Asal muasal aku tertarik mengunjungi China sebenarnya cukup simpel. Sepanjang tahun 2024, banyak konten reels maupun tiktok tentang wisata China yang membanjiri FYP-ku. Awalnya aku cuma scroll-scroll iseng, tapi kok lama-lama jadi sering banget muncul video yang menunjukkan tangga-tangga yang membelah gunung-gunung berkabut, desa-desa tradisional yang sepi tapi luar biasa indah, padang rumput luas yang seakan-akan dekat banget dengan awan, kota modern dengan lampu warna-warni futuristik, pegunungan berwarna-warni dan pegunungan yang mirip latar film Avatar.
Perasaanku waktu nonton tentu aja terkagum-kagum.
"Lho, ini beneran ada di dunia nyata? Dan itu… di China?!"
Serius, vibe-nya tuh nggak main-main. Ada yang keliling naik kereta gantung menembus awan di Zhangjiajie, ada yang eksplor desa-desa cantik seperti Wuyuan atau Xidi, terus ada juga yang jalan-jalan malam di kota Chongqing atau Chengdu yang suasananya kayak gabungan antara cyberpunk dan budaya tradisional. Belum lagi kalau lihat jalan setapak di puncak gunung Huashan yang ekstrem tapi cantik banget—surreal, kayak dunia fantasi. Dan entah kenapa, narasi tentang China yang selama ini kudengar—yang katanya ribet, susah, atau penuh batasan—kayak bertolak belakang banget sama apa yang aku lihat dari para konten kreator. Mereka dengan santai bisa naik kereta cepat, jajan di night market, dan interaksi sama warga lokal yang kelihatan ramah dan helpful.
Dari situ muncul rasa penasaran: "Aku harus lihat sendiri nih. Bener nggak sih seindah itu? Se-tidak nyata itu pemandangannya?"
Dan karena aku tipe orang yang nggak bisa puas cuma dengan nonton, akhirnya China resmi menjadi tempat yang kukunjungi tahun 2025 ini. Dan karena aku suka tujuan antimainstream, serta lokasinya sudah berdekatan dengan China - sayang banget untuk dilewatkan - maka aku memutuskan untuk menambahkan juga Mongolia ke dalam perjalanan ini.
Selanjutnya aku pun mulai serius mencari tahu tentang kota mana aja ya yang cocok buat aku kunjungi? Aku sadar banget, minat wisataku lebih ke alam yang dramatis, budaya lokal yang kental, dan sejarah. Jadi aku butuh destinasi yang bukan cuma cantik di kamera, tapi juga punya cerita dan nuansa.
Setelah beberapa minggu mengulik—dari nonton vlog, baca blog, sampai buka-buka peta digital dan rute kereta—akhirnya aku menyusun draft rencana perjalananku ke China, dan ini destinasi awal yang kupilih:
1. Zhangjiajie
Udah pasti masuk daftar teratas. Pemandangannya kayak dunia lain—gunung batu menjulang tinggi, kabut tipis yang melayang di antara tebing, dan jembatan-jembatan kaca yang bikin lutut gemeter. Tempat ini katanya jadi inspirasi dunia Pandora di film Avatar, dan dari video-video yang aku tonton, suasananya memang kayak negeri dongeng. Alamnya luar biasa, dan cocok banget buat aku yang suka mendaki atau sekadar eksplor tempat-tempat yang bikin speechless.
2. Shaolin Temple
Sebagai pecinta budaya dan spiritual, aku nggak mungkin melewatkan kunjungan ke Kuil Shaolin, yang terletak di kaki Gunung Song, provinsi Henan. Tempat ini nggak cuma terkenal sebagai pusat seni bela diri legendaris, tapi juga punya sejarah panjang sebagai biara Buddha Chan (Zen). Aku ingin melihat langsung para biksu Shaolin berlatih kungfu, mengunjungi kuil tua yang tenang, serta menjelajah Pagoda Forest, kompleks pemakaman kuno yang ikonik. Tempat ini adalah perpaduan antara kekuatan fisik dan ketenangan batin—kombinasi yang sangat menarik buatku.
