Part Sebelumnya : DISINI
Hari ketiga petualanganku di Hawai‘i sebenarnya sudah kurancang jauh-jauh hari—hari ini waktunya menjelajah Kualoa Ranch! Tempat yang sering banget muncul di film-film Hollywood kayak Jurassic Park, 50 First Dates, sampai Jumanji. Aku daftar trip seharian seharga sekitar Rp 1,6 juta—udah termasuk beberapa aktivitas seru di dalamnya, salah satunya: berkuda.
Jadwal berkudanya jam 9 pagi. Nah, karena aku tipe orang yang kalau jalan-jalan itu nggak mau nyia-nyiain waktu, aku udah siap dari pagi banget. Jam setengah 8 aku udah keluar dari hotelku di Waikiki, naik bus umum menuju Kualoa Ranch. Tapi ya namanya perjalanan, nggak semua bisa lancar terus, kan?
Rutenya butuh naik dua bus, dan bus pertama sih aman-aman aja. Tapi pas nunggu bus kedua—nah ini mulai deg-degan. Udah jam setengah 9 lewat dan busnya belum juga nongol. Aku mulai gelisah. Jam 9 itu udah jadwal naik kuda, dan dari halte ke lokasi ranch-nya masih lumayan jauh juga. Sialnya, nggak ada ojek online di sini yang bisa diandalkan kayak di Indonesia. Nggak bisa juga sembarang naik taksi karena mahal banget dan jarang lewat.
Sambil nunggu, aku celingukan. Beberapa penumpang lain juga mulai resah. Tapi aku yakin cuma aku yang sedang kebat-kebit karena punya janji berkuda pagi itu. Dalam hati aku mulai mikir, “Aduh, kalau telat, bisa-bisa nggak boleh ikut aktivitasnya. Orang Amerika kan disiplin banget sama jadwal...”
Sambil duduk gelisah di halte, aku mulai sadar—kayaknya aku bakal nggak keburu. Jam sudah mendekati pukul 9 dan bis kedua belum juga menampakkan diri. Dengan segala harapan yang masih tersisa, aku akhirnya mencoba menelepon operator dari Kualoa Ranch. Nadaku mungkin agak panik, tapi tetap kuusahakan sopan.
"Hi, sorry, I’m supposed to join the 9 AM horseback riding tour today… but I’ve been waiting for the second bus for over an hour and it still hasn’t come. Is there anything I can do?"
Operatornya ramah banget. Dia mendengarkan keluhanku dan setelah aku menjelaskan situasinya, dia langsung kasih solusi yang... menurutku sangat fair. Dia bilang aku bisa mengganti jadwal kunjunganku jadi besok! What a relief! Dan dia bahkan menawarkan layanan antar-jemput dari Waikiki hanya dengan 15 dolar PP.
“Kamu bisa datang ke hotel X (duh, aku lupa nama hotelnya), jam 7 pagi. Nanti kita jemput di sana, biar nggak kejadian kayak hari ini lagi,” katanya.
Aku langsung jawab cepat: “Yes! I will take that option.”
Legaaaaa banget rasanya. Tadinya udah pasrah, mungkin bakal hangus aja tuh uang Rp 1,6 jutaan. Tapi ternyata mereka sangat pengertian dan profesional. Seketika hari yang tadinya kacau mulai terasa ringan lagi.
Setelah telepon ditutup dan semua jadwal ke Kualoa Ranch resmi dijadwal ulang ke besok, aku duduk sebentar sambil mikir—“Oke, sekarang jam 9 kurang, itinerary utama hari ini gagal… tapi masa iya aku balik ke hotel dan leyeh-leyeh?”
Jiwa petualangku langsung bangkit. Daripada ngelamun di Waikiki, kenapa nggak sekalian aja aku menjelajah pantai-pantai utara O‘ahu? Apalagi aku memang selalu siap sedia bawa baju ganti di tas. Udah jadi semacam SOP-ku kalau lagi traveling: harus selalu siap dengan skenario “pindah haluan dadakan.” Siapa tahu kan, nemu pantai cakep dan pengen langsung nyebur!
Akhirnya aku mutusin buat ke dua tempat: Waimea Bay dan Kahana Beach. Dua nama yang mungkin nggak seterkenal Waikiki, tapi justru itu yang bikin aku tertarik. Pantai-pantai di sisi utara O‘ahu katanya lebih tenang, lebih alami, dan… lebih Hawai‘i asli.
