Sebenarnya, sejak kemarin setelah dari Colosseum, aku sudah kepikiran banget pengen langsung lanjut ke Vatikan. Gimana enggak? Siapa sih yang ke Italia tapi enggak semangat pengen cepat-cepat ke Vatikan juga? Ibaratnya, ke Roma tanpa mampir ke Vatikan itu kayak makan pasta tanpa saus—kurang lengkap!
Bayangan akan berdiri di depan Basilika Santo Petrus, menginjak Lapangan Santo Petrus yang sering digambarkan megah di novel-novel Dan Brown, bikin hati ini penasaran bukan main. Tapi satu masalah kecil bikin rencana itu kutunda dulu: aku belum punya tiket masuk Museum Vatikan.
Padahal katanya, Museum Vatikan itu salah satu museum terbesar dan paling bersejarah di dunia. Di dalamnya tersimpan ri⁷buan koleksi yang mencakup ribuan tahun sejarah seni dan budaya: mulai dari patung-patung Romawi kuno, lukisan-lukisan Renaissance, hingga puncaknya: Kapel Sistina karya Michelangelo yang konon bikin orang bisa terdiam takjub berjam-jam hanya dengan memandangi langit-langitnya.
Akses dari Roma ke Vatikan sendiri sebenarnya gampang banget—tinggal naik metro saja, cepat dan langsung sampai. Masalahnya, dari jauh-jauh hari aku sudah cari info buat beli tiket online dari Indonesia, tapi enggak nemu link resminya. Banyak banget situs pihak ketiga, dan aku takut malah kena harga mahal atau penipuan.
Sementara itu, aku baca juga kalau beli tiket langsung di tempat, antriannya bisa panjang banget. Bisa-bisa udah capek berdiri berjam-jam, masuknya tinggal sore, dan kunjungannya jadi keburu-buru. Sayang banget kan?
Makanya aku putuskan, hari ini adalah hari khusus buat Vatikan. Aku mau full explore dari pagi, supaya semua spot penting bisa dinikmati maksimal: dari Lapangan Santo Petrus yang terbuka luas, hingga ke museum yang katanya bisa bikin kita “tersesat” di lorong-lorong sejarah yang luar biasa.
Pagi itu aku keluar dari hotel sekitar pukul 08.30. Langsung saja kutuju stasiun metro terdekat—dari area sekitar Termini, stasiun yang biasa digunakan untuk menuju Vatikan adalah Termini Station (jalur Metro Line A). Dari sana, aku naik metro arah Battistini, dan turun di Stasiun Ottaviano – San Pietro – Musei Vaticani. Inilah stasiun metro terdekat ke gerbang masuk Museum Vatikan maupun Lapangan Santo Petrus.
Jujur, pengalaman naik metro di Roma ini agak campur aduk. Lagi-lagi aku merasa kondisi metronya agak kurang bersih. Kursinya kadang kotor, dan di beberapa sudut stasiun, terutama dekat tangga, tercium aroma yang... yah, seperti toilet umum yang lupa disiram. Tapi ya sudah lah, bagian dari pengalaman otentik, kan?
Begitu keluar dari stasiun Ottaviano, aku langsung berjalan kaki menembus pagi kota Roma. Jalanannya mulai ramai dengan lalu lalang turis dan warga lokal yang bergegas memulai hari. Trotoarnya lebar, dan bangunan di kiri-kanan khas banget: tembok-tembok tua berwarna hangat, jendela-jendela besar, dan balkon kecil yang dihiasi tanaman. Semakin dekat ke Vatikan, suasana jadi makin “internasional”—semacam percampuran energi spiritual dan semangat turis yang excited.
Sebelum benar-benar masuk ke area Lapangan Santo Petrus, aku sempat mampir di sebuah kedai kebab Turki. Sederhana saja tempatnya, tapi entah kenapa pagi itu makanannya terasa nikmat luar biasa. Mungkin karena aku belum sarapan, mungkin juga karena cuaca yang masih sejuk membuat setiap gigitan kebab jadi lebih terasa. Kebab ayam hangat dengan roti yang garing di luar dan lembut di dalam, ditemani secangkir teh panas—perpaduan yang pas buat mengisi tenaga sebelum menjelajah Vatikan.
