Part Sebelumnya : DISINI
Kampung Adat Prai Ijing dari atas bukit..
Hoaahm… pagi telah kembali menyapa. Selamat pagi dunia...kembali bersyukur tidur semalam cukup nyenyak dan pagi ini aku masih diberi kesehatan untuk mengawali hari dengan baik. Tidak menunggu lama aku segera mandi dan bersiap-siap. Begitu keluar kamar, aku disambut oleh udara pagi Tambolaka yang sejuk. Hari ini kami bersiap agak pagi karena berdasarkan jadwal yang dibuat Arin, kami akan mengunjungi wisata di tiga kabupaten sekaligus yaitu Bendungan Waikelo Sawah yang masih berada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kampung Adat Prai Ijing yang berada di Kabupaten Sumba Barat, dan Bukit Warinding yang berada di Kabupaten Sumba Timur; dimana kami akan mengakhiri hari dengan menginap di hotel Kota Waingapu di Sumba Timur. Artinya, roadtrip sebenarnya akan dimulai. Kami akan menempuh jarak cukup jauh hari ini dari barat ke timur. Menilik dari google maps, total jarak tempuh kami adalah 172 km.
Rute perjalanan hari ini...
Sejak semalam, kami sudah packing semua barang-barang. Setelah sarapan sederhana dari hotel —sepiring nasi goreng hangat, telur mata sapi, dan secangkir teh manis—kami langsung masuk ke mobil yang sudah standby.
Rasa excited tentu mulai muncul setelah keindahan-keindahan yang kami lihat kemarin. Aku yakin hari ini jalanan akan menantang dan pemandangan bakal luar biasa. Dari desa-desa tradisional, bukit-bukit sabana, rumah adat, biru kristal laguna, sampai senyum anak-anak lokal yang tulus di sepanjang perjalanan—semuanya sudah ada dalam bayangan.
Dan begitulah, mesin mobil pun dinyalakan, perlahan meninggalkan Kota Tambolaka. Di balik jendela, kota kecil ini mulai menghilang dari pandangan. Destinasi pertama kami hari ini adalah Bendungan Waikelo Sawah, sebuah bendungan unik yang juga berfungsi sebagai sumber irigasi utama bagi pertanian. Dari Tambolaka, perjalanan menuju Waikelo Sawah memakan waktu sekitar 45-60 menit, dengan jarak sekitar 30 kilometer ke arah selatan, mendekati perbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah.
Begitu sampai di lokasi, pemandangan pertama yang aku lihat adalah air jernih mengalir deras dari dalam gua. Iya, dari gua! Dan bukan gua biasa, tapi gua dengan warna air biru toska yang bening banget sampe dasar-dasarnya kelihatan. Saking jernihnya, aku pengen banget segera merendam kaki disitu. Seger banget pastinya. Aliran air dari gua tersebut mengalir di irigasi yang terlihat begitu bening dan segar. Airnya ngalir tenang membelah pematang sawah yang hijau terbentang luas di kejauhan. Suara gemericik air, ditambah udara bersih pedesaan, langsung bikin hati adem. Aku sempat berhenti cukup lama di sini, sekadar duduk di tepi irigasi sambil ngeliatin sawah dan percikan air — suasananya tenang banget.
Aliran air dari Bendungan Waikelo Sawah
Nama Waikelo Sawah sendiri berasal dari bahasa Sumba, yang terdiri dari dua kata:
"Wai" berarti air
"Kelo" atau "Kelo Sawah" merujuk pada sistem irigasi yang mengalir ke sawah
Jadi, Waikelo Sawah bisa diartikan sebagai "air yang mengalir ke sawah", sesuai dengan fungsi utama bendungan ini yang sejak dulu digunakan untuk mengairi area persawahan dan pertanian di sekitarnya.
Nama ini juga membedakannya dari Waikelo lainnya, karena di Sumba terdapat beberapa sumber air atau sungai yang menggunakan nama Waikelo, tetapi hanya Waikelo Sawah yang memiliki bendungan dan fungsi irigasi utama bagi masyarakat setempat.
Air di Waikelo Sawah berasal dari sumber mata air alami yang berada di dalam gua. Mata air ini begitu melimpah sehingga sejak zaman dahulu digunakan untuk mengairi sawah dan ladang di sekitarnya. Bendungan ini merupakan satu-satunya sistem irigasi besar di Sumba yang berperan penting dalam pertanian lokal. Selain sebagai sumber irigasi, air dari Waikelo Sawah juga digunakan sebagai pembangkit listrik mikro hidro, yang menyuplai listrik ke beberapa desa di sekitar wilayah ini.