3. Beijing
Sebenarnya aku sudah pernah mengunjungi Beijing pada tahun 2017, tapi tetap saja kota ini masuk lagi ke daftar. Kenapa? Karena masih banyak tempat yang dulu belum sempat aku jelajahi. Dan jujur aja, aku juga nggak masalah balik lagi ke Tembok Besar China—buatku, pemandangannya tetap luar biasa walau dikunjungi lebih dari sekali. Selain itu, Beijing jadi titik strategis karena dari sinilah aku akan terbang menuju Mongolia. Jadi sekalian saja aku sempatkan eksplor ulang—mungkin kali ini dengan sudut pandang berbeda dan itinerary yang lebih santai.
Setelah puas eksplor China, aku akan lanjut ke negara kedua yaitu Mongolia dengan penerbangan langsung dari Beijing. Entah kenapa, bayangan tentang padang rumput luas, tenda-tenda yurt, dan kehidupan nomaden di bawah langit biru Mongolia itu sangat menggoda.
Berubah Pikiran karena Racun Yunnan
Nah, di suatu waktu yang random, aku ngobrol via chat Instagram dengan Mbak Piksan, travelmate-ku tahun 2012 ke India. Saat itu karena lagi menyelesaikan penulisan trip-ku ke Kolkata, aku meminta file foto-foto kita di Kolkata yang dia punya. Karena aku inget banget, saat itu memori kameraku habis sehingga seluruh foto di Kolkata pakai kamera Mbak Piksan. Di tengah obrolan ringan tentang rencana perjalananku ke China—aku sebutin target ruteku saat itu: Zhangjiajie, Shaolin Temple, Beijing g, dan lanjut ke Mongolia—eh, Mbak Piksan malah nyeletuk santai:
“Kalau kamu suka alam, kamu harus ke Yunnan juga.”
Yunnan? Waduh, dimana ini?? nambah lagi nih…
Aku pun refleks buka Google Maps. Dan ternyata, provinsi Yunnan itu letaknya di barat daya China, berbatasan langsung dengan Vietnam, Laos, dan Myanmar. Aku belum pernah dengar banyak soal tempat ini sebelumnya, jadi rasa penasaranku langsung meningkat tajam.
Seperti biasa, langkah pertamaku: buka TikTok.
Ketik: Places to visit in Yunnan
Scroll… scroll…
Dan kemudian…
OMG.
Video demi video memperlihatkan keindahan Yunnan yang benar-benar luar biasa! Ada Kota tua Lijiang dengan atap-atap kayunya yang rapi dan sungai kecil yang mengalir di antara rumah-rumah tradisional. Pegunungan bersalju di Yulong Snow Mountain yang berdiri megah di bawah langit biru. Desa kuno Shuhe, Danau Erhai yang tenang, sawah bertingkat di Yuanyang yang katanya setara dengan Banaue di Filipina, dan jalan setapak di Shangri-La yang seperti di dunia fiksi.
Dan vibe-nya beda banget dari tempat-tempat China yang biasanya muncul di media. Di Yunnan, aku merasa seperti menemukan sisi lain China—yang lebih tenang, lebih hijau, lebih etnik, dan penuh budaya lokal dari suku-suku minoritas seperti Bai, Naxi, hingga Tibetannya.
Aku bahkan sempat mikir:
“Ini Yunnan kok kayak gabungan antara Swiss, Tibet, dan Kyoto sekaligus?”
Cantik banget, tapi dengan harga ala backpacker. Wkwk.
Sejak saat itu, daftar perjalananku pun resmi bertambah: Yunnan harus masuk!
Dan entah kenapa, makin ditambah justru makin bikin semangat. Eh, makin pusing! Wkwkwk...
Sejak itu, jujur aja… aku malah mulai “selingkuh” dari tujuan awal perjalananku. Zhangjiajie yang tadinya jadi bintang utama perlahan mulai tenggelam di bayang-bayang Lijiang, Dali, Shangri-La, dan—kalau keterusan—sampai ke Tibet segala. Bukan karena Zhangjiajie nggak menarik ya, tapi vibe Yunnan itu beda. Lebih luas, lebih dalam, dan… lebih magis.
Semakin aku ngulik, semakin yakin:
Yunnan bukan cuma destinasi, tapi perjalanan spiritual dan visual.
Kota tuanya bukan sekadar lucu buat foto-foto, tapi hidup dengan budaya lokal. Lanskapnya bukan cuma pemandangan, tapi kombinasi antara danau, pegunungan salju, padang rumput, dan desa-desa etnik yang seolah berhenti di waktu. Bahkan, jalan darat dari Lijiang ke Shangri-La itu katanya salah satu rute tercantik di China barat daya. Apalagi kalau sempat nyerempet Tibet… wah, makin nggak bisa mikir lurus.