Perjalanan dari area halte tadi ke arah utara memang agak memutar, tapi sepanjang jalan justru jadi semacam terapi. Angin sepoi-sepoi, pemandangan bukit hijau, dan langit yang bersih membuatku lupa bahwa pagi tadi sempat stres. Sesekali aku intip Google Maps, nyari posisi terbaik buat turun dan jalan kaki ke pantai.
Setelah memutuskan untuk mengganti rute harian, aku pun menunggu bus lain yang bisa membawaku ke pantai. Untungnya, nggak butuh waktu lama. Bus datang, dan aku langsung naik dengan semangat baru. Tujuanku sekarang: Waimea Bay—atau dalam pelafalan lokalnya, Teluk Wai-Mea.
Perjalanan menuju ke sana ternyata lumayan panjang, tapi justru itu yang bikin seru. Bus ini menyusuri pesisir timur Pulau O‘ahu, dan rutenya… aduh, cakep banget. Sepanjang jalan, hampir setiap pemberhentian punya embel-embel "Beach Park" di belakang namanya. Artinya jelas: ini adalah jalur pantai!
Bayangkan naik bus sambil duduk di jendela, angin laut masuk lewat celah-celah ventilasi, dan pemandangan hamparan laut biru terbentang di sisi kanan. Sesekali terlihat pantai dengan pohon kelapa melambai-lambai, para peselancar yang berdiri santai di tepi ombak, dan keluarga lokal yang piknik di bawah gazebo.
Aku jadi mikir, “Wah, di sepanjang rute ini, kayaknya bisa aja asal turun dan langsung nemu spot kece buat nyantai atau nyebur.” Rasanya kayak naik bus yang tiap pemberhentiannya adalah surga mini.
Tujuan utamaku tetap Waimea Bay—pantai yang katanya legendaris buat para surfer, tapi juga punya sisi tenang untuk sekadar rebahan atau berenang.
Dalam perjalanan menuju Waimea Bay, bus yang kutumpangi perlahan mulai memasuki kawasan utara O‘ahu. Dan di antara deretan pantai serta hutan tropis yang dilewati, ada satu momen yang membuatku benar-benar terdiam: busku melintasi Turtle Bay Resort.
Buat sebagian orang, mungkin ini hanya resor biasa. Tapi buatku, ini tempat yang spesial. Kenapa? Karena dari sinilah semuanya bermula. Pertama kali aku mengenal Hawai‘i bukan dari buku atau brosur wisata, tapi dari film Forgetting Sarah Marshall. Sebagian besar adegan film itu mengambil setting di Turtle Bay Resort. Aku masih ingat betapa film itu membuatku terpana—pantainya, vibe-nya, hotelnya yang langsung menghadap laut. Sejak saat itu, aku tahu, satu hari nanti aku ingin menginjakkan kaki di Hawai‘i.
Dan hari ini… ya, aku benar-benar ada di sini. Oke, aku memang nggak nginap di resornya—karena, let’s be honest, it’s way too expensive buat kantong backpacker sepertiku. Tapi cuma bisa melihat bangunannya dari balik jendela bus, menyaksikan atap-atapnya yang khas, dan membayangkan adegan-adegan film itu, rasanya cukup buat membuat dadaku hangat.
Dalam hati aku bilang, “I’m really here. Akhirnya sampai juga. Meskipun nggak nginap… tapi aku lewat di depannya aja udah bahagia.”
Bus terus melaju, dan perlahan Turtle Bay tertinggal di belakang. Tapi rasa haru itu masih tertinggal di hatiku. Perjalanan berlanjut, dan tak lama kemudian, aku turun di halte Waimea Bay. Pantai legendaris yang katanya jadi arena pertempuran para peselancar dunia, tapi hari ini… akan jadi tempatku bersantai dan membiarkan semua rasa campur aduk tadi larut bersama debur ombak.
Begitu turun dari halte, aku berjalan kaki sebentar menuju Waimea Bay—salah satu pantai paling legendaris di Pulau O‘ahu. Terletak di pesisir utara, teluk ini dikenal sebagai rumahnya ombak-ombak raksasa di musim dingin, tempat diadakannya berbagai kompetisi selancar kelas dunia seperti The Eddie Aikau Big Wave Invitational. Tapi kalau datang di musim panas seperti aku, Waimea Bay berubah jadi lebih tenang—seolah-olah lautnya sedang beristirahat.
