Surabaya, 21 Juni 2017
Akhirnya, hari keberangkatanku ke Eropa datang juga! Rasanya campur aduk: antara excited, deg-degan, dan sedikit sungkan. Bukan malu, tapi lebih ke rasa nggak enak hati. Soalnya hari itu masih hari Rabu, dan aku masih berstatus sebagai pekerja pemerintahan. Artinya, ini masih hari kerja, bukan cuti resmi.
Dua mingguan sebelumnya, aku sudah izin baik-baik ke atasan. Minta tambahan cuti tiga hari, karena jadwal libur Lebaran saja jelas nggak cukup buat mewujudkan perjalanan jauh ini. Yang dikunjungi ini Eropa, lho. Jaraknya bukan selemparan batu, dan dananya juga sudah cukup banyak aku keluarkan. Kalau hanya mengandalkan libur nasional tanpa tambahan cuti, rasanya nggak cukup waktu buat puas menjelajah.
Jujur, aku sempat ragu juga waktu mau izin. Apalagi belum dapat jatah cuti tahunan. Tapi ya... terpaksa, karena kalau bukan sekarang, entah kapan lagi kesempatan ini datang. Jadi dengan segala rasa sungkan ke atasan dan teman-teman kantor, aku ambil langkah itu. Demi mimpi yang sudah lama kutunggu—jejak pertama ke Eropa.
Hari itu, setelah istirahat makan siang, masih ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Seperti biasa—semua serba terburu-buru. Entah kenapa ya, tiap kali mau berangkat ke luar negeri, aku selalu kejar-kejaran sama waktu. Nggak pernah tuh yang santai dan tenang. Kayaknya udah jadi tradisi pribadi: makin dekat ke bandara, makin panik wkwk.
Siang itu aku masih sempat mampir ke mall, karena ada satu hal penting yang belum aku punya: daypack kecil. Jadi rencananya, selama perjalanan ini aku bakal bawa daypack besar buat barang-barang utama—baju, rice cooker mini, perlengkapan mandi, dan segala tetek bengek kehidupan nomaden. Tapi untuk eksplor harian, jelas nggak mungkin bawa yang segede itu. Butuh yang ringkas, ringan, dan bisa muat botol minum, kamera, dan barang penting lainnya.
Karena belum punya, yaudah—di sela waktu yang mepet banget itu, aku buru-buru cari ke toko perlengkapan outdoor di mall. Alhamdulillah ketemu juga yang pas dan nggak terlalu mahal.
Dari mall, aku langsung beranjak ke ATM buat ambil sejumlah uang tunai—bekal cash selama di Eropa nanti. Nggak banyak sih, tapi cukup buat jaga-jaga kalau ada tempat yang nggak terima kartu. Setelah itu, tanpa buang waktu, aku tancap gas lagi naik motor, melaju di tengah teriknya jalanan kota Surabaya, menuju money changer langgananku yang letaknya di dekat Stasiun Gubeng.
Untung banget, sesampainya di sana, mata uang yang aku cari masih tersedia. Lega rasanya. Aku langsung menukar sebagian dalam bentuk Euro, sisanya US Dollar, buat cadangan. Karena ya tahu sendiri, kadang ada negara atau tempat tertentu yang lebih fleksibel nerima USD.
Selesai urusan tukar-menukar, tanpa pikir panjang aku langsung meluncur balik ke kantor. Masih ada beberapa jam kerja tersisa, dan walaupun pikiranku udah setengah nyangkut di Eropa, tubuhku masih harus menyelesaikan kewajiban duniawi—yaitu absen terakhir sebelum cuti panjang.
Setelah selesai ambil uang dan tukar mata uang, aku kembali lagi ke kantor. Masih sempat duduk sebentar, menyelesaikan sedikit pekerjaan. Tapi nggak lama kemudian, waktunya tiba—aku harus pamit lebih duluan, karena harus segera menuju Bandara Juanda untuk penerbangan ke Kuala Lumpur.
