Jam setengah 6 pagi keesokan harinya, aku sudah siap turun ke lobi. Udara masih dingin, langit masih setengah gelap, dan suasana penginapan terasa sangat hening. Di depan sudah menunggu mobil yang akan mengantarkanku ke Pelabuhan Santorini.
Driver-nya seorang laki-laki muda, tampak santai, dengan hoodie hitam dan wajah masih sedikit ngantuk. Dia tidak banyak bicara—hanya mengangguk sambil memastikan tujuanku, “To Athinios Port, right?” Aku mengiyakan, lalu kami langsung berangkat, meninggalkan Villa Castelli yang masih tertidur.
Perjalanan menuju pelabuhan berlangsung dalam hening yang tenang. Jalanan sempit berkelok-kelok, menuruni bukit dengan pemandangan bayangan gelap tebing dan atap-atap putih rumah yang mulai terlihat samar-samar oleh cahaya fajar. Di beberapa titik, aku bisa mengintip laut yang masih tertutup kabut tipis di kejauhan, seperti sedang menyimpan rahasia pagi.
Mobil sesekali melambat saat melewati tikungan tajam atau jalanan menurun yang cukup curam. Aku sempat berpikir, "Ini kalau siang pasti indah banget ya pemandangannya." Tapi di pagi gelap ini, yang terasa justru aura magis dan sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar hanya deru mesin mobil dan gesekan ban dengan aspal kasar.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai juga di Pelabuhan Athinios. Deretan lampu pelabuhan menyala terang, kapal-kapal mulai terlihat bersandar, dan para penumpang pelan-pelan berdatangan. Saat turun dari mobil, aku sempat nengok ke argo waktu, dan batinku cuma bisa bilang, "Yaa... 25 euro buat jarak segini? Hadeh. Tapi setidaknya sampai juga dengan selamat dan tepat waktu"
Begitu sampai di Pelabuhan Athinios, aku langsung berjalan menuju area tempat kapal bersandar. Di kejauhan sudah tampak Blue Star Ferry—kapal yang akan mengantarkanku menyeberang ke Athena pagi ini. Dari luar, kapal itu tampak besar dan kokoh, dengan logo biru-kuning khas yang langsung mencolok di tengah suasana pelabuhan yang masih agak remang.
Penampilannya cukup elegan, ya. Bukan kapal kecil ala antar-pulau yang kumal, tapi ini benar-benar ferry besar yang bikin aku agak tenang membayangkan 6 jam di atas laut Aegea.
Tapi karena aku sadar belum makan apapun dari tadi pagi—dan perjalanan ini bakal makan waktu cukup panjang—aku tetap mampir ke kiosnya. Di sana aku akhirnya membeli satu sandwich besar seharga 4 euro. Lumayanlah buat sarapan dan ngganjel perut sampai nanti siang. Selain itu aku juga ambil satu botol minuman rasa buah—nggak tahu rasanya kayak apa, tapi semoga bisa jadi penyegar selama perjalanan.
Meskipun dari luar Blue Star Ferry ini terlihat cukup megah dan keren, aku masih sedikit skeptis, ya. Maksudku... ferry gitu lho. Pengalamanku selama ini naik kapal ferry di Indonesia tuh ya... you know lah, kadang tempat duduknya keras, toiletnya questionable, dan kebersihannya... ya gitu deh. Jadi, aku tetap pasang ekspektasi rendah waktu mulai naik.
Tapi ternyata... begitu aku masuk ke dalam kapal, hal pertama yang kurasakan adalah: aku benar-benar kagum, guys.
Aku pun naik ke atas pakai eskalator itu—masih shock dan senyam-senyum sendiri. Dan pas sampai di lantai utama area penumpang... boom! Aku makin takjub. Interiornya bersih banget, terang, dan modern. Lantainya karpet tebal, pencahayaan hangat, dan banyak deretan kursi empuk yang tersusun rapi seperti kabin pesawat.
Ada juga area lounge dengan sofa-sofa besar, meja kayu mengilap, dan stop kontak di mana-mana buat ngecas HP atau laptop. Bahkan di beberapa sisi aku lihat ada kafe dan minimarket kecil yang menjual kopi, camilan, dan makanan panas. Toiletnya? Bersih. Wangi. Nggak kayak toilet ferry yang sering kubayangkan.
Aku berjalan masuk ke dalam kapal feri, membawa harapan yang cukup rendah, tapi ya, siapa tahu dapat spot enak. Karena tiketku ini nggak ada nomor kursi spesifiknya, aku terus melangkah maju, nyari tempat duduk yang nyaman. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah ruangan yang agak sepi—dan ternyata itu ruang VIP. Di sana berjajar kursi-kursi empuk yang terlihat nyaman banget, dan entah kenapa suasananya juga cukup tenang, nggak banyak orang.
Aku pilih duduk di tepi, dekat jendela. Dari situ bisa lihat laut terbentang luas, masih biru kelam di pagi hari. Cahaya matahari mulai menembus jendela, bikin suasana jadi hangat dan damai. Suara mesin kapal bergema halus, seperti white noise yang menenangkan.
Dan kebetulan banget, perjalanannya tuh nyaman banget, guys. Kapalnya stabil, hampir nggak kerasa ada goyangan atau ombak besar. Nggak ada drama mual, nggak ada ayunan laut yang bikin gelisah. Rasanya kayak naik kereta super smooth yang kebetulan ngambang di atas laut Aegea.
Akhirnya, aku rebahan miring ke satu sisi di kursi empuk itu. Pegel sih, posisi seadanya. Tapi tetap aja... ketiduran. Tidur beneran.
Waktu seperti melompati enam jam begitu saja, dan tahu-tahu jam 2 siang, kapal merapat di Pelabuhan Piraeus, Athena. Aku terbangun dalam kondisi lebih segar—meski rambut agak acak-acakan dan bantalnya ya... cuma sandaran tangan. Tapi, yah, itulah momen recharge kecil di tengah perjalanan panjang.
Akhirnya aku berbaris bersama para turis lainnya untuk menuruni kapal. Langkah-langkah pelan mulai menuruni lorong kapal menuju pintu keluar, dan begitu kakiku menginjak daratan Pelabuhan Piraeus, Athena, jam menunjukkan sekitar pukul 2 siang.
Tapi belum sempat menikmati momen, satu hal langsung menyergapku: panasnya luar biasa.
Serius. Ini bukan panas biasa. Ini panas yang seperti ditembak laser dari langit. Udara kering, matahari terik banget, dan aspal pelabuhan terasa memantulkan semua panasnya balik ke tubuh. Ini memang bulan Juli sih—puncak summer di Yunani—tapi tetap aja... aku shock. Rasanya bahkan lebih panas dari Santorini. Aku nggak tahu suhu pastinya berapa, tapi dalam hatiku mikir, “Ini bisa jadi 40... atau bahkan 45 derajat, nggak sih?”
Saking panasnya, aku bahkan nggak mikirin dulu harus ke mana atau naik apa. Aku cuma ingin segera cari warung atau minimarket, duduk sebentar, dan pesen sesuatu yang dingin. Entah itu es krim, es teh, atau bahkan air es biasa juga nggak apa-apa. Yang penting dingin. Yang penting nggak cair juga kayak aku.
Akhirnya aku menyeret langkah menuju sebuah warung kecil di sudut pelabuhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung memesan satu cup es krim coklat. Yang dingin, yang manis, yang bisa sedikit menyelamatkan nyawaku dari panas yang membakar.
Aku duduk di bangku plastik warung itu, sambil perlahan menikmati setiap sendok es krim. Rasanya nikmat banget, tapi bukan cuma karena rasanya—tapi karena dia muncul di saat yang paling dibutuhkan. Sambil makan, aku mulai merenung... “Ini gimana ya cara menuju ke penginapanku?”
Sebelumnya aku memang sudah booking hostel di pusat kota Athena, namanya Separta. Letaknya cukup strategis di tengah kota. Aku sempat browsing sebelumnya, dan katanya bisa dicapai naik metro. Tapi masalahnya sekarang adalah: dari pelabuhan ini, aku masih harus jalan dulu ke stasiun metro terdekat. Dan aku belum tahu pasti arahnya ke mana.
Akhirnya, setelah istirahat singkat dan es krim coklat yang menyelamatkan hidupku, aku mulai berjalan kaki lagi. Ya, meskipun panasnya masih membara, tapi harus tetap kutembus. Hidup harus lanjut, dan hostel di Athena menunggu.
Aku keluar dari area pelabuhan dan mengikuti rute yang sudah kusimpan di Google Maps offline. Untung tadi sempat ngesave rute ke hostel. Tapi ya, namanya juga offline, titiknya nggak bisa jalan terus. Sampai di satu titik... eh, Google Maps-nya nge-freeze. Buntu. Aku bingung harus belok kiri atau kanan.
Yang menarik, orang-orang yang kutemui ini nggak seperti bule-bule tipikal Eropa Barat. Mereka lebih mirip orang Italia selatan—berambut gelap, kulitnya juga lebih tan. Beberapa bahkan tampak seperti orang Timur Tengah. Di situ aku baru sadar, secara geografi dan budaya, Yunani memang di titik silang antara Eropa dan Asia.
Setelah beberapa menit berjalan dan sedikit bolak-balik arah, akhirnya aku sampai juga di stasiun metro. Hawa dingin dari bawah tanah langsung menyambut, kayak pelukan AC setelah dibakar matahari. Di sana aku membeli tiket sekali jalan—single ticket—menuju stasiun terdekat dari hostelkku, Sparta.
Perjalanan dari stasiun metro ke hostel ternyata nggak lama. Akhirnya... sampai juga aku di Sparta Hostel—tempat istirahatku di Athena. Waktunya check-in.
Tapi seperti biasa, drama kecil menyambutku.
Toh waktuku di Athena cuma sehari. Tapi setidaknya sekarang... aku bisa istirahat sejenak, recharge badan, dan siap menaklukkan sisa hari di kota tua yang penuh sejarah ini.
Sekitar jam 5 sore, aku akhirnya bangun dari kasur. Sempat mikir, “Aduh, enaknya lanjut tidur aja…” Tapi ya, nggak bisa juga. Aku cuma punya satu hari di Athena. Besok pagi udah harus cabut lagi, terbang balik ke Singapura. Jadi ya… nggak ada pilihan. Harus mulai jalan.
Aku lihat keluar jendela—matahari masih ada, tapi sinarnya udah nggak segalak siang tadi. Udara mulai terasa lebih bersahabat, dan angin sore pelan-pelan masuk dari celah jendela dorm. Waktunya bergerak.
Dengan tenaga sisa hasil tidur siang, aku berdiri, rapiin diri sekadarnya, lalu siapin tas kecil buat jalan sore. Aku belum tahu persis mau ke mana, tapi yang jelas aku pengen ngerasain Athena, walaupun cuma sebentar.
Sewaktu aku udah siap mau keluar dari kamar—tas kecil udah di bahu, muka udah lumayan segar —tiba-tiba seorang cewek nyamperin aku di lorong dorm.
Dia senyum dan langsung nyapa, “Hey, do you want to explore?”
Aku agak kaget, tapi refleks jawab, “Yes.” (karena emang niatku juga mau mulai eksplor sore itu).
Terus dia senyum lagi dan bilang, “Do you want to explore with me? I got two HOHO bus tickets. It’s free.”
Dalam hati aku langsung: Wah, seriusan? Tiket Hop On Hop Off? Gratisan? Tapi... karena tiba-tiba mode introvert-ku muncul, aku agak kikuk dan sempat ragu mau langsung jawab. Tapi ya gimana ya, masa nolak? Akhirnya aku senyum kaku dan bilang, "Oke oke, let's go. We can explore together."
Ternyata nama cewek itu Sofia. Dia traveler juga, asalnya dari Meksiko. Waktu kami jalan kaki menuju titik pemberhentian HOHO bus, kami mulai ngobrol-ngobrol ringan. Dari situ aku baru tahu kalau tujuan Sofia ke Eropa ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi karena dia sedang jadi au pair—semacam pengasuh anak gitu, semacam nanny—kalau nggak salah di Jerman. Nah, sekarang, sebelum balik ke Meksiko, dia lagi ngambil waktu buat eksplor Eropa. Dan salah satu destinasinya ya Athena ini.
Aku pun cerita balik bahwa aku ini sebenarnya pekerja kantoran, dan sekarang sedang memanfaatkan libur hari raya yang cukup panjang buat jalan-jalan ke Eropa. Sekalian lepas penat, lah.
Dan ternyata, ngobrol bareng Sofia itu cukup menyenangkan. Dia tipe orang yang nggak pernah kehabisan topik—dari yang ringan sampai agak dalam, semuanya bisa dibahas. Jadi aku tinggal nyambungin aja obrolannya tanpa harus mikir keras. Buat orang introvert dadakan kayak aku, ini cukup menyelamatkan banget. Hehehe..
Akhirnya kami sampai juga di titik pemberhentian HOHO bus. Saat itu jam sudah cukup mepet—sekitar jam 5 sore—dan kalau nggak salah, bus ini berhenti beroperasi sekitar jam 6 atau jam 7 gitu. Jadi kami harus gerak cepat.
Karena salah satu wisata utama di Athena itu tentu saja Akropolis, kami langsung sepakat buat turun di stop Akropolis. Ya meskipun waktunya udah agak mepet, at least kami bisa lihat sekilas kemegahan kuil itu langsung dari dekat. Toh, nggak lengkap rasanya ke Athena tanpa menjejakkan kaki di situs sejarah yang satu itu, walaupun cuma sejenak.
Akhirnya HOHO bus datang juga dan membawa kami mulai membelah kota Athena. Bus ini bertingkat—ada kursi di bagian bawah yang tertutup dan bagian atas yang terbuka. Karena sore itu cuacanya udah nggak terlalu panas, aku dan Sofia sepakat naik ke bagian atas. Duduk di atas, angin semilir terasa enak banget, apalagi setelah seharian jalan kaki.
Dari dekat Sparta Hotel, bus mulai melaju pelan menyusuri jalanan kota. Di kanan-kiri jalan, bangunan khas Athena berjajar dengan gaya arsitektur yang campur aduk—ada yang bergaya neoklasik dengan tiang-tiang tinggi seperti sisa-sisa kejayaan masa lampau, dan ada juga gedung-gedung modern yang berdiri bersahaja. Kafe-kafe mulai ramai, orang-orang duduk santai sambil minum kopi atau bir dingin, ngobrol dengan teman atau sekadar menikmati sore.
Suasana kota sore itu hangat dan hidup, tapi nggak sepadat kota-kota besar lain di Eropa. Lampu-lampu jalan mulai menyala samar, menambah nuansa romantis di antara pepohonan yang mulai berselimut bayangan. Sesekali terdengar suara petikan gitar dari pengamen jalanan di trotoar, menambah warna perjalanan.
Perjalanan dari sekitar Sparta Hotel menuju titik pemberhentian Akropolis memakan waktu sekitar 15–20 menit, tergantung lalu lintas sore itu. Tapi karena kami duduk di atas, waktu itu rasanya malah terlalu cepat. Pemandangan cantik, langit mulai jingga, dan Akropolis pun mulai terlihat berdiri megah di atas bukit di kejauhan—seperti mengintip dari balik pepohonan dan bangunan modern.
Begitu bus berhenti di stop Akropolis, kami langsung bersiap turun. Waktunya nggak banyak, tapi momen sore itu—melaju pelan di atas HOHO bus, diterpa angin Athena, sambil menatap langit yang mulai berubah warna—rasanya magis banget.
Setelah itu, kami lanjut lagi jalan-jalan sore membelah kota Athena. Suasananya adem—udara masih panas tapi angin sore bikin semuanya terasa ringan. Kami duduk di atas bus sambil terus ngobrol, tukar cerita budaya masing-masing. Sofia cerita soal kehidupannya sebagai au pair di Jerman, dan aku cerita soal kerjaku di Indonesia. Dan ternyata, meskipun beda negara, kami bisa nyambung banget.
Pulangnya kami sempat jalan kaki keliling kota, kadang cuma duduk di bangku taman, kadang mampir di kios kecil buat beli es krim atau minum. Saking asyiknya, kami nggak sadar waktu sudah malam. Jam menunjukkan hampir pukul 9 malam waktu Athena saat kami kembali ke hostel.
Malam itu ditutup dengan makan malam bareng di hostel—makanan simpel, tapi obrolan panjang kami bikin semuanya jadi berkesan. Hari terakhirku di Eropa, dan bisa ketemu orang asing yang langsung klop, itu rasanya kayak bonus manis dari semesta.
Dalam perjalanan pulang menuju hostel, kami mulai merasa lapar juga. Dari pagi sampai sore kami cuma ngemil-ngemil ringan dan sibuk jalan terus, jadi wajar perut mulai protes. Pas banget di satu sudut jalan, kami menemukan sebuah kafe kecil yang hangat, dengan beberapa meja di luar dan lampu-lampu kuning redup yang menggantung manis.
Sofia langsung bilang, "Ayo kita makan malam dulu sebelum balik ke hostel," dan tentu saja aku setuju. Kami duduk di luar, menikmati suasana malam kota Athena yang masih cukup ramai, tapi nggak bising.
Sofia pesan segelas bir dingin, dan setelah sedikit ragu, aku pun akhirnya ikut pesan bir juga. Padahal jujur aja, aku bukan tipe peminum bir. Di Indonesia juga nggak biasa. Tapi entah kenapa malam itu terasa... spesial. Aku pikir, “Yah, ini malam terakhirku di Eropa. Why not?”
Kami juga pesan makanan—kalau nggak salah ingat, ayam panggang dan kentang goreng, simpel tapi lumayan ngenyangin.
Malam itu kami ngobrol lebih banyak. Aku cerita tentang budaya Indonesia, tentang betapa beragamnya adat dan bahasa di tiap pulau, tentang makanan khas, dan tentang pengalaman-pengalamanku sebagai traveler yang lebih suka eksplor negara-negara anti-mainstream. Sofia juga cerita tentang kehidupan di Meksiko, tentang keluarganya, tentang bagaimana jadi au pair kadang seru tapi juga penuh tantangan.
Aku ikutan ketawa dan bilang, "Yeah I know, tapi Hawaii itu pengecualian. Itu udah jadi impianku dari dulu banget. I have to go."
Dan malam itu jadi salah satu momen yang hangat dan menyenangkan. Dua orang asing dari dua benua berbeda, duduk di kafe kecil Athena, berbagi cerita sambil menyeruput bir dan menyantap ayam goreng. Bukan soal tempatnya, tapi soal kebersamaan yang tak terduga tapi berarti.
Akhirnya, setelah cukup lama duduk berceloteh sambil menikmati malam, kami sadar waktu sudah hampir menunjukkan jam 10 malam. Suasana kota mulai sepi, lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya lembut ke trotoar batu. Kami pun memutuskan untuk jalan kaki pulang ke hostel.
Kami pun bertukar media sosial, dan seperti ritual backpacker pada umumnya, saling follow dan janjian kalau someday ketemu di belahan dunia lain, we’ll say hi again.
Malam itu, aku naik ke kamar hostel dengan perasaan campur aduk. Sedih harus meninggalkan Eropa, tapi juga penuh syukur karena ditutup dengan cerita yang indah. Sebuah pertemuan singkat, tapi akan selalu kuingat.
Sampai di hostel, badan rasanya lengket dan lelah. Sebelum tidur, aku memutuskan untuk mandi dulu. Cuaca di Athena cukup panas sejak siang tadi, jadi aku pilih mandi pakai air dingin. Segarnya luar biasa. Rasanya seperti membilas segala penat, tapi juga sekaligus menyadarkan: besok pulang.
Setelah mandi, aku lanjut packing. Memastikan semua barang sudah masuk ke dalam tas—paspor, dompet, charger, semua perlengkapan wajib. Aku juga mulai buang-buang barang yang sudah nggak berguna: tiket masuk yang kusut, struk belanja, brosur-brosur turis yang sudah aku baca berkali-kali, bahkan camilan sisa yang sudah tak tersentuh. Semua dibuang, pelan-pelan. Rasanya kayak... benar-benar masuk ke mode “pulang”.
Trip ngebut ini benar-benar kayak mimpi kilat—dari salah tangga di awal (yang bikin aku nyaris nyasar), lalu disuguhi keindahan Islandia yang seperti planet lain, terus ke Zaanse Schans di Belanda yang damai banget, lanjut ke Italia, lalu Santorini yang romantis, dan terakhir Athena dengan sejarah dan kejutan manisnya.
Semuanya terasa terlalu cepat. Tapi aku bersyukur banget. Karena walaupun serba kilat, setiap kota ninggalin kesan sendiri. Dan aku berhasil menjalaninya—sendirian, dengan segala ragu dan excited yang bergantian datang.
0 comments:
Posting Komentar