"Eh yuk kita naik keatas mendekati gua," kataku ke mereka bertiga.
Kami berjalan lebih dekat hingga ke mulut gua, tempat di mana air deras keluar dari dalam tanah, yang awalnya merupakan sungai bawah tanah di gua. Jalur menuju gua cukup licin dan berbatu, jadi aku berjalan super hati-hati. Saat semakin mendekati, kami bisa melihat air yang keluar dari gua begitu deras dan segar, menciptakan pemandangan yang eksotis dan alami. Tapi buatku yang tidak bisa berenang, membayangkan renang disitu agak ngeri hehehe.. Soalnya alirannya terlihat tenang, menandakan 'mungkin saja' dalam.
Bagian dalam guanya sendiri bikin aku cukup terpukau. Airnya tenang, jernih, dan dikelilingi dinding batu kapur yang berlumut. Cahaya matahari yang masuk dari mulut gua bikin permukaan air berkilau. Rasanya tenang dan damai memandangnya. Tempat ini cocok banget buat ngadem secara fisik maupun batin. Duduk aja di pinggiran batu sambil dengerin suara air, udah cukup bikin hati adem.
Sungai bawah tanah yang keluar dari gua ini merupakan asal muasal air di Bendungan Waikelo Sawah
Waikelo Sawah ini sendiri merupakan sistem irigasi peninggalan yang sudah aktif dari tahun 1976 yang masih aktif sampai sekarang. Fungsinya untuk menyuplai air bersih ke masyarakat sekitar, mengairi sawah-sawah, bahkan dulu sempat digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Jadi bukan cuma indah, tapi juga bermanfaat nyata buat kehidupan warga. Jadi bisa dibayangkan, 1976-2018, wow, debit air yang benar-benar besar.
Derasnya air yang mengalir keluar dari sungai bawah tanah
Kami menghabiskan waktu 40 menit disini. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Adat Prai Ijing, salah satu kampung adat yang paling terkenal, terletak di Kabupaten Sumba Barat. Dari Waikelo Sawah, perjalanan menuju Prai Ijing memakan waktu sekitar 45-60 menit, dengan jarak sekitar 30 kilometer.
Jalan yang kami lalui cukup bersahabat karena lewat jalur utama yang sudah beraspal. Tapi jangan bayangin jalan lurus mulus terus ya — khas Sumba, rute ini tetap dihiasi tanjakan dan tikungan tajam yang cukup menantang. Tapi sebagai gantinya, pemandangan sepanjang jalan nggak main-main. Perbukitan hijau, padang savana, dan rumah-rumah adat Sumba yang muncul di kejauhan bikin mata terus dimanjain.
Begitu tiba di Kampung Adat Prai Ijing, kesan pertama langsung wow. Di atas bukit berdiri megah deretan rumah adat khas Sumba dengan atap tinggi berbentuk kerucut, terbuat dari alang-alang kering. Warna cokelat alami dari kayu dan bambu mendominasi seluruh tampilan rumah, ngasih kesan tradisional yang kuat banget. Jalan setapak berbatu membelah kampung, mengarahkan langkah kami ke tengah-tengah perkampungan.
Penduduk lokal terlihat santai, duduk di beranda rumah sambil ngobrol atau sekadar menikmati angin sore. Beberapa di antaranya tersenyum ramah dan menyapa kami, bikin suasana makin hangat. Anak-anak kecil lari-larian tanpa alas kaki, tertawa lepas. Sementara itu, di sudut lain, tampak ibu-ibu sedang menenun kain tenun khas Sumba di depan rumah mereka — tenang, penuh konsentrasi, tapi tetap ramah ketika kami menyapa.
Di tengah kampung, terdapat batu-batu besar yang merupakan kuburan megalitik leluhur mereka, sebuah ciri khas yang masih dipertahankan dalam budaya Sumba. Batu-batu ini memiliki ukiran dan ornamen khas, mencerminkan status sosial orang yang dimakamkan di sana
Dari kampung ini, pemandangan perbukitan hijau membentang luas sejauh mata memandang. Langit biru, awan menggantung rendah, dan udara yang sejuk bikin betah banget berlama-lama di sini.
Rumah adat di Prai Ijing disebut "Uma Mbatangu", yang artinya rumah menara. Disebut begitu karena bentuk atapnya yang tinggi dan runcing seperti menara. Atap ini biasanya dibuat dari ijuk atau alang-alang, sementara dindingnya dari kayu atau bambu. Uniknya, tinggi atap ini ternyata nggak sembarangan — semakin tinggi atapnya, semakin tinggi pula status sosial pemilik rumah di masyarakat. Jadi selain arsitekturnya keren, rumah-rumah ini juga menyimpan filosofi dan struktur sosial yang dalam.
Secara tradisional, rumah adat di Sumba terdiri dari tiga bagian utama:
1. Bagian bawah (parona) → tempat hewan ternak seperti kuda, babi, dan kerbau.
2. Bagian tengah → tempat tinggal penghuni rumah.
3. Bagian atas (ubuduma) → tempat menyimpan benda-benda pusaka dan hasil panen.
Rumah-rumah ini dihuni oleh masyarakat asli Sumba yang masih memegang teguh adat istiadat Marapu, kepercayaan leluhur yang masih dianut di Sumba hingga sekarang.
Dari sini, kami melanjutkan perjalanan menuju Bukit Warinding. Jarak dari Kampung Adat Prai Ijing ke Bukit Warinding sekitar 40-45 menit, dengan jarak sekitar 25 km. Kami melewati jalanan berbatu dan beberapa tanjakan curam, tetapi pemandangan sepanjang perjalanan membuat rasa lelah kami terbayar lunas. Rute yang kami lalui menuju Bukit Warinding terkenal sebagai salah satu rute terindah di dunia karena pemandangan alamnya yang memukau, berupa perbukitan hijau yang berkelok-kelok dan lanskap alam yang sangat dramatis.
Setibanya di Bukit Warinding, kami naik ke salah satu view point dan langsung disambut oleh bukit yang terlihat bermelekuk-melekuk, seperti undakan alami yang membentuk pola yang sangat cantik. Saat kami mengunjungi tempat ini pada bulan Desember, semua bukit tampak berwarna hijau subur, hasil dari curah hujan yang cukup tinggi di musim penghujan. Pemandangan ini mirip seperti yang kami lihat di Bukit Lendongara yang kami kunjungi di hari pertama kemarin, hanya Bukit Warinding ini sangat luasss, jauh lebih luas dari Bukit Lendongara. Langit biru yang mulai terang memberi kontras sempurna dengan hijaunya perbukitan. Bukit-bukit kecil itu tampak seperti ombak laut yang membeku, baris demi baris sampai ke ujung horizon.
Dari atas juga, kami melihat sebuah ceruk alami yang terbentuk di tengah pertemuan kaki-kaki bukit. Sekeliling ceruk itu ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan hijau pekat. Ceruk ini memberikan indikasi bahwa sumber air terdapat di sini, memungkinkan pepohonan tumbuh dengan begitu lebat di sekitar aliran sungai tersebut. Vegetasi hijau yang tumbuh di ceruk ini sangat kontras dengan bukit-bukit kering yang lebih tinggi, menciptakan pemandangan yang memukau dan menambah keindahan alami Bukit Warinding. Kami merasa sangat beruntung bisa menyaksikan keajaiban alam ini, di mana air dan kehidupan tumbuh subur di tengah gurun perbukitan Sumba yang menakjubkan.
Setelah puas menjelajah dan mengagumi pemandangan, kami pun mulai sibuk dengan urusan dokumentasi wkwk. Beberapa dari kami duduk di atas batu kapur putih yang jadi semacam spot alami buat selfie. Aku pun sempat ambil foto bareng teman-teman, dengan latar belakang perbukitan hijau membentang luas — foto yang pastinya akan jadi kenangan yang awet banget. Angin di atas bukit cukup kencang, bikin jilbab dan kemeja beterbangan, tapi justru itu yang bikin suasana makin hidup.
Setelah menikmati keindahan Bukit Warinding, perjalanan kami berlanjut ke destinasi terakhir hari itu — Pantai Walakiri, yang udah lama terkenal sebagai spot sunset paling magis di Sumba.
"Itu nanti ada pohon-pohon bakau unik yang berdiri sendiri-sendiri di garis pantai. Pas sunset jadi keren banget siluet pohon-pohon bakaunya," kata Arin menjelaskan ketika aku bertanya tentang sunset ini.
Perjalanan dari Warinding ke Walakiri sekitar 30–40 menit. Dan untungnya, kami tiba di sana saat sore masih cukup muda. Langit masih terang, suasana pantai belum terlalu ramai, dan waktu rasanya berjalan pelan. Kami pun memutuskan untuk duduk-duduk santai dulu di pasir pantai yang lembut, menikmati desir angin laut yang berhembus sepoi-sepoi.
Beberapa menit kemudian, matahari semakin turun ke arah barat dan langit mulai menyuguhkan pertunjukan cahaya yang luar biasa. Warna oranye pastel mulai muncul di horizon, disusul gradasi ungu dan merah muda yang menyebar ke seluruh langit barat. Matahari turun perlahan ke laut, dan cahaya lembutnya mulai memantul di permukaan air dangkal, menciptakan kilau yang seperti kaca.
Dan di tengah momen itu — pohon-pohon bakau yang jadi ikon Pantai Walakiri, mulai mempertontonkan kemagisannya. Bentuknya nggak seperti bakau biasa. Batangnya melengkung elegan, akarnya menjulang keluar dari pasir dan air dangkal, menciptakan siluet dramatis yang bener-bener artistik. Rasanya kayak ada di galeri seni, tapi versi alam liar.
Kami pun nggak mau kehilangan momen. Kamera langsung keluar semua. Di titik itu, cahaya sunset lagi “mateng-matengnya”. Warna langit berubah cepat, dari peach ke pink, terus ke ungu tua. Dan setiap detiknya berubah. Kami mengambil foto dengan latar belakang pohon-pohon bakau yang berdiri gagah di atas pantulan air. Komposisinya luar biasa. Bahkan hanya dengan berdiri di situ tanpa pose berlebihan, hasil fotonya udah keren banget.
Beberapa foto kami tunjukin bayangan refleksi sempurna pohon-pohon itu di atas pasir basah. Langit seolah meleleh ke bawah, dan pohon-pohon itu jadi semacam penjaga senja. Momen kayak gini cuma bisa didapetin beberapa menit saja — ketika cahaya dan air dalam kondisi paling ideal.
Saat langit mulai gelap, justru warna-warna senja makin jadi. Merah oranye yang tadinya lembut berubah jadi merah pekat, berpadu dengan ungu tua dan semburat biru gelap yang mulai mengambil alih langit. Momen transisi ini luar biasa, dan jujur — ini bagian paling aku tunggu.
Kami pun kembali ke barisan pohon bakau yang berdiri megah di tengah pasir basah. Tapi kali ini nuansanya berubah total. Siluet pohon-pohon itu terlihat makin tegas dan dramatis, tercermin sempurna di permukaan air dangkal. Langit terbakar jingga-merah, dan refleksi warna itu tumpah ke seluruh permukaan pantai — kayak cermin besar yang memantulkan lukisan alam.
Indahnya... can't say a word..
Beberapa temanku sibuk mengambil foto siluet. Ada yang berdiri tepat di antara batang-batang bakau, menciptakan siluet manusia di tengah bentang pohon yang bentuknya artistik banget. Di satu titik, aku sempat berdiri sendiri menghadap lautan, hanya ditemani cahaya merah dari langit dan suara debur kecil ombak. Rasanya memang beneran magis.
Kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum gelap total. Setiap detik terasa mahal. Awan-awan yang tadinya cuma background, sekarang berubah jadi elemen penting, menyerap warna langit dan memantulkannya ke air di bawah.
Selain berfoto, aku juga meluangkan waktu sejenak menikmati momen tenang ini dengan mata, merasa bersyukur atas keputusan melakukan perjalanan ini. Sunset ini benar-benar memikat hati, meninggalkan kenangan indah yang sulit untuk dilupakan.
Saat pantai sudah benar-benar menjadi gelap, kami melanjutkan perjalanan menuju Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, untuk beristirahat setelah hari yang penuh petualangan. Perjalanan dari Pantai Walakiri ke hotel di Waingapu memakan waktu sekitar 1-1,5 jam. Begitu tiba di hotel, kami langsung check in, makan dan setelahnya beristirahat. Terimakasih Sumba untuk hari ini. Kamu sangat cantik!
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar