Part Sebelumnya : Disini
Hoaahhmmm… Pagi telah menyapa dari Tambolaka. Aku meregangkan badan perlahan, membiarkan rasa kantuk tersisa menguap sedikit demi sedikit. Cahaya matahari mulai masuk melalui celah gorden, menciptakan siluet lembut di dinding kamar.
Aku meraih HP di samping bantal, menyalakan layar. 'Sudah jam tujuh kurang… harus segera mandi dan bersiap-siap,' gumamku dalam hati. Aku duduk sejenak di tepi tempat tidur, mengumpulkan energi sebelum beranjak ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku membuka pintu kamar. Seketika udara luar yang lebih segar menyambut, membawa aroma khas pagi di Sumba.
Aku segera melangkah menuju area sarapan. Disana Arin dan Mbak Hayu terlihat sudah mulai sarapan. Aroma makanan sudah tercium sejak aku masuk ruang makan, menggugah selera yang mulai terbangun. Sarapan yang disajikan cukup sederhana namun lezat. Ada pilihan nasi goreng, nasi putih, sayuran tumis, ayam, telur, serta buah-buahan segar yang tersusun rapi di meja prasmanan. Aku mengambil piring, memilih beberapa menu, lalu duduk bersama Arin dan Mbak Hayu di meja dekat jendela.
Kami makan dengan lahap, menikmati setiap suapan sambil sesekali berbincang ringan. Di luar, sinar matahari mulai menghangatkan pagi Tambolaka, menandakan hari yang cerah dan penuh petualangan menanti. Selesai makan, sekitar jam 8 pagi, driver kami sudah tiba di hotel dan siap mengantar kami hari ini. Tujuan pertama kami hari itu adalah Laguna Waikuri, laguna alami dengan air biru kehijauan yang tenang dan jernih, salah satu tempat wisata yang paling terkenal di Sumba Barat Daya.
Jarak dari hotel menuju Laguna Weekuri sekitar 45 km. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 1 jam dengan mobil. Di sekitar Kota Tambolaka, pagi itu jalanan masih cukup ramai dengan aktivitas pagi—warga berlalu lalang, beberapa toko dan warung kecil sudah buka, dan anak-anak berseragam sekolah berjalan beriringan di pinggir jalan.
Semakin melaju ke arah barat, pemandangan mulai berubah. Rumah-rumah sederhana berdiri di lahan yang luas, beberapa beratapkan seng, ada juga yang masih beratapkan ilalang. Ternak seperti sapi dan kuda berkeliaran bebas, menambah nuansa khas Sumba. Jalanan juga mulai lebih sepi, hanya sesekali kami berpapasan dengan truk pengangkut hasil bumi atau motor warga setempat.
Aku memperhatikan, lanskap juga semakin kering. Hamparan padang rumput coklat keemasan terbentang luas, berpadu dengan batu karang yang berserakan di sana-sini. Vegetasi di sekitar semakin jarang, didominasi semak belukar dan beberapa pohon lontar yang berdiri tegak, menciptakan suasana khas Sumba yang eksotis. Aku menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan yang terasa begitu berbeda dari kota-kota lain yang pernah kukunjungi.
Pemandangan sepanjang jalan dari Tambolaka ke Laguna Weekuri
Tak lama kemudian, dari kejauhan mulai terlihat lautan biru yang berkilauan di bawah sinar matahari. Jalanan makin sempit dan berkelok, dengan beberapa tanjakan kecil. Angin laut mulai terasa, membawa aroma asin yang khas. Di beberapa titik, kami melihat perahu nelayan tertambat di pesisir.
"Sudah sampai, Kak," kata Bapak Driver sembari menghentikan mobil perlahan. "Dari sini jalan kaki aja ke bawah sampai nemu tangga. Nanti udah sampai di Lagunanya."
"Iya pak siap," jawabku.
Kami mengikuti arahan Bapak Driver dan setibanya di Laguna Waikuri, kami benar-benar langsung terpesona oleh keindahannya...... Oh wow... .Terhampar di depan mata, sebuah laguna luas yang memanjang dengan air berwarna biru kristal yang begitu jernih. Laguna tersebut memantulkan cahaya matahari dan menciptakan gradasi warna yang memukau, dikelilingi oleh pepohonan hijau rindang yang memberikan kesejukan alami..
Biru kristal air di Laguna Weekuri
"Wuahh bagusnyaaa..." Kataku.
"Iya baguuss banget," Arin menimpali.
"Aduhh aku pengen cepet-cepet nyebur."
"Kita keliling aja dulu biar fotonya bagus," Fredo menimpali.
Hmm benar juga yaa. Meskipun biru kristalnya air Laguna seakan-akan sudah menarikku untuk berenang, aku menahan diri. Lebih baik memang mengelilingi seluruh bagian Laguna dulu supaya dapat foto-foto yang bagus. Kalau renang dulu kan badan basah semua, ntar fotonya kurang keren😁.
Kami bergegas berjalan menyusuri jembatan kayu yang mengelilingi laguna. Dari jembatan kayu, kami bisa melihat dengan jelas perpaduan biru jernih air dan hijau subur pepohonan yang mengelilingi laguna. Dari sini, meskipun sinar matahari bersinar cukup terik, angin sepoi-sepoi dari arah laut bertiup menyegarkan. Dari sini kami bisa melihat beberapa pengunjung tampak berenang di laguna, menikmati kesejukan airnya yang payau—perpaduan unik antara air laut dan air tawar. Di sebelah kiri, aku bisa melihat hamparan laut lepas dengan ombak yang cukup besar menghantam bibir pantai. Laut ini berwarna biru gelap, dengan gelombang yang terlihat cukup kuat, kontras dengan pemandangan di sebelah kananku yaitu Laguna Weekuri itu sendiri. Warnanya yang tenang dan jernih memberikan kesan yang sangat nyaman dan damai. Rasanya seperti berada di sebuah oasis alami, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Air danau yang begitu jernih dan tenang memberi rasa ketenangan. Sedangkan melihat lautan yang luas dan gelap itu, aku merasa ada perasaan takut dan respek terhadap kekuatan alam yang begitu besar dan tak terduga. Dua pemandangan yang luar biasa ini benar-benar menunjukkan betapa alam bisa memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, namun tetap memukau dengan keindahan masing-masing.

