Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.09.2025

[13] Balada Eropa : Sunset, Tebing dan Rindu di Santorini !

 Aku di Fira, Santorini

Sekitar pukul 03.15 dini hari akhirnyaa aku mendarat dengan mulus di Santorini. Masih gelap, masih sepi. Awalnya aku mau duduk-duduk dulu di area dalam dekat kedatangan—yang sebelum pemeriksaan keluar itu, semacam ruang tunggu. Rencananya sih nunggu aja sampai pagi sambil rebahan. Tapi ternyata setelah beberapa lama duduk di situ, tempatnya malah makin sepi dan petugas datang bilang aku nggak boleh stay lama di sana. Waduh.

Akhirnya aku keluar ke area kedatangan yang sudah dekat pintu keluar bandara. Nah, di situ aku lihat ada beberapa bule yang udah kelesotan tidur juga, entah menunggu pagi atau penerbangan berikutnya. Yaudah, aku ikut aja, cari pojokan, lepas jaket, dan lanjut tidur di lantai. 

Tanpa sadar, ternyata aku bisa tertidur cukup nyenyak. Padahal niat awal cuma tidur-tidur ayam aja, eh tau-tau pas kebangun... sudah terang benderang! Matahari sudah mulai nongol, dan suasana bandara pun mulai ramai. Untungnya si bule di sebelahku masih molor juga, jadi aku nggak merasa aneh-aneh banget tidur di lantai wkwk.

Melihat manusia sudah mulai lalu-lalang, aku pun memutuskan buat bangun. Pas kucek-ucek mata, kulihat jam menunjukkan sekitar setengah tujuh pagi. Oke lah, cukup tidur daruratnya. Aku langsung menuju toilet, bersih-bersih sedikit—cuci muka, sikat gigi, ngerapiin diri sekadarnya. Nggak bisa mandi sih, tapi at least aku udah lumayan segar.

Pagi itu, begitu keluar dari Bandara Santorini, aku langsung menuju halte kecil di dekat area kedatangan. Tujuanku adalah Villa Kasteli, sebuah penginapan di daerah Perissa. Untuk menuju ke sana, aku naik bus lokal seharga 1,5 euro—transportasi murah meriah yang jadi favorit para backpacker.

Bus mulai melaju pelan meninggalkan area bandara. Di luar jendela, pemandangan khas Santorini mulai menyapaku: jalan berkelok, tanah berbatu, dan bukit-bukit gersang yang terbentang sejauh mata memandang. Warna tanahnya coklat muda kekuningan, nyaris tak ada pepohonan tinggi. Tapi justru di situ letak eksotismenya—kesan kering dan tandus itu membentuk lanskap yang unik, khas pulau vulkanik.

Matahari sudah mulai naik, tapi belum terasa terlalu panas. Udara pagi masih cukup sejuk, dengan angin tipis yang berhembus lewat sela-sela jendela bus yang terbuka sebagian. Sesekali terlihat rumah-rumah putih dengan atap datar, tersebar acak di lereng bukit. Kontras antara putih bangunan dan langit biru cerah menciptakan pemandangan yang memesona, bahkan dari dalam bus.

Bus perlahan berhenti di terminal kecil Perissa, titik akhir dari perjalanan singkat tapi penuh pemandangan eksotis. Aku turun bersama beberapa penumpang lain, kebanyakan turis dengan ransel besar dan topi lebar. Begitu kakiku menjejak aspal Santorini untuk pertama kalinya, udara hangat menyambut lembut—tidak menyengat, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa aku kini berada di pulau Mediterania yang kering dan cerah.

Dari terminal, aku mulai berjalan kaki menuju penginapanku: Villa Kasteli. Berdasarkan petunjuk yang sempat aku simpan dari Google Maps, jaraknya hanya sekitar 5–10 menit. Jalanan sempit tapi beraspal, agak berkelok namun tenang. Di sisi kiri dan kanan berdiri rumah-rumah bergaya Cycladic berwarna putih, beberapa dengan jendela biru laut khas Santorini. Tanah di sekitarnya gersang dan berbatu, namun justru menambah kesan eksotis khas pulau vulkanik ini.

Langit biru cerah menggantung tanpa awan. Sesekali aku melihat pohon zaitun kecil dan semak belukar tumbuh liar di pinggir jalan. Ada suara burung yang terdengar samar, dan hembusan angin kering yang sesekali membawa bau asin dari arah laut. Jalanku melewati minimarket kecil, beberapa restoran yang masih tutup pagi itu, dan penginapan-penginapan lain yang tampak sepi. Turis lain juga terlihat sedang berjalan menuju pantai, menyeret koper di atas jalanan aspal yang kasar.

Sesampainya di Villa Kasteli, aku disambut oleh seorang ibu penjaga penginapan yang ramah. Sebenarnya belum waktunya check-in, tapi beliau dengan senang hati membolehkan aku menitipkan tas besarku lebih dulu. Tanpa banyak tanya, beliau langsung memberikanku peta Santorini yang dilipat rapi, lalu mulai menjelaskan satu per satu tempat yang wajib kukunjungi.

"Kalau waktumu cuma satu hari, coba ke Fira, Oia, dan Red Beach. Tapi yang paling ikonik itu tentu saja Oia, tempat bangunan putih-biru khas Santorini yang sering kamu lihat di kartu pos," katanya sambil menunjukkan titik-titik di peta.

Mendengar itu, aku sempat kepikiran untuk menyewa motor agar bisa lebih bebas menjelajah. Aku memang agak malas naik bus, apalagi dengan waktu yang terbatas di sini. Tapi begitu aku coba hubungi salah satu rental via WhatsApp, ternyata mereka mewajibkan adanya kartu kredit untuk sewa motor—dan aku, yang hanya bawa debit dan cash, akhirnya harus merelakan ide itu. Ya sudah, sepertinya hari ini bakal ditempuh dengan kombinasi jalan kaki dan bus.

Gagal menyewa motor dan memutuskan untuk tetap mengandalkan bus, aku naik dari terminal kecil di Perissa menuju Fira. Perjalanan naik bus memakan waktu sekitar 30 menit, melewati jalur menanjak dan berkelok di tebing-tebing batu gersang khas Santorini. Di satu sisi jalan, terlihat laut biru membentang jauh, sementara sisi lainnya dihiasi bukit tandus dengan tanaman kering sesekali melambai diterpa angin. Meski tak semulus jalanan kota besar, ada sesuatu dari ketandusan ini yang terasa... cantik.

Begitu bus tiba di Fira dan aku melangkah keluar, langkahku langsung terhenti sesaat. Di depan mataku terbentang pemandangan yang selama ini cuma kulihat lewat layar ponsel atau brosur wisata: deretan bangunan putih mencolok dengan lengkungan khas, jendela biru, dan balkon-balkon mungil yang menghadap langsung ke laut Aegea. Langit di atasnya biru bersih tanpa awan, seolah menyatu dengan laut di kejauhan. Cahaya matahari memantul dari permukaan putih bangunan, membuat semuanya terlihat bersinar.

Tapi di balik keindahan itu, satu hal langsung terasa... panasnya mulai menggila. Sinar matahari memantul dari tembok putih dan batu jalanan, bikin rasanya seperti berjalan di atas pemanggang roti. Keringat mulai mengucur, dan telapak kakiku serasa terbakar setiap kali menginjak batu hitam yang menyerap panas. Angin memang sesekali berhembus, tapi rasanya lebih seperti hair dryer daripada semilir penyejuk. Tapi ya sudahlah, demi pemandangan ini, semua perjuangan ini sepadan.

Aku tetap melangkah, menyusuri jalur pejalan kaki yang membelah kompleks bangunan yang berdiri rapat namun tertata indah. Di sebelah kiriku laut terbentang, dan di kanan deretan hotel, restoran, butik, serta kapel putih kecil berjajar menawan. Aku sempat duduk di bangku kayu yang menghadap langsung ke kaldera, mencoba menenangkan detak jantung dan menikmati pemandangan meski kulit mulai terasa seperti digoreng.