Tapi realitanya:
Waktu travelingku biasanya cuma 2–3 minggu. Dan dengan durasi segitu, aku tahu harus memilih. Mau fokus di satu wilayah biar eksplorasi lebih dalam, atau sekadar lari-lari dari satu tempat ke tempat lain cuma demi checklist.
Jadi aku mulai mikir serius:
Yunnan, atau kombinasi Zhangjiajie dan Mongolia?
Dan semakin aku mempertimbangkan…
Aku pun mulai memantapkan diri ke satu arah: YUNNAN.
Kenapa? Karena:
- Secara logistik, lebih ringkas. Banyak tempat indah berdekatan: Lijiang, Dali, Shaxi, Shangri-La, semua bisa dijangkau darat.
- Alamnya bervariasi: danau, gunung, kota tua, padang rumput, hutan pinus, hingga desa Tibet.
- Budayanya kental dan beragam: suku Bai, Naxi, Tibetan, dan lainnya.
- Lebih minim turis asing dibanding Zhangjiajie dan Beijing, jadi lebih otentik.
- Dan yang paling penting: vibe-nya klik banget sama aku.
Mongolia dan Zhangjiajie? Mungkin nanti. Tapi Yunnan sekarang terasa seperti panggilan yang terlalu kuat untuk diabaikan.
Kenapa akhirnya aku ambil keputusan ini? Ya karena logika dan hati nurani travelingku bersekongkol bilang: "Ini yang paling masuk akal dan paling menyenangkan."
Pertama, dari sisi rute dan konektivitas, Yunnan menang telak. Begitu aku landing di Kunming, aku udah punya banyak pilihan ke mana-mana—tinggal naik kereta cepat atau bus jarak jauh. Semua tempat kece itu, kayak Dali, Lijiang, Shaxi, Shangri-La, bahkan kalau mau ekstrem lanjut Tibet, masih satu provinsi. Transportasi mudah, waktuku efisien, dan bisa eksplor lebih dalam.
Bandingin sama Zhangjiajie—ya, dia tetap spektakuler dan fotogenik banget, tapi setelah puas eksplore taman nasionalnya, aku bingung: “Abis ini ke mana?” Jarak ke destinasi besar lainnya lumayan jauh, dan jalur pindahnya nggak semulus di Yunnan. Kalau nggak hati-hati, bisa banyak waktu kebuang di jalan.
Kedua, soal Mongolia—ini alasan yang bikin aku nyengir sendiri. Awalnya sih semangat banget mau ke sana, ngebayangin hamparan padang rumput, yurt, kuda-kuda liar, dan kehidupan nomaden. Tapi begitu ngecek suhu rata-rata Ulaanbaatar bulan Maret...
Minus. Sampai. Nol. Derajat.
Langsung keinget trauma waktu di Murmansk tahun 2024, waktu aku harus eksplor sambil tangan kayak balok es dan hidung rasanya copot. Wkwkwk… No thanks, ga lagi deh! Suhu segitu itu bukan dingin lucu-lucu, tapi dingin yang membuat sangat tidak nyaman bahkan bisa menyebabkan hipotermia. Apalagi kalau harus naik angin kencang di dataran luas Mongolia. Bisa auto menyerah sebelum lihat satu pun yurt.
Jadi ya gitu, Yunnan bukan cuma pilihan terbaik, tapi juga yang paling manusiawi buat aku saat ini. Pemandangannya indah, budayanya kaya, aksesnya gampang, dan suhunya bersahabat.
Mengambil Keputusan....
Desember 2024, aku lagi kerja freelance di Kopi Kenangan seperti biasa. Duduk di pojok bar, sesekali bantu ngatur konten atau handle project, sambil tetap ngebatin: “Kapan ya aku beneran klik tombol book flight itu?”
Padahal rencana ke Yunnan udah bulat. Itinerary sudah dirancang dengan penuh semangat. Tapi tetap aja, jari-jari ini belum juga berani menekan “beli tiket”.
Dan setelah beberapa minggu mantengin AirAsia, akhirnya aku berhadapan dengan dua pilihan keberangkatan pesawat dari Kuala Lumpur–Kunming (ibukota Provinsi Yunnan):
- Yang pertama: lebih murah, tapi sampai Kunming jam 2 pagi.