Setelah selesai mengelilingi jembatan kayu, menikmati pemandangan dan puas berfoto-foto, aku rasanya udah ga tahan untuk segera menikmati kesegaran laguna.
"Ayo mas nyebur," kataku ke Fredo. "Tasnya taruh sini aja, kayaknya aman," tambahku lagi.
Tidak menunggu waktu lama, kami langsung menceburkan diri dan berenang bebas di segarnya air Laguna. Begitu kami terjun ke dalam air, rasanya benar-benar membahagiakan—airnya yang dingin dan jernih membuat semua persoalan seakan menguap begitu saja. Aku berenang kesana kemari, menggunakan pelampung dada yang memang kubawa untuk ini.
"Byuurrrr..." cipratan air terlontar dengan keras begitu Fredo meloncat ke dalam air. Aku yang ga suka ketinggalan dan gampang penasaran pun langsung mengikuti melangkah ke atas dan siap meloncat.
"Byuurrr..", tubuhku masuk cukup dalam ke dalam air sebelum terdorong naik kembali. Disitu Fredo sudah standby membawakan pelampungku.
"Wuaaah mantaap!" Kataku sembari menyeka air laut yang bercucuran dari rambutku.
Selanjutnya kami masih menghabiskan waktu untuk berenang kesana kemari. Karena perairan Laguna ini memang begitu segar, rasanya masih nggak puas aja biarpun aku udah meloncat dua kali dari papan dan berenang berputar kesana kemari.
Akhirnya setelah merasa cukup puas, kami segera naik dan bilas di kamar mandi umum. Kami akan segera melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, Pantai Mandorak.
Perjalanan dari Laguna Weekuri ke Pantai Mandorak tidak terlalu jauh, berjarak 2 km dan kami tempuh dalam waktu 10 menit saja. Begitu sampai, kami disambut oleh pantai berkarang yang airnya membiru bersih. Suasana di sana begitu tenang, hanya terdengar suara ombak yang menghantam karang dan desir angin yang lembut menyapu wajah.

Pantai Mandorak dikelilingi dua tebing batu karang besar yang seolah menjadi gerbang alami menuju laut. Di antara kedua tebing itu, terbentang pasir putih bersih yang tidak terlalu luas, tapi cukup menawan. Kami segera berjalan naik di atas salah satu batu karang, memandangi laut lepas yang membentang biru kehijauan untuk mencari spot foto yang bagus. Beberapa wisatawan lain terlihat juga sedang menikmati keindahan dan berfoto-foto di sudut karang yang lain.
Dari atas tebing karang, pemandangan luar biasa terbentang luas—ombak memecah di sela karang, pasir putih di bawah seolah memanggil, dan langit biru membentang tanpa batas. Kami berfoto-foto dengan banyak pose, berusaha mengabadikan momen sebanyak mungkin di tempat ini.
Laut lepas..
Beberapa saat kemudian, sekelompok anak lokal mulai mendekati kami. Awalnya terasa biasa saja, mereka hanya mengajak ngobrol-ngobrol ringan—menanyakan dari mana kami, berapa lama di sana, hal-hal kecil yang membuatku merasa mereka hanya ingin berteman atau sekadar ingin tahu. Aku pun menanggapi dengan ramah, karena memang aku suka berinteraksi dengan warga lokal saat bepergian.
Tapi lama-kelamaan, arah interaksinya jadi agak berbeda. Mereka mulai meminta ini-itu—ada yang minta bolpoin, ada yang minta buku, bahkan ada yang mulai bicara soal uang. Aku jadi merasa agak canggung, bahkan sedikit tertekan. Aku tahu mungkin mereka hanya melihat kami sebagai tamu yang mungkin bisa memberi sesuatu, tapi di saat itu aku jadi merasa tidak bebas. Ada rasa bersalah kalau tidak memberi, tapi juga ada rasa janggal kalau harus menuruti semua permintaan yang datang begitu saja.
Kami sempat berpindah spot beberapa kali, mencoba menikmati berbagai sudut keindahan Pantai Mandorak. Namun ada satu hal yang cukup membuat tidak nyaman. Anak-anak lokal itu masih terus mengikuti kami. Mereka terus mendekat, berharap diberikan sesuatu. Kami sempat berdiskusi apakah harus memberi mereka sesuatu atau tidak, tetapi kami juga khawatir tindakan itu justru memperkuat kebiasaan meminta kepada wisatawan.