Puas menikmati pemandangan kota Fira yang serba putih dan memukau, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan: hiking dari Fira ke Oia, demi mengejar momen ikonik Santorini—sunset di atas tebing biru Laut Aegea. Jalurnya cukup populer di kalangan turis, katanya sih butuh waktu 2–3 jam jalan kaki, tergantung kecepatan dan jumlah berhenti foto-fotonya. Dan aku, tentu saja termasuk kategori “sering berhenti buat foto dan ngelap keringat.”

Baru sekitar 10 menit berjalan, panas mulai terasa menyengat. Matahari di atas kepala seperti bersinar dua kali lebih terang dari biasanya. Jalan setapaknya berbatu, sempit, dan kadang tanpa bayangan sama sekali. Serasa sedang hiking di dalam oven. Serius, panasnya luar biasa. Pantulan cahaya dari batu-batu putih bikin mata silau, kulit mulai gatal kepanasan, dan nafas mulai pendek. Tapi begitu menoleh ke kanan, semua rasa terbakar itu entah kenapa jadi terasa layak.

Pemandangan sepanjang jalur itu luar biasa indah—laut Aegea membentang biru di bawah tebing curam, perahu-perahu kecil tampak seperti titik-titik putih, dan garis pantai melengkung sempurna. Di kejauhan, bangunan putih Oia mulai terlihat samar. Di belakangku, deretan kota Fira mengecil perlahan.

Sekitar 30 menit setelah jalan, aku sampai di sebuah restoran kecil yang berdiri tepat di tepi tebing. Perut mulai lapar dan kakiku butuh istirahat, jadi aku masuk dan mencari meja kosong di pinggir. Salah satu pelayannya menghampiri dan menyapaku, “Nihao!” Aku tersenyum sopan dan menjawab, “I’m not Chinese, I’m from Indonesia.” Dia tampak terkejut tapi langsung ramah, “Oh, Indonesia! Beautiful country!”

Aku memesan sepiring spaghetti dan segelas lemon dingin. Harganya? 20 euro. Huhuhu… dompet menjerit tapi lidah bersorak. Dari kursi tempatku duduk, pemandangan laut terhampar luas. Angin sepoi-sepoi mulai terasa lagi, dan momen makan siang itu tiba-tiba jadi salah satu highlight dari perjalanan ini. Santorini memang mahal, tapi vibes-nya tak ternilai.

Setelah makan dan istirahat cukup, aku lanjut lagi perjalanan menuju Oia. Jalur mulai naik-turun, kadang melewati ladang ilalang, kadang bebatuan kering, kadang jalur setapak tanpa pagar di pinggir jurang. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang ibu-ibu lokal menjajakan buah di pinggir jalan. Ada ceri merah segar di keranjang plastik. Aku sempat ragu, tapi rasa haus dan kepengen ngemil menang. Aku beli sekresek kecil. Harganya 7 euro. Cuma ceri ya ampun! Tapi sudahlah, mungkin ini bagian dari pengalaman rasa “Santorini pricing”.

Sambil ngemil ceri satu per satu, aku melanjutkan langkah menuju Oia, perlahan tapi pasti. Panas masih setia menemani, tapi langit biru dan laut Aegea yang terus mendampingi membuat segalanya tetap terasa magis.

Selesai beli sekresek ceri dari ibu-ibu tadi, aku lanjut lagi jalan kaki. Dalam hati aku bilang, "Siapa tahu aku benar-benar bisa sampai Oia, lihat sunset, lalu balik ke Perissa naik bus malam." Semangatku sempat naik lagi, apalagi jalur mulai agak landai, dan angin bertiup sedikit lebih kencang dari sebelumnya.

Tapi ya ampun... panasnya kayak nggak ada ampun. Matahari makin tinggi, kulit mulai terasa perih, dan ceri di tanganku sudah hampir habis—padahal itu satu-satunya penyemangatku barusan. Langkahku makin berat. Topiku udah nggak bisa menahan panas, dan keringat rasanya udah ngerembes sampai ke dalam jiwa.

Di tengah keputusasaan itu, aku melihat sebuah pohon kecil berdiri di pinggir jalan setapak, tumbuh sendirian di antara bebatuan dan semak kering. Batangnya nggak besar, tapi cukup untuk membuat bayangan kecil yang memotong jalur matahari. Tanpa pikir panjang, aku langsung melipir ke bawah pohon itu dan duduk. Beberapa menit kemudian, aku malah tiduran sambil selonjoran. Rasanya... surga.

