Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.03.2025

[12] Aloha Hawai'i : USS Arizona dan Kepulangan (Finished)

USS Arizona Memorial, Pearl Harbor, Hawai'i

Hari ini adalah hari terakhirku di Pulau O‘ahu, dan aku tahu dengan pasti ke mana kakiku harus melangkah: Pearl Harbor.

Buat yang belum tahu, Pearl Harbor adalah pelabuhan militer utama milik Amerika Serikat yang terletak di sebelah barat Honolulu, Pulau O‘ahu. Di sinilah terjadi serangan mendadak dari militer Kekaisaran Jepang pada 7 Desember 1941, yang kemudian menjadi pemicu resmi keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II. Serangan ini menghancurkan banyak kapal perang dan menewaskan lebih dari 2.400 orang—baik personel militer maupun warga sipil.

Salah satu kapal yang karam dan menjadi simbol tragedi ini adalah USS Arizona. Kapal perang ini tenggelam bersama lebih dari 1.100 prajurit yang masih berada di dalamnya. Di atas bangkai kapal inilah kini berdiri USS Arizona Memorial—sebuah monumen putih yang mengapung tepat di atas lokasi kapal karam, tanpa menyentuh bangkai aslinya di bawah air. Tempat ini jadi simbol penghormatan, refleksi, dan pengingat akan harga perang.

Karena ini hari terakhir, aku sekalian berangkat ke Pearl Harbor dengan membawa semua barang. Backpack, oleh-oleh berupa coklat-coklat khas Hawai‘i yang kubeli semalam dari ABC Stores di Waikiki—semuanya sudah siap dibawa langsung ke bandara setelah kunjungan ini.

Sekitar jam setengah 8 pagi, aku sudah siap, dan langsung naik bus umum ke arah barat. Aku sudah hafal jalurnya sejak hari pertama. Sesampainya di Pearl Harbor, aku langsung menuju area penitipan barang, karena di sini pengunjung tidak diizinkan membawa tas besar masuk ke dalam kompleks memorial. Biayanya cukup terjangkau—$4 untuk setiap barang. Aku menitipkan backpack dan tas oleh-olehku.

Setelah semua urusan logistik beres, aku pun masuk ke area pengunjung dan membeli tiket masuk seharga $1—harga simbolis untuk pemesanan kursi dalam tur USS Arizona. Suasananya terasa tenang, tertib, dan penuh rasa hormat. Di area awal ini, pengunjung diarahkan untuk menonton video dokumenter pendek tentang peristiwa Pearl Harbor, yang sangat mengena dan emosional.

Setelah membeli tiket masuk dan melewati gerbang utama Pearl Harbor, aku resmi berada di salah satu situs sejarah paling penting di dunia. Tapi, untuk menuju ke USS Arizona Memorial, kita nggak bisa langsung begitu saja masuk ke monumennya. Karena posisinya terletak di tengah laut, tepat di atas bangkai kapal perang yang tenggelam, kita harus menunggu giliran naik kapal shuttle milik Angkatan Laut AS yang akan mengantar ke sana.

Sambil menunggu kapal datang, aku memutuskan untuk berkeliling dulu di sekitar area Pearl Harbor Visitor Center. Kawasannya luas, bersih, dan tertata rapi. Ada taman kecil dengan pepohonan rindang, bangku-bangku untuk duduk santai, dan jalur pedestrian yang nyaman. Hari itu langit benar-benar biru bersih, nyaris tanpa awan, dan matahari bersinar terang. Suasana cukup ramai, tapi tetap terasa tertib dan penuh rasa hormat. Banyak pengunjung yang tampak diam, merenung, atau membaca panel-panel sejarah.

Di sepanjang area ini, terdapat beberapa pameran terbuka dan gedung-gedung kecil yang berfungsi sebagai museum mini. Salah satu yang aku sempat masuki adalah "Road to War" dan "Attack Museum Gallery".

