Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.06.2025

[10] Balada Eropa : "Kincir Angin, Rumput, Domba dan Kanal: Sehari di Zaanse Schans"

Aku berpose di kanal Kota Amsterdam, tepatnya di jembatan yang melintasi kanal Singel, dekat Centraal Station dan Ronde Lutherse Kerk (Gereja Lutheran Bulat), yang kubahnya tampak di kejauhan sebelah kanan tengah.

Keesokan harinya aku bangun dengan cukup segar. Mungkin karena malam sebelumnya tidurku lumayan nyenyak, atau mungkin karena excited banget sama itinerary hari ini: seharian penuh eksplor Zaanse Schans dan Amsterdam! Hari ini aku punya waktu seharian penuh untuk eksplor tanpa terburu-buru, karena pesawatku ke tempat selanjutnya—Roma—baru akan berangkat besok pagi jam 7. Jadi, bisa puas jalan-jalan, tanpa harus mikir ngejar flight sore ini. Mantap, kan?

Zaanse Schans sendiri merupakan desa wisata ikonik yang terletak di bagian utara Belanda. Tempat ini terkenal dengan deretan kincir angin tradisionalnya yang masih berfungsi, rumah-rumah kayu khas abad ke-18, serta berbagai kerajinan tangan Belanda seperti pembuatan keju, klompen (sepatu kayu), dan cokelat. Pokoknya, kalau mau ngerasain nuansa Belanda klasik yang otentik, Zaanse Schans adalah tempat yang wajib dikunjungi. Tempat ini kayak versi hidup dari kartu pos.

Aku mengawali hari dengan cukup semangat. Begitu alarm berbunyi, langsung bangun, mandi, bersih-bersih, dan siap-siap check out dari hostel. Barang-barang sudah kupacking semalam, tinggal dicek ulang biar nggak ada yang ketinggalan—karena sekali ketinggalan di trip begini, ribet nyarinya. Setelah siap, aku turun ke lobi sambil menyeret koper dan backpack, menyapa resepsionis yang masih sama seperti kemarin malam, dan bilang terima kasih atas penginapan yang nyaman.

Hari ini aku punya waktu seharian penuh untuk eksplor tanpa terburu-buru, karena pesawatku ke tempat selanjutnya—Roma—baru akan berangkat besok pagi jam 7. 

Aku berjalan keluar dari penginapan. Aku benar-benar menyukai dan mengagumi tata kota di Alkmaar. Semuanya diatur dengan rapi, estetik dan membuat hati nyaman. Hal itulah yang membuatku suka mengambil foto-foto suasana jalanan menggunakan Infinix Hot Note 2016-ku. Aku memang hobby menfoto suasana jalanan saat traveling, karena dengan melihatnya lagi ane jadi bisa kembali merasakan suasana saat itu.

Saat sedang asik mengambil beberapa foto suasana jalanan, dan setelahnya berniat naik metro untuk ke tujuanku selanjutnya, tiba-tiba ada seorang perempuang yang menghampiriku dengan terburu-buru,

"Excuse me, why you take my photo?" Tanyanya dengan nada bicara dan pandangan yang kurang bersahabat.

Ane kebingungan setengah mati. 
'Hah? Foto anda? Kapan saya menfoto anda ya?' ekpresi wajahku yang kebingungan kalau diartikan dengan kata-kata mungkin seperti ini.

"What? I don't take your photo. I just take photo for the view and street. I'm a tourist. I take photo from around," kataku membela diri karena aku benar-benar kebingungan. Aku nggak tau si mbak ini siapa, dan kapan aku menfotonya. Bahkan kalaupun ga sengaja kefoto, kalau dia posisinya cukup dekat, harusnya aku sadar dong ya. Nyatanya aku benar-benar ga tau dan ngeliat sama sekali.

"No. You just take my photo. Why you take my photo?" Kata dia dengan nada semakin memojokkaku.

"No, I don't take your photo. Why I take your photo?" Balasku setengah kesal karena aku benar-benar gatau manusia random ini siapa.

Untuk membuktikan akhirnya aku buka HP Infinixku dan kutunjukkan ke dia foto-foto yang kuambil. Aku menunjukkan aku banyak mengambil foto dari tadi bahkan sebelum di area ini, dan SEMUANYA BENAR-BENAR HANYA FOTO PEMANDANGAN. Aku bahkan galiat sama sekali si mbak ini lagi dimana saat foto kuambil. Bahwa aku benar-benar seorang turis, dan tidak ada pentingnya dan gunanya sama sekali mengambil fotonya. Memang dia siapa??? Artis?? Kalaupun merasa difoto dan diganggu privasinya, at least ngomong baik-baik lah ga nuduh sembarangan. Liat dulu fotonya di HP ane kayak gimana, baru nuduh. Ane nulis ini pun masih kesel wkwkwk...

Akhirnya aku ngalah supaya si mbak puas. Ane juga kepikiran ga mau sampe berurusan dengan polisi di negara orang. Ane delete beberapa foto-foto pemandangan terakhir yang ane ambil. Dan setelah itu dia ngoyor pergi gitu aja sambil tetap menggerutu. Hh dasar orang aneh..!

Ah sudahlah, kejadian yang tidak harus kupikirkan terlalu dalam. Lagipula aku nggak mau mood-ku rusak hanya karena satu insiden nggak penting barusan. Setelah menarik napas dalam dan menenangkan diri, aku melanjutkan langkah masuk ke Stasiun Kereta Alkmaar. Tujuanku sekarang adalah kembali ke Stasiun Amsterdam Central, supaya bisa menitipkan tas besarku terlebih dahulu di luggage storage yang tersedia di sana.

Aku naik kereta dan duduk di dekat jendela. Tapi meskipun tubuhku tenang, pikiranku masih cukup gusar dengan kelakuan wanita tadi. "Mungkin di sini memang nggak boleh sembarangan ambil foto ya..." kataku dalam hati, mencoba mencari alasan logis atas tuduhan yang tiba-tiba tadi. Tapi tetap saja, aku masih merasa ganjil. Aku tidak merasa bersalah, tapi ya sudahlah—aku tidak ingin memperpanjang drama.

Kereta terus melaju membelah lanskap Belanda yang hijau dan rapi. Perjalanan selama kurang lebih 45 menit itu terasa sedikit lebih panjang karena pikiranku masih sibuk memutar ulang kejadian barusan. Tapi begitu kereta mulai melambat dan pengumuman terdengar bahwa kami akan segera tiba di Stasiun Amsterdam Central, aku kembali fokus. Oke, saatnya melanjutkan petualangan!

Begitu sampai di Stasiun Amsterdam Central, aku langsung celingak-celinguk mencari penunjuk arah menuju luggage storage. Untungnya cukup mudah ditemukan—ada sign besar bertuliskan "Locker" dan petunjuk panah yang mengarah ke ujung stasiun. Aku mengikuti arah itu sampai tiba di sebuah area khusus berderet locker dengan ukuran bervariasi. Tapi yang bikin aku sempat bengong sebentar: semuanya serba otomatis. Tidak ada petugas yang berjaga, tidak ada resepsionis, tidak ada tempat nanya-nanya manual. Semua harus dilakukan sendiri lewat mesin.

Di depan area locker, terdapat layar sentuh besar sebagai pusat pengoperasian. Aku mulai mencoba memilih opsi di layar, tapi sempat kesulitan karena seingatku saat itu tampilannya default dalam Bahasa Belanda. Aku jadi bingung harus menekan apa, takut salah dan malah keliru memilih ukuran atau durasi.

Untungnya, ada seorang wanita yang kebetulan juga ingin menitipkan tasnya. Melihat aku kebingungan, dia menghampiri dan dengan ramah menawarkan bantuan. Dia membantuku memilih opsi yang benar, mengganti bahasa ke English, dan menjelaskan langkah-langkah berikutnya.

"Nanti kalau mau ambil tasnya kamu cukup masukkan pin-nya saja," katanya sambil tersenyum setelah aku selesai melakukan pembayaran dan pintu locker terbuka otomatis.

"Okey, thank you, ma'am," jawabku lega dan berterima kasih.

Setelah tas besarku aman tersimpan di dalam locker, aku merasa lebih ringan—secara fisik dan mental. Aku jalan keluar dengan membawa tas kecil saja yang berisi paspor, dompet, Hp, air minum dan beberapa cemilan.

"Masalah tas beres, nanti malam tinggal diambil dan langsung cus otw ke Bandara." Kataku menyusun rencana dalam hati.

Sekarang waktunya kembali melanjutkan petualangan. Aku segera naik kereta lagi dari Amsterdam Central menuju Zaanse Schans, desa kincir angin yang sudah sejak lama ingin aku kunjungi.

Kereta menuju Zaanse Schans berangkat dari salah satu peron di Stasiun Amsterdam Central. Setelah memastikan jalur dan jadwal keberangkatan, aku naik ke dalam gerbong yang cukup nyaman. Interiornya bersih, modern, dan tenang. Kursi empuk dengan jendela besar yang memungkinkan penumpang menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Aku memilih duduk dekat jendela, tentu saja—karena buatku, bagian seru dari perjalanan bukan cuma destinasinya, tapi juga pemandangan di sepanjang jalan.

Begitu kereta mulai bergerak, lanskap kota Amsterdam perlahan-lahan berganti menjadi pedesaan khas Belanda. Hamparan hijau terbentang luas, sesekali terlihat rumah-rumah mungil beratap merah yang tertata rapi. Kanal-kanal kecil membelah ladang-ladang luas, dan di kejauhan, tampak beberapa kincir angin berdiri gagah—seolah menyambut kami yang datang. Langit saat itu cerah, dengan awan putih menggumpal manis menghiasi langit biru. Suasana yang tenang, bersih, dan memesona.

Perjalanan dari Amsterdam Central ke stasiun Zaandijk Zaanse Schans memakan waktu sekitar 20 menit. Begitu turun, aku mengikuti arus penumpang yang sebagian besar juga turis. Dari stasiun, aku berjalan kaki melewati jalan besar yang cukup ramai oleh mobil dan sepeda. Setelah itu, aku menyeberangi sebuah jembatan besar yang membentang di atas sungai. Dari atas jembatan ini, pemandangan mulai terasa magis—di kejauhan sudah mulai terlihat siluet kincir angin berjejer.

Begitu melewati jembatan, jalan perlahan mulai masuk ke area pedesaan yang lebih tenang. Deretan rumah kayu hijau dan coklat dengan desain klasik Belanda mulai terlihat, lengkap dengan pagar-pagar kecil dan taman bunga warna-warni. Tak lama kemudian aku sampai di gerbang masuk kawasan wisata Zaanse Schans. Untuk masuk Zaanse Schans ini sendiri tidak dikenakan biaya. Siapapun bebas menjelajah area desanya tanpa membayar, kecuali jika ingin masuk ke museum atau atraksi tertentu. 

Zaanse Schans sendiri adalah desa wisata yang merepresentasikan kehidupan pedesaan Belanda pada abad ke-18 dan 19. Kincir angin di sini bukan sekadar pajangan; dulunya mereka digunakan untuk berbagai kebutuhan industri, seperti menggiling rempah-rempah, memotong kayu, bahkan mengeringkan lahan rawa agar bisa dihuni. Beberapa dari kincir ini masih berfungsi hingga hari ini, dan bisa dikunjungi jika kamu membeli tiket masuk ke dalamnya.

Pemandangan pertama yang menyambutku adalah kanal yang mengalir tenang, dikelilingi rumput hijau yang terawat rapi. Beberapa kapal kecil sesekali lewat, menambah semarak suasana desa. Di kejauhan, deretan kincir angin berdiri gagah menghadap danau. Warnanya hijau tua khas Belanda, berputar perlahan mengikuti arah angin, seolah menghidupkan suasana masa lalu. Di sisi lain, rumah-rumah kayu bergaya klasik dengan jendela putih kecil dan atap curam berdiri berjajar, seperti latar belakang lukisan zaman dulu.

Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membuat udara sejuk meski sedang musim panas bulan Juni. Udara bersih dan segar, penuh aroma rerumputan dan kayu basah. Di beberapa titik, terlihat toko-toko kecil yang menjual roti panggang, bakery lokal, dan cappuccino hangat. Aroma kopi sesekali terhembus, menggoda untuk singgah sebentar dan menikmati secangkir sambil menatap danau. Aku juga melihat beberapa domba sedang merumput santai di padang rumput kecil di sisi kanal, benar-benar pemandangan yang menghangatkan hati.

Setiap langkah membawa suasana damai. Tak ada suara bising, hanya decit kayu, gemericik air, dan suara alam. Kanal-kanal kecil menghubungkan rumah-rumah dan jalanan berbatu, beberapa di antaranya memiliki jembatan kayu kecil yang bisa dilalui pejalan kaki.

Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak berbatu yang mengarah ke danau. Di sisi kanan, kincir angin tampak semakin dekat, baling-balingnya berputar perlahan, menciptakan irama lembut yang hampir tidak terdengar tapi terasa—seperti penanda bahwa waktu berjalan pelan di tempat ini. Satu hal yang membuatku kaget ternyata kincir angin ini kalau didekati ukurannya besar banget. Di sisi kiri, kanal kecil mengalir tenang, dengan rumah-rumah khas Belanda berdiri rapi di belakangnya. Beberapa turis lain tampak asyik berfoto, ada juga yang duduk di bangku sambil menikmati kopi dan roti manis dari bakery terdekat.

Aku tiba di sebuah titik dekat danau yang agak sepi. Ada bangku kayu panjang menghadap langsung ke air, dan tanpa pikir panjang aku duduk di situ. Kutarik napas dalam-dalam—udara segar masuk memenuhi paru-paru, membawa rasa syukur yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Kuambil snack dari tasku, dan mulai makan sambil melihat air yang tenang memantulkan bayangan kincir angin.

Beberapa menit kemudian, seekor bebek muncul dari balik rerumputan di pinggir danau. Lalu dua ekor, tiga ekor, hingga akhirnya ada sekelompok kecil bebek mendekatiku. Mereka seperti tahu aku sedang makan, dan mendekat dengan tatapan penuh harap. Aku tertawa kecil—dalam hati merasa ini lucu dan menyentuh. Kupatahkan sedikit bagianku dan kubagi ke mereka. Mereka mematuk makanan kecil itu dengan riang, lalu berenang pelan lagi menjauh. Ternyata interaksi kecil seperti itu bisa begitu membahagiakan.

Setelah cukup lama duduk dan menikmati suasana, aku kembali berjalan, kali ini menyusuri area toko dan museum. Ada rumah keju yang bisa dikunjungi, lengkap dengan demo pembuatan keju Belanda dan deretan varian keju di etalase. Lalu ada toko klompen, tempat sepatu kayu tradisional Belanda dibuat—aku sempat mampir sebentar, melihat bagaimana mereka mengukir dari kayu balok menjadi sepatu yang lucu dan unik. Beberapa klompen digantung di dinding toko, penuh warna dan motif.

Waktu berjalan tanpa terasa. Suara air, angin, dan derap langkah pelan pengunjung menyatu jadi simfoni yang menenangkan. Aku terus menyusuri area demi area, kadang berhenti untuk sekadar memotret rumah-rumah lucu, kadang hanya berdiri menatap kincir angin yang terus berputar dalam diam.

Tak terasa sudah tiga jam aku habiskan di sini. Berkeliling dari satu sudut ke sudut lain, menyusuri jalanan sempit berbatu, berhenti di beberapa spot untuk sekadar mengagumi pemandangan atau mengambil foto. Aku benar-benar menikmati waktu berjalan pelan, membiarkan setiap detil desa ini terekam dalam ingatan. Yang paling membuatku terkesima adalah betapa masifnya kincir-kincir angin itu. Dulu aku pikir kincir hanya ornamen wisata semata—nyatanya, mereka besar, kokoh, dan benar-benar pernah jadi mesin utama kehidupan Belanda ratusan tahun lalu. Tak heran Belanda dijuluki Negeri Kincir Angin.

Setelah puas menyusuri setiap penjuru desa dan mengisi hati dengan kehangatan sederhana, aku memutuskan untuk bergeser. Masih ada satu area lagi yang ingin kujelajahi hari ini yaitu kota Amsterdam itu sendiri. Jadi aku mulai berjalan perlahan ke arah pintu keluar kawasan Zaanse Schans.

Di sepanjang jalan keluar, aku kembali dibuat kagum oleh pemandangan rumah-rumah mungil khas Belanda. Jendelanya kecil-kecil, ada yang dihiasi pot bunga, ada yang berdiri tepat di pinggir kanal. Kanal-kanal kecil itu bersih dan tenang, seolah menjadi cermin bagi langit mendung yang menggantung tipis di atasnya. Rumah-rumah itu dikelilingi air, dan aku sempat berhenti sejenak di salah satu jembatan kayu, menatap rumah-rumah itu sambil merenung.

"Itu gimana ya kalau mereka mau keluar rumah? Mau ke minimarket gitu misalnya, apa harus nyari jembatan terdekat terus?" Tanyaku dalam hati, sambil senyum-senyum sendiri. Mungkin kedengarannya konyol, tapi memang seperti itulah pemandangannya—rumah-rumah berdiri di atas semacam pulau-pulau kecil, dihubungkan oleh jembatan dan kanal. Tapi di situlah letak pesonanya. Hidup dengan air sebagai jalan utama, seperti dunia yang hanya bisa kubayangkan dalam cerita anak-anak, tapi kini kulihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Sungguh indah, tenang, nyaman.....

Dari Stasiun Zaanse Schans, aku naik kereta kembali ke arah Stasiun Amsterdam Central. Sampai di Stasiun Amsterdam Central, aku memulai eksplorasiku dengan berjalan kaki menyusuri kanal-kanal yang melengkung indah di jantung Kota Amsterdam. Kanal-kanal ini membentuk pola setengah lingkaran yang mengelilingi pusat kota, dan setiap lengkungannya menawarkan panorama yang menenangkan.

Sepanjang kanal, mataku dimanjakan oleh rumah-rumah khas Belanda yang berdiri berjejer rapi. Bangunannya tinggi, ramping, dan berarsitektur klasik dengan jendela-jendela besar serta atap segitiga. Warna-warnanya hangat—ada yang bata merah, krem, hingga cokelat gelap—memberi nuansa vintage yang khas Eropa Barat.

Di sela-sela keindahan itu, aku teringat bahwa kanal-kanal ini bukan sekadar estetika. Belanda adalah negara yang sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Karena itulah, sejak abad ke-17, mereka membangun sistem kanal yang canggih sebagai bentuk pengelolaan air, drainase kota, sekaligus jalur transportasi dan pertahanan. Kanal-kanal ini menjaga kota dari risiko banjir, dan saat itu juga jadi jalur utama pengangkutan barang dagangan—mengingat Amsterdam adalah pelabuhan penting di masa kejayaan dagang Belanda.

Menariknya, sistem kanal seperti ini dulu pernah diterapkan juga di Batavia (Jakarta zaman kolonial). Bahkan, dulu kanal di Jakarta dibangun meniru sistem kanal Amsterdam. Tapi ya, seiring waktu dan perubahan tata kota, banyak kanal di Jakarta yang tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya, dan sebagian tertutup oleh permukiman.

Kembali ke Amsterdam—sesekali aku melihat kapal kecil melintas di kanal, membawa turis atau warga lokal yang bersantai menikmati kota dari atas air. Ada pula houseboat yang menjadi rumah permanen di tepi kanal, lengkap dengan tanaman dan kursi malas seperti halaman depan rumah biasa.

Di sepanjang kanal, tersedia banyak bangku taman. Di beberapa titik, kursinya menghadap langsung ke kanal, dikelilingi pohon-pohon rindang. Suasananya sangat bersih, tenang, dan nyaman, dengan suhu sekitar 15 derajat Celcius—cuaca yang pas buat berjalan kaki dan sekadar duduk menikmati sore.

Aku beberapa kali duduk santai, menarik napas panjang sambil memandangi air kanal yang mengalir pelan. Di salah satu bangku, sempat ada keluarga kecil—ayah, ibu, dan dua anak—yang minta tolong difotokan. Mereka ingin mengabadikan momen di depan kanal. Aku tentu senang membantu, dan setelah foto-foto, kami saling tersenyum dan mengucap terima kasih.

Aku terus berjalan menyusuri kanal, menuju ke arah selatan kota Amsterdam, mengikuti alur kanal yang berkelok dengan tenang. Jalur ini membawaku ke salah satu kawasan paling terkenal di Amsterdam: Museumplein, tempat berkumpulnya museum-museum besar seperti Rijksmuseum, Van Gogh Museum, dan Stedelijk Museum.

Begitu sampai di area depan Rijksmuseum, aku langsung disambut oleh pemandangan yang sangat ramai. Di sana berdiri sebuah taman luas yang terawat, dan tepat di depannya ada salah satu ikon paling terkenal dari Amsterdam: tulisan “I amsterdam” berwarna merah dan putih. Tulisan raksasa ini seperti menjadi magnet wisatawan—tempat wajib berfoto, dan memang terlihat sangat ikonik dengan latar museum megah bergaya klasik di belakangnya.

Lokasinya juga persis di depan pintu masuk taman Vondelpark, taman kota terbesar dan paling terkenal di Amsterdam. Jadi suasananya benar-benar hidup—turis lalu-lalang, kelompok anak muda duduk-duduk di rumput, anak-anak bermain, dan ada yang sekadar tiduran santai menikmati matahari sore. Waktu itu, suasananya ramai tapi tetap tertib dan bersih, khas kota-kota di Eropa Barat.

Aku ikut duduk di area taman, menikmati keramaian sambil mengistirahatkan kaki. Di situ aku juga sempat berfoto dengan latar tulisan “I amsterdam”, meskipun harus sedikit bersabar karena antrean turis yang ingin foto juga cukup panjang.

Untuk Rijksmuseum sendiri, aku tidak masuk. Bukan karena tidak tertarik, tapi memang dari awal aku sudah memutuskan bahwa eksplorasi Amsterdam kali ini adalah eksplorasi kota, bukan masuk ke tempat wisata berbayar. Aku hanya ingin menyerap atmosfer kotanya.

Aku duduk santai di Taman Vondelpark selama 1 jam sebelum memutuskan kembali berjalan. Kali ini aku berjalan kembali ke arah utara, menuju Amsterdam Central Station, melewati jalur kanal yang berbeda dari sebelumnya. Jalannya tetap cantik, kanal-kanal tetap setia menemani di sisi kanan atau kiri, tapi suasananya sedikit lebih tenang dari rute sebelumnya.

Dalam perjalanan ini, aku memutuskan untuk mencoba salah satu ikon transportasi Amsterdam: tram kota.

Tram di Amsterdam bukan sekadar alat transportasi—ia adalah denyut nadi kota ini. Rel-relnya membelah hampir semua jalan utama, bahkan melintasi trotoar dan memotong jalan raya, membuatnya terasa benar-benar menyatu dengan kehidupan kota. Saking terintegrasinya, kadang tram bisa muncul tiba-tiba dari kanan atau kiri tanpa suara mesin yang mencolok. Jadi, tiap kali aku mau menyeberang jalan, aku selalu melihat kanan-kiri lebih dari sekali, khawatir tiba-tiba ada tram lewat dengan bunyi khas tring-ting-ting yang datang mendadak.

Untuk merasakan langsung atmosfernya, aku membeli tiket GVB 1 jam, seharga sekitar 3,40 euro. Tiket ini berlaku untuk naik turun semua tram, bus, dan metro GVB dalam jangka waktu satu jam sejak pertama kali digunakan. Tiket bisa dibeli di mesin otomatis atau langsung di tram tertentu, dan harus dipindai saat masuk dan keluar.

Begitu aku naik, suasana di dalam tram terasa tenang, bersih, dan teratur. Banyak penumpang lokal yang duduk diam sambil membaca atau mendengarkan musik. Jendela besar di kiri-kanan memberikan pemandangan kota yang lewat seperti film dokumenter urban.

Dan ya, bunyi lonceng tram—tring-ting-ting—itu benar-benar khas dan entah kenapa terdengar merdu. Setiap kali tram berjalan atau ingin memberi tanda di persimpangan, bunyi itu terdengar lembut, mengiringi suasana sore Amsterdam yang syahdu.

Tram ini, jalannya tidak terlalu cepat, bahkan bisa dibilang relatif lambat, tapi justru itulah yang membuatnya nyaman. Aku bisa menikmati pemandangan kota dari balik jendela besar dengan tempo santai—melihat orang-orang bersepeda, turis berjalan kaki, kafe-kafe kecil dengan meja di pinggir jalan, dan kanal-kanal yang tak pernah jauh dari pandangan.

