaxi, Shangri-La, bahkan kalau mau ekstrem lanjut Tibet, masih satu provinsi. Transportasi mudah, waktuku efisien, dan bisa eksplor lebih dalam.

Bandingin sama Zhangjiajie—ya, dia tetap spektakuler dan fotogenik banget, tapi setelah puas eksplore taman nasionalnya, aku bingung: “Abis ini ke mana?” Jarak ke destinasi besar lainnya lumayan jauh, dan jalur pindahnya nggak semulus di Yunnan. Kalau nggak hati-hati, bisa banyak waktu kebuang di jalan.

Kedua, soal Mongolia—ini alasan yang bikin aku nyengir sendiri. Awalnya sih semangat banget mau ke sana, ngebayangin hamparan padang rumput, yurt, kuda-kuda liar, dan kehidupan nomaden. Tapi begitu ngecek suhu rata-rata Ulaanbaatar bulan Maret...

Minus. Sampai. Nol. Derajat.

Langsung keinget trauma waktu di Murmansk tahun 2024, waktu aku harus eksplor sambil tangan kayak balok es dan hidung rasanya copot. Wkwkwk… No thanks, ga lagi deh! Suhu segitu itu bukan dingin lucu-lucu, tapi dingin yang membuat sangat tidak nyaman bahkan bisa menyebabkan hipotermia. Apalagi kalau harus naik angin kencang di dataran luas Mongolia. Bisa auto menyerah sebelum lihat satu pun yurt.

Jadi ya gitu, Yunnan bukan cuma pilihan terbaik, tapi juga yang paling manusiawi buat aku saat ini. Pemandangannya indah, budayanya kaya, aksesnya gampang, dan suhunya bersahabat. 


Mengambil Keputusan....

Desember 2024, aku lagi kerja freelance di Kopi Kenangan seperti biasa. Duduk di pojok bar, sesekali bantu ngatur konten atau handle project, sambil tetap ngebatin: “Kapan ya aku beneran klik tombol book flight itu?”

Padahal rencana ke Yunnan udah bulat. Itinerary sudah dirancang dengan penuh semangat. Tapi tetap aja, jari-jari ini belum juga berani menekan “beli tiket”.

Dan setelah beberapa minggu mantengin AirAsia, akhirnya aku berhadapan dengan dua pilihan keberangkatan pesawat dari Kuala Lumpur–Kunming (ibukota Provinsi Yunnan):

  • Yang pertama: lebih murah, tapi sampai Kunming jam 2 pagi.
  • Yang kedua: agak mahal, tapi sampai Kunming jam 5 sore.

Awalnya ngiler sama yang murah, tapi cepat sadar:
Landing jam 2 pagi = tidur di bandara atau naik taksi tengah malam.
Tidur di kursi keras, dingin, dan kemungkinan tidak tidur semalaman? No, thanks. Aku nggak mau memulai petualangan dengan badan sakit semua dan mata setengah melek.

Akhirnya, meski hati sempat bimbang, aku pun memilih yang jam 5 sore.
Agak mahal, iya. Tapi setidaknya aku bisa keluar bandara dengan tenang, naik metro, dan langsung ke hostel tanpa drama. Dan bisa tidur nyaman malam itu. Karena aku sadar—perjalanan ini panjang, dan aku harus mulai dengan kondisi terbaik.

Akhirnya… setelah berkali-kali buka-tutup aplikasi, mantengin harga, galau antara hemat atau nyaman—aku klik juga tombol itu.

Tiket KL–Kunming seharga 1,6 juta rupiah resmi kubeli.

YEAYYY!

Akhirnya, aku beneran berangkat ke Yunnan!

Perasaan campur aduk waktu itu: antara lega dan excited. Karena rasanya beda ya, antara wacana dan eksekusi. Setelah sekian lama cuma ngelamun liatin Lijiang di TikTok, baca-baca pengalaman orang ke Shangri-La, dan nge-save puluhan itinerary random, sekarang aku tinggal nunggu waktu buat benar-benar menginjakkan kaki di Yunnan.

Tiket pulang?
Belum aku beli. Dan memang sengaja.

Karena aku masih belum tahu akan berapa lama di China. Bisa 2 minggu, bisa lebih. Bisa juga aku ketagihan dan malah pengin eksplor kota lain dulu sebelum balik. Apalagi belum tahu juga nanti aku akan balik dari kota mana—Kunming lagi, atau mungkin dari Chengdu, atau bahkan kota perbatasan lain kalau aku tergoda lanjut ke negara tetangga. Wkwkwk.

Yang pasti, satu langkah besar udah aku ambil.
Dan itu artinya: petualangan ke Yunnan resmi dimulai.


Tibet terlalu menggoda....

Sejak aku beli tiket ke Kunming itu, bukannya tenang malah pikiran mulai berkecamuk. Tiba-tiba muncul keinginan baru yang datang tanpa diundang:

“Gimana kalau sekalian ke Tibet aja ya?”

Wkwkwk... dasar manusia, emang nggak pernah puas. Baru beli tiket satu, udah mulai ngelirik destinasi lain. Tapi ya begitulah aku—semakin dekat ke petualangan, semakin banyak imajinasi liar yang muncul.

Kenapa tiba-tiba pengin ke Tibet juga?

Ya karena beberapa alasan yang cukup kuat (dan sedikit impulsif):

Pertama, aku sadar selama beberapa tahun belakangan ini, aku cenderung memilih destinasi yang agak anti-mainstream. Yang nggak semua orang tempuh. Kalau semua orang ke Paris, aku malah pengin ke Balkan. Kalau semua orang ke Tokyo, aku ngelirik Mongolia. Nah, Yunnan—meskipun sangat cantik dan menarik—mulai terasa cukup mainstream karena sudah banyak muncul di FYP TikTok dan vlog-vlog backpacker. Tibet?

Nah ini! Masih rare, masih penuh misteri, dan sangat spiritual.

Kedua, aku pikir-pikir…
mumpung masih punya tabungan dan tenaga.
Aku tahu pergi ke Tibet nggak semudah booking hostel terus naik bus. Perlu tenaga, adaptasi dengan ketinggian, dan biaya yang nggak kecil juga. Tapi ya itu, kapan lagi? Badan masih bisa diajak jalan jauh, kaki belum rewel, dan mental masih kuat naik kereta 30 jam kalau perlu.

Ketiga, secara geografis:
Tibet itu udah tinggal ‘selangkah’ dari Yunnan.
Dari Shangri-La atau Lijiang bisa tembus ke perbatasan Tibet. Bahkan kalau mau jalur dramatis bisa lewat Chengdu dan naik kereta ke Lhasa yang katanya salah satu perjalanan kereta tercantik di dunia. Bayangin aja—hamparan padang luas, langit biru bening, kuil-kuil Buddhis, dan biara-biara megah yang berdiri di tengah lanskap epik.

Aduh... makin dibayangin makin pengin.
Dan sekarang aku di persimpangan: fokus di Yunnan aja atau gas sekalian ke Tibet?

Aku udah tahu dari lama bahwa untuk masuk Tibet nggak bisa mandiri, apalagi sebagai foreigner—harus ikut tur resmi dari operator China mainland. Sejak pemikiran "Tibet sekalian aja, yuk!" muncul, berhari-hari aku tenggelam dalam browsing paket-paket tur Tibet.

Pilihannya banyak dan bervariasi:

  • Ada yang 3 hari, cuma eksplor Lhasa dan sekitarnya—kuil-kuil utama, Potala Palace, dan pasar lokal.
  • Lalu ada 5 hari buat yang mau mulai nyicip daerah luar Lhasa.
  • Terus lanjut ke 7 hari, 8 hari, 9 hari—semakin panjang, semakin liar rutenya.

Dan dari semua itu, paket yang bikin aku naksir berat adalah yang 7 hari.
Kenapa?

Pertama, karena dia masukin EBC (Everest Base Camp) ke dalam rute.
Yes, EVEREST BASE CAMP, guys. Walaupun cuma sampai titik pandangnya dari sisi Tibet, tapi udah cukup banget buat bikin merinding. Bayangin berdiri di tengah padang tandus tinggi, dengan angin dingin yang menggigit, lalu di depan kita berdiri gagah gunung tertinggi di dunia—itu pasti pengalaman yang nggak akan pernah bisa aku lupakan.

