Part Sebelumnya : DISINI
Setelah tiga hari menjelajahi keindahan alam dan budaya Sumba dari barat ke tengah, akhirnya kami tiba juga di ujung timur pulau ini — Waingapu, kota yang jadi gerbang menuju sisi Sumba Timur. Kalau hari-hari sebelumnya kami disuguhi perbukitan hijau dan kampung adat, kali ini waktunya bertemu hamparan savana kering yang eksotis, panas, dan liar. Tapi justru di situ letak daya tariknya.
Semalam aku, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu menginap di sebuah hotel sederhana di Waingapu. Badan sudah mulai terbiasa dengan ritme petualangan yang padat. Pagi ini, saat matahari baru mulai naik pelan-pelan di ufuk timur, kami turun ke lobi hotel sambil menguap kecil (wkwk), masih setengah ngantuk tapi excited. Sekitar pukul 08.00, driver kami datang menjemput. Mobil meluncur pelan, dan perjalanan menuju Padang Savana Puru Kambera pun dimulai.
Jaraknya sekitar 25 kilometer ke arah timur dari kota, dengan estimasi waktu 30–40 menit. Awalnya, jalanan mulus banget — aspal hitam membentang, dengan latar pemandangan khas pedesaan Sumba: rumah-rumah sederhana, ladang, dan aktivitas pagi warga yang masih berjalan santai. Tapi begitu mulai menjauh dari kota, jalan mulai bervariasi. Beberapa lubang kecil muncul, lalu aspal mulai putus, dan akhirnya berubah jadi jalanan tanah berbatu yang cukup berdebu.
Di sepanjang perjalanan, aura Sumba Timur mulai terasa. Bukit-bukit tandus, ilalang yang mengering ditiup angin, dan pohon-pohon lontar yang berdiri tegak sendiri seperti penjaga sunyi savana — semuanya menciptakan pemandangan yang khas dan fotogenik banget. Langit biru cerah tanpa awan jadi latar sempurna untuk semua itu. Sesekali kami juga melihat rumah-rumah panggung tradisional Sumba, atapnya dari rumbia dan dinding bambu, berdiri tenang di tengah ladang atau dekat pohon-pohon jarang.
Begitu tiba, kami langsung disambut pemandangan yang sangat luas dan terbuka. Padang Savana Puru Kambera adalah hamparan padang rumput yang tampak tak berujung. Di musim kemarau seperti sekarang, warna kecoklatan mendominasi, menciptakan lanskap yang eksotis. Jika datang saat musim hujan, savana ini berubah menjadi hijau subur, tetapi saat ini, rerumputan kering bergoyang diterpa angin, memberikan kesan sepi namun indah.
Kami turun dari mobil dan mulai berjalan menyusuri savana. Udara terasa hangat meski matahari belum terlalu tinggi. Beberapa ekor kuda liar terlihat merumput di kejauhan, salah satu ciri khas dari savana ini. Kuda-kuda ini bukan sepenuhnya liar, sebagian besar dimiliki oleh warga setempat yang membiarkan mereka berkeliaran bebas. Selain kuda, ada juga sapi dan kerbau yang sesekali terlihat di kejauhan.
Vegetasi di sini cukup khas. Selain ilalang yang mendominasi, ada pohon-pohon lontar yang tumbuh menyebar, memberikan sedikit keteduhan di tengah padang yang terbuka. Beberapa burung kecil terbang rendah di antara rerumputan, dan jika beruntung, bisa melihat burung elang melayang tinggi di angkasa mencari mangsa.
Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di sini, menikmati lanskap yang terasa begitu luas dan tenang. Angin berembus perlahan, membawa aroma rumput kering dan tanah yang panas. Rasanya seperti berada di Afrika, dengan padang savana yang membentang luas sejauh mata memandang.
Setelah puas menikmati padang savana, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Puru Kambera, yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari savana. Perjalanan tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 15 menit, tetapi jalanan semakin berbatu dan berdebu mendekati pantai.
Begitu tiba, kami langsung disambut dengan suara deburan ombak yang tenang. Pantai ini masih sangat alami dan sepi, tidak banyak wisatawan yang datang. Pasirnya putih kecoklatan, membentang panjang dengan garis pantai yang luas. Air lautnya luar biasa jernih, berwarna biru toska, kontras dengan pasir dan langit yang cerah.
Saat melangkah ke tepi pantai, kami langsung merasakan panasnya pasir di bawah kaki. Matahari sudah cukup terik, dan angin laut bertiup cukup kencang, membawa aroma garam. Ombak di sini tidak terlalu besar, cukup tenang untuk sekadar bermain air atau berendam di tepi.
Kami berjalan menyusuri pantai, merasakan hembusan angin yang menerpa wajah. Arin dan Mbak Hayu langsung melepas sandal dan bermain air di tepi pantai, sementara aku dan Fredo memilih duduk di bawah pohon ketapang yang tumbuh di dekat bibir pantai, menikmati pemandangan laut yang begitu luas.
Pantai Puru Kambera benar-benar menawarkan ketenangan. Tidak ada deretan warung atau keramaian turis, hanya kami, suara ombak, dan angin yang terus berembus. Setelah puas menikmati suasana pantai, kami akhirnya kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Hari keempat di Sumba masih panjang, dan kami tidak sabar untuk melihat lebih banyak keajaiban alam pulau ini.
Setelah menikmati Pantai Puru Kambera yang tenang, kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Tanggedu, salah satu air terjun tersembunyi di Sumba Timur yang sering dijuluki "Grand Canyon-nya Sumba". Dari Pantai Puru Kambera, perjalanan menuju Tanggedu memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2 jam, dengan jarak sekitar 46 kilometer ke arah utara Waingapu.
Awalnya, kami masih melaju di jalan nasional yang cukup bagus. Namun, setelah beberapa kilometer, kami berbelok masuk ke jalan tanah yang mulai menantang. Jalan ini membelah perbukitan, berkelok-kelok mengikuti lekukan alam, dengan pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit savana khas Sumba terbentang di sekeliling, sebagian besar berwarna kecoklatan karena musim kemarau, dengan beberapa pepohonan lontar tumbuh di sela-sela lereng.
Semakin jauh masuk, kondisi jalan semakin sulit. Beberapa bagian masih berbatu dengan debu yang cukup tebal, membuat perjalanan terasa lebih lambat. Di beberapa titik, kami harus melewati tanjakan dan turunan curam, memberikan sensasi petualangan yang sebenarnya. Meski begitu, perjalanan ini justru membuat kami semakin antusias untuk melihat keindahan yang tersembunyi di ujung jalan ini.
Setelah berkilo-kilometer membelah perbukitan, akhirnya kami tiba di sebuah desa kecil yang menjadi titik awal trekking menuju Air Terjun Tanggedu. Begitu kami turun dari mobil, beberapa penduduk lokal menghampiri dan menyarankan kami untuk menyewa guide karena dari titik ini, masih dibutuhkan trekking sekitar 45 menit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati bukit dan lembah. Setelah berdiskusi sejenak, kami menyetujui menggunakan guide dengan tarif Rp 100.000/antar. Guide kami ternyata seorang gadis kecil lokal.
"Mari kak ikut saya," katanya dengan ramah.
Awal perjalanan masih terasa ringan. Jalan setapak melintasi ladang-ladang penduduk dan bukit-bukit hijau yang mengapit kami di kiri dan kanan. Tapi, karena kami berangkat menjelang siang, matahari mulai naik tinggi, dan sengatannya mulai terasa di kulit. Langit bersih tanpa awan, dan jalur yang kami lewati jarang ada naungan pohon besar. Seiring waktu, langkah jadi makin lambat. Keringat mulai mengucur deras. Sinar matahari memantul dari tanah kering dan bebatuan.
Yang bikin tetap semangat adalah pemandangan sepanjang jalur. Sumba ini seperti lukisan hidup. Bukit-bukit hijau menjulang gagah, sebagian tampak seolah dipotong rapi, memperlihatkan lapisan-lapisan tanah dan batu kapur. Jalur trekking yang kami lewati kadang naik, kadang turun, kadang rata, lalu menanjak kembali. Peluh bercucuran? Sudah pasti. Nafas ngos-ngosan? Wajar. Tapi hati senang? Jelas! Jarang-jarang kan kami menjumpai pemandangan seperti ini di tempat kami.
Tapi seindah-indahnya pemandangan, panasnya siang itu tetap jadi tantangan. Matahari bulan Desember di Sumba ternyata tidak kalah menyengat. Kami duduk bersila di tanah, membuka bekal air minum, sambil mengipasi wajah dan saling melempar canda. Panasnya siang hari terasa lebih bersahabat saat ada tawa dan semangat bareng teman seperjalanan.
Setelah istirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan sengatan matahari yang masih membakar. Tapi tiap kali kami berpikir, “Masih jauh nggak sih ini air terjun?”, pemandangan sekeliling terus membalas dengan keindahan. Bukit-bukit menjulang seperti pelindung raksasa, padang luas tanpa batas, dan langit biru bersih—semuanya seolah menguatkan langkah kami untuk terus maju.
Hingga akhirnya, setelah sekitar 45–50 menit berjalan, sebuah papan kayu sederhana menyambut kami: “Selamat Datang di Air Terjun Tanggedu”. Rasanya seperti melihat oasis di tengah padang yang luas. Meski air terjunnya belum terlihat dari situ, keberadaan papan itu seperti alarm bahwa perjuangan kami hampir berakhir. Rasa lelah sedikit sirna, digantikan rasa semangat yang baru karena tahu tujuan kami sudah dekat.