Aku pun minta izin pada atasan dan teman-temanku di kantor. Sambil bercanda setengah serius, aku bilang, “Kalau sampai ada hal buruk yang terjadi selama aku di luar negeri, tolong kabari keluarga ya... Aku punya asuransi kok.” Kalimat itu sempat bikin ruangan hening sejenak, lalu disambut senyum dan anggukan. Aku tahu itu terkesan dramatis, tapi sebenarnya itu bagian dari kenyataan: asuransi perjalanan adalah syarat wajib buat dapetin visa Schengen, dan secara pribadi, aku merasa lebih tenang kalau orang-orang terdekat tahu bahwa aku sudah siap.
Dari kantor, aku langsung meluncur ke kosan. Sempat mandi, ganti baju, dan melakukan final check semua barang penting: paspor, dompet, itinerary, uang tunai, powerbank, dan dokumen-dokumen lainnya. Semuanya masuk ke dalam daypack dan tas utama. Rasanya campur aduk: antara takut lupa sesuatu dan deg-degan karena petualangan besar benar-benar dimulai.
Begitu semua siap, aku memesan ojek online. Suara mesin motor dan angin sore menemani perjalanan dari kos ke Bandara Juanda. Di titik ini, aku tahu: nggak ada jalan balik lagi. Eropa, aku datang.
Dalam perjalanan naik ojek menuju Bandara Juanda, saat aku akhirnya bisa duduk tenang dan mencoba menenangkan diri... aku baru sadar satu hal krusial: charger HP-ku ketinggalan!
Langsung panik. Kayak kepala ikutan ketinggalan juga. Soalnya tadi di kos bener-bener buru-buru banget—mandi kilat, cek barang sambil ngepak, otak udah nge-rundown jadwal di bandara.
Dan yang bikin makin khawatir: HP yang kubawa itu Infinix Hot Note, yang saat itu chargernya nggak bisa sembarangan. Harus pakai fast charger khusus, kalau nggak, ngecas-nya bisa kayak nungguin kereta India datang—lama banget. Ini bahaya banget, soalnya HP adalah segalanya buatku: tiket elektronik, itinerary, koneksi, bahkan peta.
Akhirnya aku tarik napas panjang, mencoba untuk tidak panik berlebihan. Oke, charger memang ketinggalan, tapi hidup terus jalan. Ini bagian dari petualangan juga. Yang penting, HP-nya nggak ketinggalan.
Tapi ya, aku tetaplah aku. Begitu sampai di Bandara Juanda, bukannya duduk tenang nunggu boarding, hal pertama yang kulakukan justru keliling terminal—nyari counter yang jual spare part HP. Harapannya sih nemu charger pengganti yang bisa fast charging kayak bawaan aslinya.
Tapi ternyata... cobaan belum selesai. Setelah dicoba, chargernya nggak bisa masuk ke mode fast charging. Tetep lelet banget ngecasnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan si Infinix Hot Note ini cuma mau sama charger bawaannya aja. Mungkin dia setia, nggak bisa asal sembarangan dikasih arus lain. Wkwk.
Akhirnya aku pasrah. Ya sudahlah. Yang penting HP tetap bisa hidup, walau harus sabar nunggu cas penuh berjam-jam. Ini baru awal perjalanan, dan pelajaran hari ini sudah sangat jelas: jangan pernah remehkan benda kecil seperti charger.
“Ah ya sudahlah… harga sebuah keteledoran,” pikirku sambil menghela napas. Setelah urusan charger selesai, aku akhirnya melakukan check-in untuk penerbangan Surabaya–Kuala Lumpur. Naik AirAsia, maskapai sejuta umat para backpacker Asia Tenggara.
Penerbangan berlangsung sekitar 2,5 jam. Cukup lancar, nyaris tanpa turbulensi berarti. Aku duduk tenang sambil melihat awan-awan senja dari balik jendela, sambil mikir: “Ini beneran terjadi. Aku beneran menuju Eropa.”
Sekitar pukul delapan malam waktu Malaysia, pesawat mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2). Dari situ, aku langsung naik shuttle bus untuk menuju ke KLIA, terminal utama, karena penerbangan berikutnya—yang akan membawaku ke benua impian—akan menggunakan Turkish Airlines, dan berangkat dari KLIA.
Sambil menunggu jadwal check-in, aku sempatkan untuk mandi dan makan malam dulu. Rasanya segar banget setelah seharian penuh lari-larian dan keringetan. Makanan hangat, baju bersih, dan koper yang masih utuh—itu udah cukup buat bikin hati tenang.
Sampai akhirnya, waktu check-in pun tiba. Aku berjalan menuju area imigrasi dan pemeriksaan barang, melewati lorong-lorong bandara yang sunyi tapi berkesan. Setiap langkah di lorong itu terasa seperti satu langkah lebih dekat ke petualangan besar yang sudah lama aku impikan: menjejak tanah Eropa untuk pertama kalinya.
Aku sudah begitu santainya naik airport shuttle train dari imigrasi Bandara Internasional Kuala Lumpur ke gate keberangkatanku, gate 34. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 5 menit sebelum aku tersadar ada sesuatu yang salah, 'KENAPA HP-KU TIDAK ADA DI SAKUKU?!'. Dengan perasaan berdebar-debar dan pikiran yang kalut, aku segera memeriksa tasku. Sudah kubongkar semua dan nihil! Ya ampuunnn...HPku dimana? huhuhu.. Aku berusaha fokus dan mengingat-ngingat kapan terakhir kali aku mengeluarkan HP.
Akhirnya... lega setengah mati. HP-ku yang sempat bikin panik karena nyaris tertinggal akhirnya ketemu juga. Rasanya kayak baru lolos dari jebakan maut—keteledoran kedua yang nyaris bikin perjalanan ini rusak sebelum dimulai.
Setelah semua kekacauan itu, aku akhirnya masuk juga ke dalam pesawat Turkish Airlines. Pesawatnya cukup besar, lega, dan nyaman. Aku kebagian kursi dekat jendela, yang sebenarnya jadi impian banyak traveler. Tapi di balik keindahan view itu, ada satu masalah serius yang aku bawa: haus luar biasa.
Soalnya tadi aku sempat lari-lari mengejar waktu, dan pas duduk di kursi, tenggorokan udah kering banget. Tapi karena ini adalah pertama kalinya aku naik full-service airline, aku nggak tahu kalau ternyata kita bisa minta air minum kapan pun. Kupikir harus nunggu makanan dulu disajikan. Jadi... ya aku tahan haus itu selama berjam-jam, menunggu momen makanan datang, sambil sesekali melirik sekeliling, berharap ada petunjuk tidak tertulis.
Yang bikin tambah nelangsa: aku sebenarnya pengen banget memanggil pramugari, tapi nggak berani karena malu. Ya gimana ya, suasananya elegan banget, terus aku ngerasa kayak anak baru masuk kelas elite yang belum ngerti tata cara.
Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Istanbul itu sekitar 10 jam, dan separuh waktunya kuhabiskan dalam kesunyian yang haus, wkwk. Tapi dari situ aku belajar: jangan malu bertanya, jangan malu minta air, dan ingat... full-service itu termasuk air mineral gratis.
Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Istanbul dijadwalkan berangkat tengah malam, sekitar pukul 00.00. Suasana kabin saat itu remang-remang, penumpang mulai diam, dan pesawat perlahan meninggalkan landasan. Ini adalah penerbangan panjang sekitar 10 jam, menuju kota yang berdiri di antara dua benua.
Pesawatnya besar—Turkish Airlines wide-body, jadi cukup stabil. Hampir nggak terasa turbulensi. Tapi satu hal yang langsung terasa: haus luar biasa. Aku masih belum bisa move on dari lari-lari sebelumnya dan lupa minum. Dan karena ini pertama kalinya aku naik full-service airline, aku nggak tahu kalau ternyata kita bisa minta air minum sebelum makanan datang.
Tak lama setelah itu, makanan pertama disajikan. Standar maskapai full-service, lengkap dan cukup mengenyangkan. Setelah perut terisi dan tenggorokan tidak lagi kering, aku mencoba untuk tidur.
Tapi ya… begitulah. Aku tuh memang susah banget tidur di transportasi yang sedang bergerak. Apalagi malam itu aku nggak bawa bantal leher. Alhasil, posisi duduk nggak pernah benar-benar nyaman, kepala miring ke kiri, terus ke kanan, terus nyenggol jendela, terus balik lagi. Sementara di sekitarku orang-orang sudah mulai tenggelam dalam tidur lelap.
Akhirnya... malam itu aku sukses tidak tidur semalaman. Mataku melek terus, badanku kaku, dan pikiran melayang-layang antara mimpi Eropa dan rasa pegal.
0 comments:
Posting Komentar