Kedua, emang bener… harganya lumayan mahal—hampir 900 USD.
Tapi setelah aku kalkulasi ulang:

  • Ini udah termasuk akomodasi 6 malam
  • Transportasi darat selama tur
  • Guide lokal
  • Biaya permit Tibet
  • Tiket masuk ke tempat wisata
  • Beberapa makanan juga ada yang include

Dan kupikir: masih masuk akal.
Dengan segala pengalaman yang ditawarkan—dari kota suci Lhasa, Danau Yamdrok yang biru banget, Biara Gyantse dan Shigatse, sampai kaki Gunung Everest—harga segitu bukan lagi soal mahal, tapi soal sepadan atau nggaknya. Dan menurutku: ini sepadan banget.

Jadi sejak saat itu, aku mulai serius mempertimbangkan:
“Kalau beneran ke Yunnan… bisa nggak ya lanjut sampai Tibet, ikut tur 7 hari ini?”
Rasanya kayak mimpi yang tiba-tiba jadi mungkin. Dan aku tahu, sekali nekat, aku bakal bersyukur seumur hidup.

Setelah berhari-hari browsing, buka tab demi tab, baca review dan bandingkan itinerary, akhirnya aku memberanikan diri mengisi form enquiry di Asia Odyssey Travel—agen tour yang setelah kuulik, ternyata memang salah satu yang terbesar dan paling kredibel di China buat perjalanan ke Tibet.

Awalnya deg-degan juga. Ini bukan booking hostel biasa atau tiket kereta, tapi masuk ke wilayah “serius”—minta permit Tibet dan daftar tur resmi. Tapi dalam dua hari, aku dapat balasan email dari seorang agen bernama Mr. Wang, dan dari situlah awal mula segala percakapan dimulai.

Mr. Wang menjelaskan semuanya dengan cukup detail dan sabar. Dia jelasin soal itinerary hari demi hari, dokumen yang dibutuhkan, jenis akomodasi, hingga rute perjalanan menuju Everest Base Camp. Tapi yang bikin aku makin mantap adalah ketika dia bilang:

“Untuk pembayaran bisa dicicil 3x.”

Loh? Serius nih?
Bisa dicicil?!

Langsung terasa kayak semesta kasih angin—karena jujur, harga hampir 900 USD itu lumayan nguras tabungan kalau harus bayar sekaligus. Tapi dengan skema cicilan ini, rasanya jauh lebih doable. Aku bisa bayar sebagian dulu, lalu sambil kerja dan nabung untuk pelunasan sebelum tanggal tur dimulai.

Dan di titik itulah… aku berhenti mikir.
Aku memutuskan: Iya. Aku akan ke Tibet.

Tiba-tiba semuanya terasa nyata. Aku bukan lagi sekadar traveler yang mengintip Tibet dari layar ponsel, tapi bakal benar-benar menjelajahi atap dunia. Dari Lhasa sampai EBC. Dari kereta panjang yang menembus dataran tinggi, sampai biara-biara sunyi yang berdiri anggun di bawah langit biru.

Tibet bukan lagi mimpi. Dia sekarang jadi tujuan.
Dan petualangan besar ini… baru saja dimulai.

Setelah obrolan panjang dengan Mr. Wang, aku segera melakukan pendaftaran resmi. Aku mengirimkan scan paspor dan membayar DP tahap pertama—tanda bahwa aku benar-benar serius menapaki jalan ke Tibet. Dari sekian banyak tanggal keberangkatan, aku memilih yang paling pas dengan rencana perjalanan panjangku: 2–8 April.

Mr. Wang juga memberi catatan penting:
“Satu bulan sebelum keberangkatan, visa China harus sudah dikoleksi.”

"Oke, aku akan mengurus visanya bulan Februari. Aku akan mengirimkannya lewat email ini kalau sudah selesai."

Simple, tapi rasanya kayak menandatangani kontrak dengan takdir.

Sekarang semua sudah jelas:

  • Tiket ke Kunming sudah dibeli
  • Tur Tibet sudah di-book
  • Visa akan segera menyusul
    Tapi kemudian muncul pertanyaan besar berikutnya yang membuatku kembali termenung sambil ngeteh sore di pojokan:
    “Setelah Tibet… aku mau ke mana?”

Mau mampir ke Chengdu lihat panda?
Mau lanjut ke Xi’an napak tilas Dinasti Tang?
Atau sekalian lintas batas ke negara baru? Laos? Vietnam? Atau malah balik ke Yunnan dan slow travel dulu di desa-desa cantik itu?

Menurut kontrak yang dikirimkan Mr. Wang, aku sudah di-lock untuk masuk Tibet tanggal 2 April dan keluar tanggal 8 April.

Dan ini bukan tanggal fleksibel kayak check-in hostel biasa—ini tertera resmi di Tibet Travel Permit, dokumen yang mengatur semua gerak-gerik wisatawan asing di wilayah tersebut.

“Karena tanggal masuk dan keluar tertulis di Tibet Travel Permit,” begitu kata Mr. Wang. Jadi ya, aku nggak bisa seenaknya datang lebih awal atau extend setelah tanggal 8.

Untuk masuk dan keluar Tibet, aku punya dua pilihan realistis: kereta atau pesawat. Dan meskipun kereta dari Lhasa ke kota-kota besar China itu terkenal dengan jalur paling tinggi dan paling epik di dunia, tapi setelah kupikir-pikir:

  • Perjalanan naik kereta bisa 36–48 jam sekali jalan,
  • Keretanya memang sleeper, tapi punggungku bukan lagi punggung bocah,
  • Dan ternyata… harga tiket keretanya hampir sama dengan pesawat.

Akhirnya dengan segala kebijakan ala tubuh jompo dan logika traveler hemat tapi realistis, aku pun memutuskan naik pesawat aja. Simpel, cepat, dan hemat tenaga buat eksplor lagi setelahnya.

Lalu muncullah fase berikutnya:
“Kalau keluar dari Tibet tanggal 8 April… aku mau landing di kota mana, ya?”

Beberapa hari aku browsing—mantengin peta, buka aplikasi flight search, cek harga, dan ngebandingin rute. Aku cari kota yang:

  • Masih dalam jangkauan harga pesawat dari Lhasa,
  • Harga tiket kembali ke Singapura/Malaysia/Indonesia juga realistis,
  • Dan tentu saja… kota itu punya daya tarik untuk dijelajahi.

Akhirnya kesimpulan datang.
Tiga kandidat kuat muncul:
Chengdu, Chongqing, dan kembali ke Kunming.

Dan dari semua itu, dengan segala pertimbangan dan rasa penasaran, aku memilih: Chengdu.

Alasannya?

  • Harga tiket dari Lhasa ke Chengdu masih masuk akal
  • Dari Chengdu ke Jakarta/KL/Singapura juga banyak pilihan maskapai dan tanggal fleksibel
  • Dan yang paling penting: Chengdu punya PANDA!
    Dan hotpot. Dan suasana kota besar yang chill, plus akses mudah ke spot alam dan budaya di sekitarnya.

Jadi, setelah dari dataran tinggi Tibet, aku akan “turun gunung” ke Chengdu—mungkin untuk leyeh-leyeh, ngelus panda, atau sekadar menenangkan hati setelah petualangan luar biasa dari atap dunia.

Awalnya aku pikir, "Udah lah, di Chengdu cukup 2 harian aja, santai-santai sebelum pulang ke Indonesia."

Rencana simpel: jalan-jalan di kota, makan hotpot, ngelus panda, leyeh-leyeh di hostel yang proper. Setelah petualangan Tibet, rasanya memang butuh istirahat.

Tapi ya… namanya juga aku.Nggak bisa diem. Dan nasib sialnya (atau beruntungnya?) aku iseng search kata ‘Chengdu’ di grup backpacker FB, dan…
BOOM. Satu nama muncul dan langsung mencuri hatiku:

Taman Nasional Jiuzhaigou.