Akhirnya, karena merasa kurang nyaman, kami memutuskan untuk meninggalkan pantai dan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, Kampung Adat Ratenggaro. Perjalanan menuju Ratenggaro menempuh jarak 20 km dan memakan waktu sekitar 1 jam dengan melewati jalanan berbatu khas pedalaman Sumba. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan padang savana yang luas dengan beberapa ekor kuda liar yang berlarian bebas. Rumah-rumah adat khas Sumba sesekali terlihat di kejauhan, dengan atap menjulang tinggi yang menjadi ciri khas arsitektur Sumba Barat Daya.
Akhirnya kami tiba di Kampung Adat Ratenggaro. Impresi pertamaku, desa tradisional ini masih sangat terjaga keasliannya, dengan deretan rumah adat beratap tinggi yang menjulang hingga lebih dari 10 meter. Di jalan masuk menuju desa terlihat batu-batu kubur megalitik yang berjajar. Dua lembaran batu tebal vertikal, ditopang oleh satu lembaran batu horizontal diatasnya. Bentuk kubur batu ini selalu membuatku penasaran, bagaimana cara mereka (masyarakat kuno Sumba) mengangkat batu besar tersebut ke atas? Apakah mungkin menggunakan tali?
Kuburan batu megalitik di pintu masuk Kampung Adat Ratenggaro
Kami berjalan perlahan menyusuri kampung, menikmati suasana yang begitu autentik. Warga setempat yang kebetulan bertatapan mata menyambut kami dengan senyum, beberapa di antaranya terlihat sedang menenun di teras mereka dan masih mengenakan kain tenun khas Sumba. Dari desa ini, kami juga bisa melihat pemandangan pantai yang begitu indah, dengan air laut berwarna biru cerah yang berpadu dengan pasir putih, yang akhirnya kami tau ini Pantai Ratenggaro.
Sedikit cerita sejarah, Kampung Adat Ratenggaro adalah salah satu desa tradisional tertua di Sumba yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadat leluhurnya. Nama Ratenggaro berasal dari dua kata dalam bahasa Sumba, yaitu "Rate" yang berarti kuburan dan "Garo" yang merujuk pada nama suku yang pernah mendiami wilayah ini. Konon, kampung ini dulunya adalah tempat pertempuran antara suku Garo dengan suku lain, yang berakhir dengan kemenangan bagi suku yang sekarang menetap di sini. Sebagai tanda kemenangan, suku yang menguasai Ratenggaro membangun banyak kuburan batu megalitik untuk menghormati para leluhur yang gugur dalam pertempuran. Hingga kini, kuburan batu berusia ratusan tahun tersebut masih berdiri kokoh di sekitar kampung.
Saat ini, Kampung Adat Ratenggaro dihuni oleh masyarakat asli Sumba yang masih sangat menjaga tradisi mereka. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani, peternak kuda dan kerbau, serta pengrajin kain tenun khas Sumba. Mereka hidup dalam komunitas yang masih memegang teguh sistem adat, termasuk dalam hal perkawinan, upacara adat, dan sistem kepercayaan yang sebagian besar masih menganut Marapu (kepercayaan tradisional masyarakat Sumba).


Kami berjalan lebih dalam masuk ke dalam kampung melewati jalan setapak yang kering. Di sisi jalan, aku melihat beberapa ekor kuda terikat rapi di kandang terbuka. Kuda-kuda itu gagah dan tenang, dengan bulu kecoklatan yang berkilau di bawah matahari sore. Tiba-tiba seorang pemuda mendekati kami. Wajahnya ramah, mungkin usianya sekitar dua puluhan. Ia menyapa dengan sopan.
“Kak, mungkin mau foto dengan kuda… nanti bisa dengan rumah adat. 50 ribu aja, bisa foto sepuasnya.”
“Boleh deh,” jawabku sambil mengangguk. "Kamu mau Rin?"
"Iya aku mau juga," jawab Arin.
Pemuda itu langsung dengan sigap membantu kami—dia menuntun kudanya keluar kandang, menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkan, kemudian membantuku untuk naik ke atas. Pemuda itu memegang tali kendali kudanya sambil sesekali memberi arahan agar aku bisa duduk dengan nyaman. Aku pun mencoba rileks meski deg-degan juga—namanya juga naik kuda, takut tiba-tiba dia lari! Hehehe.
"Oke mas, foto sekarang ya. Rumah adatnya usahakan jangan kepotong," instruksiku ke Fredo yang memegang HP-ku.


Fredo berdiri agak mundur, mengambil beberapa langkah ke belakang, mengatur angle. Di atas kuda, aku mengambil berbagai macam gaya. Dengan latar rumah adat beratap tinggi, langit biru bersih, dan pantai yang membentang luas, aku rasa ini menjadi salah satu highlight foto disini.
Dan ya… 50 ribu untuk pengalaman seperti itu? Totally worth it.

Sedikit cerita, Rumah adat di Ratenggaro memiliki arsitektur khas Sumba yang unik, dikenal dengan nama Uma Mbatangu, yang berarti rumah menara. Beberapa ciri khas rumah adat di Ratenggaro antara lain:
- Atap Menjulang Tinggi – Rumah-rumah di sini memiliki atap berbentuk menara yang bisa mencapai 15 meter atau lebih, menjadikannya salah satu rumah adat tertinggi di Indonesia. Atap yang menjulang ini bukan hanya estetika, tetapi juga melambangkan hubungan antara manusia dengan para leluhur dan dunia spiritual.
- Material Tradisional – Rumah adat Ratenggaro dibangun menggunakan bahan alami seperti kayu, bambu, dan alang-alang sebagai atapnya.
- Tiga Bagian Rumah – Rumah adat Sumba memiliki tiga tingkatan yang melambangkan filosofi kehidupan:
- Bagian bawah untuk hewan ternak (kerbau, kuda, babi).
- Bagian tengah sebagai tempat tinggal keluarga.
- Bagian atas sebagai tempat menyimpan pusaka leluhur dan benda sakral.
- Dekat dengan Kuburan Megalitik – Banyak rumah adat di Ratenggaro yang berdekatan dengan batu kubur leluhur, karena masyarakat masih sangat menghormati roh nenek moyang mereka.


Dari Kampung Adat Ratenggaro, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Mareha, sebuah destinasi alam yang masih alami dan jarang dikunjungi wisatawan. Jarak antara Ratenggaro dan Tanjung Mareha sekitar 6-7 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit menggunakan kendaraan. Perjalanan menuju tanjung ini cukup menantang, melewati jalan berbatu dan tanah merah yang berkelok-kelok.Sepanjang perjalanan, kami kembali disuguhi pemandangan khas Sumba: padang savana yang luas, kuda liar yang berlarian, serta garis pantai yang membentang jauh di kejauhan.

Setibanya di Tanjung Mareha, kami langsung dibuat takjub oleh pemandangan yang begitu spektakuler. Kami berdiri di atas tebing tinggi, menghadap langsung ke Samudra Hindia yang tampak begitu luas dan tanpa batas. Dari sini, kami bisa melihat ombak besar yang bergulung-gulung, berdebur keras menghantam tebing-tebing karang di bawahnya. Angin laut bertiup kencang, menambah kesan dramatis pada tempat ini.



Salah satu hal yang paling menarik di Tanjung Mareha adalah tebing berlubang akibat hempasan ombak yang terus-menerus mengikis batuan karang selama bertahun-tahun. Lubang alami ini memberikan pemandangan unik, seolah menjadi jendela alam yang mengarah langsung ke lautan lepas. Saat ombak besar datang, air laut masuk ke dalam lubang itu dan menyembur ke atas, menciptakan efek yang luar biasa indah.


Kami menghabiskan waktu cukup lama di sini, duduk di tepi tebing sambil menikmati panorama laut yang begitu megah. Matahari perlahan mulai turun ke ufuk barat, langit berubah menjadi jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Kami benar-benar merasa kecil di hadapan alam yang begitu luas dan kuat ini.
Hampir menjelang magrib, kami memutuskan untuk kembali ke hotel di kota Tambolaka, Sumba Barat Daya. Perjalanan kembali memakan waktu sekitar 1-1,5 jam, melewati jalan yang mulai gelap tanpa banyak penerangan. Namun, perasaan puas dan takjub atas keindahan alam Sumba masih terus membekas dalam benak kami sepanjang perjalanan pulang.
0 comments:
Posting Komentar