Ini adalah pertama kalinya aku menginjak tanah Turki. Meski semalaman nggak tidur sama sekali di pesawat, tapi rasanya tetap excited banget. Rasanya seperti adrenalin mengalahkan rasa lelah. Di otakku yang lagi sering error ini, hari ini adalah tanggal 21 Juni 2017.
Ada yang merasa aneh? Nah lhoo...
Saat mendarat di Bandara Internasional Istanbul, langit masih agak gelap, tapi hati udah terang benderang karena tahu: aku punya waktu sampai jam 2 siang untuk explore kota Istanbul!
Karena ini penerbangan connecting dengan Turkish Airlines, sebenarnya mereka menyediakan dua opsi gratis buat penumpang transit panjang. Yang pertama: ikut tur kota Istanbul yang sudah mereka siapkan—rutenya tetap, terorganisir, dan lumayan menarik. Yang kedua: claim kamar hotel gratis untuk istirahat sejenak sebelum penerbangan berikutnya.
Tapi aku punya rencana lain. Saat semua orang mungkin memilih tidur di hotel atau ikut rombongan tur, aku lebih memilih untuk eksplor sendiri saja. Karena jujur, ada beberapa tempat yang pengin banget aku kunjungi, yang nggak masuk dalam rute tur gratisnya Turkish Airlines. Lagipula, buatku yang pertama kali ke Turki, rasanya sayang banget kalau cuma numpang tidur.
Begitu keluar dari area arrival, aku langsung menuju kamar kecil buat cuci muka dan sikat gigi. Setelah itu, aku mencari money changer dan menukarkan 50 Euro ke mata uang lokal, Lira. Rasanya udah kayak backpacker sejati—nggak tidur, tapi semangat menjelajah kota asing hanya bermodalkan daypack dan rasa penasaran.
Sejak masih di Indonesia, aku udah sempat mempelajari gimana cara keluar dari Bandara Internasional Istanbul menuju pusat kota. Jadi, begitu kutukar 50 Euro ke Lira, aku langsung naik metro—karena ya jelas, ini cara paling hemat dan efisien buat menjelajah kota.
Aku naik Metro Line M11 dari bandara menuju Stasiun Gayrettepe, lalu lanjut pindah ke Line M2 dan turun di Stasiun Vezneciler. Dari sana aku jalan kaki sekitar 15–20 menit menuju kawasan yang sudah lama banget pengin aku kunjungi: Sultanahmet.
Dan destinasi pertamaku di Istanbul adalah... Blue Mosque.
Sejak pertama kali lihat fotonya di internet, aku langsung jatuh hati. Masjid ini megah banget. Nama aslinya Masjid Sultan Ahmed, tapi lebih dikenal sebagai Blue Mosque karena interiornya dihiasi lebih dari 20.000 ubin keramik biru khas İznik. Warnanya adem banget, dan bikin suasananya terasa sakral sekaligus megah. Masjid ini dibangun antara tahun 1609 sampai 1616, pada masa pemerintahan Sultan Ahmed I, dan arsiteknya adalah Sedefkar Mehmed Ağa, murid dari arsitek legendaris Mimar Sinan.
Bagi Turki, Blue Mosque bukan cuma tempat ibadah—tapi simbol kejayaan arsitektur Ottoman dan pusat spiritualitas Islam. Letaknya juga strategis banget, pas di seberang Hagia Sophia, bikin kawasan Sultanahmet ini berasa kayak jantung sejarahnya Istanbul.
Waktu aku datang pagi-pagi, suasananya masih tenang. Belum terlalu ramai, dan itu bikin pengalaman pertama ini jadi lebih khusyuk. Sebelum masuk, aku sempat lihat pengumuman kalau wanita harus mengenakan penutup kepala. Untungnya aku udah siap. Tapi kalaupun lupa, mereka ternyata menyediakan pinjaman penutup kepala gratis di pintu masuk.
Melangkah ke dalam, aku sempat tarik napas panjang. Ada sesuatu yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Gabungan aroma karpet, cahaya dari jendela kaca patri, dan suasana sunyi... bikin aku ngerasa kecil, tapi juga penuh.
Welcome to Istanbul. Ini baru awal, tapi hatiku udah penuh sama rasa syukur.
Selesai mengeksplor Blue Mosque, aku cukup melangkah beberapa meter ke seberangnya, dan tibalah aku di salah satu bangunan paling ikonik di dunia: Hagia Sophia.
Dari luar aja, bangunannya udah bikin terdiam. Masif, megah, dan jelas menyimpan begitu banyak sejarah di dalamnya. Dulu, waktu merencanakan perjalanan ini, aku nggak pernah secara khusus bermimpi untuk mengunjungi Turki. Tapi ternyata semesta punya rencana lebih cepat untuk mempertemukanku dengan tanah ini—dan wow, aku merasa begitu bangga dan bersyukur bisa berdiri di sini.
Hagia Sophia (dalam bahasa Turki: Ayasofya) awalnya dibangun sebagai gereja katedral Bizantium pada tahun 537 Masehi atas perintah Kaisar Justinianus I. Selama hampir seribu tahun, ini adalah gereja Kristen terbesar di dunia. Lalu, setelah penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II pada 1453, bangunan ini diubah menjadi masjid. Pada 1935, Hagia Sophia dijadikan museum oleh pemerintah Turki, sebelum akhirnya pada tahun 2020 kembali difungsikan sebagai masjid.
Dan meskipun sekarang fungsinya adalah masjid, pengunjung tetap bisa masuk dan melihat langsung kemegahan warisan lintas peradaban di dalamnya.
Begitu masuk ke lantai satu, suasananya gelap tapi damai. Kubah utama menjulang tinggi, dan lampu-lampu gantung dari langit-langit tampak seperti bintang-bintang yang nyaris menyentuh kepala. Kaligrafi besar bertuliskan nama-nama Allah, Nabi Muhammad, dan para sahabat tergantung di sisi-sisi kubah. Di beberapa bagian, mozaik peninggalan era Bizantium masih bisa terlihat—Yesus, Maria, dan para malaikat—tertahan waktu dan sejarah, namun tetap menawan.
Dari lantai satu, aku lanjut naik ke lantai dua lewat jalanan batu yang melingkar seperti spiral—bukan tangga biasa. Di atas, suasananya lebih lapang. Dari sini aku bisa melihat interior masjid dari sudut yang lebih tinggi: kubah utama, lampu gantung, dan jemaah di bawah terlihat kecil-kecil.
Di lantai dua ini juga, aku bisa melihat mozaik terkenal seperti mosaik Deësis (Yesus di tengah, dikelilingi Bunda Maria dan Yohanes Pembaptis), yang meskipun agak pudar, masih tampak memukau. Waktu itu masih ada beberapa bagian yang sedang direnovasi, ditutupi perancah dan terpal—jadi ada area yang belum bisa diakses sepenuhnya.
Tapi tetap, di sela-sela eksplorasi itu aku sempat berfoto-foto, berdiri di antara kolom marmer raksasa dan lukisan dinding yang berabad-abad umurnya. Saat itu aku benar-benar merasa kecil di hadapan waktu dan sejarah. Tapi juga ada perasaan bangga. Bahwa meskipun dulu aku bahkan nggak pernah punya rencana khusus ke Turki, aku justru diizinkan oleh semesta lebih cepat untuk menyentuh tempat sebersejarah ini.
Dan rasanya... luar biasa.
Dari Hagia Sophia, aku bersiap menuju destinasi terakhir sebelum kembali ke bandara: Taksim Square. Nama ini udah sering aku dengar sejak dulu—ikon modernnya Istanbul, tempat orang-orang berkumpul, berunjuk rasa, atau sekadar nongkrong sore.
Untuk menuju ke sana, aku naik metro, dan yang paling seru, aku harus menyebrangi Jembatan Bosphorus. Ini bukan jembatan sembarangan—Jembatan Bosphorus memisahkan dua benua: Asia dan Eropa. Jadi, secara teknis, hari itu aku benar-benar menyeberangi dua benua dalam satu kota. Keren banget, kan?
Setelah beberapa kali ganti jalur metro, akhirnya aku sampai juga di area Taksim. Ternyata bentuknya seperti alun-alun besar—terbuka, ramai, dikelilingi oleh gedung-gedung, restoran, dan toko. Di tengahnya ada Monumen Republik, dan orang-orang lalu-lalang dari berbagai arah.
Aku berfoto-foto di situ, menikmati suasana yang jauh lebih modern dibanding kawasan Sultanahmet tadi pagi. Setelah itu, perut mulai protes. Aku beli kebab hangat, ditambah jus jeruk segar yang diperas langsung di depan mataku—yang rasanya luar biasa menyegarkan setelah seharian berjalan kaki. Aku makan siang sambil duduk santai di sudut lapangan, memandangi lalu lintas manusia yang terus bergerak.
Waktu terus berjalan, dan rasanya belum puas. Tapi aku tahu aku harus kembali. Akhirnya aku naik metro kembali ke Bandara Istanbul, membawa kenangan singkat tapi padat dari transit setengah hari di kota yang memesona ini.
Dalam waktu cuma beberapa jam, aku berhasil menginjak dua benua, menjelajah dua masjid megah, dan menyesap rasa kota yang sangat hidup.
Siang itu, sekitar jam 14.00 waktu Turki, aku sedang duduk dengan begitu santainya di Tram Istanbul Jurusan T1. Aku sangat senang karena baru saja mengunjungi Area Taksim di jantung kota Istanbul yang cukup terkenal, rasanya benar-benar nggak nyangka bisa menginjakkan kaki disini. Seorang Galuh mengunjungi Turki... Ya ampun..benar-benar sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Eh, bahkan aku nggak pernah bermimpi mengunjungi Turki. Ini benar-benar sebuah bonus yang luar biasa dari Tuhan.
Aku terus-terusan memandangi pemandangan Kota Istanbul dari dalam tram. Benar-benar tidak kulewatkan sedikitpun hal yang tersaji di depanku, karena waktuku sangat terbatas disini. Aku hanya mempunyai waktu transit 10 jam sebelum terbang ke Paris sore ini. Jadi aku benar-benar memanfaatkan setiap menit dengan maksimal.
Sudah terbayang, hari ini tanggal 21 Juni 2017, malam ini aku akan mendarat di Paris, kemudian akan mencari penginapanku dan setelahnya mengunjungi Menara Eifel di malam hari. Kemudian esoknya tanggal 22 Juni 2017, aku akan mengunjungi Musium Louvre di Paris yang terkenal. Ya ampun..itinerary yang menyenangkan. Aku membayangkan sembari tersenyum. Oh..terimakasih Tuhan sehingga aku bisa mengunjungi tempat-tempat ini.
Saat sedang memperhatikan beberapa orang Turki di dalam tram, tidak sengaja mataku menangkap layar digital yang menampilkan tanggal dan jam hari itu, jantungku melompat! Oh Ya Tuhan!!
Ini tanggal 22 Juni 2017!!
'What the....!!! Hari ini adalah tanggal 22 Juni 2017! Bagaimana aku bisa begitu ceroboh? !! Bodoh! Berarti seharusnya sekarang aku di Paris. Bagaimana dengan penerbanganku ke Reykjavik ??! Itu berarti hari ini juga. Duh! Sekarang posisi saya masih di Istanbul, penerbanganku dari Istanbul ke Paris baru saja mendarat pukul 18.00! Duh..jam berapa lagi penerbanganku dari Paris ke Reykjavik? Kenapa semuanya kacau begini setelah hari yang menyenangkan.. Huhuhu,' tangisku dalam hati sembari tanganku gemetaran mencari Etiket Paris-Reykjavik.
'Pokoknya kalau jamnya gak memungkinkan buatku untuk mengejar penerbanganku ke Reykjavik, aku akan beli tiket lagi. Karena Reykjavik di Islandia adalah tempat yang benar-benar ingin kukunjungi di perjalanan ini.'
Aku membaca E-tiketku dengan gusar dan ingin menangis lega rasanya setelah mengetahui jam keberangkatan pesawatku Transavia dari Paris ke Reykjavik adalah jam 22.00 malam ini.
'Berarti aku masih mempunyai waktu sekitar 3 jam. Eh tapi ini terbangnya bukan dari CDG (Charles de Gaulle) Airport, tapi dari Paris Orly Aiport. Duh jauh nggak ya? Ya Tuhan.. semoga cukup waktunya. Sama-sama masih di Paris, semoga nggak terlalu jauh.'
Pikiranku langsung kacau begitu mengetahui hari itu tanggal 22 Juni 2017. Rasanya hanya ingin secepatnya kembali ke Bandara Istanbul Ataturk. Aku yang awalnya ingin mengunjungi Selat Bhosporus, langsung mengurungkan niatku. Lagipula itu sudah jam 14.00, sementara penerbanganku ke Paris jam 16.00. Aku segera naik tram untuk menuju bandara. Oh,... benar-benar merusak mood di hari yang sudah diawali dengan indah.
Aku segera teringat, aku mempunyai Etiket Musium Louvre dan tertunduk lesu setelah mengetahui aku baru saja membuang 15 Euro sia-sia, dan kesempatan untuk melihat salah satu museum terbaik di dunia. Kepalaku tambah tertunduk saat aku mengetahui harus membayar tagihan kartu kredit 19 Euro untuk penginapanku di Paris, Hostel Jacob, Karena aku tidak muncul.
Tapi ada rasa syukur yang teramat sangat dalam hatiku! Jika aku tidak melihat layar digital di tram secara tidak sengaja, aku akan mengira itu adalah tanggal 21 Juni 2017, dan setelah mendarat di Paris, aku langsung menuju ke pusat kota Paris untuk mencari Hostel Jacob. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya, Chaotic !! Bahkan, aku mungkin bisa batal mengunjungi Reykjavik dan aku yakin itu akan membuatku menangis.
Di ruang boarding Bandara Istanbul Ataturk, aku duduk di samping seorang pria Prancis. Sembari menunggu boarding, kita mulai mengobrol topik ringan. Yah kebetulan, pikirku. Dia kan orang Paris, pasti dia tahu jarak dan metode transportasi dari Bandara CDG ke Bandara Orly. Dan apakah waktu 2,5 jam yang kupunya cukup untuk mengejar penerbanganku ke Reykjavik. Supaya memperjelas maksudku, aku berniat memberikannya E-tiketku Paris-Reykjavik supaya dia bisa membacanya.
Karena aku meletakkan kamera di bagian atas daypack, sebelum mengambil E-tiket aku harus mengeluarkan kamera. Aku ingat dengan jelas,aku mengeluarkan kamera dan meletakkannya di sisi kiriku (tepatnya di samping pinggulku). Sewaktu meletakkannya disitu, aku sudah memberikan warning ke otakku, JANGAN SAMPAI LUPA!
Sepertinya keinginanku untuk mendapatkan informasi dari pria Prancis itu sia-sia karena bahkan setelah kutunjukkan E-tiket, dia masih belum juga paham maksudku. Bahasa Inggrisnya memang agak kacau, dia malah bilang begini:
"Tidak, tidak. Ini penerbangan ke Paris, kita akan mendarat di Bandara CDG."
"Bukan Mister, maksudku apakah jarak antara Bandara CDG dan Bandara Orly Sud jauh? Cukupkah waktu 2,5 jam untuk sampai kesana?"
Sekali lagi dia tidak mengerti maksudku dan malah terus menerus berkata kita akan mendarat di Bandara CDG.
Ah yah, gak ngerti ni orang. Yasudah aku pasrah dan berniat mencari informasi sesampainya di Bandara CDG Paris saja.
Akhirnya waktu boarding tiba. Dan kalian bisa menebaknya, aku lupa mengambil dan memasukkan barang di samping pinggangku!! Ya, kameraku! Aku mulai mengantri dengan santainya dan kemudian naik bus khusus untuk sampai ke kaki pesawat!
Aku bersiul dengan senang hati. Ah well, aku tidak terlalu peduli dengan masalah kelupaan tanggal ini lagi. Entahlah, rasanya bahagia. Islandia! Aku benar-benar akan mengunjunginya! Bahkan di pikiranku tidak ada rasa menyesal sedikitpun karena tidak sempat mengeksplor Paris. Ah sudahlah Paris suatu saat saja.
Sesaat kemudian, bus telah sampai di kaki pesawat. Aku menemukan tempat dudukku sesuai tiket dan mulai mengatur semuanya untuk persiapan lepas landas ke Paris. Sementara menunggu, aku mulai mencari kamera untuk melihat foto-fotoku selama di Istanbul seharian dan kemudian tercengang.....
Ya ampun, kameraku ??! Dimana Kameraku ???! OMG.....
Aku berusaha keras untuk sekali lagi tenang dan mengingat kapan dan dimana aku terakhir memegangnya atau mengeluarkannya.
Sialan, pikiranku berteriak dan berkecamuk. Aku tidak bisa pergi ke Islandia tanpa kamera. Karena selain kamera Sony Alpha 5000 yang sekarang tidak jelas ada dimana ini, aku hanya membawa kamera Action dan handphoneku yang kualitas gambarnya kurang bagus. Membayangkan menangkap semua keindahan Islandia dengan kamera yang kurang bagus membuatku putus asa.
Perlu beberapa saat bagiku untuk menyadari, aku telah meninggalkan kamera di ruang boarding. Bisa kuingat dengan jelas, aku memang belum memasukkan kamera itu!
Sh*t!! Ngapain aku harus aneh-aneh nunjukin E-tiket sih? Ya ampun.. kenapa cobaan tak henti-hentinya datang di perjalanan pertamaku ke Eropa. Setelah semuanya berjalan dengan begitu lancar di Istanbul. Mental dan fisikku benar-benar lelah diserang oleh semua kebodohanku ini. Duh...bisa turun lagi nggak ya.. Mana pesawat udah mau berangkat lagi.
Aku segera berlari ke arah bagian belakang pesawat untuk mengabari Pramugari Turkish Airline, dan bertanya apakah aku bisa kembali ke ruang Boarding untuk mencari kameraku. Wajahku sangat gusar, hatiku tak karuan rasanya. Ya ampun..gimana kalau hilang..
Pramugari muda tersebut segera bertanya kepada pramugari seniornya di bagian depan, dan seperti yang sudah kuduga, jawabannya:
"Tidak, Kamu tidak boleh kembali ke ruang boarding. Begini, tenang saja. Kamu tunggu disini, kami akan mengabari staf kami di ground sana untuk mencari kameramu."
"Please Madam Help me.... Thank you." kataku dengan lesu sembari menunggu di dekat pintu masuk pesawat.
Karena semakin lama penumpang mulai berdatangan, aku berjalan dengan lunglai kembali ke kursiku di belakang. Rasanya benar-benar ingin menangis. Kenapa aku begitu bodoh dan ceroboh? Dari kemarin masalah, masalah dan masalah terus. Bahkan aku belum sampai ke destinasi pertama! Rasanya hanya ingin menyerah, pulang ke Indonesia dan melupakan semua mimpiku huhuhu....
Sesaat kemudian salah satu pramugari mendekatiku (karena melihat wajahku yang sangat gusar) dn menghiburku..
"Kamu tenang saja. Staf kami sedang berusaha mencari kameramu. Kalaupun misalnya tidak ketemu, kamu lapor saja di bagian lost and found di Bandara CDG, okey? Ketika kameramu ketemu, kami akan memberikannya kepadamu."
Aku hanya mengangguk lesu.
'Tidak mungkin sempat. Sampai Bandara CDG saja aku harus cepat-cepat menuju Bandar Orly, aku nggak akan sempat mengurus di Lost and Found.' Aku memejamkan mataku.. berusaha menahan air mata yang seakan ingin merangsek keluar dari sudut-sudut mataku. Semua bayangan tentang keindahan Islandia seakan menguap.. Aku tidak akan bisa mengabadikannya dengan kamera yang bagus.. Oh ya Tuhan...tolonglah aku..'
Selanjutnya pandanganku hanya terfokus pada pintu masuk pesawat. Kalau sampai pintunya tertutup dan tidak ada pramugari yang mendekatiku dengan membawa kamera, berarti aku memang harus menerima kenyataan. Kameranya memang hilang.
Tepat 10 menit sebelum jadwal keberangkatan, tiba-tiba pramugari yang tadi menghiburku terlihat membawa kamera berwarna hitam dengan senyum yang sumringah. Sepertinya dia tahu aku bakal sangat bahagia ketika melihatnya menghampiriku dan menyerahkan kameraku! "Oh yaaaa Tuhaaaannn...terimakasih-terimakasih.." kataku dengan perasaan lega yang langsung menjalar ke semua bagian tubuhku.
Oh Ya Tuhan, Galuh, You're really stupid lucky people!!
0 comments:
Posting Komentar