Waduhhh apalagi ini???
Aku langsung scroll foto-fotonya: danau bening biru toska, air terjun bertingkat, dedaunan warna-warni, gunung di kejauhan. Kayak… bukan bumi.
Cantik banget. Gila!

Awalnya aku nahan-nahan diri:
“Nggak, jangan dicari lebih lanjut, nanti kepincut…”
Tapi ya tetep aja, jari-jari ini malah makin gesit buka info.
Dan ternyata—bukan di Chengdu.
Jiuzhaigou itu lokasinya sekitar 400 km dari Chengdu, dan untuk ke sana…

  • Bisa naik bus 10 jam langsung ke kota Jiuzhaigou
  • Atau kereta cepat 3 jam ke Stasiun Jiuzhai Huanglong Airport Station, lanjut bus 1,5 jam ke pusat kota Jiuzhaigou

Oh ya ampun… harus naik kereta, sambung bus lagi.
Aku pikir abis dari Tibet bisa langsung rebahan santai di kota. Tapi ini malah tergoda naik gunung lagi. Wkwkwk, memang dasar traveler haus keindahan.

Tapi semakin aku searching, semakin jelas rasanya. Taman ini nggak bisa dilewatkan. Buat pecinta alam—dan itu jelas aku—Jiuzhaigou tuh kayak surga.
Satu taman nasional, penuh danau sebening kaca, air terjun berlapis-lapis, hutan berwarna pelangi, dan udara pegunungan yang segar banget.

Akhirnya, aku menyerah…
"Awhhh sudahlah! Aku harus ke sini!"
Wkwk… capek? Mungkin. Tapi menyesal kalau nggak ke sini? PASTI.

Menimbang semua energi yang akan terkuras setelah pulang dari Tibet, plus perjalanan darat yang lumayan menguras fisik ke Jiuzhaigou, aku akhirnya memutuskan untuk menambahkan 4 hari ekstra setelah tanggal 8 April. Karena ya, kalau mau menikmati Taman Nasional Jiuzhaigou dengan layak—tanpa terburu-buru, tanpa ngos-ngosan, tanpa badan ngilu—aku butuh waktu.

"Kurasa tanggal 12 April waktu kepulangan yang tepat," gumamku dalam hati sambil menatap kalender.

"Nanti aku hunting tiket pulangnya dulu ah," lanjutku sambil mematikan laptop.
Mataku rasanya pedih karena seharian ini kerjaannya cuma satu: browsing.
Browsing kota, transportasi, harga tiket, review hostel, dan… tentu saja, video-video TikTok yang bikin makin gak tahan.

Dan akhirnya, kerangka itinerary perjalananku terbentuk:

23 Maret – 2 April
Eksplorasi Yunnan
(Dari Kunming – Dali – Lijiang – Shaxi – Shangri-La)

2 – 8 April
Ikut tur ke Tibet
(Lhasa – Yamdrok Lake – Gyantse – Shigatse – Everest Base Camp)

8 – 12 April
Eksplor Chengdu dan Jiuzhaigou
(Makan hotpot, ngelus panda, lalu lanjut ke surga tersembunyi Jiuzhaigou)

Itinerary ini aku rasa terasa seimbang, yaitu diawali dengan eksplorasi budaya dan alam di Yunnan yang adem, lalu naik ke puncak spiritual dan petualangan berat di Tibet, dan diakhiri dengan penutup epik di Jiuzhaigou, yang aku yakin akan membuatku pulang dengan hati dan galeri penuh.

OK, siap eksekusi !

[15] Balada Eropa : Kepulangan Bersama Scoot Air!

Jadwal penerbangan kepulanganku dari Athena ke Singapura hari ini adalah pukul 2 siang. Sebuah penerbangan langsung, direct flight, yang akan memakan waktu sekitar 12 jam. Cukup panjang, tapi aku siap.

Hari ini rasanya campur aduk—antara excited dan lega.
Lega karena akhirnya, trip besar pertamaku ke Eropa ini hampir selesai... dan bisa dibilang cukup lancar. Meskipun sempat kacau di awal—dengan drama HP hampir hilang, kamera hampir hilang, salah tanggal sehingga harus membatalkan eksplore Paris, tidak tidur 2 malam dan langsung ikut day trip di Iceland—tapi semuanya bisa kulalui. Aku bangga sama diriku sendiri karena tetap bertahan. Tetap jalan walaupun diawal hampir menangis menyerah.

Tapi juga excited... karena jujur aja, aku udah kangen berat sama makanan Indonesia. Kepiting asam pedas, bakso, mie ayam, sayur asem, soto daging, awhhh. Bahkan nasi putih hangat aja dan telur udah mewah banget rasanya di bayanganku. Dua minggu terakhir di Eropa ini aku benar-benar harus irit. Banyak makan seadanya—kadang mi instan, kadang roti isi yang aku ga begitu cocok rasanya. Perutku sudah protes dari kemarin, minta sesuatu yang berbumbu, yang berkuah, yang pedas dan kaya rasa.

Akhirnya jam 9 pagi, aku check out dan mulai melangkah keluar dari Sparta Hostel. Rencananya, aku akan naik metro untuk menuju bandara. Untungnya, dari pusat kota bisa langsung naik Line 3 (jalur biru) yang menuju Athens International Airport tanpa perlu ganti jalur. Dan karena aku masih punya one day pass, tiketnya masih berlaku jadi nggak perlu keluar uang lagi—hemat, kan?

Waktu check out, aku tidak menjumpai lagi Sofia. Entah dia sudah pergi duluan atau masih di kamar. Tapi dalam hati aku cuma bisa berharap: semoga perjalanannya lancar, dan hidupnya dilimpahi keberuntungan—ya, semacam harapan baik walaupun kita hanya sempat kenal sebentar.

Sampai di stasiun metro, aku tidak perlu menunggu lama—metronya datang tepat waktu. Aku naik dan duduk di pojokan, menikmati perjalanan menuju Bandara Internasional Athena. Waktu tempuhnya sekitar 40 menit, tapi entah kenapa terasa cepat. Mungkin karena pikiranku melayang ke banyak hal.

Dari balik jendela metro, aku melihat pemandangan kota Athena yang perlahan menghilang. Inilah momen-momen terakhirku di kota ini, bahkan di Eropa. Sebentar lagi aku akan meninggalkan benua penuh biru ini—biru lautnya, biru langitnya, biru rasa tenangnya. Aku akan kembali ke Asia, ke negaraku, ke rutinitasku yang kadang terasa membosankan tapi tetap berarti. Dan itu juga berarti: perjalanan berikutnya... masih harus menunggu waktu lagi.

Tanpa sadar, lamunanku membawaku sampai di bandara Athena. Karena aku tiba cukup awal, aku memilih duduk-duduk dulu di area keberangkatan. Aku buka tas, cek ulang semua barang—paspor, dompet, charger, snack sisa, semua aman.

Sekitar jam 11 siang, aku pun mulai bergerak ke area check-in, menyerahkan bagasi, dan lanjut masuk ke area boarding. Setelah melewati imigrasi dan pemeriksaan barang, aku tiba di gate. Di sana, aku duduk sambil menunggu waktu boarding—mengamati orang-orang dari berbagai negara yang juga sedang bersiap kembali... entah ke mana. Tapi aku? Aku siap pulang.

Akhirnya boarding pun tiba dan para penumpang dipersilakan naik ke pesawat Scoot Air, yang berbadan lebar. Pesawat yang digunakan adalah Boeing 787 Dreamliner, dengan konfigurasi tempat duduk 3-3-3. Aku cukup beruntung karena mendapat kursi dekat jendela meskipun tidak memilih sebelumnya. Sementara di barisku, bagian tengah kosong, memberi sedikit ruang ekstra untuk selonjor atau bersandar. Di sisi kanan, dekat lorong, duduk seorang cewek Asia—sendiri juga, kelihatannya.

Aku memang tidak memesan makanan sebelumnya, jadi aku sudah antisipasi dengan membawa beberapa snack dari hostel. Air minum juga sudah aku isi ulang dari tempat pengisian di Bandara Athena, jadi untuk penerbangan panjang ini aku cukup siap. Pesawat ini tidak terisi penuh, jadi suasananya lebih tenang dan tidak sesak. Perjalananku kembali ke Asia pun dimulai dari sini, dari kursi dekat jendela, sambil melihat langit biru Eropa yang makin menjauh.

