Trip ini merupakan rangkaian trip Thailand - Kamboja - Malaysia yang kulakukan dari 23 Januari 2012 - 2 Februari 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan linknya di bagian paling bawah postingan.
Part Sebelumnya : DISINI
Kuala Lumpur, 1 Februari 2012
Hari ini adalah malam terakhirku dan Alfi di Kuala Lumpur. Setelah dua hari muter-muter ke hampir semua bangunan penting di sekitar Pasar Seni—bahkan sebelumnya udah muter-muter Thailand dan Kamboja juga—sejujurnya kami udah capek banget. Sebagian besar siang itu kami habisin cuma tiduran nggak jelas di hotel. Niatnya mau leyeh-leyeh total, recharge tenaga sebelum pulang.
Tapi sekitar jam 5 sore, entah kenapa tiba-tiba aku berubah pikiran, pengen keluar lagi. Ada daerah di Kuala Lumpur namanya Little India yang kemarin belum sempat kami jelajahi.
"Fi, mau nggak kita keluar eksplor Little India?Mumpung hari terakhir ni," kataku.
"Boleh, yuk siap-siap sekalian cari makan," kata Alfi dengan semangat.
Di tengah perjalanan, kami mampir dulu makan nasi goreng India (nasi briyani)—yang porsinya seabrek! Lengkap sama teh tarik panas yang sangat lezat.
Kami melanjutkan langkah kaki, dan tak lama kemudian, aku menemukan Gereja St. Andrew’s Presbyterian Church. Ini adalah salah satu tempat yang menarik untuk aku sambangi selama perjalanan. Gereja ini punya sejarah panjang dan mendalam yang menggambarkan perkembangan iman di kota ini.
St. Andrew's Presbyterian Church didirikan pada tahun 1825, menjadi salah satu gereja tertua di daerah ini, dengan arsitektur yang sangat menonjol, menggabungkan elemen klasik dan modern. Sejak awal berdirinya, gereja ini telah menjadi pusat rohani yang penting bagi komunitas Skotlandia yang tinggal di kota ini. Sebagai tempat ibadah, gereja ini juga berperan dalam kegiatan sosial dan pendidikan, memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk komunitas di sekitar kawasan.
Langkah kaki kami membawa kami melewati salah satu bangunan yang langsung menarik perhatian—Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur. Dari kejauhan saja, bangunannya sudah mencolok dengan arsitekturnya yang unik dan penuh ornamen. Bentuknya seperti perpaduan antara istana dan masjid, dengan kubah-kubah putih, menara ramping, dan jendela-jendela melengkung bergaya Mughal yang khas.
Aku nggak masuk ke dalam, cuma berfoto dari luar. Tapi bahkan dari luar saja, bangunan ini benar-benar punya aura sejarah yang kuat. Jalan di depannya tidak terlalu ramai sore itu, jadi aku bisa berdiri dengan leluasa untuk mengambil beberapa foto. Alfi membantuku motret dengan latar menara yang menjulang di belakang, dan aku sempat beberapa kali cuma berdiri memandangi bangunan ini sambil membayangkan zaman ketika kereta-kereta uap mungkin masih berhenti di stasiun ini.
Sedikit sejarahnya, Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur dibuka pada tahun 1910 dan dirancang oleh arsitek Inggris bernama Arthur Benison Hubback. Arsitektur bangunan ini menggabungkan gaya Indo-Saracenic atau Mughal Revival—sebuah gaya yang populer di masa kolonial Inggris di Asia Selatan. Dulu, bangunan ini adalah pusat utama perkeretaapian di Malaysia sebelum KL Sentral dibangun.
Meskipun perannya kini sudah banyak tergantikan, stasiun ini tetap berdiri gagah sebagai simbol warisan kolonial yang masih dirawat.
Di seberang Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur, kami menjumpai bangunan megah lainnya yang ternyata adalah bangunan KTM Berhad, atau dikenal juga sebagai Kantor Pusat Kereta Api Tanah Melayu. Letaknya persis di seberang Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur, dan arsitekturnya nggak kalah mencolok. Begitu melihat fasad bangunannya yang simetris dan penuh lengkungan khas arsitektur Indo-Saracenic, aku langsung berhenti dan mengajak Alfi untuk mengambil beberapa foto dari seberang jalan.
Kami memang nggak masuk ke dalam, hanya berfoto dari luar. Tapi tetap saja, berdiri di depan bangunan bersejarah yang megah seperti ini memberi sensasi tersendiri—seolah sedang menyaksikan potongan sejarah kolonial yang masih berdiri gagah di tengah kota modern.
Sedikit sejarahnya, bangunan ini dibangun pada tahun 1917 dan dirancang oleh arsitek yang sama dengan stasiun di seberangnya, yaitu Arthur Benison Hubback. Gaya arsitektur Mughal yang dipadukan dengan unsur Eropa benar-benar menjadikan gedung ini salah satu landmark arsitektur kolonial paling ikonik di Kuala Lumpur. Saat ini, bangunan ini menjadi kantor pusat dari Keretapi Tanah Melayu Berhad (KTMB), perusahaan kereta api nasional Malaysia. Warna lampu yang menyala saat menjelang malam membuat bangunan ini cukup cantik.