Museum ini berisi dokumentasi sejarah menjelang dan saat serangan Pearl Harbor, lengkap dengan:

  • Foto-foto asli dari masa Perang Dunia II,

  • Potongan surat kabar dari tanggal 7 Desember 1941,

  • Artefak militer seperti serpihan pesawat, peralatan radio, bahkan seragam prajurit,

  • Rekaman audio dan video kesaksian para penyintas dan veteran.

Museum ini sangat informatif dan mengena. Ada satu dinding yang penuh dengan wajah-wajah prajurit muda, dan entah kenapa aku terpaku cukup lama di sana—mereka terlihat masih belia, seolah-olah baru saja lulus SMA. Tapi hidup mereka terhenti begitu cepat karena perang.

Tak lama kemudian, pengumuman pun terdengar: kapal putih milik Angkatan Laut telah tiba dan siap membawa rombongan ke USS Arizona Memorial.

Aku menaiki kapal putih milik Angkatan Laut AS bersama rombongan lainnya. Perjalanan melintasi perairan Pearl Harbor memakan waktu sekitar 15 menit. Angin laut berhembus pelan, dan pemandangan pelabuhan yang tenang hari ini menyimpan ironi mendalam—karena dulunya, perairan ini adalah saksi dari salah satu serangan paling mengejutkan dalam sejarah militer.

Saat USS Arizona Memorial mulai tampak dari kejauhan, suasana di kapal seketika berubah. Tidak ada yang bercanda. Semua mata tertuju pada struktur putih panjang yang mengapung elegan di atas laut. Monumen ini dibangun tepat di atas bangkai kapal perang USS Arizona yang masih berada di dasar laut—tanpa menyentuh atau merusaknya. Kapal itu sendiri tidak pernah diangkat, dan hingga kini, lebih dari seribu awak kapal yang gugur masih "beristirahat" di dalamnya.

Namun, kami belum bisa langsung turun. Karena ukuran monumen yang terbatas, pengunjung harus masuk secara bergantian. Kami harus menunggu rombongan sebelumnya selesai dan kembali naik kapal. Sekitar 10 menit kami menanti dalam diam, hingga akhirnya tiba giliran kami untuk menginjakkan kaki di monumen yang khidmat itu.

Begitu memasuki USS Arizona Memorial, nuansa berubah total. Ini bukan museum biasa, bukan juga tempat wisata. Ini adalah tempat perenungan, penghormatan, makam massal yang mengapung.

Strukturnya didesain seperti lorong terbuka berwarna putih, dengan bendera Amerika berkibar gagah di bagian tengahnya. Di dalamnya, terdapat beberapa bagian penting:

  1. Ruang Tengah Monumen – area terbuka di mana kita bisa melihat langsung ke bawah laut, tempat bangkai kapal Arizona masih terendam. Kadang, minyak dari kapal yang karam itu masih terlihat merembes ke permukaan—disebut “black tears of Arizona”, dan dianggap sebagai simbol bahwa kapal dan mereka yang gugur masih "menangis".


  2. Dinding Peringatan (Remembrance Wall) – di ujung monumen, terdapat tembok marmer putih dengan nama-nama seluruh prajurit USS Arizona yang gugur saat serangan. Lebih dari 1.100 nama tertulis rapi, dan suasana di sini benar-benar hening. Banyak pengunjung yang berdiri dalam diam cukup lama di depan dinding ini.

  3. Area Pemandangan Terbuka – dari sisi kanan dan kiri monumen, kita bisa melihat perairan Pearl Harbor dan menyadari betapa dekatnya dengan daratan, membuat serangan itu terasa semakin tragis.

Ada aturan jelas yang disampaikan sejak di kapal: dilarang berbicara keras, tidak boleh tertawa, dan tidak boleh bersikap tidak hormat. Ini adalah tempat suci. Aku pun dengan sendirinya menundukkan kepala, melangkah pelan, dan berusaha menyerap setiap detail, bukan dengan kamera, tapi dengan hati.

Aku berjalan pelan menyusuri monumen hingga sampai di bagian paling ujung—sebuah ruangan tertutup dengan dinding marmer putih besar yang berdiri tegak, bersih, dan sunyi. Di dinding itu, terukir nama-nama seluruh prajurit USS Arizona yang gugur dalam serangan Pearl Harbor. Jumlahnya lebih dari seribu.

Saat melihat nama-nama itu, entah kenapa suasana hatiku langsung berubah. Sedih. Sunyi. Seolah seluruh udara di ruangan itu menekan dadaku perlahan. Karena saat membaca nama demi nama, aku tidak lagi melihat angka statistik atau data sejarah... aku melihat manusia.

Mereka adalah anak muda, sebagian mungkin masih dua puluhan, sedang bertugas di kapal perang. Dan saat itu, hari Minggu pagi, tanggal 7 Desember 1941. Bagi banyak prajurit, itu hari libur. Ada yang sedang bersantai di dek kapal, ada yang sedang bersih-bersih, mungkin ada yang sedang menulis surat untuk keluarga di rumah, dan beberapa mungkin sedang bersiap untuk pergi ibadah ke gereja pangkalan.

Lalu, tiba-tiba langit pecah.

Pesawat-pesawat tempur Jepang datang tanpa peringatan, menjatuhkan bom dan torpedo ke pangkalan Pearl Harbor. USS Arizona menjadi salah satu kapal pertama yang terkena serangan langsung. Bom menghantam gudang amunisi di bagian bawah kapal, menyebabkan ledakan besar yang begitu dahsyat hingga dalam hitungan menit, kapal itu karam.

Sebagian besar prajurit tak sempat menyelamatkan diri. Mereka gugur di tempat, terkubur di dalam kapal yang kini menjadi makam abadi.

Itulah yang menjadikan tempat ini bukan sekadar monumen, tapi ruang duka yang hidup. Setiap nama yang terukir di dinding itu membawa cerita, membawa keluarga, membawa hidup yang direnggut tiba-tiba. Dan berada di sana—diam, melihat nama-nama itu—membuatku terdiam lebih lama dari yang kupikirkan.

Saat berdiri diam di depan dinding nama-nama itu, pikiranku melayang jauh. Lebih dari seribu jiwa gugur hanya di satu kapal ini. Dan itu baru satu potongan kecil dari kehancuran besar yang ditinggalkan oleh perang.

Sejarah mencatat, setelah serangan mendadak di Pearl Harbor ini, Amerika Serikat membalas serangan Jepang dengan terlibat penuh dalam Perang Dunia II. Hingga akhirnya, pada tahun 1945, dua bom atom dijatuhkan oleh AS ke dua kota di Jepang: Hiroshima dan Nagasaki. Ribuan nyawa melayang seketika, dan efek radiasinya bahkan terus menghantui generasi berikutnya.

Dari rangkaian peristiwa ini, aku benar-benar memahami satu hal:
Tidak ada yang pernah benar-benar menang dalam sebuah perang.

Ya, mungkin secara politik atau strategi ada pihak yang "menang", tapi setiap sisi kehilangan. Baik militer maupun sipil. Anak-anak yang belum tahu apa-apa, ibu-ibu yang hanya ingin membesarkan anaknya, pekerja biasa, pelaut, petani, guru, tukang roti—semua bisa menjadi korban, hanya karena keputusan yang dibuat oleh segelintir orang di pucuk kekuasaan.

Dan di sinilah, di atas laut Pearl Harbor yang tenang, aku hanya bisa berharap:
semoga tidak ada lagi perang, dalam bentuk apapun.
Kalaupun masih ada konflik, aku benar-benar berharap ada cara untuk menghentikannya sebelum berubah menjadi kehancuran global. Karena perang tidak menyisakan apa-apa selain luka, kehilangan, dan kenangan pahit yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Setelah waktu kami habis, aku dan rombongan berbaris kembali menuju kapal kecil yang akan membawa kami kembali ke daratan. Satu per satu kami naik, diam, masih larut dalam kesan yang mendalam. Kapal perlahan meninggalkan USS Arizona Memorial, dan aku menoleh sekali lagi ke belakang. Monumen putih itu berdiri kokoh di atas laut—sunyi, tapi bersuara sangat keras di dalam hati.

Setelah kapal mengantar kami kembali ke daratan, aku tiba lagi di Visitor Center Pearl Harbor. Tapi aku belum langsung pergi. Aku masih ingin berkeliling sejenak, mengulang langkah-langkah pagi tadi, seolah ingin memberi waktu tubuh dan pikiranku untuk benar-benar mencerna pengalaman hari ini.

Aku juga sempat makan siang ringan di area pengunjung. Mungkin sekadar sandwich dan minuman dingin, tapi setelah momen emosional barusan, rasanya cukup untuk mengembalikan tenagaku. Hari ini memang berat secara batin, tapi justru itu yang membuatnya berarti.

Sebenarnya, ada satu destinasi lagi di Pearl Harbor yang terkenal: USS Missouri, kapal tempur tempat penandatanganan resmi kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Tapi karena waktuku sudah semakin mepet menuju penerbangan sore ke Osaka, aku harus melewatkannya. USS Bowfin, kapal selam yang pernah kupunjungi di hari-hari sebelumnya, menjadi bagian terakhir dari eksplorasi militarku di Pearl Harbor.

Akhirnya, aku kembali ke tempat penitipan dan mengambil tasku dan kantong oleh-oleh. Lalu berjalan ke halte bus untuk melanjutkan perjalanan terakhir hari ini: kembali ke Bandara Internasional Honolulu.

Aku memilih datang lebih awal, karena menurutku lebih baik menunggu lama di bandara daripada terburu-buru dan stres di menit-menit terakhir. Apalagi ini adalah penerbangan panjang ke Osaka, melewati lautan dan benua. Aku ingin punya cukup waktu untuk istirahat, menyiapkan fisik dan mental, serta menenangkan diri setelah perjalanan penuh makna ini.

Aloha, Hawai‘i. Terima kasih untuk segalanya. Sampai jumpa di lain waktu.

Setibanya di Bandara Internasional Honolulu, aku masih punya cukup waktu untuk leyah-leyah—rebahan di kursi tunggu, ngemil sisa cokelat oleh-oleh, dan memandangi para traveler yang datang dan pergi. Rasanya seperti detik-detik terakhir sebelum lembar baru dimulai lagi di Osaka.

Tapi, ternyata penutup perjalananku di Hawai‘i nggak bisa selesai tanpa sedikit bumbu... drama check-in.

Aku terbang dengan maskapai Aresia, yang hanya menyediakan bagasi kabin gratis 7 kg. Nah, aku memang nggak beli tambahan bagasi, karena merasa sudah cukup dengan backpack yang kupakai.

Ternyata… saat backpack-ku ditimbang, beratnya hampir 8 kg. Petugasnya—dengan wajah datar tapi prosedural—langsung bilang,
“Actually this is over limit. You have to purchase additional baggage.”

Deg.
Dalam hati aku panik. Bayar bagasi di tempat biasanya jauh lebih mahal, dan aku juga sudah mepet waktu.

Tanpa pikir panjang dan tanpa malu, aku langsung pakai jurus andalan backpacker kepepet:
Please, please… just let me in. I’m sorry. It’s just clothes. No laptop. No heavy stuff, really. Please.

Petugas itu diam sejenak. Lihat aku. Lihat timbangan. Lihat lagi wajahku.

Dan akhirnya dia mengangguk pelan, sambil bilang,
“Alright. Just this time.”

YES!
Aku hampir mau melompat kegirangan tapi langsung sadar diri—aku harus tetap elegan, meskipun dalam hati udah pengen sujud syukur.

Tasku diloloskan. Aku pun melangkah lega menuju imigrasi, membawa backpack setia dan secuil kemenangan kecil di penghujung perjalanan.

Setelah melewati drama pertama di meja check-in, aku pikir semuanya sudah beres. Backpack-ku yang nyaris 8 kg akhirnya diloloskan oleh petugas Aresia—meskipun sudah melebihi batas bagasi kabin 7 kg yang disediakan. Dia sempat bilang,

“Actually this is over, but… okay, just this time.”

Wajahnya ramah, senyum-senyum tipis, bukan yang galak atau mengintimidasi. Tapi dari air mukanya, kelihatan banget—“saya bantuin kamu, tapi tolong jangan keterlaluan ya.”
Dan aku pun mengangguk penuh syukur, dengan hati lega… atau setidaknya, kupikir urusan selesai.

Tiba-tiba dia bertanya, masih dengan senyum yang sama,
"Do you have another bag?"

Waduh.
Langsung aku merasa udara di bandara sedikit menipis.
“Uhm... yes,” jawabku sambil menunjukkan tas oleh-oleh berisi tumpukan cokelat dari ABC Stores semalam.

Dengan tetap sopan dan ramah, dia menunjuk ke timbangan. Aku tahu maksudnya.

Aku taruh tas cokelat itu, dan... boom. 4 kg.
Di titik itu, aku nyaris menyerah.

Total beratku jadi hampir 12 kg—jelas over limit, bahkan untuk batas kompromi.

Petugas itu masih tersenyum, tapi senyumnya berubah jadi senyum “penuh kesabaran”. Kayak, “Ya ampun, kok bisa sih ini orang...” Tapi nggak ada nada tinggi, nggak ada tatapan sinis. Dia tetap sopan, tetap ramah, tetap senyum. Bahkan aku tahu, kalau aku di posisinya, mungkin aku juga akan menghela napas yang sama.

Tapi ya, di situlah aku keluarkan jurus pamungkas:
Please, please… just this time. I promise I’ll repack better next time. It’s just chocolates. Really soft. No laptop. I’m sorry… please.

Dia sempat diam sebentar. Lihat tasku. Lihat wajahku.
Lalu, dengan nada datar tapi sangat pengertian, dia akhirnya bilang:
“Alright… just this time.”

Dan senyumnya masih ada. Senyum lelah tapi tulus.
Aku hampir pengen peluk dia, tapi jelas itu melanggar semua SOP bandara.

Akhirnya, semua tasku lolos, dan aku melangkah ke gerbang imigrasi dengan hati penuh syukur.
Petugas itu nggak cuma mengizinkan tasku lewat, tapi juga menyelamatkan mood perjalananku menuju Osaka.

Setelah drama bagasi dua lapis tadi—backpack yang overweight dan tas cokelat yang diam-diam menambah beban—aku akhirnya bisa bernapas lega. Rasanya seperti berhasil lolos dari ujian hidup versi bandara. Dan jujur aja, aku bersyukur banget.

Karena kalau sampai harus beli bagasi tambahan di counter check-in, wah, bisa jutaan rupiah melayang. Tiket dari Honolulu ke Kuala Lumpur (dengan transit di Osaka) aja udah mahal, apalagi kalau beli bagasi dadakan di tempat, yang biasanya jauh lebih mahal daripada booking online sebelumnya. Jadi petugas tadi itu... meskipun senyumnya setengah pasrah, dia adalah pahlawan hari itu.

Setelah itu, aku lanjut ke proses imigrasi.

Ternyata, antrian imigrasi cukup panjang, dan pemeriksaannya juga cukup ketat. Petugas benar-benar memeriksa visaku secara detail—bukan cuma lihat sekilas lalu cap paspor, tapi dilihat satu per satu, ditanya beberapa hal, bahkan dicek berkas lain. Mungkin karena sebagian besar penumpang lain adalah warga Jepang yang nggak butuh visa masuk Amerika, proses mereka jauh lebih cepat. Sementara aku, pemegang paspor Indonesia, harus siap dengan visa Amerika yang valid dan lengkap.

Tapi setelah semua dicek dan lolos, aku pun bisa boarding dengan tenang.

Dan akhirnya… aku duduk di kursiku, menatap jendela pesawat, dan siap terbang lagi. Penerbangan menuju Osaka memakan waktu sekitar 8 jam, dan aku bersiap untuk babak baru. Entah petualangan macam apa yang menunggu di Jepang nanti, tapi satu hal yang pasti—Hawai‘i telah memberiku seminggu penuh kenangan, pelajaran, dan kedamaian.


Penerbangan dari Honolulu ke Osaka memakan waktu 8 jam, dan buat sebagian orang mungkin terasa panjang, membosankan, bahkan melelahkan. Tapi buatku? It was peaceful. Momen sunyi yang sempurna untuk merenung dan... membuka galeri.

Karena jujur aja, aku tuh bukan tipe orang yang suka nge-game, nggak punya koleksi film, bahkan waktu itu belum kenal Netflix. HP-ku benar-benar "kosongan". Nggak ada hiburan eksternal, nggak ada tontonan instan.

Akhirnya, hiburan terbaikku justru datang dari galeri kamera.

Satu per satu aku buka ulang foto-foto selama seminggu di Hawai‘i—pantai-pantai biru di utara O‘ahu, padang rumput Kualoa Ranch, tebing-tebing Pegunungan KoÊ»olau, senyum petugas check-in yang pasrah tapi baik hati, hingga monumen sunyi di atas bangkai kapal USS Arizona.
Dan waktu aku menatap foto-foto itu, satu hal yang muncul di benakku:

"I'm so happy."

2017 ini, mimpiku benar-benar tercapai satu demi satu. Setelah keliling Eropa, kini Hawai‘i yang selama ini hanya jadi bayangan dari layar film, kini berubah jadi kenyataan yang kutangkap sendiri dengan lensa dan hati.

Short story, pesawat pun mendarat di Jepang. Transit 2 jam di Osaka, cukup untuk menarik napas panjang dan mengubah energi dari "liburan" ke "perjalanan pulang".

Masih ada satu penerbangan lagi dari Osaka ke Kuala Lumpur, sekitar 7 jam, sebelum akhirnya aku benar-benar pulang. Dan ketika roda pesawat menyentuh landasan Bandara Internasional Kuala Lumpur jam 6 pagi, ada rasa campur aduk yang susah dijelaskan. Antara lelah, lega, dan rindu makanan lokal.

Dan hal pertama yang kulakukan setelah beres imigrasi?

Sarapan.
Nasi ayam dan teh tarik.

Dan ya ampun... nikmat banget. Setelah seminggu hidup dengan burger, sandwich, dan makanan instan, akhirnya kembali ke sesuatu yang akrab—nasi hangat dan kuah gurih, diseruput dengan teh tarik manis yang ngademin hati.


Hari itu juga, setelah transit di Kuala Lumpur, aku terbang kembali ke Surabaya. Tubuhku sudah lelah, mata sembab karena kurang tidur, tapi hatiku penuh. Rasanya seperti habis menjalani satu kehidupan kecil dalam seminggu. Dan begitu kaki menginjak tanah Jawa, aku tahu: liburannya selesai, tapi jejaknya akan tinggal selamanya.

Yang lucu adalah... besoknya aku langsung masuk kerja.
Bukan karena semangat, tapi karena ya... aku cuma izin. Bukan cuti.

Iya, bayangkan.
Seminggu penuh aku izin kerja hanya demi mewujudkan mimpi ke Hawai‘i.
Sementara teman-temanku tetap duduk di kantor, lembur, ngurus laporan.
Dan aku? Aku mengirim kabar dari Waikiki. Dari Kualoa Ranch. Dari Pearl Harbor.

Waktu balik ke kantor, rasanya... malu.
Tapi juga penuh.
Karena aku tahu, meskipun tampak nekad dan terlalu berani,
aku telah melakukan sesuatu yang nggak semua orang berani lakukan:
memilih mimpiku.

Aku percaya, dalam hidup ini akan selalu ada waktu untuk tanggung jawab,
dan ada waktu untuk mewujudkan impian.
Dan terkadang, kita harus “mencuri waktu” untuk menghidupkan jiwa
walau harus izin, walau belum dapat cuti, walau hanya seminggu.

Tapi seminggu itu cukup untuk memberiku seumur hidup kenangan.

Dan kalau kau tanya,
apa aku akan lakukan itu lagi?

Jawabanku selalu sama:
untuk mimpi, aku akan lakukan apa pun.


-- FINISHED --

0 comments:

Posting Komentar