Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.28.2025

[3] Sawadee Malaysia : Keliling Bangunan Bersejarah di Kuala Lumpur !

Trip ini merupakan rangkaian trip Thailand - Kamboja - Malaysia yang kulakukan dari 23 Januari 2012 - 2 Februari 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan linknya di bagian paling bawah postingan.

Part Sebelumnya : DISINI

Berpose di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia


Kuala Lumpur, 31 Januari 2012

Keesokan paginya, kami memutuskan untuk memulai hari dengan lebih santai. Karena ini adalah hari terakhir kami di Kuala Lumpur sebelum pulang ke Indonesia, rasanya ingin menikmati suasana tanpa terburu-buru. Kami baru mulai beraktivitas sekitar jam 11 siang. Bangun pun tanpa alarm, menikmati sarapan perlahan, dan menyiapkan diri untuk keliling kota lagi. Rencana hari ini sederhana: menjelajahi beberapa sudut Kuala Lumpur yang belum sempat kami datangi kemarin. Target kami adalah di area sekitar Pasar Seni dan Dataran Merdeka.

Penginapanku dan Alfi di Bukit Bintang

Dari penginapan, kami memulai perjalanan dengan naik Monorail, sebuah transportasi praktis yang melayang di atas jalanan Kuala Lumpur. Kami turun di Stesen Maharajalela, yang lokasinya cukup strategis dekat beberapa tempat bersejarah. Begitu keluar stasiun, kami langsung disambut pemandangan Stadium Merdeka. Stadion ini bukan stadion biasa. Stadium Merdeka adalah tempat bersejarah di mana pada 31 Agustus 1957, deklarasi kemerdekaan Malaysia dibacakan untuk pertama kalinya. Stadion ini pernah menjadi saksi momen penting ketika rakyat Malaysia resmi mengumumkan kemerdekaan mereka dari penjajahan Inggris. Bangunannya sendiri bergaya klasik, dengan tiang-tiang tinggi dan tribun terbuka yang terasa sederhana tapi penuh makna sejarah. Kami berhenti sejenak untuk berfoto.

Selesai berfoto di sekitar stadion, kami melanjutkan perjalanan ke Chan She Shu Yuen Clan Ancestral Hall yang jaraknya tidak terlalu jauh. Bangunan ini adalah sebuah klenteng klan — tempat untuk menghormati leluhur marga Chan, terutama bagi komunitas Tionghoa yang bermigrasi ke Malaysia. Fungsinya bukan hanya sebagai tempat berdoa, tetapi juga sebagai pusat pertemuan keluarga besar, tempat acara budaya, dan simbol penghormatan terhadap asal-usul mereka.



Kami masuk ke dalam dan langsung disambut suasana yang tenang, dengan ukiran kayu huruf Mandarin, patung-patung dewa-dewi yang dihias rapi, lampion-lampion merah yang menggantung cantik, serta aroma dupa yang memenuhi udara. Desain interiornya didominasi warna merah dan emas, membuat tempat ini terasa sangat hidup sekaligus sakral. Rasanya seperti sejenak dibawa ke suasana klasik Tiongkok di tengah hiruk pikuk Kuala Lumpur.

langkah kami membawa kami ke sebuah kuil tua dengan pintu merah menyala yang mencolok. Begitu masuk, suasana berubah drastis. Wangi dupa menyambut dari kejauhan, dan nuansa damai langsung terasa. Di salah satu sisi kuil, mataku tertumbuk pada detail ukiran kayu berlapis emas yang luar biasa indah.


Ukiran itu menampilkan makhluk mirip qilin, hewan mitologis dalam budaya Tiongkok yang dipercaya sebagai simbol keberuntungan dan kedamaian. Bentuknya setengah rusa, setengah naga, berdiri di atas pohon dengan posisi dinamis, dikelilingi bunga, daun, dan elemen alam lain yang menggambarkan keharmonisan hidup. Warna emasnya terlihat kontras dengan latar merah, sebuah kombinasi warna yang sarat makna dalam kepercayaan Tionghoa—melambangkan rejeki, kekuatan, dan perlindungan dari energi jahat.
Di samping ukiran itu juga tertera aksara Mandarin, yang kemungkinan adalah doa atau nama penyumbang keluarga bagi kelestarian kuil ini. Detailnya begitu halus dan penuh makna, aku sempat terpaku beberapa menit hanya untuk mengagumi karya tangan pengrajin zaman dulu.