Akhirnya, tidak lama kemudian, kami mendengar suara gemuruh air yang semakin jelas. Tak lama, kami sampai di pinggir sebuah aliran sungai yang dikelilingi formasi bebatuan besar berwarna putih pucat. Air sungai mengalir lembut di sela-sela batuan, menciptakan panorama yang sangat kontras dengan pemandangan perbukitan kering yang kami lewati sebelumnya. Kami sempat berhenti sejenak di sini, terpana dengan keindahan alam yang begitu unik—hamparan batu kapur yang tampak seperti pahatan alam, seolah sungai ini telah mengukirnya perlahan selama ribuan tahun.
Dari titik ini, kami masih harus melanjutkan sedikit lagi perjalanan sekitar lima menit menyusuri aliran sungai. Jalurnya cukup menantang karena harus melewati bebatuan yang licin dan naik-turun, tapi semua itu terbayar lunas saat akhirnya kami tiba di depan Air Terjun Tanggedu.
Dari titik pandang ini, kami bisa melihat keseluruhan lanskap air terjun yang luas dan bertingkat-tingkat. Di sisi kiri, air terjun utama mengalir deras menuruni dinding batu seperti tirai raksasa yang membentang. Airnya jernih dan deras, jatuh ke kolam alami berwarna hijau toska yang tenang di bawahnya. Tepat di depannya, aliran sungai terus mengalir menyusuri celah-celah batu kapur berlapis-lapis, seolah-olah membentuk jalan air alami yang mengarahkan mata hingga ke kejauhan.
Sementara itu, di sisi kanan, ada aliran lain yang tak kalah dramatis, jatuh dari undakan batuan kapur yang lebih kecil tapi membentuk aliran cantik yang seperti mengalir dari sela-sela jari bumi. Dinding-dinding tebing tinggi yang mengapit air terjun ini menambah kesan megah dan tersembunyi—benar-benar seperti surga kecil yang disembunyikan di balik bukit-bukit Sumba.
Beberapa pengunjung terlihat berdiri di bebatuan tengah sungai untuk berfoto, sementara yang lain duduk santai di pinggir kolam menikmati kesejukan air dan panorama yang menghipnotis. Suasana di sini terasa damai, hanya diiringi suara gemuruh air, angin semilir, dan gelegak riang air yang membentur batu.
Air terjun ini tidak seperti air terjun tinggi yang jatuh dalam satu aliran deras, melainkan lebih seperti serangkaian cascading waterfalls, di mana air mengalir deras melewati celah-celah batu dan membentuk kolam alami di beberapa titik. Aliran air yang kuat menciptakan riak-riak kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari. Kami bisa mendengar suara air menghantam batu, menciptakan suasana yang begitu alami dan menenangkan.
Di dekat air terjun, beberapa mama terlihat menjual kelapa muda. Melihat kami yang kepanasan setelah trekking, mereka langsung menawarkan kelapa segar. Tanpa pikir panjang, kami pun membeli beberapa butir. Sensasi air kelapa dingin yang segar setelah trekking panjang benar-benar menyegarkan. Kami menghabiskan waktu cukup lama di sini, menikmati kesegaran air, berfoto dengan latar bebatuan yang eksotis, dan berbincang dengan penduduk lokal. Suasana begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya ada suara air terjun, tawa wisatawan, dan angin yang berhembus lembut.
"Kalau mau bisa coba naik ke atas kak, pemandangannya bagus," kata seorang mama kepadaku.
"Oh iya ma, bisa ya naiknya?" Jawabku.
"Bisa kak, itu ada jalannya. Hati-hati aja soalnya agak licin."
Kami akhirnya memutuskan untuk naik ke atas. Jalurnya sempit dan berbatu. Dari atas sini, pemandangan air terjun terlihat lebih jelas dan luas. Kami bisa melihat aliran sungai yang berliku di antara tebing, dan formasi batu yang makin terlihat artistik. Kemudian karena waktu sudah mendekati ashar, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu yang beragama Muslim hendak shalat. Mereka mengambil air wudhu dari sungai lalu menunaikan salat di atas batu datar yang cukup luas. Ada rasa damai melihat mereka menunaikan ibadah di tengah keheningan alam, dengan gemuruh air sebagai background alami.
Setelahnya kami pun duduk santai sembari menyelupkan kaki ke aliran sungai yang sejuk. Diam sejenak. Menikmati setiap belaian alam. Momen ini bukan cuma soal perjalanan atau destinasi, tapi soal bagaimana alam perlahan-lahan membasuh penat, menyisakan rasa syukur yang dalam.
Setelah puas menikmati keindahan Air Terjun Tanggedu, kami bersiap untuk perjalanan pulang, kembali menapaki jalur trekking yang menantang. Meski harus berjalan kaki lagi sejauh 45 menit, rasanya tidak terlalu berat karena hati masih dipenuhi oleh keindahan yang baru saja kami lihat. Sumba memang penuh kejutan, dan hari keempat ini menjadi salah satu pengalaman terbaik dalam perjalanan kami.
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar