Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.06.2025

[11] Balada Eropa : Colosseum dan Fontana di Trevi !

Aku di Colosseum

Keesokan harinya. Tepat pukul setengah lima pagi, alarm di HP-ku berbunyi cukup keras—dan langsung membuatku terlonjak meski sebenarnya aku belum benar-benar tidur. Ya, balik lagi, aku ini tipe orang yang susah banget tidur di tempat umum atau di transportasi publik, kecuali kalau sudah benar-benar super capek dan ngantuk banget. Dan semalam, meskipun tubuhku lelah, tetap saja aku tidak bisa benar-benar terlelap.

Lantai bandara itu dingin dan keras, bukan tempat yang ramah buat punggung apalagi mimpi indah. Selain itu, aku juga terus-menerus waspada dengan tasku. Meskipun kupeluk dan kuselipkan kaki di atasnya, tetap aja rasa khawatir bikin mataku enggan terpejam penuh. Beberapa kali aku hanya tertidur ayam—merem bentar, kebangun lagi karena suara pengumuman, derap langkah orang, atau dingin yang makin menusuk dini hari.

Tapi, di balik semua itu, aku tetap merasa puas. Karena toh ini semua sudah aku rencanakan. Bagian dari petualangan, bagian dari pengalaman, dan bagian dari “jalan sendiri ke tempat impian” yang sudah lama aku idam-idamkan.

Begitu jam menunjukkan pukul lima lewat dikit, aku langsung beranjak untuk mencari toilet, cuci muka, dan merapikan diri seadanya. Wajah masih agak kusut, tapi semangatku sudah mulai menyala lagi. Sebentar lagi aku akan terbang ke Roma—kota penuh sejarah, pasta, dan mungkin, kejutan lain yang belum kutahu.

Setelah sedikit menyegarkan diri di toilet, aku segera menuju konter check-in. Maskapai yang kupilih kali ini adalah Fueling Airlines—ya, salah satu budget airlines Eropa yang cukup populer untuk rute-rute pendek antarnegara. Proses check-in berjalan lancar tanpa hambatan, dan aku pun melangkah masuk ke area tunggu dengan perasaan campur aduk: antara ngantuk, excited, dan sedikit lapar.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, proses boarding pun dimulai. Semua berjalan cukup tertib dan cepat—tipikal bandara besar seperti Schiphol. Aku duduk di kursiku, meletakkan tasku di bawah kursi, dan tanpa banyak basa-basi langsung bersiap untuk... tidur.

Ya, akhirnya momen itu datang juga. Penerbangan dari Amsterdam ke Roma memakan waktu sekitar dua jam—dan dua jam itulah yang akhirnya benar-benar bisa kupakai untuk tidur. Tidak panjang, tidak lelap, tapi cukup untuk membuat tubuhku sedikit recharge setelah semalaman ngemper di lantai bandara yang dingin dan keras.

Ketika pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat, aku membuka mata dan langsung merasa segar. Di luar jendela, langit cerah menyambut, dan beberapa menit kemudian roda pesawat menyentuh tanah. Pukul sembilan pagi waktu setempat, aku resmi menginjakkan kaki di Roma.

Yay! Italy! This is my first time here. Negara yang selama ini hanya kulihat dari film-film dan buku sejarah, kini akhirnya kulihat dengan mata kepala sendiri. 

Pesawatku mendarat mulus di Bandara Internasional Leonardo da Vinci – Fiumicino (FCO), yang merupakan bandara utama di Roma jam 9 pagi. Begitu keluar dari pesawat, seperti biasa karena Italia juga termasuk negara Schengen, kami tidak melewati imigrasi lagi. Aku langsung mencari transportasi menuju pusat kota—tujuanku adalah Stazione Termini, terminal kereta utama dan pusat transportasi di Roma. Aku memang sengaja menuju ke sana karena ingin menukarkan Roma Pass yang sebelumnya sudah kubeli secara online. Roma Pass ini harus ditukar dengan kartu fisik transportasi, dan salah satu titik penukaran resminya ada di Termini.

Untungnya, bandara ini menyediakan Wi-Fi gratis, jadi aku bisa browsing sebentar untuk cari info transportasi. Sebenarnya, sebelum mendarat aku juga sudah sempat browsing, dan tahu bahwa salah satu opsi paling praktis dari bandara ke Termini adalah menggunakan bus. Setibanya di area kedatangan, aku langsung menuju konter dan memutuskan untuk menggunakan bus operator TAM—yang rutenya langsung menuju Stazione Termini.

Di konter, aku sekalian bertanya apakah bisa beli tiket pulang juga untuk besok, dan ternyata bisa. Jadi aku langsung beli tiket PP (pulang-pergi) seharga 16 euro—hemat waktu dan nggak ribet nanti pas balik ke bandara.

Setelah tiket di tangan, aku menunggu sebentar di halte yang sudah ditentukan. Udara Roma pagi itu cukup hangat dan matahari bersinar cerah, jauh lebih hangat daripada Amsterdam. Rasanya seperti disambut hangat oleh kota ini—dan aku pun makin nggak sabar buat mulai petualangan di negeri pizza dan pasta ini.

Bus bandara yang kutumpangi akhirnya datang juga—bodinya besar, bersih, dan cukup nyaman. Aku naik, mencari kursi dekat jendela, lalu bersandar sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan menuju pusat kota Roma.

Bus TAM dari Bandara Fiumicino (FCO) ke Stazione Termini

Sumber Gambar : Disini

Begitu bus bergerak, dari balik kaca, aku bisa melihat landskap pinggiran Roma yang kering tapi elegan. Hamparan ladang dan semak-semak kecokelatan, pepohonan pinus Italia yang tinggi ramping, serta deretan rumah-rumah bertembok krem dengan atap genteng merah yang khas Mediterania—semuanya menyatu dalam lanskap yang sangat... Italia. Tidak terlalu hijau subur seperti di Belanda, tapi justru memberi kesan hangat dan klasik.

Sepanjang jalan, tampak juga reruntuhan bangunan tua yang berdiri tak jauh dari jalan raya, seperti sisa-sisa dinding kuno atau struktur bata merah yang dibiarkan terbuka begitu saja—seolah menjadi bagian alami dari kota. Sesekali, terlihat mobil-mobil kecil khas Eropa melaju, dan papan-papan petunjuk berbahasa Italia yang terasa asing tapi eksotis.

Suasananya jauh berbeda dari Belanda yang rapi dan modern. Roma terasa lebih “kasar” tapi justru memikat, penuh karakter dan kesan historis di setiap sisinya. Jalanan di pinggiran kota cenderung lebih lebar dan berdebu, tapi tetap tertata. Ada kehidupan lokal yang terasa lebih santai—orang-orang duduk di bar kecil, atau berdiri sambil ngobrol di pinggir jalan.

Perjalanan dari Bandara Fiumicino ke Stazione Termini memakan waktu sekitar 45 hingga 60 menit, tergantung lalu lintas. Waktu yang cukup buat tubuhku sedikit istirahat setelah penerbangan pagi dari Amsterdam.

Begitu sampai di Termini, aku langsung disambut oleh hiruk-pikuk khas stasiun besar Eropa. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper di tangan, bus dan tram berseliweran, dan bangunan tinggi mengelilingi area terminal. Tapi di balik keramaiannya, aku merasakan sesuatu yang berbeda—semacam aura antik yang masih hidup di tengah modernitas. 

Aku berdiri sebentar, menarik napas dalam-dalam sambil berkata dalam hati, “Roma, akhirnya aku sampai juga.”

Begitu turun dari bus dan masuk ke area Stazione Termini, hal pertama yang kulakukan adalah menukarkan Roma Pass yang sebelumnya sudah kubeli online. Di dalam stasiun ada konter resmi informasi wisata, dan di sanalah aku menunjukkan bukti pemesananku. Prosesnya cepat dan efisien—petugasnya langsung menukarkan bukti digital itu dengan kartu fisik Roma Pass lengkap dengan brosur panduan. Selain sebagai tiket masuk ke beberapa situs wisata, kartu ini juga berfungsi sebagai kartu transportasi umum selama 48 jam, dan itu yang paling kubutuhkan untuk mobilitas selama di Roma.

Setelah urusan kartu selesai, aku langsung berjalan kaki menuju penginapanku di Via Castelfidardo 48, yang jaraknya sekitar 700 meter dari stasiun Termini. Jalannya cukup lurus dan mudah diikuti lewat petunjuk Google Maps. Tapi tentu saja, ini Roma—jadi bukan hanya soal arah, tapi juga suasana sepanjang jalan yang jadi pengalaman tersendiri.

Aku menyusuri trotoar dengan koper di tangan, melewati deretan bangunan apartemen tua bergaya Italia, tinggi-tinggi dengan jendela-jendela besar dan balkon besi berukir. Banyak dari bangunan itu tampak sudah berumur, catnya mulai kusam, tapi justru di situlah pesonanya. Jalanan juga dipenuhi batu-batu paving yang membuat langkahku agak bergoyang, apalagi sambil menarik koper. Tapi rasanya khas banget, seperti berjalan di dalam film klasik.

Setibanya di alamat penginapan, aku sempat kebingungan. Bangunannya terlihat seperti apartemen biasa, tanpa papan nama mencolok. Pintu masuknya besar dan tertutup rapat, tanpa resepsionis di depan. Tapi aku ingat instruksi dari email pemesanan—cukup menekan bel sesuai lantai atau unit hostel, dan nanti akan dibukakan dari atas. Benar saja, setelah menekan tombol dan menyebutkan namaku lewat interkom, klik!—pintu terbuka otomatis.