- Yang kedua: agak mahal, tapi sampai Kunming jam 5 sore.
Awalnya ngiler sama yang murah, tapi cepat sadar:
Landing jam 2 pagi = tidur di bandara atau naik taksi tengah malam.
Tidur di kursi keras, dingin, dan kemungkinan tidak tidur semalaman? No, thanks. Aku nggak mau memulai petualangan dengan badan sakit semua dan mata setengah melek.
Akhirnya, meski hati sempat bimbang, aku pun memilih yang jam 5 sore.
Agak mahal, iya. Tapi setidaknya aku bisa keluar bandara dengan tenang, naik metro, dan langsung ke hostel tanpa drama. Dan bisa tidur nyaman malam itu. Karena aku sadar—perjalanan ini panjang, dan aku harus mulai dengan kondisi terbaik.
Akhirnya… setelah berkali-kali buka-tutup aplikasi, mantengin harga, galau antara hemat atau nyaman—aku klik juga tombol itu.
Tiket KL–Kunming seharga 1,6 juta rupiah resmi kubeli.
YEAYYY!
Akhirnya, aku beneran berangkat ke Yunnan!
Perasaan campur aduk waktu itu: antara lega dan excited. Karena rasanya beda ya, antara wacana dan eksekusi. Setelah sekian lama cuma ngelamun liatin Lijiang di TikTok, baca-baca pengalaman orang ke Shangri-La, dan nge-save puluhan itinerary random, sekarang aku tinggal nunggu waktu buat benar-benar menginjakkan kaki di Yunnan.
Tiket pulang?
Belum aku beli. Dan memang sengaja.
Karena aku masih belum tahu akan berapa lama di China. Bisa 2 minggu, bisa lebih. Bisa juga aku ketagihan dan malah pengin eksplor kota lain dulu sebelum balik. Apalagi belum tahu juga nanti aku akan balik dari kota mana—Kunming lagi, atau mungkin dari Chengdu, atau bahkan kota perbatasan lain kalau aku tergoda lanjut ke negara tetangga. Wkwkwk.
Yang pasti, satu langkah besar udah aku ambil.
Dan itu artinya: petualangan ke Yunnan resmi dimulai.
Tibet terlalu menggoda....
Sejak aku beli tiket ke Kunming itu, bukannya tenang malah pikiran mulai berkecamuk. Tiba-tiba muncul keinginan baru yang datang tanpa diundang:
“Gimana kalau sekalian ke Tibet aja ya?”
Wkwkwk... dasar manusia, emang nggak pernah puas. Baru beli tiket satu, udah mulai ngelirik destinasi lain. Tapi ya begitulah aku—semakin dekat ke petualangan, semakin banyak imajinasi liar yang muncul.
Kenapa tiba-tiba pengin ke Tibet juga?
Ya karena beberapa alasan yang cukup kuat (dan sedikit impulsif):
Pertama, aku sadar selama beberapa tahun belakangan ini, aku cenderung memilih destinasi yang agak anti-mainstream. Yang nggak semua orang tempuh. Kalau semua orang ke Paris, aku malah pengin ke Balkan. Kalau semua orang ke Tokyo, aku ngelirik Mongolia. Nah, Yunnan—meskipun sangat cantik dan menarik—mulai terasa cukup mainstream karena sudah banyak muncul di FYP TikTok dan vlog-vlog backpacker. Tibet?
Nah ini! Masih rare, masih penuh misteri, dan sangat spiritual.
Kedua, aku pikir-pikir…
mumpung masih punya tabungan dan tenaga.
Aku tahu pergi ke Tibet nggak semudah booking hostel terus naik bus. Perlu tenaga, adaptasi dengan ketinggian, dan biaya yang nggak kecil juga. Tapi ya itu, kapan lagi? Badan masih bisa diajak jalan jauh, kaki belum rewel, dan mental masih kuat naik kereta 30 jam kalau perlu.
Ketiga, secara geografis:
Tibet itu udah tinggal ‘selangkah’ dari Yunnan.
Dari Shangri-La atau Lijiang bisa tembus ke perbatasan Tibet. Bahkan kalau mau jalur dramatis bisa lewat Chengdu dan naik kereta ke Lhasa yang katanya salah satu perjalanan kereta tercantik di dunia. Bayangin aja—hamparan padang luas, langit biru bening, kuil-kuil Buddhis, dan biara-biara megah yang berdiri di tengah lanskap epik.