Pesawat akhirnya menderu meninggalkan landasan Bandara Athena. Perjalanan panjang pun dimulai—direct flight menuju Asia, menempuh waktu sekitar 12 jam. Seperti biasa, setelah take off dan lampu sabuk pengaman dimatikan, aku langsung bersiap untuk posisi tiduran, mencoba menghemat tenaga dan waktu.

Sekitar dua jam setelah mengudara, pramugari mulai membagikan makanan bagi penumpang yang sudah memesan sebelumnya atau membeli makanan onboard. Karena aku masih punya bekal snack dan belum terlalu lapar, aku santai saja, tidak ikut antre.

Tapi memasuki jam ketiga, keempat, perut mulai memberontak. Aku akhirnya memanggil pramugari dan memesan Pop Mie serta minuman hangat. Pembayaran kulakukan dengan sisa-sisa poin euro yang aku punya—lumayan, masih cukup.

Beberapa jam berikutnya perjalanan berlangsung cukup mulus. Ada sedikit turbulensi, tapi tidak mengganggu, hanya sesekali terasa goyangan kecil. Yang menyenangkan, cewek Asia yang tadi duduk di sisi lorong ternyata memutuskan pindah ke baris lain. Alhasil, aku punya tiga kursi sendiri—sebuah kemewahan tak terduga di penerbangan ekonomi. Langsung saja aku manfaatkan untuk selonjor dan rebahan, lumayan buat menyambung tidur yang tidak pernah benar-benar nyenyak.

Sekitar 11 jam penerbangan, pilot akhirnya mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat. Prosedur standar pun dimulai—kursi ditegakkan, meja dilipat, jendela dibuka. Di momen itu, aku mulai bisa melihat langit Singapura dari balik jendela. Ada rasa lega yang langsung mengalir. Ini aku... sudah kembali ke Asia.

Perasaan itu campur aduk—antara senang, nyaman, dan lapar. Iya, lapar. Aku langsung terbayang makanan-makanan Asia yang lebih familiar dan berani bumbu. Nggak sabar banget rasanya mau makan yang pedes, gurih, berempah. Ya, Singapura dulu juga nggak apa-apa. Toh makanan Melayu, Cina, India, ya sebelas dua belas lah... kalau lagi beruntung bisa nemu nasi padang juga.

Nggak lama setelah itu, pesawat Scoot benar-benar mendarat dengan mulus di Bandara Changi. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Welcome back to Asia, yeay. Udara tropis, bau kopi, dan antrian imigrasi pun siap menyambut.

Akhirnya aku landing juga di Bandara Changi. Pemeriksaan imigrasi berjalan lancar, cepat dan nggak banyak tanya. Begitu keluar dari area kedatangan, hal pertama yang langsung kulakukan adalah... cari makan. Perut udah keroncongan sejak di pesawat.

Aku mampir ke salah satu food court dan memesan nasi dengan daging—plus es teh tarik dingin. Rasanya... luar biasa. Bener-bener nendang, bumbunya masuk banget ke mulutku, dan sensasi dingin teh tarik itu jadi penyelamat setelah belasan jam di udara. Perut kenyang, hati tenang, walau tubuh agak limbung karena istirahat yang kurang. Ya gimana, kan penerbangannya kayak meloncat waktu. Berangkat dari Athena jam 2 siang, tahu-tahu nyampe Singapura jam 7 pagi keesokan harinya.

Tapi ya, meskipun jetlag masih menggantung di kelopak mata, perjalanan belum selesai. Karena besok aku sudah harus kerja, jadi hari ini aku langsung lanjut perjalanan darat ke Kuala Lumpur. Tiket pesawat pulangku ke Indonesia—dari Kuala Lumpur ke Surabaya—berangkat dari sana. Jadi perjalanan Eropa-ku resmi ditutup dengan satu etape terakhir: kembali menyusuri daratan Asia Tenggara.

Dari Bandara Changi, akhirnya aku memutuskan naik metro menuju Stasiun Kranji. Perjalanannya cukup panjang, sekitar satu jam lebih dikit, tapi lancar dan nyaman seperti biasanya kalau naik MRT di Singapura.

Sampai di Kranji, aku langsung keluar dan naik bus menuju perbatasan Singapura–Malaysia. Prosedur imigrasi di dua sisi—Woodlands dan Johor Baru—cukup cepat meskipun sempat antri. Dari situ, aku lanjut naik bus lokal menuju Terminal Johor Baru.

Di Terminal Johor Baru, aku nggak lama-lama, langsung cari bus lanjutan menuju Kuala Lumpur. Perjalanan daratnya lumayan panjang, sekitar enam jam. Tapi pemandangan di sepanjang jalan cukup menghibur—bukit, hutan, dan langit yang mulai meredup seiring waktu. Akhirnya aku sampai di Kuala Lumpur menjelang sore hari. Badan lelah, tapi senang karena perjalanan panjang dari Eropa ini akhirnya mulai mendekati garis akhir.


Sampai Kuala Lumpur, aku tiba di TBS—Terminal Bersepadu Selatan. Dari situ aku langsung lanjut naik bus lagi menuju KLIA2 karena penerbanganku ke Surabaya dijadwalkan malam itu juga. Sebelumnya, aku sempat mampir sebentar ke KL Sentral untuk makan. Rasanya senang banget bisa duduk tenang sambil menikmati makanan hangat di tengah perjalanan panjang yang hampir tanpa henti.

Begitu tiba di KLIA2, aku segera check-in, lewat imigrasi, pemeriksaan barang, lalu masuk ke gate untuk boarding. Tidak lama kemudian, pesawat lepas landas membawa aku pulang... menuju Surabaya.

Aku mendarat di Surabaya malam itu juga. Rasanya campur aduk—lega karena akhirnya sampai rumah, lemas karena badan benar-benar capek, dan sedikit males karena tahu besok harus langsung kerja lagi. Tapi ya begitulah hidup. Kenyataan harus dihadapi, meskipun raga masih separuh tertinggal di langit Eropa.

Tapi tenang... aku sudah punya satu hal yang bikin semangat lagi: trip selanjutnya di bulan Agustus dimana aku akan ke Vietnam bareng dua teman kerjaku serta di bulan September (jika aku dapat visa USA) ke Hawai'i. Petualangan belum selesai—thank you for everything Europe!

5.14.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 18: Samsara: Lingkaran Tanpa Akhir dari Keinginan dan Ketidakpuasan

 

Dalam ajaran Buddha, samsara dipahami sebagai siklus kehidupan yang tiada akhir—rangkaian kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali yang digerakkan oleh keinginan (tanha), ketidaktahuan (avijja), dan kemelekatan (upadana). Namun samsara tidak hanya merujuk pada siklus kelahiran kembali dalam pengertian literal, melainkan juga mencerminkan pola batin yang berlangsung terus-menerus dalam keseharian kita—perputaran tanpa henti antara harapan dan kekecewaan, pencapaian dan kekosongan, cinta dan kehilangan.

Kita hidup di dalam lingkaran itu, bahkan sering kali tanpa menyadarinya. Kita berpikir, “Kalau aku sudah punya pekerjaan tetap, aku akan bahagia.” Lalu ketika sudah mendapat pekerjaan itu, muncul lagi keinginan baru: “Aku ingin gaji yang lebih tinggi.” Setelah gaji naik, muncullah keinginan lain: “Sepertinya aku harus beli rumah sendiri.” Dan setelah rumah terbeli, rasa tenang tak juga datang—malah muncul kekhawatiran soal cicilan, renovasi, atau rasa kesepian dalam rumah itu.

Contoh lainnya, seseorang merasa hidupnya akan lebih bahagia kalau punya pasangan. Ia merasa "sendiri itu menyedihkan." Tapi setelah memiliki pasangan, ternyata muncul keinginan-keinginan baru: ingin pasangannya lebih perhatian, lebih romantis, lebih sukses. Saat pasangan tidak sesuai harapan, muncullah konflik, kekecewaan, dan penderitaan. Kadang kita bahkan melupakan bahwa dahulu, kita pernah sangat bersyukur hanya karena tidak lagi merasa sendirian.

Atau dalam hal yang lebih sederhana—misalnya makanan. Kita merasa sangat ingin makan sesuatu yang lezat, mungkin martabak manis coklat keju. Kita beli, kita makan, dan ya, memang enak. Tapi kepuasan itu hanya berlangsung sebentar. Setelahnya, muncul rasa bersalah karena terlalu banyak gula, atau bahkan rasa hambar karena ternyata tak seperti yang dibayangkan. Hari berikutnya, kita kembali mencari makanan lain yang lebih memuaskan. Begitu terus, tak ada habisnya. Inilah bentuk samsara dalam pengalaman yang sangat dekat dengan kita.

Sering kali, penderitaan muncul bukan karena apa yang kita miliki atau tidak miliki, melainkan karena cara kita bereaksi terhadap perubahan. Kita ingin hal-hal menyenangkan bertahan selamanya, dan hal-hal yang tidak menyenangkan segera pergi. Padahal, dalam ajaran Buddha, semua fenomena—perasaan, keadaan, hubungan, bahkan hidup itu sendiri—adalah anicca, tidak kekal, dan akan terus berubah.

Dalam Dhamma, jalan untuk keluar dari lingkaran ini dimulai dari sati, atau kesadaran penuh. Kesadaran untuk melihat bahwa keinginan yang timbul dalam batin bukanlah musuh, tetapi juga bukan sesuatu yang harus selalu dituruti. Dengan mempraktikkan mindfulness, kita belajar untuk mengamati pikiran dan emosi kita—termasuk dorongan untuk mengejar, mempertahankan, atau menolak sesuatu—tanpa harus selalu bereaksi terhadapnya.

Melihat pikiran sebagai fenomena yang datang dan pergi, bukan sesuatu yang kekal.

Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, saat merasa jengkel karena seseorang tidak membalas pesan kita dengan cepat. Sebelum bereaksi, kita bisa diam sejenak, menyadari bahwa kejengkelan itu muncul karena kita berharap orang lain merespons sesuai waktu yang kita inginkan. Saat kita menyadari keinginan itu, kita bisa memilih untuk melepaskannya. Tidak perlu menekan emosi, hanya melihat, mengakui, dan melepaskan. Dengan latihan seperti ini secara konsisten, kita perlahan mulai membebaskan diri dari kecenderungan reaktif yang membuat hidup kita lelah dan penuh kekecewaan.

Pemahaman akan samsara tidak membuat kita menjadi apatis atau kehilangan semangat hidup. Justru sebaliknya, kita belajar bertindak tanpa didorong oleh dorongan haus yang tak berujung. Kita tetap bekerja, menjalin hubungan, menikmati hidup—tetapi dengan kesadaran bahwa semua itu bersifat sementara. Maka, ketika hal-hal itu berubah atau hilang, kita tidak runtuh, karena kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang fana.

Pada akhirnya, kebebasan dari samsara bukan tentang pergi ke tempat lain, tetapi tentang berdamai dengan kenyataan sebagaimana adanya. Menyadari bahwa keinginan dan ketidakpuasan adalah bagian dari hidup, dan kita bisa belajar melepaskannya tanpa kehilangan arah. Ketika kita mampu hidup di tengah perubahan dengan hati yang lapang dan tidak melekat, saat itulah kita mulai mencicipi rasa damai yang tidak tergantung pada apa pun. Di tengah dunia yang terus berputar, kita menemukan titik hening di dalam diri.

5.13.2025

[14] Balada Eropa : Setengah Hari Eksplor Athena bersama Sofia !

Jam setengah 6 pagi keesokan harinya, aku sudah siap turun ke lobi. Udara masih dingin, langit masih setengah gelap, dan suasana penginapan terasa sangat hening. Di depan sudah menunggu mobil yang akan mengantarkanku ke Pelabuhan Santorini.

Driver-nya seorang laki-laki muda, tampak santai, dengan hoodie hitam dan wajah masih sedikit ngantuk. Dia tidak banyak bicara—hanya mengangguk sambil memastikan tujuanku, “To Athinios Port, right?” Aku mengiyakan, lalu kami langsung berangkat, meninggalkan Villa Castelli yang masih tertidur.

Perjalanan menuju pelabuhan berlangsung dalam hening yang tenang. Jalanan sempit berkelok-kelok, menuruni bukit dengan pemandangan bayangan gelap tebing dan atap-atap putih rumah yang mulai terlihat samar-samar oleh cahaya fajar. Di beberapa titik, aku bisa mengintip laut yang masih tertutup kabut tipis di kejauhan, seperti sedang menyimpan rahasia pagi.

Mobil sesekali melambat saat melewati tikungan tajam atau jalanan menurun yang cukup curam. Aku sempat berpikir, "Ini kalau siang pasti indah banget ya pemandangannya." Tapi di pagi gelap ini, yang terasa justru aura magis dan sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar hanya deru mesin mobil dan gesekan ban dengan aspal kasar.

Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai juga di Pelabuhan Athinios. Deretan lampu pelabuhan menyala terang, kapal-kapal mulai terlihat bersandar, dan para penumpang pelan-pelan berdatangan. Saat turun dari mobil, aku sempat nengok ke argo waktu, dan batinku cuma bisa bilang, "Yaa... 25 euro buat jarak segini? Hadeh. Tapi setidaknya sampai juga dengan selamat dan tepat waktu"

Begitu sampai di Pelabuhan Athinios, aku langsung berjalan menuju area tempat kapal bersandar. Di kejauhan sudah tampak Blue Star Ferry—kapal yang akan mengantarkanku menyeberang ke Athena pagi ini. Dari luar, kapal itu tampak besar dan kokoh, dengan logo biru-kuning khas yang langsung mencolok di tengah suasana pelabuhan yang masih agak remang.

Penampilannya cukup elegan, ya. Bukan kapal kecil ala antar-pulau yang kumal, tapi ini benar-benar ferry besar yang bikin aku agak tenang membayangkan 6 jam di atas laut Aegea.

Saat aku sedang melangkah pelan mendekat ke arah boarding gate, tiba-tiba ada suara teriakan dari arah kios makanan kecil:
“Hey! Do you want a beer?”
Aku spontan nengok, agak bingung. Like what? Beer jam 6 pagi gitu?
Langsung refleks aku jawab,
“No thanks.”
Wkwk, bukan waktunya gan...

Tapi karena aku sadar belum makan apapun dari tadi pagi—dan perjalanan ini bakal makan waktu cukup panjang—aku tetap mampir ke kiosnya. Di sana aku akhirnya membeli satu sandwich besar seharga 4 euro. Lumayanlah buat sarapan dan ngganjel perut sampai nanti siang. Selain itu aku juga ambil satu botol minuman rasa buah—nggak tahu rasanya kayak apa, tapi semoga bisa jadi penyegar selama perjalanan.

Meskipun dari luar Blue Star Ferry ini terlihat cukup megah dan keren, aku masih sedikit skeptis, ya. Maksudku... ferry gitu lho. Pengalamanku selama ini naik kapal ferry di Indonesia tuh ya... you know lah, kadang tempat duduknya keras, toiletnya questionable, dan kebersihannya... ya gitu deh. Jadi, aku tetap pasang ekspektasi rendah waktu mulai naik.

Tapi ternyata... begitu aku masuk ke dalam kapal, hal pertama yang kurasakan adalah: aku benar-benar kagum, guys.

Serius. Begitu masuk dari ramp, aku langsung disambut eskalator!
E-S-K-A-L-A-T-O-R.
Like what? Ini ferry apa mal? Ada juga lift di dekatnya, lengkap dengan penunjuk lantai. Aku langsung mikir, ini sih bukan ferry, ini hotel bintang empat yang kebetulan bisa ngambang.

Aku pun naik ke atas pakai eskalator itu—masih shock dan senyam-senyum sendiri. Dan pas sampai di lantai utama area penumpang... boom! Aku makin takjub. Interiornya bersih banget, terang, dan modern. Lantainya karpet tebal, pencahayaan hangat, dan banyak deretan kursi empuk yang tersusun rapi seperti kabin pesawat.

Ada juga area lounge dengan sofa-sofa besar, meja kayu mengilap, dan stop kontak di mana-mana buat ngecas HP atau laptop. Bahkan di beberapa sisi aku lihat ada kafe dan minimarket kecil yang menjual kopi, camilan, dan makanan panas. Toiletnya? Bersih. Wangi. Nggak kayak toilet ferry yang sering kubayangkan.

Rasanya kayak naik cruise mini—bukan ferry reguler.
Di situ aku cuma bisa duduk, lepas ransel, dan bilang dalam hati:
“Oke... ini sih levelnya beda.

Aku berjalan masuk ke dalam kapal feri, membawa harapan yang cukup rendah, tapi ya, siapa tahu dapat spot enak. Karena tiketku ini nggak ada nomor kursi spesifiknya, aku terus melangkah maju, nyari tempat duduk yang nyaman. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah ruangan yang agak sepi—dan ternyata itu ruang VIP. Di sana berjajar kursi-kursi empuk yang terlihat nyaman banget, dan entah kenapa suasananya juga cukup tenang, nggak banyak orang.

Aku langsung mikir, "Wah, ini sih kayaknya bakal enak banget duduk di sini."
Toh aku juga nggak butuh tidur nyenyak—semalam udah cukup tidur. Jadi kupikir, bisa lah ya nikmatin perjalanan sambil selonjoran di kursi nyaman.

Aku pilih duduk di tepi, dekat jendela. Dari situ bisa lihat laut terbentang luas, masih biru kelam di pagi hari. Cahaya matahari mulai menembus jendela, bikin suasana jadi hangat dan damai. Suara mesin kapal bergema halus, seperti white noise yang menenangkan.

Begitu duduk, aku buka bungkus sandwich yang kubeli tadi di pelabuhan. Lumayan besar dan cukup mengenyangkan. Aku juga minum minuman berasa yang kubawa—nggak tahu rasa apa, tapi segar dan manis. Setelah sarapan itu, perut rasanya udah tenang, pikiran juga adem.
Baru deh kepikiran mau eksplor bagian dalam kapal. Tapi ya gitu… baru niat, eh ngantuk mulai datang. Pelan-pelan, tapi parah.

Dan kebetulan banget, perjalanannya tuh nyaman banget, guys. Kapalnya stabil, hampir nggak kerasa ada goyangan atau ombak besar. Nggak ada drama mual, nggak ada ayunan laut yang bikin gelisah. Rasanya kayak naik kereta super smooth yang kebetulan ngambang di atas laut Aegea.

Akhirnya, aku rebahan miring ke satu sisi di kursi empuk itu. Pegel sih, posisi seadanya. Tapi tetap aja... ketiduran. Tidur beneran.

Waktu seperti melompati enam jam begitu saja, dan tahu-tahu jam 2 siang, kapal merapat di Pelabuhan Piraeus, Athena. Aku terbangun dalam kondisi lebih segar—meski rambut agak acak-acakan dan bantalnya ya... cuma sandaran tangan. Tapi, yah, itulah momen recharge kecil di tengah perjalanan panjang.

Akhirnya aku berbaris bersama para turis lainnya untuk menuruni kapal. Langkah-langkah pelan mulai menuruni lorong kapal menuju pintu keluar, dan begitu kakiku menginjak daratan Pelabuhan Piraeus, Athena, jam menunjukkan sekitar pukul 2 siang.

Tapi belum sempat menikmati momen, satu hal langsung menyergapku: panasnya luar biasa.

Serius. Ini bukan panas biasa. Ini panas yang seperti ditembak laser dari langit. Udara kering, matahari terik banget, dan aspal pelabuhan terasa memantulkan semua panasnya balik ke tubuh. Ini memang bulan Juli sih—puncak summer di Yunani—tapi tetap aja... aku shock. Rasanya bahkan lebih panas dari Santorini. Aku nggak tahu suhu pastinya berapa, tapi dalam hatiku mikir, “Ini bisa jadi 40... atau bahkan 45 derajat, nggak sih?”

Tubuh langsung lengket, napas berasa kering, dan yang ada di kepalaku cuma satu:
“Aku butuh es krim. Sekarang juga.”

Saking panasnya, aku bahkan nggak mikirin dulu harus ke mana atau naik apa. Aku cuma ingin segera cari warung atau minimarket, duduk sebentar, dan pesen sesuatu yang dingin. Entah itu es krim, es teh, atau bahkan air es biasa juga nggak apa-apa. Yang penting dingin. Yang penting nggak cair juga kayak aku.

Akhirnya aku menyeret langkah menuju sebuah warung kecil di sudut pelabuhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung memesan satu cup es krim coklat. Yang dingin, yang manis, yang bisa sedikit menyelamatkan nyawaku dari panas yang membakar.

Aku duduk di bangku plastik warung itu, sambil perlahan menikmati setiap sendok es krim. Rasanya nikmat banget, tapi bukan cuma karena rasanya—tapi karena dia muncul di saat yang paling dibutuhkan. Sambil makan, aku mulai merenung... “Ini gimana ya cara menuju ke penginapanku?”

Sebelumnya aku memang sudah booking hostel di pusat kota Athena, namanya Separta. Letaknya cukup strategis di tengah kota. Aku sempat browsing sebelumnya, dan katanya bisa dicapai naik metro. Tapi masalahnya sekarang adalah: dari pelabuhan ini, aku masih harus jalan dulu ke stasiun metro terdekat. Dan aku belum tahu pasti arahnya ke mana.

Satu lagi kendala: aku nggak punya paket internet. Jadi ya... harus mulai mode "traveler jadul", alias tanya orang. Harus mulai ngandelin insting, petunjuk jalan, dan senyuman polos sambil nanya,
"Excuse me, how can I get to the metro station?"

Akhirnya, setelah istirahat singkat dan es krim coklat yang menyelamatkan hidupku, aku mulai berjalan kaki lagi. Ya, meskipun panasnya masih membara, tapi harus tetap kutembus. Hidup harus lanjut, dan hostel di Athena menunggu.

Aku keluar dari area pelabuhan dan mengikuti rute yang sudah kusimpan di Google Maps offline. Untung tadi sempat ngesave rute ke hostel. Tapi ya, namanya juga offline, titiknya nggak bisa jalan terus. Sampai di satu titik... eh, Google Maps-nya nge-freeze. Buntu. Aku bingung harus belok kiri atau kanan.

Jadilah aku mulai bertanya-tanya ke orang lokal di sekitar. Untungnya beberapa orang cukup ramah—nggak semua bisa bahasa Inggris lancar sih, tapi dengan bahasa tubuh dan arah tangan, aku jadi tahu ke mana harus jalan.
“Metro? This way,” kata seorang bapak sambil menunjuk lurus, lalu belok kanan.

Yang menarik, orang-orang yang kutemui ini nggak seperti bule-bule tipikal Eropa Barat. Mereka lebih mirip orang Italia selatan—berambut gelap, kulitnya juga lebih tan. Beberapa bahkan tampak seperti orang Timur Tengah. Di situ aku baru sadar, secara geografi dan budaya, Yunani memang di titik silang antara Eropa dan Asia.

Setelah beberapa menit berjalan dan sedikit bolak-balik arah, akhirnya aku sampai juga di stasiun metro. Hawa dingin dari bawah tanah langsung menyambut, kayak pelukan AC setelah dibakar matahari. Di sana aku membeli tiket sekali jalan—single ticket—menuju stasiun terdekat dari hostelkku, Sparta.

Perjalanan dari stasiun metro ke hostel ternyata nggak lama. Akhirnya... sampai juga aku di Sparta Hostel—tempat istirahatku di Athena. Waktunya check-in.

Tapi seperti biasa, drama kecil menyambutku.

Petugas resepsionis yang jaga waktu itu langsung ramah menyapaku, lalu bilang,
"Can you show me the credit card you used to make the booking?"

Dan di situlah aku mulai keringetan lagi—bukan karena panas, tapi karena deg-degan. Soalnya waktu booking dulu, aku pakai kartu kredit kakakku. Dan tentu aja... kartunya nggak kubawa. Jadi aku jawab dengan jujur,
"I used my sister's card and I don't bring it with me."

