Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.22.2025

[2] ACEH : Gua Sarang, Snorkeling di Pulau Rubiah dan Sate Gurita khas SABANG!

Hari kedua di Pulau Weh, aku dan Nur bangun cukup pagi. Udara masih segar, dengan sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan. Setelah mandi dan bersiap, kami berjalan kaki ke sebuah warung sederhana dekat penginapan untuk sarapan. Menu yang kami pilih cukup sederhana, tapi mengenyangkan—nasi dengan ikan goreng dan sambal khas Aceh yang sedikit pedas, ditemani segelas teh hangat.

Pagi itu, aku dan Nur melajukan motor menuju destinasi pertama kami hari ini—Gua Sarang di Pulau Weh. Kami memilih ke sana lebih dulu karena jaraknya paling dekat dari penginapan. Udara pagi yang sejuk membelai wajah saat motor kami melaju di jalanan berkelok dengan pemandangan hijau di kanan dan kiri. Sesekali, kami melewati bukit kecil yang dari puncaknya, sekilas terlihat lautan biru membentang di kejauhan.

Semakin mendekati Gua Sarang, jalan mulai menurun dengan beberapa bagian berbatu. Kami pun memarkir motor di area yang disediakan, lalu bersiap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari titik ini, sudah terdengar suara deburan ombak yang menghantam tebing-tebing karang, seolah memanggil kami untuk segera turun.

Perjalanan ke bawah dimulai dengan menuruni ratusan anak tangga yang curam, berliku-liku menempel di lereng bukit. Setiap langkah membawa kami semakin dekat ke laut, dan di sela-sela anak tangga, celah pepohonan membuka pemandangan ke laut lepas yang luas dan berkilauan diterpa matahari pagi. Semakin turun, udara semakin terasa lembap, bercampur dengan aroma asin khas laut yang segar.

Setibanya di bawah, kami melangkah menyusuri tepi pantai yang dipenuhi batu-batu karang. Ombak kecil bergulung, menyapu kaki kami yang sesekali terendam air laut. Jalan setapak ini membawa kami mendekati tebing-tebing tinggi yang menjulang megah, berdiri kokoh berbatasan langsung dengan laut. Dinding-dinding karang yang dipenuhi lumut dan tanaman liar menciptakan suasana alami yang masih sangat asri.

Di depan kami, gua-gua alami tampak menganga di tebing, seolah menjadi mulut raksasa yang menyimpan rahasia. Beberapa gua lebih dalam dan gelap, sementara yang lain terbuka, membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi bagian dalamnya. Dari celah-celah gua, suara burung-burung laut menggema, berpadu dengan deru ombak yang terus menghantam batuan karang.

Kami terdiam sejenak, membiarkan semua pemandangan ini meresap dalam ingatan. Ada rasa takjub melihat betapa alam bisa membentuk tempat seindah ini. Rasa lelah setelah menuruni ratusan anak tangga seketika lenyap, tergantikan oleh ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini—jauh dari hiruk-pikuk, hanya ada kami, tebing-tebing kokoh, dan laut yang seakan tak berujung.

Hari ini, rencana kami sudah jelas: snorkeling di Pulau Rubiah. Snorkeling di sana adalah aktivitas wajib bagi siapa pun yang datang ke Pulau Weh. Pulau Rubiah terkenal dengan keindahan bawah lautnya yang luar biasa—airnya jernih kebiruan, terumbu karangnya masih alami, dan ikan-ikan tropis berwarna-warni berenang bebas di antara karang-karang. Banyak wisatawan yang mengatakan bahwa snorkeling di Pulau Rubiah adalah salah satu pengalaman terbaik di Indonesia.

Setelah sarapan, kami berangkat dari Pantai Gapang menuju Pantai Iboih, titik keberangkatan utama menuju Pulau Rubiah. Perjalanan dengan motor hanya sekitar 10-15 menit, melewati jalanan berliku dengan pemandangan indah di sepanjang sisi jalan. Sesekali, kami bisa melihat laut biru kehijauan yang membentang luas di kejauhan, membuat perjalanan singkat ini terasa menyenangkan.

Begitu tiba di Pantai Iboih, suasana lebih ramai dibandingkan Pantai Gapang. Banyak turis berlalu-lalang, beberapa sedang bersiap untuk snorkeling atau diving, sementara yang lain hanya duduk menikmati pemandangan. Deretan warung dan kios penyedia jasa wisata berjejer di sepanjang pantai, menawarkan penyewaan peralatan snorkeling, diving, hingga kapal untuk menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kami mendekati salah satu stand penyewaan dan bertanya tentang paket snorkeling. Seorang pria muda menjelaskan bahwa kapal ke Pulau Rubiah pulang pergi seharga Rp100.000. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5-10 menit perjalanan dengan kapal, karena Pulau Rubiah berada tepat di seberang Pantai Iboih. Dari bibir pantai saja, pulau itu sudah terlihat jelas dengan pepohonannya yang hijau dan air laut yang begitu bening.