Mataku menatap ke arah bawah tebing—di kejauhan terlihat deretan hotel-hotel mewah bertingkat, berdiri anggun menghadap laut. Balkon-balkon mereka sunyi, mungkin penghuninya sedang berendam di kolam pribadi atau ngadem di kamar ber-AC. Aku tersenyum sendiri sambil ngebayangin... "Enak banget ya kalau sekarang aku lagi tiduran di kasur empuk, ngadep laut, sambil diselimuti AC dan minum es lemon, bukan rebahan di bawah pohon kering kayak gini." Hehehe.

Setelah cukup lama tiduran di bawah pohon kecil yang jadi penyelamatku dari terik, aku kembali melanjutkan langkah. Matahari mulai condong ke barat, dan sinarnya sudah tak segalak tadi siang. Jalanan berbatu masih menyambutku, tapi kali ini terasa lebih bersahabat. Dalam hati aku bersyukur, akhirnya summer yang membakar perlahan berubah jadi sore yang hangat.

Jam sudah menunjukkan mendekati pukul enam. Aku mulai berpikir ulang soal rencana awal untuk sampai di Oia. Jaraknya masih cukup jauh, dan tubuhku sudah mulai lelah. Akhirnya aku memutuskan: nggak perlu maksain sampai ke Oia. Aku akan tetap menikmati sunset dari tempatku sekarang. Bukit ini, jalan setapak yang sepi, dan laut Aegea di bawah sana—semuanya sudah cukup sempurna.

Menjelang matahari terbenam, aku naik sedikit ke atas tebing untuk mendapatkan pandangan lebih luas. Angin mulai berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut. Langit perlahan berubah warna, dari biru pucat menjadi keemasan. Lalu… datanglah momen itu.

Matahari bulat sempurna menggantung rendah di cakrawala, menyinari permukaan laut dengan semburat oranye yang memantul panjang seperti jalan emas di atas air. Sebuah perahu layar melintas perlahan, seolah tahu sedang jadi bagian dari lukisan hidup. Suasana benar-benar hening. Bahkan suara pikiranku pun rasanya ikut diam.

Aku berdiri di sana, membiarkan waktu berhenti barang sejenak. Semua rasa lelah, peluh, dan sengatan matahari siang tadi seolah lenyap. Hanya ada aku, lautan, langit, dan cahaya lembut yang perlahan tenggelam.

Selesai menikmati sunset yang luar biasa itu, aku bersiap untuk kembali ke penginapan di Perissa. Aku kembali menyusuri jalanan yang tadi siang sempat kujelajahi. Bedanya, sekarang suasananya sudah berubah. Malam mulai turun, dan Santorini pun bertransformasi.

Lampu-lampu mulai menyala, memantul lembut di dinding-dinding putih bangunan khas Cycladic. Jalanan yang tadi panas dan sepi kini mulai ramai dengan langkah kaki. Beberapa pasangan tampak berjalan beriringan, bergandengan tangan, sebagian bahkan berhenti untuk berfoto di bawah cahaya temaram. Dari balik jendela restoran, cahaya kuning hangat menguar, memantul di gelas anggur dan taplak meja putih. Aku bisa mencium aroma masakan Mediterania yang menggoda dari restoran-restoran yang mulai penuh. Beberapa tampak sudah dipesan sebelumnya—kursinya tertata rapi, dengan lilin kecil menyala di tengah meja.

Aku berjalan pelan, menikmati pemandangan malam Santorini yang cantik dan romantis. Tapi di tengah semua itu, aku mulai merasa sedikit... galau. Melihat para pasangan yang tampak bersiap untuk dinner romantis—sementara aku melangkah sendirian—aku sempat mikir, "Coba ya kalau ada travelmate, mungkin seru juga bisa makan malam bareng, ngobrol, ketawa-ketawa sambil nunggu makanan datang."

Tapi ya... malam itu aku sendirian. Dan jujur, aku belum cukup beken untuk makan malam sendirian di restoran fancy Santorini. Jadi aku terus berjalan, melewati meja-meja yang penuh canda tawa, sambil menyimpan rasa itu sendiri-sendiri. Bukannya sedih sih, tapi lebih ke... sepi yang tenang. Santorini malam itu tetap indah. Dan aku, meski sendiri, tetap bersyukur bisa sampai sejauh ini.

Begitu sampai kembali di sekitar Fira, aku langsung menyusuri pinggiran jalan aspal yang tampak sepi. Beberapa mobil lewat, tapi tak ada tanda-tanda halte atau keramaian. Sampai akhirnya... terlihat satu bus melintas dari kejauhan! Aku refleks melambaikan tangan—berharap dia berhenti. Tapi ternyata... bus itu malah lewat begitu saja tanpa melambat sedikit pun. Mungkin aku berdiri bukan di titik pemberhentian resmi. Hadehhh... nyaris!

Tapi aku nggak menyerah. Aku terus berjalan, mengikuti arah jalan, hingga akhirnya—dengan napas agak ngos-ngosan dan kaki mulai pegal—aku menemukan halte bus resmi. Halte sederhana dengan bangku besi dan papan jadwal yang setengah pudar. Tapi bagiku saat itu, rasanya seperti menemukan oase di padang pasir.

Beberapa menit kemudian, bus menuju Perissa datang. Kali ini beneran berhenti. Aku naik dengan lega dan membayar tiket seharga 1,5 euro. Kursi terasa empuk luar biasa, dan hembusan AC langsung menyapa wajahku yang gosong kena matahari.

Aku bersandar, memejamkan mata sejenak sambil tersenyum kecil. Hari yang panjang, penuh debu, keringat, dan tanjakan terbayar lunas dengan momen sunset yang magis. 

Sepanjang perjalanan ke penginapan, perasaanku masih dirisaukan satu hal, yaitu mikirin transportasi buat besok pagi. Besok aku sudah harus bergeser dari Santorini ke Athena, dimana aku sudah pegang tiket kapal feri Blue Star yang jadwal keberangkatannya jam 6.45 pagi.

Masalahnya... bus umum belum beroperasi sepagi itu. Jadi, mau nggak mau, aku harus cari cara sendiri buat sampai ke pelabuhan sebelum subuh.

'Coba aku nanti tanya ke staf penginapan, siapa tau dapat solusi,' kataku dalam hati.

Akhirnya sekitar jam 8 malam sampai juga aku di Villa Kasteli, dan aku langsung meluncur ke resepsionis.

Aku: “Permisi, besok pagi saya harus ke pelabuhan untuk naik kapal feri Blue Star ke Athena. Ada transportasi umum yang bisa saya gunakan pagi-pagi buta?” 

Penjaga Penginapan: “Maaf, tidak ada bus umum yang beroperasi sepagi itu. Satu-satunya pilihan adalah menyewa mobil.” 

Aku: “Oh, begitu ya... Apakah ada kemungkinan untuk berbagi mobil dengan tamu lain yang juga menuju pelabuhan?” 

Penjaga Penginapan: “Saya sudah cek, tapi sepertinya tidak ada tamu lain yang menuju pelabuhan besok pagi.” 

Aku: “Baiklah... Kalau begitu, berapa biaya sewa mobilnya?” 

Penjaga Penginapan: “25 euro.” 

Glek... Duhh...mahal juga, ya. Padahal jaraknya dari Villa Kasteli di Perissa ke Pelabuhan Athinios hanya sekitar 11 km, dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Akhirnya aku mengeluarkan 2 lembar 10 euro dan 1 lembar 5 euro dengan hati yang sangat tidak ikhlas wkwkwk... Tapi gimana.. aku butuh juga....

Ah tapi yasudahlah.. Daripada semalaman malah ga tidur mikirin besok pagi, trus ujung-ujungnya ribet sendiri karena  ketinggalan kapal dan harus ngatur ulang semuanya, mending amanin aja dulu. Jadi malam itu, sambil selonjoran di kamar, aku mantap buat booking mobil buat besok pagi-pagi buta. Perjalanan ke pelabuhan bakal dimulai sebelum matahari bangun, dan aku mulai nyiapin mental buat petualangan baru di daratan Yunani: Athena.

0 comments:

Posting Komentar