Dari sini, kami kembali berjalan santai menuju arah Petaling Street, area pecinan (Chinatown) yang terkenal di Kuala Lumpur. Dalam perjalanan, kami sempat melewati Old China Cafe, sebuah kafe bersejarah yang mempertahankan nuansa kolonialnya. Bangunan tua ini tampak unik dengan pintu kayu besar dan ornamen vintage, membuat kami tidak tahan untuk berhenti sejenak dan berfoto di depannya sebelum melanjutkan langkah. Maklum, ini rangkaian perjalanan kami pertama kali ke luar negeri, jadi setiap ada bangunan otentik, rasanya pasti pengen berfoto aja hehehe..

Tak lama kemudian, langkah kaki kami sampai di Petaling StreetMeskipun matahari siang cukup terik, suasana di sini tetap ramai. Deretan kios dan toko memenuhi sepanjang jalan, menawarkan berbagai macam barang — dari suvenir, pakaian, tas, jam tangan, hingga jajanan lokal. Teriakan para pedagang yang menawarkan dagangannya bercampur dengan aroma makanan khas Malaysia, membuat suasana Petaling Street terasa hidup dan penuh warna.
Kami berjalan pelan menyusuri lorong-lorongnya, sambil sesekali berhenti melihat-lihat barang unik dan mencicipi jajanan yang menarik perhatian. Oya sebenarnya Petaling Street ini best-nya dikunjungi kalau malam, karena warna lampu dan lampion yang menyala akan membuatnya semakin estetik. 

Dulu, katanya, Petaling Street bukan seperti sekarang — awalnya hanyalah lorong kecil tempat para imigran Tiongkok menetap di abad ke-19. Mereka datang mencari rezeki dari tambang-tambang timah yang waktu itu sedang booming. Dari sanalah, perlahan-lahan kawasan ini tumbuh, bukan cuma jadi tempat tinggal, tapi juga pusat perdagangan kecil. Orang-orang lokal menyebutnya Chee Cheong Kai, yang artinya "Jalan Pabrik Tapioka," karena memang banyak pabrik olahan tapioka di sini.

Aku membayangkan, di masa itu, Petaling Street pasti dipenuhi aroma tepung tapioka, suara pedagang yang sibuk menawarkan barang, dan orang-orang yang bercita-cita membangun hidup baru. Bahkan saat masa kolonial Inggris datang, jalan ini tetap hidup — malah makin ramai.

Sekarang, Petaling Street sudah berubah. Ada atap besar berwarna hijau dan merah yang menaungi seluruh jalan — orang-orang menyebutnya Green Dragon Roof. Tapi di balik tampilan baru itu, aku masih bisa merasakan napas lamanya. Di antara lapak-lapak yang jualan jam tangan KW, tas tiruan, dan berbagai suvenir murah, ada sisa-sisa sejarah yang tetap bertahan.

Setiap aku berjalan, aku selalu ingat: ini bukan cuma tempat belanja, tapi tempat di mana Kuala Lumpur dulu bertumbuh dari tanah keras, dari mimpi-mimpi para pendatang yang tak pernah menyerah.

Dari riuhnya Petaling Street, langkah kami membawa lebih jauh ke arah pusat kota lama. Melewati gang-gang kecil dan bangunan tua, akhirnya kami tiba di sebuah ruang terbuka yang terasa berbeda — Medan Pasar, atau yang lebih dikenal dengan Old Market Square.

Di sanalah, berdiri sebuah menara kecil sederhana berbentuk kotak, berwarna abu-abu tua, dengan sebuah jam bundar di puncaknya: Old Market Square Clock Tower.

Old Market Square Clock Tower, Kuala Lumpur

Awalnya menara ini mungkin terlihat biasa saja — tidak semewah menara jam di kota-kota besar Eropa — tapi ternyata, menara ini menyimpan kisah penting dalam sejarah Kuala Lumpur.