Aduh... makin dibayangin makin pengin.
Dan sekarang aku di persimpangan: fokus di Yunnan aja atau gas sekalian ke Tibet?
Aku udah tahu dari lama bahwa untuk masuk Tibet nggak bisa mandiri, apalagi sebagai foreigner—harus ikut tur resmi dari operator China mainland. Sejak pemikiran "Tibet sekalian aja, yuk!" muncul, berhari-hari aku tenggelam dalam browsing paket-paket tur Tibet.
Pilihannya banyak dan bervariasi:
- Ada yang 3 hari, cuma eksplor Lhasa dan sekitarnya—kuil-kuil utama, Potala Palace, dan pasar lokal.
- Lalu ada 5 hari buat yang mau mulai nyicip daerah luar Lhasa.
- Terus lanjut ke 7 hari, 8 hari, 9 hari—semakin panjang, semakin liar rutenya.
Dan dari semua itu, paket yang bikin aku naksir berat adalah yang 7 hari.
Kenapa?
Pertama, karena dia masukin EBC (Everest Base Camp) ke dalam rute.
Yes, EVEREST BASE CAMP, guys. Walaupun cuma sampai titik pandangnya dari sisi Tibet, tapi udah cukup banget buat bikin merinding. Bayangin berdiri di tengah padang tandus tinggi, dengan angin dingin yang menggigit, lalu di depan kita berdiri gagah gunung tertinggi di dunia—itu pasti pengalaman yang nggak akan pernah bisa aku lupakan.
Kedua, emang bener… harganya lumayan mahal—hampir 900 USD.
Tapi setelah aku kalkulasi ulang:
- Ini udah termasuk akomodasi 6 malam
- Transportasi darat selama tur
- Guide lokal
- Biaya permit Tibet
- Tiket masuk ke tempat wisata
- Beberapa makanan juga ada yang include
Dan kupikir: masih masuk akal.
Dengan segala pengalaman yang ditawarkan—dari kota suci Lhasa, Danau Yamdrok yang biru banget, Biara Gyantse dan Shigatse, sampai kaki Gunung Everest—harga segitu bukan lagi soal mahal, tapi soal sepadan atau nggaknya. Dan menurutku: ini sepadan banget.
Jadi sejak saat itu, aku mulai serius mempertimbangkan:
“Kalau beneran ke Yunnan… bisa nggak ya lanjut sampai Tibet, ikut tur 7 hari ini?”
Rasanya kayak mimpi yang tiba-tiba jadi mungkin. Dan aku tahu, sekali nekat, aku bakal bersyukur seumur hidup.
Setelah berhari-hari browsing, buka tab demi tab, baca review dan bandingkan itinerary, akhirnya aku memberanikan diri mengisi form enquiry di Asia Odyssey Travel—agen tour yang setelah kuulik, ternyata memang salah satu yang terbesar dan paling kredibel di China buat perjalanan ke Tibet.
Awalnya deg-degan juga. Ini bukan booking hostel biasa atau tiket kereta, tapi masuk ke wilayah “serius”—minta permit Tibet dan daftar tur resmi. Tapi dalam dua hari, aku dapat balasan email dari seorang agen bernama Mr. Wang, dan dari situlah awal mula segala percakapan dimulai.
Mr. Wang menjelaskan semuanya dengan cukup detail dan sabar. Dia jelasin soal itinerary hari demi hari, dokumen yang dibutuhkan, jenis akomodasi, hingga rute perjalanan menuju Everest Base Camp. Tapi yang bikin aku makin mantap adalah ketika dia bilang:
“Untuk pembayaran bisa dicicil 3x.”
Loh? Serius nih?
Bisa dicicil?!
Langsung terasa kayak semesta kasih angin—karena jujur, harga hampir 900 USD itu lumayan nguras tabungan kalau harus bayar sekaligus. Tapi dengan skema cicilan ini, rasanya jauh lebih doable. Aku bisa bayar sebagian dulu, lalu sambil kerja dan nabung untuk pelunasan sebelum tanggal tur dimulai.
Dan di titik itulah… aku berhenti mikir.
Aku memutuskan: Iya. Aku akan ke Tibet.