Petugas itu mengangguk dan bilang,
"Oh, sorry, we can't accept the booking without the card."
Waduh.

Untungnya dia langsung kasih solusi:
"No problem. I will cancel your booking now. You can book again directly here and pay in cash."

Aku langsung mengangguk lega.
"Sure, it's okay. No problem."
Akhirnya, proses pembatalan beres, dan aku bayar langsung 11 euro secara tunai untuk satu malam. Aku dapat satu kasur atas di dorm—kasur pangpet standar backpacker. Tapi ya, it’s okay. Yang penting bisa rebahan.

Dan hal pertama yang kulakukan setelah masuk kamar tentu saja: tidur.
Aku benar-benar capek, dan panas di luar bikin aku sama sekali nggak minat buat langsung eksplor. Rencananya, aku akan tunggu sampai matahari agak nurut dikit, baru nanti sore mulai jalan lagi naik metro.

Toh waktuku di Athena cuma sehari. Tapi setidaknya sekarang... aku bisa istirahat sejenak, recharge badan, dan siap menaklukkan sisa hari di kota tua yang penuh sejarah ini.

Sekitar jam 5 sore, aku akhirnya bangun dari kasur. Sempat mikir, “Aduh, enaknya lanjut tidur aja…” Tapi ya, nggak bisa juga. Aku cuma punya satu hari di Athena. Besok pagi udah harus cabut lagi, terbang balik ke Singapura. Jadi ya… nggak ada pilihan. Harus mulai jalan.

Aku lihat keluar jendela—matahari masih ada, tapi sinarnya udah nggak segalak siang tadi. Udara mulai terasa lebih bersahabat, dan angin sore pelan-pelan masuk dari celah jendela dorm. Waktunya bergerak.

Dengan tenaga sisa hasil tidur siang, aku berdiri, rapiin diri sekadarnya, lalu siapin tas kecil buat jalan sore. Aku belum tahu persis mau ke mana, tapi yang jelas aku pengen ngerasain Athena, walaupun cuma sebentar.

Sewaktu aku udah siap mau keluar dari kamar—tas kecil udah di bahu, muka udah lumayan segar —tiba-tiba seorang cewek nyamperin aku di lorong dorm. 

Dia senyum dan langsung nyapa, “Hey, do you want to explore?”

Aku agak kaget, tapi refleks jawab, “Yes.” (karena emang niatku juga mau mulai eksplor sore itu).

Terus dia senyum lagi dan bilang, “Do you want to explore with me? I got two HOHO bus tickets. It’s free.”

Dalam hati aku langsung: Wah, seriusan? Tiket Hop On Hop Off? Gratisan? Tapi... karena tiba-tiba mode introvert-ku muncul, aku agak kikuk dan sempat ragu mau langsung jawab. Tapi ya gimana ya, masa nolak? Akhirnya aku senyum kaku dan bilang, "Oke oke, let's go. We can explore together."

Ternyata nama cewek itu Sofia. Dia traveler juga, asalnya dari Meksiko. Waktu kami jalan kaki menuju titik pemberhentian HOHO bus, kami mulai ngobrol-ngobrol ringan. Dari situ aku baru tahu kalau tujuan Sofia ke Eropa ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi karena dia sedang jadi au pair—semacam pengasuh anak gitu, semacam nanny—kalau nggak salah di Jerman. Nah, sekarang, sebelum balik ke Meksiko, dia lagi ngambil waktu buat eksplor Eropa. Dan salah satu destinasinya ya Athena ini.

Aku pun cerita balik bahwa aku ini sebenarnya pekerja kantoran, dan sekarang sedang memanfaatkan libur hari raya yang cukup panjang buat jalan-jalan ke Eropa. Sekalian lepas penat, lah.

Dan ternyata, ngobrol bareng Sofia itu cukup menyenangkan. Dia tipe orang yang nggak pernah kehabisan topik—dari yang ringan sampai agak dalam, semuanya bisa dibahas. Jadi aku tinggal nyambungin aja obrolannya tanpa harus mikir keras. Buat orang introvert dadakan kayak aku, ini cukup menyelamatkan banget. Hehehe..

Akhirnya kami sampai juga di titik pemberhentian HOHO bus. Saat itu jam sudah cukup mepet—sekitar jam 5 sore—dan kalau nggak salah, bus ini berhenti beroperasi sekitar jam 6 atau jam 7 gitu. Jadi kami harus gerak cepat.

Karena salah satu wisata utama di Athena itu tentu saja Akropolis, kami langsung sepakat buat turun di stop Akropolis. Ya meskipun waktunya udah agak mepet, at least kami bisa lihat sekilas kemegahan kuil itu langsung dari dekat. Toh, nggak lengkap rasanya ke Athena tanpa menjejakkan kaki di situs sejarah yang satu itu, walaupun cuma sejenak.

Akhirnya HOHO bus datang juga dan membawa kami mulai membelah kota Athena. Bus ini bertingkat—ada kursi di bagian bawah yang tertutup dan bagian atas yang terbuka. Karena sore itu cuacanya udah nggak terlalu panas, aku dan Sofia sepakat naik ke bagian atas. Duduk di atas, angin semilir terasa enak banget, apalagi setelah seharian jalan kaki.

Dari dekat Sparta Hotel, bus mulai melaju pelan menyusuri jalanan kota. Di kanan-kiri jalan, bangunan khas Athena berjajar dengan gaya arsitektur yang campur aduk—ada yang bergaya neoklasik dengan tiang-tiang tinggi seperti sisa-sisa kejayaan masa lampau, dan ada juga gedung-gedung modern yang berdiri bersahaja. Kafe-kafe mulai ramai, orang-orang duduk santai sambil minum kopi atau bir dingin, ngobrol dengan teman atau sekadar menikmati sore.

Suasana kota sore itu hangat dan hidup, tapi nggak sepadat kota-kota besar lain di Eropa. Lampu-lampu jalan mulai menyala samar, menambah nuansa romantis di antara pepohonan yang mulai berselimut bayangan. Sesekali terdengar suara petikan gitar dari pengamen jalanan di trotoar, menambah warna perjalanan.

Perjalanan dari sekitar Sparta Hotel menuju titik pemberhentian Akropolis memakan waktu sekitar 15–20 menit, tergantung lalu lintas sore itu. Tapi karena kami duduk di atas, waktu itu rasanya malah terlalu cepat. Pemandangan cantik, langit mulai jingga, dan Akropolis pun mulai terlihat berdiri megah di atas bukit di kejauhan—seperti mengintip dari balik pepohonan dan bangunan modern.

Begitu bus berhenti di stop Akropolis, kami langsung bersiap turun. Waktunya nggak banyak, tapi momen sore itu—melaju pelan di atas HOHO bus, diterpa angin Athena, sambil menatap langit yang mulai berubah warna—rasanya magis banget.

Setelah puas foto-foto dengan latar Akropolis dari atas bus, Sofia menoleh ke arahku dan bilang, "Sudah... kamu sudah sah mengunjungi Akropolis."
Aku ketawa sambil jawab, "Hahaha yes, gracias (thank you), Sofia."
Padahal jujur aja, aku tuh sebenernya pengen banget bisa masuk dan lihat langsung reruntuhan Akropolis dari dekat. Tapi ya sudahlah, hari itu ternyata kompleks Akropolis-nya lagi tutup. Jadi bisa ngelihat dari jauh aja, dari atas bus tingkat, sudah cukup membuatku senang. Setidaknya, checklist-ku di Athena bisa kucentang: mengunjungi Akropolis (meskipun setengah hati wkwk).

Setelah itu, kami lanjut lagi jalan-jalan sore membelah kota Athena. Suasananya adem—udara masih panas tapi angin sore bikin semuanya terasa ringan. Kami duduk di atas bus sambil terus ngobrol, tukar cerita budaya masing-masing. Sofia cerita soal kehidupannya sebagai au pair di Jerman, dan aku cerita soal kerjaku di Indonesia. Dan ternyata, meskipun beda negara, kami bisa nyambung banget.