Sambil menyeruput teh, mataku menatap ke arah barisan orang yang mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang pelan sambil selfie, ada juga yang sibuk membuka Google Maps. Aku tersenyum sendiri—karena beberapa menit lagi, aku pun akan jadi bagian dari keramaian itu. Menuju tempat yang selama ini cuma bisa kulihat lewat foto-foto dan film: Lapangan Santo Petrus dan Museum Vatikan.
Berjalan kaki dari Stasiun Ottaviano selama kurang lebih 10–15 menit, akhirnya aku tiba juga di suatu lapangan besar yang begitu familiar dari buku dan film: Lapangan Santo Petrus.
Lapangan ini sungguh luar biasa luas dan bentuknya khas—melingkar seperti pelukan raksasa yang terbuka ke arah umat yang datang. Di sekelilingnya berdiri deretan kolom raksasa yang membentuk semacam pelataran oval. Di atas kolom-kolom itu berdiri puluhan patung para santo, tampak kecil dari bawah tapi sesungguhnya sangat tinggi dan penuh detail. Di tengah-tengah lapangan berdiri sebuah obelisk Mesir kuno, yang makin menegaskan bahwa tempat ini bukan cuma religius, tapi juga historis.
Aku berdiri terpaku beberapa saat. Rasanya seperti mimpi bisa benar-benar menginjakkan kaki di tempat yang selama ini cuma bisa kulihat di buku sejarah, dokumenter, atau novel Dan Brown. Ini bukan sekadar lapangan—ini jantungnya Vatikan, pusat dari ribuan tahun sejarah Katolik, tempat berkumpulnya para peziarah dan pelancong dari seluruh dunia.
Pagi itu suasananya cukup tenang. Wisatawan memang ada, tapi tidak terlalu ramai. Tidak ada desakan atau kerumunan yang membuat sesak. Aku jadi bisa benar-benar menikmati atmosfernya. Kuedarkan pandangan pelan-pelan, mencoba menyerap setiap detail. Langit Roma saat itu cerah, dan matahari mulai menghangatkan batu-batu besar yang membentuk lantai lapangan.
Aku sempat berjalan mendekat ke arah Basilika Santo Petrus, bangunan megah dengan kubah ikonik yang menjulang tinggi. Tapi dari pengamatan, sepertinya hari itu basilika belum dibuka untuk umum atau hanya untuk yang sudah memiliki izin khusus. Ada pagar pembatas dan beberapa penjaga berjaga di sekitar pintu masuk.
Sementara untuk Museum Vatikan, aku akhirnya memutuskan untuk tidak jadi masuk. Bukan karena tidak mau, tapi karena aku tidak punya koneksi internet saat itu. Tanpa internet, aku tidak bisa cari tahu link resmi untuk beli tiket, dan aku juga tidak mau ambil risiko datang tanpa tiket dan harus antre panjang. Lagi pula, tubuhku sudah cukup lelah setelah eksplorasi dari pagi dan semalam juga belum istirahat penuh.
Akhirnya aku duduk di salah satu sisi lapangan, menikmati hembusan angin, arsitektur yang agung, dan rasa syukur yang diam-diam meluap. Kadang memang, traveling itu bukan soal harus mengunjungi semua tempat wajib atau mencentang checklist. Kadang, cukup berdiri diam di tengah sejarah—dan membiarkan dirimu larut di dalamnya.
Sekitar pukul tujuh malam, karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan di kota Roma, aku akhirnya memutuskan untuk naik bus TAM kembali ke bandara. Penerbanganku ke Santorini dijadwalkan tengah malam, tepatnya pukul 12. Jadi... ya, kupikir lebih baik menunggu di bandara saja daripada berkeliaran tanpa tujuan.
Singkat cerita, proses check-in berjalan lancar. Aku saat itu sudah ngantuk banget—mata rasanya berat, tubuh pun sudah minta rebahan. Setelah menunggu sebentar, akhirnya waktu boarding tiba juga. Aku naik ke pesawat, duduk, dan mencari posisi se-PW mungkin. Perjalanan menuju Santorini sendiri akan memakan waktu sekitar tiga jam. Aku sih berharap bisa tidur, ya, karena jujur saja, ini perjalanan Eropaku benar-benar ngebut. Hari-hari terakhir sudah terasa berat banget—capek numpuk, kaki pegal, dan energi mulai menipis. Jadi, di pesawat ini aku cukup mudah terlelap. Begitu duduk, aku langsung pasrah ke kantuk. Syukurlah, bisa tidur meskipun nggak benar-benar nyenyak.
Santorini, sebentar lagi aku datang!
0 comments:
Posting Komentar