Tiba-tiba semuanya terasa nyata. Aku bukan lagi sekadar traveler yang mengintip Tibet dari layar ponsel, tapi bakal benar-benar menjelajahi atap dunia. Dari Lhasa sampai EBC. Dari kereta panjang yang menembus dataran tinggi, sampai biara-biara sunyi yang berdiri anggun di bawah langit biru.
Tibet bukan lagi mimpi. Dia sekarang jadi tujuan.
Dan petualangan besar ini… baru saja dimulai.
Setelah obrolan panjang dengan Mr. Wang, aku segera melakukan pendaftaran resmi. Aku mengirimkan scan paspor dan membayar DP tahap pertama—tanda bahwa aku benar-benar serius menapaki jalan ke Tibet. Dari sekian banyak tanggal keberangkatan, aku memilih yang paling pas dengan rencana perjalanan panjangku: 2–8 April.
Mr. Wang juga memberi catatan penting:
“Satu bulan sebelum keberangkatan, visa China harus sudah dikoleksi.”
"Oke, aku akan mengurus visanya bulan Februari. Aku akan mengirimkannya lewat email ini kalau sudah selesai."
Simple, tapi rasanya kayak menandatangani kontrak dengan takdir.
Sekarang semua sudah jelas:
- Tiket ke Kunming sudah dibeli
- Tur Tibet sudah di-book
Visa akan segera menyusul
Tapi kemudian muncul pertanyaan besar berikutnya yang membuatku kembali termenung sambil ngeteh sore di pojokan:
“Setelah Tibet… aku mau ke mana?”
Mau mampir ke Chengdu lihat panda?
Mau lanjut ke Xi’an napak tilas Dinasti Tang?
Atau sekalian lintas batas ke negara baru? Laos? Vietnam? Atau malah balik ke Yunnan dan slow travel dulu di desa-desa cantik itu?
Menurut kontrak yang dikirimkan Mr. Wang, aku sudah di-lock untuk masuk Tibet tanggal 2 April dan keluar tanggal 8 April.
Dan ini bukan tanggal fleksibel kayak check-in hostel biasa—ini tertera resmi di Tibet Travel Permit, dokumen yang mengatur semua gerak-gerik wisatawan asing di wilayah tersebut.
“Karena tanggal masuk dan keluar tertulis di Tibet Travel Permit,” begitu kata Mr. Wang. Jadi ya, aku nggak bisa seenaknya datang lebih awal atau extend setelah tanggal 8.
Untuk masuk dan keluar Tibet, aku punya dua pilihan realistis: kereta atau pesawat. Dan meskipun kereta dari Lhasa ke kota-kota besar China itu terkenal dengan jalur paling tinggi dan paling epik di dunia, tapi setelah kupikir-pikir:
- Perjalanan naik kereta bisa 36–48 jam sekali jalan,
- Keretanya memang sleeper, tapi punggungku bukan lagi punggung bocah,
- Dan ternyata… harga tiket keretanya hampir sama dengan pesawat.
Akhirnya dengan segala kebijakan ala tubuh jompo dan logika traveler hemat tapi realistis, aku pun memutuskan naik pesawat aja. Simpel, cepat, dan hemat tenaga buat eksplor lagi setelahnya.
Lalu muncullah fase berikutnya:
“Kalau keluar dari Tibet tanggal 8 April… aku mau landing di kota mana, ya?”
Beberapa hari aku browsing—mantengin peta, buka aplikasi flight search, cek harga, dan ngebandingin rute. Aku cari kota yang:
- Masih dalam jangkauan harga pesawat dari Lhasa,
- Harga tiket kembali ke Singapura/Malaysia/Indonesia juga realistis,
- Dan tentu saja… kota itu punya daya tarik untuk dijelajahi.
Akhirnya kesimpulan datang.
Tiga kandidat kuat muncul:
Chengdu, Chongqing, dan kembali ke Kunming.
Dan dari semua itu, dengan segala pertimbangan dan rasa penasaran, aku memilih: Chengdu.
Alasannya?
- Harga tiket dari Lhasa ke Chengdu masih masuk akal
- Dari Chengdu ke Jakarta/KL/Singapura juga banyak pilihan maskapai dan tanggal fleksibel
Dan yang paling penting: Chengdu punya PANDA!
Dan hotpot. Dan suasana kota besar yang chill, plus akses mudah ke spot alam dan budaya di sekitarnya.