Pulangnya kami sempat jalan kaki keliling kota, kadang cuma duduk di bangku taman, kadang mampir di kios kecil buat beli es krim atau minum. Saking asyiknya, kami nggak sadar waktu sudah malam. Jam menunjukkan hampir pukul 9 malam waktu Athena saat kami kembali ke hostel.

Yang paling kocak, di salah satu titik kami iseng pegang-pegang pagar sebuah gedung—yang ternyata kayak kantor pemerintahan gitu. Sofia sempat bilang kayaknya ini bukan tempat umum, tapi ya dasar kami iseng, tetap aja pegangin pagar itu, bahkan sempat nengok ke dalam. Eh, tiba-tiba... ALARMNYA BUNYI KERAS BANGET!
Spontan kami saling pandang, lalu lari sekencang-kencangnya kayak maling ayam takut ditangkep polisi.
Sepanjang jalan kami nggak berhenti ngakak—cegukan, lemes, sampai nyesel kenapa iseng banget tadi.

Malam itu ditutup dengan makan malam bareng di hostel—makanan simpel, tapi obrolan panjang kami bikin semuanya jadi berkesan. Hari terakhirku di Eropa, dan bisa ketemu orang asing yang langsung klop, itu rasanya kayak bonus manis dari semesta.

Dan ya, satu pertanyaan random yang muncul di akhir hari:
"Kenapa sih bahasa Inggrisnya Yunani itu jadi Greece? Padahal negara aslinya namanya Hellas, atau Yunani."
Sumpah, sampai sekarang aku juga masih nggak ngerti. Tapi biarlah... yang penting, kenangan di Athena ini nggak bakal kulupa.

Dalam perjalanan pulang menuju hostel, kami mulai merasa lapar juga. Dari pagi sampai sore kami cuma ngemil-ngemil ringan dan sibuk jalan terus, jadi wajar perut mulai protes. Pas banget di satu sudut jalan, kami menemukan sebuah kafe kecil yang hangat, dengan beberapa meja di luar dan lampu-lampu kuning redup yang menggantung manis.

Sofia langsung bilang, "Ayo kita makan malam dulu sebelum balik ke hostel," dan tentu saja aku setuju. Kami duduk di luar, menikmati suasana malam kota Athena yang masih cukup ramai, tapi nggak bising.

Sofia pesan segelas bir dingin, dan setelah sedikit ragu, aku pun akhirnya ikut pesan bir juga. Padahal jujur aja, aku bukan tipe peminum bir. Di Indonesia juga nggak biasa. Tapi entah kenapa malam itu terasa... spesial. Aku pikir, “Yah, ini malam terakhirku di Eropa. Why not?”

Kami juga pesan makanan—kalau nggak salah ingat, ayam panggang dan kentang goreng, simpel tapi lumayan ngenyangin.

Malam itu kami ngobrol lebih banyak. Aku cerita tentang budaya Indonesia, tentang betapa beragamnya adat dan bahasa di tiap pulau, tentang makanan khas, dan tentang pengalaman-pengalamanku sebagai traveler yang lebih suka eksplor negara-negara anti-mainstream. Sofia juga cerita tentang kehidupan di Meksiko, tentang keluarganya, tentang bagaimana jadi au pair kadang seru tapi juga penuh tantangan.

Sampai akhirnya dia bertanya, "So, where’s your next destination?"
Aku jawab, "Hawaii."
Dia langsung tertawa kecil, "What? I thought you like anti-mainstream places. Hawaii is super mainstream!"

Aku ikutan ketawa dan bilang, "Yeah I know, tapi Hawaii itu pengecualian. Itu udah jadi impianku dari dulu banget. I have to go."

Dan malam itu jadi salah satu momen yang hangat dan menyenangkan. Dua orang asing dari dua benua berbeda, duduk di kafe kecil Athena, berbagi cerita sambil menyeruput bir dan menyantap ayam goreng. Bukan soal tempatnya, tapi soal kebersamaan yang tak terduga tapi berarti.

Akhirnya, setelah cukup lama duduk berceloteh sambil menikmati malam, kami sadar waktu sudah hampir menunjukkan jam 10 malam. Suasana kota mulai sepi, lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya lembut ke trotoar batu. Kami pun memutuskan untuk jalan kaki pulang ke hostel.

Di perjalanan, aku sempat mikir: Sofia ini udah baik banget—ngasihku tiket HOHO bus secara cuma-cuma, ngajak jalan-jalan, jadi teman ngobrol yang seru, dan bikin hariku jadi penuh warna. Jadi pas kami udah selesai makan tadi, aku langsung bilang ke dia, "Let me pay for this food. This one’s on me."

Aku mau gantian traktir, sebagai ucapan terima kasihku. Dan dia langsung senyum lebar, "Aww, thank you!" katanya. Totalnya juga nggak banyak, cuma sekitar 12 euro. Tapi rasanya lebih dari sekadar bayar makanan—itu bentuk kecil dari rasa terima kasihku untuk momen yang nggak akan kulupa.

Di tengah jalan, aku bilang ke Sofia, "This is actually my last night in Europe. Besok siang aku akan terbang kembali ke Asia, ke Singapura."
Dia kaget juga, "Oh no! So soon?"
Aku angguk sambil senyum, dan kami pun mulai membahas hal-hal kecil yang menyenangkan dari perjalanan ini—tentang bagaimana kadang kita bertemu orang asing yang terasa lebih akrab daripada kenalan lama, dan tentang bagaimana setiap pertemuan punya waktunya sendiri.

Sebelum kami berpisah di depan hostel, aku bilang,
"Thank you so much for today. Kalau besok kita nggak sempat ketemu lagi, I just wanna say goodbye and good luck for your life, Sofia."

Kami pun bertukar media sosial, dan seperti ritual backpacker pada umumnya, saling follow dan janjian kalau someday ketemu di belahan dunia lain, we’ll say hi again.

Malam itu, aku naik ke kamar hostel dengan perasaan campur aduk. Sedih harus meninggalkan Eropa, tapi juga penuh syukur karena ditutup dengan cerita yang indah. Sebuah pertemuan singkat, tapi akan selalu kuingat.

Sampai di hostel, badan rasanya lengket dan lelah. Sebelum tidur, aku memutuskan untuk mandi dulu. Cuaca di Athena cukup panas sejak siang tadi, jadi aku pilih mandi pakai air dingin. Segarnya luar biasa. Rasanya seperti membilas segala penat, tapi juga sekaligus menyadarkan: besok pulang.

Setelah mandi, aku lanjut packing. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam tas—paspor, dompet, charger, semua perlengkapan wajib. Aku juga mulai buang-buang barang yang sudah nggak berguna: tiket masuk yang kusut, struk belanja, brosur-brosur turis yang sudah aku baca berkali-kali, bahkan camilan sisa yang sudah tak tersentuh. Semua dibuang, pelan-pelan. Rasanya kayak... benar-benar masuk ke mode “pulang”.

Dan saat semua selesai, aku duduk sebentar di tepi ranjang.
Perasaanku campur aduk.
Ada rasa lega, karena perjalanan panjang ini bisa selesai dengan lancar. Ada senang dan excited, karena bentar lagi bisa ketemu lagi sama makanan Indonesia yang kuimpikan tiap malam. Tapi juga ada sedikit sedih... karena semua ini udah berakhir.

Trip ngebut ini benar-benar kayak mimpi kilat—dari salah tangga di awal (yang bikin aku nyaris nyasar), lalu disuguhi keindahan Islandia yang seperti planet lain, terus ke Zaanse Schans di Belanda yang damai banget, lanjut ke Italia, lalu Santorini yang romantis, dan terakhir Athena dengan sejarah dan kejutan manisnya.

Semuanya terasa terlalu cepat. Tapi aku bersyukur banget. Karena walaupun serba kilat, setiap kota ninggalin kesan sendiri. Dan aku berhasil menjalaninya—sendirian, dengan segala ragu dan excited yang bergantian datang.

Malam itu, sebelum tidur, aku cuma bisa senyum sendiri.
"Thanks, Europe. You’ve been kind to me."
Dan aku pun memejamkan mata, dengan hati yang penuh.