Clock Tower ini dibangun pada tahun 1937, di masa kolonial Inggris, sebagai bagian dari upaya mempercantik pusat perdagangan Kuala Lumpur. Dulu, Medan Pasar adalah jantung aktivitas jual-beli kota ini, bahkan sebelum kawasan seperti Petaling Street berkembang pesat. Di sekelilingnya, berdiri deretan toko bergaya art deco dan kolonial yang dulu dipenuhi oleh pedagang emas, tekstil, dan kebutuhan sehari-hari.

Gaya arsitektur menara ini juga unik — bergaya Art Deco, yang pada masa itu menjadi simbol kemajuan dan modernitas. Kalau dilihat lebih dekat, pintu di dasar menaranya punya ukiran pola sinar matahari, khas desain art deco era 1930-an. Bentuknya mungkin tampak kaku, tetapi justru sederhana itulah yang mencerminkan semangat era itu: tegas, praktis, namun penuh makna.

Dari Old Market Square Clock Tower, aku dan Alfi berjalan menyusuri trotoar kota hingga akhirnya tiba di depan bangunan berarsitektur unik dan mencolok ini—Masjid Jamek Sultan Abdul Samad, salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Dengan kubah-kubah putihnya yang berkilau dan menara bergaris merah-putih bergaya Mughal, masjid ini langsung mencuri perhatian siapa pun yang melintas.

Masjid ini dibangun pada tahun 1909 dan dulunya merupakan masjid utama kota sebelum adanya Masjid Negara. Lokasinya tepat di pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Klang dan Sungai Gombak, yang dikenal sebagai titik awal lahirnya Kuala Lumpur. Arsitekturnya dirancang oleh A.B. Hubback, arsitek Inggris yang juga merancang bangunan bersejarah lain di kota ini.

Saat kami sampai, Alfi menoleh dan berkata, “Aku masuk salat dulu ya, Luh.”
Aku mengangguk dan ikut melangkah mendekati pintu masuk, berniat untuk sekalian masuk dan melihat bagian dalam masjid. Tapi begitu sampai di area pengunjung perempuan, aku dihentikan oleh petugas dan diberi tahu bahwa pengunjung perempuan yang ingin masuk wajib memakai pakaian berlengan panjang dan penutup kepala.

Karena aku saat itu cuma pakai kaus dan tak membawa jaket ataupun syal, aku pun akhirnya memutuskan menunggu di luar saja. Sambil duduk di bangku dekat pagar putih, aku memandangi masjid ini dengan lebih seksama. Di balik pagar, suasana tampak tenang dan teduh, kontras dengan jalanan kota yang sibuk hanya beberapa meter jauhnya. Sesekali aku memotret bangunan megah ini dari berbagai sudut, mencoba menangkap keindahan arsitekturnya yang klasik dan fotogenik.

Di bawah bayangan pohon kelapa yang menjulang, aku menunggu Alfi sambil menikmati momen hening yang langka di tengah pusat kota. Rasanya seperti melihat potongan sejarah yang masih hidup berdiri di antara gedung-gedung modern. Sebuah jeda yang menyenangkan sebelum kembali melanjutkan petualangan kami menyusuri Kuala Lumpur.

Setelah melanjutkan perjalanan, langkah kami akhirnya berhenti di depan tanda ikonik "I Love KL". Tanda besar yang berwarna merah mencolok ini mungkin merupakan spot wajib untuk kami berfoto hehehe.. Maklum kan masih traveler pemula. Semua spot ingin dibuat foto untuk mengabadikan momen.

Dari sana, kami melangkah ke arah Perpustakaan Kuala Lumpur, yang tak jauh dari lokasi "I Love KL". Bangunan perpustakaan ini sendiri cukup menarik dengan desain modern yang menyatu dengan suasana kota. Perpustakaan Kuala Lumpur ini sudah berdiri sejak tahun 1989 dan sejak saat itu telah menjadi pusat informasi dan budaya yang penting di kota. Tidak hanya buku-buku yang beragam, tapi juga berbagai program edukasi dan kegiatan budaya yang sering diadakan di sini. Aku merasa bahwa tempat ini lebih dari sekadar tempat membaca; ia adalah wadah yang memungkinkan orang untuk bertumbuh dan belajar, menciptakan ruang bagi pengetahuan dan kreativitas yang berkembang di tengah kota metropolitan ini.

0 comments:

Posting Komentar