Part Sebelumnya : DISINI
Hari kelima di Sumba, hari terakhir kami sebelum terbang kembali ke Denpasar lalu lanjut ke Jogja. Pagi itu, setelah check-out dari hotel di pusat kota Waingapu, aku, Arin, Fredo, dan Mbak Hayu langsung melanjutkan perjalanan terakhir kami di pulau ini. Tujuan utama kami pagi itu adalah Bendungan Kambaniru, salah satu ikon penting di Sumba Timur.
Perjalanan dari kota menuju bendungan terasa menyenangkan. Mobil kami melaju melewati deretan bukit khas Sumba yang menggulung lembut, dengan warna keemasan yang mencolok di bawah sinar matahari pagi. Pemandangan bukit-bukit itu seperti lautan yang diam—hening, luas, dan memukau. Sumba benar-benar punya cara sendiri untuk memanjakan mata.
Sesampainya di Bendungan Kambaniru, kami langsung disuguhi dengan pemandangan air bendungan yang membentang tenang, dan di sekelilingnya, bukit-bukit hijau menjulang dalam diam. Kami sempat berfoto-foto di beberapa titik, menikmati momen terakhir kami di alam terbuka Sumba. Di sekitar Bendungan Kambaniru, bukit-bukit hijau menjulang dengan bentuk yang melekuk-melekuk cantik. Bukit-bukit ini tampak seperti gelombang yang perlahan mengalir, dengan warna hijau segar dari pepohonan yang menghiasi setiap lerengnya.
Bendungan Kambaniru sendiri bukan sekadar cantik. Bendungan ini dibangun sejak tahun 1992 dan selesai pada 1996, dan berfungsi sangat vital untuk masyarakat sekitar. Ia mampu mengairi sekitar 1.740 hektar lahan pertanian di Kabupaten Sumba Timur—sumber kehidupan yang sangat berarti di tanah yang cukup kering ini.
Setelah cukup puas menikmati pemandangan dan mengabadikan kenangan lewat kamera, kami langsung diantar oleh driver ke rumah makan yang searah dengan bandara. Tidak mampir ke tempat lain, kami memilih makan siang santai di sana sambil menikmati detik-detik terakhir perjalanan ini. Obrolan ringan, tawa kecil, dan rasa kenyang perlahan menggiring kami ke momen perpisahan.
Setelah makan siang, kami pun meluncur ke Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu. Saat duduk di ruang tunggu, rasanya campur aduk. Perjalanan lima hari ini terasa begitu cepat, tapi penuh warna. Dari bukit Wairinding, Pantai Walakiri, savana-savana luas, hingga hari ini di Bendungan Kambaniru, semuanya akan membentuk memori yang abadi di hidupku.
Penerbangan dari Waingapu ke Denpasar berlangsung lancar tanpa ada turbulensi berarti, sekitar 1,5 jam yang terasa cepat. Sekitar jam 4 sore, kami sudah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Begitu tiba, rasanya campur aduk. Ini adalah titik perpisahan kami berempat setelah beberapa hari penuh petualangan di Sumba.
Aku dan Fredo akan melanjutkan perjalanan ke Jogja, sementara Arin harus terbang ke Surabaya, dan Mbak Hayu menuju Jakarta. Sejujurnya, aku seharusnya langsung ke Surabaya, karena besok sudah harus kembali kerja. Namun, karena tiket SJ Travel Pass tujuan Surabaya sudah habis, aku harus terbang ke Jogja dulu, baru naik kereta malam ini juga menuju Surabaya. Meskipun perjalanan harus sedikit lebih panjang, setidaknya aku masih bisa menikmati beberapa jam di Jogja sebelum kembali ke rutinitas.
Aku dan Fredo akhirnya sampai di Jogja sekitar jam 7 malam. Setelah berpamitan singkat di bandara, Fredo langsung meninggalkan aku karena sudah dijemput adiknya. Memang dia orang Jogja asli, jadi bisa langsung istirahat di rumah. Sementara itu, perutku sudah mulai keroncongan, jadi aku keluar bandara dan makan mie geprek di stand bandara yang rasanya cukup memuaskan.
Setelah makan, aku naik ojek menuju Stasiun Tugu untuk menunggu keretaku. Keretaku masih lama, yaitu jam 2 dini hari, dan aku harus menunggu selama beberapa jam. Rasanya penantian itu cukup menyiksa karena aku ngantuk banget, tapi nggak bisa tidur. Waktu berjalan lambat banget, dan aku mulai merasa semakin lelah.
Akhirnya, jam 2 dini hari pun tiba, dan aku naik kereta menuju Surabaya. Selama perjalanan, aku mencoba tidur, tapi nggak terlalu sukses. Kereta bergetar dan berhenti di beberapa stasiun, sementara aku cuma bisa mencoba mencari posisi tidur yang nyaman.
Setelah perjalanan yang panjang, aku sampai di Surabaya sekitar jam 5 pagi. Langsung menuju kos untuk istirahat sebentar sebelum kembali ke realita—yaitu kerja. Rasanya berat banget, tapi ya begitulah, kehidupan harus terus berjalan!
Meskipun aku sangat capek setelah perjalanan panjang ini, tapi ada rasa puas dan bahagia yang nggak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Perjalanan ini benar-benar seperti mereset otakku, yang sebelumnya hanya dipenuhi pekerjaan dan rutinitas yang kadang membuatnya terasa monoton. Sekarang, otakku terasa lebih ringan, segar, dan penuh dengan kenangan baru yang memuaskan.
Selain itu, perjalanan ini juga punya makna yang lebih dalam bagi aku. Ini adalah perjalanan terakhirku sebagai pegawai, karena per-akhir 2018 ini aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan kantor dan memilih jalur freelance. Sebuah langkah besar yang tentu saja membawa banyak tantangan, tapi aku merasa siap untuk menjalani hal baru. Beberapa pengalaman seru sudah menunggu di tahun 2019, dan aku tidak sabar untuk menjalaninya.
Terima kasih, Sumba, untuk semua pengalaman yang luar biasa. Kau mengajarkanku banyak hal—tentang keindahan alam, keramahan orang-orang, dan bagaimana menyatu dengan ketenangan. Semoga perjalanan ini menjadi awal dari banyak cerita seru yang akan datang.
FINISHED...
0 comments:
Posting Komentar