Setelah sempat berfoto-foto dan berjalan kaki melewati beberapa bangunan kolonial yang ikonik, Alfi bilang, “Aku sekalian sholat ya.” Maka kami pun mengarah ke masjid ini yang lokasinya tak jauh dari Stasiun Kereta Api Kuala Lumpur.
Masjid Negara langsung mencuri perhatian dengan bentuk arsitekturnya yang unik dan modern. Atap masjid ini berbentuk seperti bintang bersudut 18, dan menaranya menjulang tinggi, menjadi salah satu landmark utama kota Kuala Lumpur. Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1965 sebagai simbol kemerdekaan Malaysia, menggantikan ide pembangunan monumen kemenangan. Sebagai masjid nasional, tempat ini bukan hanya pusat ibadah tapi juga simbol persatuan dan kemajuan bagi negara.
Sayangnya, aku nggak bisa ikut masuk karena pakaian yang kupakai saat itu tidak memenuhi syarat masuk ke area suci. Aku nggak bawa jaket, dan kepala juga nggak tertutup. Alhasil, aku hanya duduk-duduk santai di area luar, di bawah pohon palem dan di dekat kolam air mancur berbentuk bintang yang menjadi bagian dari lanskap halaman depan masjid.
Duduk di sana sore hari cukup menenangkan. Angin sepoi-sepoi mulai terasa setelah seharian berjalan kaki. Sambil menunggu Alfi selesai sholat, aku memperhatikan suasana sekitar. Ada beberapa wisatawan lain juga yang duduk-duduk di luar, sebagian sibuk memotret, sebagian hanya diam seperti aku, menikmati suasana sakral dan hening di tengah hiruk pikuk kota besar.
Setelah Alfi selesai shalat, kami memutuskan buat balik ke hotel karena waktu udah menunjukkan jam 8 malam.
Tapi saat balik itulah semuanya mulai terasa aneh.
Rute yang tadi siang rame, sekarang jadi sepi dan gelap. Jalanan hanya diisi mobil-mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Kami sempat bingung karena merasa tersesat. Semuanya terlihat berbeda di malam hari. Dan parahnya… kami lupa arah pulang.
Pas lagi jalan, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul, jalan mendahului kami. Awalnya aku nggak terlalu curiga. Tapi tiba-tiba dia berhenti, balik arah, dan kami pun berpapasan. Dia nanya kami mau ke mana, aku jawab aja seadanya, “Ke arah Little India.”
Dia ngasih arahan, tapi nggak jelas. Feeling aku langsung bilang: ini arahnya justru makin jauh dari KL Sentral, dari hotel kami. Apalagi pas supir taksi yang kami tanya juga bilang arah yang dia tunjuk itu malah menjauh. Aku mulai waspada.
Kami pun putuskan untuk balik arah. Anehnya, si mas-mas itu juga berhenti lagi, bersandar di tembok gitu aja. Kami makin nggak nyaman, langsung nyebrang ke sisi lain jalan. Eh, dia ngikutin, tapi nggak nyebrang. Dia cuma berdiri di seberang, ngeliatin.
Kami nyebrang lagi, makin menjauh. Tapi... dia ikut nyebrang juga. Mulai saat itu, aku beneran deg-degan. Parno level maksimal. Jantung deg-degan, keringat dingin. Aku udah ngebayangin semua skenario terburuk—dicopet, dijambret, atau lebih parah.
Akhirnya, dengan sisa harapan, aku coba nyetop taksi. Tapi apes, taksi pertama nolak karena udah ada penumpang. Kami lari lagi. Nyetop taksi kedua... akhirnya berhenti. Tanpa mikir panjang, kami langsung masuk. 10 ringgit? Aku rela bayar berapapun asal bisa selamat.
Dalam waktu 10 menit, kami tiba di penginapan. Masih shock tapi sedikit lebih tenang. Aku sempat beli minuman di mini market depan hotel. Dan saat itulah, brak! Aku liat si laki-laki itu—lagi!—lewat depan market, matanya langsung nyasar ke aku. Tatapannya tajem banget, kayak elang ngeliatin mangsa. Gila, jantung aku rasanya copot lagi.
Atau sebenarnya itu aku berhalusinasi aja karena terlalu terguncang kejadian tadi?? Maksudnya, mungkin itu orang yang berbeda. Kebetulan memang lagi kontak mata dengan aku. Aku yang ketakutan menginterpretasikan begitu.
Malam itu, aku hampir nggak bisa tidur.
Aku kunci kamar rapat-rapat. Aku takut dengan jendela kamar mandi yang ngarah ke luar . Sepanjang malam cuma ditemani ESPN. Tiap dengar suara kecil di luar, mata aku langsung melek, deg-degan nggak karuan.
Namun ternyata tubuhku terlalu lelah. Sekitar jam 3 pagi, dengan ketakutan yang masih tersisa, aku perlahan tertidur...
0 comments:
Posting Komentar