Untuk peralatan snorkeling, biaya sewanya Rp80.000, termasuk pelampung dan snorkel. Kami juga memutuskan untuk menyewa kamera underwater seharga Rp150.000, supaya bisa mengabadikan momen di bawah laut. Setelah setuju dengan harga tersebut, kami menunggu sebentar sambil melihat kapal-kapal kecil yang berseliweran mengantar wisatawan ke Pulau Rubiah.

Tak lama, kapal kami siap. Kami naik ke perahu kayu bermotor bersama beberapa wisatawan lainnya. Mesin kapal dinyalakan, dan perlahan kami bergerak meninggalkan Pantai Iboih. Air laut yang jernih membuat dasar laut terlihat jelas, bahkan dari atas kapal. Dengan semangat, kami bersiap untuk menjelajahi keindahan bawah laut Pulau Rubiah.

Selesai snorkeling, kami mengendarai motor menuju Kota Sabang. Angin sore yang sejuk menemani perjalanan kami, sementara sisa air laut yang masih menempel di kulit terasa mengering perlahan. Sepanjang jalan, deretan pepohonan dan rumah-rumah sederhana khas daerah pesisir memberi suasana yang tenang. Namun, satu hal yang terus ada di pikiranku: sate gurita.

Sudah sejak lama aku penasaran dengan kuliner khas Pulau Weh ini. Begitu melihat sebuah warung sate gurita yang tampak cukup meyakinkan—bersih, ramai pengunjung, dan aromanya menggoda—kami pun berhenti. Kami memesan satu porsi lebih dulu, harganya 20 ribu rupiah.

Tak butuh waktu lama, sepiring sate gurita tersaji di depan kami. Lima tusuk sate tersusun rapi di atas piring, dengan saus kacang yang kental menggenang di sekelilingnya. Aroma asap panggangan masih tercium samar, bercampur dengan wangi khas bumbu rempah yang menggugah selera.

Aku mengambil satu tusuk dan menggigitnya perlahan. Tekstur guritanya sungguh unik—kenyal tapi tidak alot, justru terasa empuk dan sedikit renyah di bagian luar, hasil dari proses pemanggangan yang sempurna. Setiap gigitan dipenuhi rasa gurih alami dari daging gurita yang berpadu dengan manis, pedas, dan sedikit smoky dari bumbu sate. Saus kacangnya menambah kekayaan rasa, memberikan sentuhan gurih dan sedikit creamy yang melapisi setiap potongan daging.

Satu tusuk habis dalam hitungan detik. Aku dan Nur saling pandang, lalu tertawa kecil. Tanpa ragu, kami langsung memesan satu porsi lagi. Sate gurita ini benar-benar lezat—paduan rasa dan teksturnya menciptakan pengalaman kuliner yang sulit dilupakan.

Esoknya seharusnya kami pulang kembali ke Banda Aceh, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Dua hari sudah kami mengeksplor Pulau Weh, namun entah kenapa aku merasa belum puas. Seolah masih ada sesuatu yang belum lengkap, sudut-sudut yang belum sempat kusentuh.

Aku duduk di tepi pantai sore itu, memandangi laut yang perlahan berubah warna seiring matahari mulai condong ke barat. Ombak bergulung dengan tenang, dan angin lembut menerpa wajahku. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa perjalanan ini sudah cukup, bahwa besok aku harus kembali ke Banda Aceh seperti rencana awal. Namun, pikiranku terus melayang ke bagian timur Pulau Weh—tempat yang belum sempat kami jelajahi.

Aku menoleh ke arah Nur, yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Kayaknya aku mau extend semalam lagi," kataku akhirnya.

Nur mengangkat alis, sejenak terdiam, lalu tersenyum kecil. "Aku udah nebak," katanya santai. "Oke, ayo kita eksplor bagian timur besok."

Keputusan itu langsung membuat hatiku lebih ringan. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Besok, satu hari lagi di Pulau Weh—satu hari lagi untuk menyelami sudut-sudutnya yang masih tersembunyi. Aku tidak ingin terburu-buru meninggalkan tempat ini sebelum benar-benar merasa puas.

0 comments:

Posting Komentar