Selama beberapa puluh menit, tram membawaku melintasi berbagai bagian kota, mulai dari pusat yang ramai hingga kawasan yang lebih tenang di pinggiran. Di daerah pinggiran itu, suasananya jauh lebih sepi dan damai. Bangunan apartemen tampak lebih modern, jalan lebih lebar, dan tak banyak lalu lalang orang. Tapi justru di situ aku merasakan sisi lain Amsterdam—tenang, rapi, dan teratur. Udara terasa segar dan suasana sangat tertib. Bahkan ketika sepi, kota ini tetap terasa hidup dalam kesunyiannya.

Setelah puas berkeliling dengan tram, aku memutuskan turun di salah satu titik dekat pusat kota. Aku kembali menyusuri jalanan di area sentral Amsterdam—tempat di mana kanal, toko-toko kecil, dan bangunan bersejarah saling berdampingan. Aku tidak punya tujuan pasti, hanya berjalan ke mana kaki membawa. Kadang mampir ke toko oleh-oleh, kadang hanya duduk sebentar di bangku taman atau pinggir kanal, menatap air yang tenang dan perahu yang lewat.

Menjelang jam 6 sore, aku merasa waktuku di Amsterdam sudah cukup untuk hari itu. Aku pun kembali ke Stasiun Amsterdam Central, tempat awal aku memulai eksplorasi siang tadi. Hari mulai beranjak senja, lampu-lampu kota mulai menyala, dan udara terasa mulai dingin lagi. Tapi hatiku hangat karena hari ini penuh dengan pengalaman kecil yang menyenangkan—berjalan menyusuri kanal, duduk di taman, menatap langit dari dalam tram, dan merasakan denyut kota dengan langkahku sendiri.

Malam harinya, aku pun kembali ke stasiun Amsterdam Central. Tujuanku mengambil tasku yang sejak pagi kusimpan di dalam locker. Locker-lokernya modern, tinggal scan barcode, pintu terbuka, dan voila—tasku masih aman di dalam.

Begitu keluar dari stasiun, aku langsung menuju halte bus yang akan membawaku ke Bandara Schiphol. Aku memutuskan naik bus, Amsterdam Airport Express, karena bus itu langsung sampai bandara. Aku sudah terlalu lelah kalau harus memikirkan naik kereta dan transit-transit, lagipula aku tidak ada internet. Waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam, dan udara mulai terasa lebih dingin. Busnya cukup nyaman, dan perlahan kota Amsterdam mulai berganti jadi kilau lampu malam dari balik kaca jendela.

Sejak awal, aku memang sudah merencanakan untuk tidur di bandara malam ini. Dengan penerbangan ke Roma yang dijadwalkan jam 7 pagi besok, jelas tidak masuk akal bagiku untuk menyewa penginapan hanya untuk tidur beberapa jam—buatku yang backpacker-budget, itu terasa seperti buang-buang duit. Jadi ya, pilihan paling masuk akal dan murah: ngemper di bandara.

Setibanya di Schiphol, aku langsung mencari spot strategis. Karena belum bisa check-in, otomatis aku hanya bisa stay di area sebelum pemeriksaan tiket. Aku pun berkeliling, menyisir lorong-lorong terminal sampai akhirnya menemukan sudut yang cukup sepi. Di sana sudah ada beberapa bule juga yang tampaknya senasib—rebahan di lantai, berselimut jaket, dan menempel dekat colokan.

“Oke, ini zona sah para pejuang early flight,” pikirku sambil tersenyum kecil.

Aku pun memilih salah satu pojokan, menurunkan tas, colok charger HP, lalu mencoba membuat diriku senyaman mungkin. Meski lantainya keras dan suhu bandara lumayan dingin, aku sudah siap mental sejak awal. Sambil menunggu baterai HP penuh, aku rebahan dan perlahan menutup mata. Di kepala, aku mulai membayangkan seperti apa suasana Roma esok pagi.

Terimakasih Amsterdam, Terimakasih diriku hari ini. Semoga malam ini aku bisa tidur.........

0 comments:

Posting Komentar