Secara geografis, teluk ini berupa cekungan besar yang dipagari tebing hijau dan hutan tropis di sisi belakangnya. Di sisi lainnya, terbentang laut Pasifik yang luas dan biru tua, dengan gradasi warna yang semakin muda menuju bibir pantai. Pasirnya keemasan, cukup halus untuk ditiduri, tapi juga cukup padat untuk tidak terlalu kotorin baju. Di sebelah kiri pantai, ada batu besar yang biasa dipakai pengunjung buat cliff jumping—meski aku jelas nggak berani coba wkwk.
Siang itu, pantai cukup ramai. Ada keluarga lokal yang piknik, sekelompok peselancar yang bersantai sambil memantau ombak, dan beberapa turis yang berjemur sambil membaca buku. Tapi nggak terlalu sesak. Masih banyak ruang untuk cari spot duduk yang tenang.
Aku langsung duduk di tepi pantai. Angin laut meniup pelan, membawa aroma asin yang khas. Aku pandangi laut yang tenang tapi dalam itu, membentang luas sampai ke cakrawala. Kalau dibandingkan dengan pantai-pantai di Indonesia, aku harus jujur—secara tampilan, mungkin kita punya yang lebih dramatis, lebih liar, lebih sepi. Tapi… ini Hawai‘i. Dan ada perasaan yang nggak bisa dijelaskan waktu aku duduk di pasir Waimea.
Ada rasa damai yang dalam. Mungkin karena aku tahu, aku sedang duduk di tempat yang dulu cuma bisa kulihat di film, kulamunkan saat lagi bosan kerja, atau kudambakan sambil nyicil tabungan. Dan sekarang, aku benar-benar ada di sini.
Sempat terpikir mau berenang, tapi begitu menyentuh airnya, aku sadar: bibir pantainya cukup curam. Beberapa langkah saja dari garis pasir, langsung dalam. Aku yang nggak bisa ngambang dan bukan perenang jago, akhirnya cuma bermain air di tepi. Sekadar membasuh kaki, nyipratin air ke wajah, lalu kembali duduk menikmati pemandangan.
Tak ada hal spektakuler yang kulakukan. Tapi duduk sendirian di Waimea Bay—dikelilingi tebing hijau, pasir keemasan, dan laut Pasifik yang luas—sudah cukup membuatku merasa utuh.
Dari Waimea Bay di sebelah utara Pulau O‘ahu, aku kembali naik bus untuk menuju destinasi selanjutnya: Kahana Bay. Bukan Kahuna Beach seperti rencana awal—aku memutuskan untuk sedikit berbelok arah. Banyak orang mungkin lebih memilih pantai populer seperti Sunset atau Lanikai, tapi hari itu aku ingin yang lebih tenang, lebih tersembunyi. Dan akhirnya, pilihanku jatuh ke Kahana Bay.
Perjalanan dari Waimea ke Kahana Bay memakan waktu cukup lama—sekitar 1 jam 20 menit naik bus umum. Tapi perjalanan ini sendiri sudah jadi bagian dari petualangan. Bus meluncur menyusuri jalanan pesisir timur O‘ahu, membelah perkampungan lokal, hutan tropis, dan deretan pantai yang silih berganti terlihat dari jendela. Pemandangan sepanjang jalan benar-benar memanjakan mata—gunung menjulang di sisi kiri, dan laut biru tak berujung di sisi kanan.
Nah, di tengah perjalanan ini aku baru tahu satu hal penting: kalau mau turun dari bus di Hawai‘i, kita harus narik tali yang ada di dekat jendela. Tali ini fungsinya seperti tombol bel. Kalau nggak ditarik, supir nggak akan berhenti di halte yang kita maksud. Untung aku cepat sadar. Waktu halte Kahana Bay makin dekat, aku buru-buru tarik tali itu. Duh, kebayang nggak sih kalau aku kelewatan dan harus jalan kaki jauh balik lagi? Wkwk.
Begitu turun, aku langsung disambut suasana yang... jujur, bikin terdiam.
Kahana Bay bukan pantai turistik. Tempat ini lebih terasa seperti halaman belakang Hawai‘i yang sesungguhnya. Dikelilingi perbukitan hijau dan hutan tropis, pantainya tenang, nyaris tanpa ombak. Airnya jernih kehijauan, dan pasirnya lebih kasar dibanding Waimea, tapi justru itu yang membuatnya terasa alami. Beberapa perahu kayu kecil tampak terparkir di pinggir, dan di kejauhan ada penduduk lokal yang duduk santai sambil memancing.