Jadi, setelah dari dataran tinggi Tibet, aku akan “turun gunung” ke Chengdu—mungkin untuk leyeh-leyeh, ngelus panda, atau sekadar menenangkan hati setelah petualangan luar biasa dari atap dunia.
Awalnya aku pikir, "Udah lah, di Chengdu cukup 2 harian aja, santai-santai sebelum pulang ke Indonesia."
Rencana simpel: jalan-jalan di kota, makan hotpot, ngelus panda, leyeh-leyeh di hostel yang proper. Setelah petualangan Tibet, rasanya memang butuh istirahat.
Tapi ya… namanya juga aku.Nggak bisa diem. Dan nasib sialnya (atau beruntungnya?) aku iseng search kata ‘Chengdu’ di grup backpacker FB, dan…
BOOM. Satu nama muncul dan langsung mencuri hatiku:
Taman Nasional Jiuzhaigou.
Waduhhh apalagi ini???
Aku langsung scroll foto-fotonya: danau bening biru toska, air terjun bertingkat, dedaunan warna-warni, gunung di kejauhan. Kayak… bukan bumi.
Cantik banget. Gila!
Awalnya aku nahan-nahan diri:
“Nggak, jangan dicari lebih lanjut, nanti kepincut…”
Tapi ya tetep aja, jari-jari ini malah makin gesit buka info.
Dan ternyata—bukan di Chengdu.
Jiuzhaigou itu lokasinya sekitar 400 km dari Chengdu, dan untuk ke sana…
- Bisa naik bus 10 jam langsung ke kota Jiuzhaigou
- Atau kereta cepat 3 jam ke Stasiun Jiuzhai Huanglong Airport Station, lanjut bus 1,5 jam ke pusat kota Jiuzhaigou
Oh ya ampun… harus naik kereta, sambung bus lagi.
Aku pikir abis dari Tibet bisa langsung rebahan santai di kota. Tapi ini malah tergoda naik gunung lagi. Wkwkwk, memang dasar traveler haus keindahan.
Tapi semakin aku searching, semakin jelas rasanya. Taman ini nggak bisa dilewatkan. Buat pecinta alam—dan itu jelas aku—Jiuzhaigou tuh kayak surga.
Satu taman nasional, penuh danau sebening kaca, air terjun berlapis-lapis, hutan berwarna pelangi, dan udara pegunungan yang segar banget.
Akhirnya, aku menyerah…
"Awhhh sudahlah! Aku harus ke sini!"
Wkwk… capek? Mungkin. Tapi menyesal kalau nggak ke sini? PASTI.
Menimbang semua energi yang akan terkuras setelah pulang dari Tibet, plus perjalanan darat yang lumayan menguras fisik ke Jiuzhaigou, aku akhirnya memutuskan untuk menambahkan 4 hari ekstra setelah tanggal 8 April. Karena ya, kalau mau menikmati Taman Nasional Jiuzhaigou dengan layak—tanpa terburu-buru, tanpa ngos-ngosan, tanpa badan ngilu—aku butuh waktu.
"Kurasa tanggal 12 April waktu kepulangan yang tepat," gumamku dalam hati sambil menatap kalender.
"Nanti aku hunting tiket pulangnya dulu ah," lanjutku sambil mematikan laptop.
Mataku rasanya pedih karena seharian ini kerjaannya cuma satu: browsing.
Browsing kota, transportasi, harga tiket, review hostel, dan… tentu saja, video-video TikTok yang bikin makin gak tahan.
Dan akhirnya, kerangka itinerary perjalananku terbentuk:
23 Maret – 2 April
Eksplorasi Yunnan
(Dari Kunming – Dali – Lijiang – Shaxi – Shangri-La)
2 – 8 April
Ikut tur ke Tibet
(Lhasa – Yamdrok Lake – Gyantse – Shigatse – Everest Base Camp)
8 – 12 April
Eksplor Chengdu dan Jiuzhaigou
(Makan hotpot, ngelus panda, lalu lanjut ke surga tersembunyi Jiuzhaigou)
Itinerary ini aku rasa terasa seimbang, yaitu diawali dengan eksplorasi budaya dan alam di Yunnan yang adem, lalu naik ke puncak spiritual dan petualangan berat di Tibet, dan diakhiri dengan penutup epik di Jiuzhaigou, yang aku yakin akan membuatku pulang dengan hati dan galeri penuh.
OK, siap eksekusi !
0 comments:
Posting Komentar