Aku masuk ke dalam lorong bangunan yang tinggi dan sunyi, menaiki beberapa anak tangga, dan akhirnya tiba di unit hostel yang akan jadi rumah sementaraku selama di Roma.

Koloseum, atau dalam bahasa Italia disebut Colosseo, adalah amfiteater raksasa peninggalan Kekaisaran Romawi yang dibangun pada abad ke-1 Masehi, tepatnya mulai sekitar tahun 72 M di masa Kaisar Vespasianus dan selesai di bawah pemerintahan putranya, Titus. Dulu, tempat ini digunakan sebagai arena pertunjukan gladiator, pertarungan binatang buas, eksekusi publik, hingga teater drama mitologi. Kapasitasnya luar biasa—bisa menampung hingga 50.000 penonton, yang duduk di tribun melingkar bertingkat seperti stadion masa kini.

Bentuknya yang oval dan terbuka di tengah bukan hanya untuk keindahan arsitektur, tapi juga supaya penonton bisa melihat dengan jelas semua pertunjukan di arena. Arsitekturnya canggih banget untuk ukuran zamannya—lengkungan-lengkungan yang menopang struktur, sistem koridor bawah tanah untuk mengatur jalannya pertunjukan, bahkan dulu ada kanopi raksasa yang bisa ditarik untuk meneduhkan penonton dari panas.

Setelah melewati proses pemeriksaan tiket dengan Roma Pass, aku pun mulai masuk ke dalam Koloseum melalui pintu yang diarahkan petugas. Dari pintu masuk itu, aku langsung naik tangga batu yang cukup curam. Langkah demi langkah, aku makin penasaran—dan saat tiba di atas, aku melihat sebuah lorong dengan berbagai papan informasi. Di situ dijelaskan tentang sejarah bangunan, fungsi arena, dan bagaimana sistem hiburan rakyat kala itu berjalan. Ada juga replika miniatur serta potongan-potongan reruntuhan yang diberi penjelasan singkat.

Setelah melewati bagian edukatif itu, aku akhirnya tiba di lingkaran utama tribun Koloseum. Dan... wow. Pemandangan langsung menghadap ke area tengah arena yang kini terbuka, memperlihatkan struktur bawah tanah tempat dulu para gladiator dan binatang disiapkan sebelum naik ke atas. Langit biru cerah tanpa awan, dan sinar matahari menyinari dinding batu tua yang kini tampak keemasan.

Saat aku berdiri di tribun utama dan melihat ke bawah, mataku langsung tertuju pada bagian dasar arena yang tampak tidak rata, penuh dengan lorong-lorong batu bata. Banyak orang mungkin mengira bahwa bagian tengah Koloseum dulu berbentuk lantai datar seperti stadion modern, tapi sebenarnya yang kamu lihat sekarang adalah bagian bawah tanah Koloseum yang dulu tersembunyi di balik lantai kayu.

Struktur ini disebut hypogeum, dan dulu merupakan labirin lorong, ruang tahanan, serta lift dan perangkap rahasia tempat para gladiator, binatang buas, dan properti pertunjukan disiapkan sebelum “naik” ke arena melalui platform yang bisa digerakkan secara manual. Bisa dibilang, ini adalah dapur belakang dari seluruh pertunjukan brutal Romawi Kuno.

Sayangnya, lantai kayu di atasnya sudah runtuh berabad-abad lalu, dan kini pengunjung bisa melihat langsung ke bagian hypogeum yang dulu tersembunyi dari penonton. Lorong-lorong sempit itulah yang membuat bagian tengah Koloseum terlihat tidak rata hari ini.

Melihat itu dari atas, aku jadi makin sadar betapa megah dan canggihnya arsitektur Romawi kuno. Bukan cuma soal bangunan megah, tapi juga bagaimana mereka menciptakan sistem pertunjukan yang terencana dan terstruktur secara teknis, bahkan lebih dari yang kita bayangkan untuk zaman itu.

Aku melanjutkan berjalan memutari tribun sambil sesekali berhenti untuk melihat dari berbagai sudut. Di kejauhan tampak turis-turis lain yang sibuk berfoto, ada yang duduk istirahat, ada yang serius baca penjelasan sejarah. Suasananya cukup ramai, tapi tetap tertib. Namun, panasnya Roma mulai terasa—suhu siang itu bisa mencapai 28 derajat, dan aku pun sudah melepas jaketku sejak tadi. Keringat mulai mengalir, dan langkah kakiku mulai terasa berat.

Jujur saja, di tengah jalan saat memutar tribun, aku mulai merasa agak lelah. Mungkin karena kurang tidur semalam di bandara, ditambah panasnya cuaca Roma, membuat mood-ku sedikit drop. Aku sempat berhenti di pojok bayangan, hanya untuk duduk sejenak dan menarik napas panjang.


0 comments:

Posting Komentar