Keistimewaan Kahana Bay bukan pada gemerlapnya, tapi pada kesunyiannya. Tempat ini seperti pelarian. Nggak ada restoran mewah, nggak ada keramaian turis, bahkan nggak ada warung kecil. Hanya alam, angin, suara ombak yang lembut, dan aroma hutan yang sesekali terbawa semilir angin laut.
Aku duduk di bawah pohon besar, membuka bekal kecil yang kubawa, dan membiarkan waktu mengalir pelan. Tak ada rencana besar. Hanya menikmati detik demi detik di tempat yang seolah melambatkan dunia. Dan di situlah aku sadar: Hawai‘i bukan cuma tentang pantai cantik dan aktivitas seru. Kadang, ia juga tentang keheningan yang menenangkan.
Aku duduk lama di Kahana Bay—mungkin sekitar 45 menit—hanya untuk menyerap semuanya. Aku ingin menyimpan pemandangan ini sebagai memori abadi di kepala. Bukit-bukit hijau yang mengelilingi teluk, laut tenang yang memantulkan langit biru pucat, suara dedaunan yang berbisik pelan diterpa angin... semuanya terasa seperti lukisan hidup yang tidak ingin lekas kutinggalkan.
Tapi perlahan, perut mulai memberontak. Aku sadar, dari pagi belum makan apa-apa yang layak disebut makan siang. Waktu sudah masuk sore, dan rasa lapar mulai menggeser ketenangan tadi. Akhirnya aku buka Google Maps, berharap ada tempat makan terdekat yang bisa dijangkau jalan kaki.
Dan ternyata—yes! Ada satu restoran kecil yang jaraknya cuma sekitar 500 meter. Tanpa pikir panjang, aku pun melangkah meninggalkan pantai, berjalan kaki menyusuri jalan sepi dengan semangat baru: semangat cari makan.
Sesampainya di restoran itu, tempatnya ternyata sangat sederhana. Bukan restoran mewah, tapi lebih ke warung makan lokal khas pinggir jalan. Menu yang tersedia cukup terbatas, tapi justru itu kadang jadi pertanda makanan enak. Aku pesan satu porsi besar—isinya kentang goreng sebagai sumber karbohidrat, dan beef goreng berbumbu yang gurih dan juicy banget. Oh, dan tentu saja satu botol minuman dingin buat menemani.
Masalahnya? Nggak ada tempat duduk.
Tapi lapar nggak bisa ditunda, jadi aku pun memutuskan untuk jalan kaki ke halte bus terdekat, duduk di bangku halte, dan makan di situ. Dan jujur aja… itu jadi salah satu momen makan paling memorable selama di Hawai‘i. Makan sambil lihat bus lalu-lalang, ditemani suara alam sekitar, dan ditiup angin sore pesisir—nggak mewah, tapi justru berkesan.
Kadang yang sederhana justru yang paling dikenang, ya.
Aku menghabiskan makananku pelan-pelan di bangku halte, sambil sesekali memperhatikan kendaraan yang lewat dan hembusan angin sore yang mulai terasa lebih sejuk. Setelah perut kenyang dan hati tenang, aku menunggu bus untuk kembali ke Waikiki. Perjalanan panjang pulang menanti, tapi entah kenapa, aku nggak merasa capek. Justru ada rasa puas yang sulit dijelaskan.
Memang, dari sekian banyak beach park yang dilewati bus umum sepanjang rute hari ini, aku cuma sempat mampir ke dua: Waimea Bay dan Kahana Bay. Tapi dua itu rasanya sudah cukup. Waimea mewakili pantai utara yang bersejarah dan penuh karakter, sedangkan Kahana adalah pantai timur yang sunyi, hijau, dan damai. Keduanya menghadirkan dua sisi Hawai‘i yang sangat berbeda, tapi sama-sama menenangkan.
Hari ini mungkin bukan itinerary yang awalnya kurencanakan. Tapi begitulah traveling—selalu ada hal-hal tak terduga yang justru bikin perjalanan jadi lebih hidup.
Besok, aku harus bangun pagi-pagi banget. Aku sudah janjian untuk dijemput dan diantar ke Kualoa Ranch, tempat impianku sejak nonton Forgetting Sarah Marshall. Dan kali ini aku harus on time, supaya nggak kejadian lagi kayak hari ini.
Satu hari yang dimulai dengan kekecewaan, akhirnya ditutup dengan rasa syukur.
Hawai‘i, kamu memang nggak pernah gagal bikin hati penuh.
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar