Part Sebelumnya : DISINI
Surabaya, 18 September 2017
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Mataku mulai perih, pundak terasa berat, dan tubuhku mulai protes minta direbahkan. Tapi aku masih duduk di depan laptop, mengejar menyelesaikan satu pekerjaan freelance terakhir sebelum besok terbang ke tempat impianku Hawai‘i. Sesuatu yang sudah kutunggu-tunggu selama 8 bulan terakhir. Dengan impianku mengunjungi begitu banyak tempat, tidak ada jalan lain. Aku memang harus kerja keras.
Perasaan campur aduk. Ada lelah yang menumpuk, tapi juga ada semangat yang terus membara. Ini Hawai‘i. Tempat yang selama ini cuma hadir di wallpaper layar laptopku, dan besok aku akan memulai perjalanan kesana. Aku ingin semua beban pekerjaan selesai sebelum aku pergi. Aku ingin menikmati perjalanan panjang ini dengan hati yang ringan.
Penerbanganku dari Surabaya ke Kuala Lumpur dijadwalkan jam 06.00 pagi. Artinya, aku harus berangkat ke bandara paling lambat jam 04.00. Sedangkan sekarang—aku bahkan belum tidur sama sekali.
Akhirnya, sekitar jam 02.00, aku berhasil mencetak halaman terakhir pekerjaan tersebut. Langsung kubundel kujadikan satu dan kusiapkan untuk kutitipkan temanku besok pagi. Hahhhhhh....Langsung kurebahkan badanku di kasur. Rasanya seperti menjatuhkan ransel berat yang kupikul selama berminggu-minggu. Lega...
Aku buru-buru mematikan laptop, merapikan tas, dan berbaring dengan harapan bisa terlelap walau hanya sebentar. Satu jam tidur—aku pikir cukup, asal sempat merem saja. Aku harus banget tidur biarpun sebentar. Karena apa? Karena besok aku akan menempuh perjalanan Surabaya - Kuala Lumpur - Osaka - Honolulu (Hawai'i) dengan total waktu tempuh 17,5 jam dimana aku tipe yang susah tidur kalau di mode transportasi berjalan. Kalau malam ini tidak tidur artinya? Aku hampir 2 malam tidak tidur. OMG... bagaimana itu rasanya badan?
Aku paksa tubuhku berbaring dalam gelap dengan pikiran yang kurilekskan. Sebenarnya ada rasa takut menyelinap. Gimana kalau aku ketiduran? Gimana kalau aku nggak dengar alarm bunyi? Ini bukan penerbangan yang bisa diundur atau dijadwal ulang seenaknya. Setelah mendarat di Kuala Lumpur, aku harus langsung lanjut ke Osaka, lalu dari sana ke Honolulu. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Tidak ada waktu untuk terlambat.
Aku mencoba menenangkan diri. Pejamkan mata. Antara kantuk dan cemas, aku berdoa semoga semuanya lancar. Semoga aku mendengar alarm dan bangun tepat waktu. Semoga perjalanan ini berawal dengan lancar… bukan berantakan karena kelalaian kecil. Tidak berasa.. mataku mulai berat dan aku tertidur.
"Kring.... Kring..... Kring...."
Jam 03.30 pagi, alarmku meraung-raung tanpa ampun. Rasanya seperti baru saja masuk fase deep sleep, lalu tiba-tiba ditarik kembali ke kenyataan. Mataku berat, tubuh masih ingin terus rebahan, tapi ini bukan saatnya manja.
“It's okey, kamu menginginkan ini kan?,” gumamku dalam hati sambil memaksakan diri bangkit. Ini bagian dari petualangan. Aku harus melewatinya. Aku bangkit dengan mata kuyu namun sedikit tersenyum.
Aku langsung menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulit dan membuatku sedikit lebih segar. Setelah itu, aku cek ulang semua barang bawaan paling penting—paspor, dompet, handphone, kamera, charger, powerbank, cetakan tiket pesawat dan beberapa snack kecil yang sengaja kusiapkan untuk cemilan di pesawat maupun di Hawai'i nanti. Sepertinya semua sudah masuk dalam ransel. Hatiku mulai tenang. Aku siap berangkat.
Aku memesan ojek motor, dan sekitar pukul 04.00, aku sudah meluncur menembus dinginnya pagi menuju Bandara Juanda. Jalanan masih sepi. Lampu-lampu kota berkedip seperti menyemangati langkahku. Pagi yang sunyi itu terasa spesial. Ada rasa lega, gugup, dan excited yang bergantian menyelinap di dada.
"Mau terbang kemana mbak?" Tanya Bapak Ojek dari depan motor.
Hmm.. sebenarnya aku bingung mau menjawabnya bagaimana. Hehehe.. Mungkin ekspetasi dia kan aku terbang ke Jakarta, ke Bali, ke Makassar atau kemana gitu. Kalau tiba-tiba jawab Hawai'i kok di luar ekspetasi banget hehe.
"Ke Kuala Lumpur pak," jawabku dengan santai.
"Ohh yaa.. Mau jalan-jalan apa kerja disana mbak?"
"Ehmmm... sebenarnya mau transit aja pak. Saya mau ke Hawai'i," jawabku setengah tertawa dari belakang. Kek random banget kan.
"Hah, mana itu mbak Hawai'i?"
"Di Amerika Pak, di pulau kecil gitu pak. Saya dapat promo pembukaan rute sama Air Asia, sejutaan aja pak tiketnya. Setara penerbangan ke Bali," kataku setengah terkekeh dari belakang.
"Wahh hebat ya mbaknya. Hati-hati ya mbak nanti disana," kata Bapak Ojek dengan ramah.
Akhirnya aku sampai di bandara sekitar jam 04.30. Aku langsung check-in, melewati imigrasi, dan duduk sebentar di boarding gate sambil menatap orang yang lalu lalang. Tidak begitu lama sudah dipersilahkan naik pesawat. Penerbangan dari Surabaya ke Kuala Lumpur berlangsung lancar, tanpa drama.
Saat kami masih di dalam pesawat, tak lama sebelum mendarat, bapak-bapak yang duduk di sebelahku menoleh dan bertanya dengan ramah, “Kerja di mana, Mbak, di Malaysia?”
Aku tersenyum, lalu menjawab, “Nggak, Pak. Saya mau jalan-jalan aja.”
Ekspresi beliau langsung berubah jadi campuran antara kaget dan kagum. “Wah, enak ya...”
Aku hanya mengangguk kecil sambil menyimpan senyum. Dalam hati, aku merasa bangga. Ini bukan perjalanan kerja, bukan juga urusan bisnis—ini adalah perjalanan untuk jiwaku sendiri. Sesuatu yang sudah kutunggu belasan tahun...
Begitu mendarat di Kuala Lumpur, aku masih punya sekitar beberapa jam sebelum bisa check-in untuk penerbangan selanjutnya ke Honolulu. Jadi aku duduk tenang di area departure, mencoba menyandarkan punggung dan mengamati orang yang lalu lalang kesana kemari. Hiruk-pikuk traveler dari berbagai penjuru dunia, pengumuman yang bersahut-sahutan, dan aroma kopi dari kafe terdekat sedikit mengalihkan rasa lelah.
Menjelang waktu check-in, aku segera menuju counter yang ditunjuk. Tapi ternyata tidak bisa langsung diproses. Petugas dengan sopan mengatakan bahwa untuk penerbangan ke Honolulu, akan ada pemeriksaan khusus terkait visa dan semacam registrasi. Aku disuruh menunggu di sisi loket, katanya akan ada staf khusus yang akan melakukan verifikasi.
Aku duduk lagi, kali ini dengan rasa sedikit gelisah. Bukan karena takut visaku bermasalah, tapi lebih karena prosesnya terasa lebih serius dari biasanya. Sekitar 30 menit kemudian, seorang petugas datang dan memanggil namaku. Proses verifikasi pun dilakukan—singkat dan lancar. Petugas itu seperti melakukan verifikasi atas tujuanku ke Honolulu via komputer. Tak lama, aku akhirnya sudah memegang dua boarding pass di tanganku: satu untuk Kuala Lumpur–Osaka, satu lagi untuk Osaka–Honolulu.
Penerbangan pertama dari Kuala Lumpur ke Osaka akan memakan waktu sekitar 7 jam. Setelah itu, transit 1 jam di Osaka, lalu dilanjutkan lagi dengan penerbangan 8 jam menuju Honolulu. Kalau dihitung dari Surabaya, total 17,5 jam di udara. Wow...Rekor penerbangan terlamaku saat itu, melebihi penerbangan ke Eropa kemarin.
Aku sempat menatap kedua boarding pass itu lama. Bukan karena bingung, tapi karena masih setengah tak percaya. Perjalanan panjang ini benar-benar dimulai sekarang. Di depanku ada lebih dari 15 jam penerbangan, berbagai zona waktu, dan satu samudra luas yang akan kulewati. Semua demi satu tujuan: menginjakkan kaki di tempat yang selama ini hanya ada di layar mimpi.
Dan aku siap.
Karena masih ada waktu 2 jam sebelum boarding, aku manfaatkan untuk mengisi perut terlebih dahulu karena di penerbangan KL - Osaka ini aku tidak beli makan di pesawat. Sepiring siomay dari sebuah restoran Indonesia meluncur dengan mulus ke perutku.
Akhirnya, proses boarding menuju Osaka dimulai.
Aku mengantre bersama penumpang lain, sebagian besar wajah-wajah Asia Timur yang tampaknya sudah terbiasa dengan rute ini. Aku melangkah masuk ke kabin pesawat, mencari kursiku, dan langsung duduk manis. Ya, ini memang low cost airline. Tidak ada film, tidak ada musik, bahkan tidak ada colokan USB untuk isi daya. Sementara itu, HP-ku…yaa... tidak ada hiburan apapun juga. Itu karena semalam aku benar-benar tidak sempat memikirkan hal itu. Bahkan headset aja aku nggak ada wkwkwk...
Aku duduk dan menarik napas. Oke, berarti penerbangan 7 jam ini hanya akan ditemani botol air mineral dan beberapa bungkus snack yang sudah kubawa. Aku sengaja tidak membeli makanan di pesawat—selain karena harganya yang lumayan mahal, perutku juga sudah kenyang.
Penerbangan akhirnya berjalan. Aku mencoba tidur, berusaha mengganti jam tidur yang hilang sejak jam 3 pagi tadi. Miring ke kanan, gagal. Miring ke kiri, makin pegal. Kakiku rasanya kaku, kepala tidak bisa menyender dengan nyaman. Lampu kabin diredupkan, tapi entah kenapa mataku tetap susah diajak kompromi. Mungkin karena badan sudah terlalu lelah dan yaa... aku memang sudah hafal diriku. Tidak mudah tidur di transportasi umum, karena leherku akan tegang.
Akhirnya.... 7 jam melintasi langit berbagai negara, sekitar pukul 10 malam waktu setempat, pesawat AirAsia yang kutumpangi mendarat di Osaka. Transit kali ini cuma 1 jam, dan semua harus berjalan cepat. Ternyata begitu keluar dari pesawat dan menginjakkan kaki di dalam bandara, kami langsung dijemput oleh petugas AirAsia. Tanpa banyak basa-basi, kami diantar dengan langkah cepat menuju area transit. Wajar sih—waktu benar-benar mepet. Aku hanya bisa mengikuti arus, yakni kembali melewati pemeriksaan barang sebelum menuju ke gate keberangkatanku.
Sambil menunggu dipanggil untuk boarding lagi, aku berjalan ke salah satu vending machine yang menjual minuman. Ada teh, kopi kaleng, dan jus dingin. Rasanya ingin sekali menyeruput sesuatu yang segar. Tapi… aku lupa satu hal penting: aku tidak punya yen. Kartu debitku juga entah kenapa ditolak. Aku sempat berdiri bengong beberapa detik, mencoba menelan kecewa, lalu akhirnya mundur perlahan dan kembali duduk. Yah, bekal air mineral dan snack dari Surabaya sepertinya akan kembali jadi penyelamat.
Tak lama kemudian, proses boarding ke pesawat menuju Honolulu dimulai.
Aku duduk di kursiku yang ternyata berada di kursi darurat, menatap kearah luar jendela yang gelap. Ini dia. Penerbangan 8 jam melintasi Samudra Pasifik. Rasanya luar biasa—campuran antara excitement dan kelelahan yang akut. Pesawat akhirnya diberangkatkan. Lampu-lampu kota Osaka perlahan menjauh di balik awan, digantikan gelapnya langit Pasifik
Aku kembali mencoba tidur. Tapi hasilnya… nihil. Kursinya kaku. Kaki sudah pegal tak karuan. Tubuhku terlalu lelah untuk benar-benar rileks, tapi juga terlalu sadar untuk terlelap. Kepala terasa berat, leher pegal karena posisi tidur yang serba salah.
Sesekali aku membuka mata dan melihat sekeliling—semua orang diam, tertidur atau setengah sadar, tenggelam dalam dunia mereka masing-masing. Aku menyender pelan ke jendela, menatap kegelapan di luar. Di balik sana, di balik laut yang membentang jauh tanpa ujung, Hawai‘i sedang menunggu.
Detik-detik terasa lambat. Tapi perlahan, rasa tak sabar mulai tumbuh. Setiap menit mendekatkanku pada tanah tropis itu—pada hawa hangat, debur ombak, dan segala hal yang selama ini hanya kukenang lewat foto-foto di layar ponsel.
Aku melongok ke jendela pesawat di samping kananku. Yang terbentang sejauh mata memandang hanyalah laut, laut, dan laut. Begitu luas dan tak bertepi, birunya Samudra Pasifik seolah menelan pandangan. Perjalanan panjang dari Osaka menuju Honolulu ini memang membelah Samudra Pasifik, samudra terbesar di dunia, hamparan air tanpa daratan sejauh ribuan kilometer.
Di tengah samudra raksasa inilah Hawai'i berada — serangkaian pulau vulkanik yang tercipta dari aktivitas geologi unik, yang disebut hotspot. Berbeda dengan pulau-pulau lain yang biasanya terbentuk di sepanjang batas lempeng tektonik, Hawai'i muncul di tengah lempeng Pasifik yang bergerak perlahan-lahan di atas titik panas yang relatif tetap di bawah kerak bumi. Pulau-pulau ini seolah titik-titik kecil kehidupan di tengah hamparan air biru yang tak berujung, lahir dari letusan lava berabad-abad lamanya.
Seperti kujelaskan sebelumnya, perjalanan ini kan dimulai di malam hari. Namun seiring pesawat bergerak ke arah timur, keajaiban waktu terjadi. Tanpa terasa, fajar merekah dari ufuk, dan tak lama kemudian, sinar siang memenuhi kabin. Rasanya seperti menembus lapisan waktu — karena kami melewati garis batas tanggal internasional, garis imajiner di tengah samudra yang memisahkan satu hari dari hari berikutnya.
Jam terasa kacau. Baru beberapa jam lalu malam, kini sudah terang benderang, seakan-akan waktu melompat maju. Tubuhku masih berpegangan pada ritme asal, tetapi dunia di luar sudah berubah. Inilah perjalanan melintasi samudra dan waktu, menuju tanah kecil yang terpahat dari api di tengah Pasifik.
Sekitar tujuh setengah jam waktu berlalu sejak lepas landas, hingga akhirnya terdengar pengumuman yang paling kutunggu-tunggu. Suara pilot menggema dari pengeras suara di kabin:
"Flight attendants, prepare for landing."
Kalimat sederhana itu membuat hatiku berdebar. Pesawat perlahan mulai menurunkan ketinggian, dan sensasi halus perubahan tekanan terasa di telinga. Dari jendela kecil di sebelah kananku, langit yang luas mulai berganti pemandangan baru.
Saat pesawat semakin menurunkan ketinggian, mataku menangkap sesuatu di kejauhan — sebuah daratan hijau perlahan menampakkan dirinya di tengah lautan biru. Pulau O'ahu.
Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Selama bertahun-tahun, pemandangan ini hanya bisa kunikmati lewat layar YouTube, lewat video-video traveling yang kutonton berulang-ulang saat bermimpi suatu hari bisa menginjakkan kaki di Hawai'i. Dan kini, semua itu tersaji nyata di depan mata.
Hijaunya pepohonan membentang seperti permadani alami. Pemukiman-pemukiman kecil terlihat berjejer di sepanjang garis pantai, lalu di kejauhan tampak kompleks angkatan laut Pearl Harbor yang legendaris. Dan di sisi lain, dengan gagahnya, puncak gunung berapi Diamond Head menjulang, seolah menyambut kedatanganku.
Ahh... rasanya aku tidak sabar untuk segera mendarat, menjejakkan kaki di tanah ini, dan memulai petualangan baru di pulau tropis yang selama ini hanya ada dalam mimpi!
Tak butuh waktu lama, pesawat semakin menurunkan ketinggian. Aku bisa merasakan dorongan halus ketika roda pesawat menyentuh landasan:
Dengan gerakan mulus, kami mendarat di Bandara Internasional Honolulu atau nama resminya Bandara Internasional Daniel K. Inouye. Pemandangan landasan dengan latar belakang pohon-pohon palem dan langit cerah langsung menyambut dari balik jendela.
Proses imigrasi berjalan cepat dan lancar. Petugasnya ramah, suasana di area kedatangan terasa santai dan tidak terburu-buru seperti bandara besar lainnya. Aroma khas udara tropis mulai terasa samar-samar di antara langkahku — campuran antara udara lembap, laut, dan kehangatan matahari.
Setelah menyelesaikan scan barang di bea cukai, aku berhenti sejenak di dekat gerbang keluar. Di sana tersedia wifi gratis dari bandara yang cukup cepat. Aku langsung menghubungkan ponsel dan mulai mencari-cari informasi tentang transportasi menuju Waikiki.
Setelah beberapa menit browsing, aku memutuskan naik bus nomor 19, yang rutenya langsung menuju pantai Waikiki — destinasi yang sudah lama ada di daftar impianku. Aku sempat bertanya pada salah satu petugas bandara, dan mereka dengan ramah memberi tahu bahwa aku harus naik satu lantai ke atas untuk mencapai halte bus, yang terletak di tepi jalan luar area bandara.
Dengan semangat yang nyaris meledak, aku mendorong koporku menuju eskalator. Setiap langkah terasa ringan, karena hati ini dipenuhi rasa syukur dan antusiasme — petualanganku di Hawai'i baru saja dimulai!
Namun, satu hal yang langsung terlintas di pikiranku adalah: aku harus punya paket internet. Di zaman sekarang, traveling tanpa internet itu rasanya seperti jalan-jalan sambil merem. Apalagi ini di tempat asing. Tadi di bandara, waktu masih nyangkut Wi-Fi gratisan, aku buru-buru browsing. Dari hasil penelusuran kilat itu, aku simpulkan tempat yang paling masuk akal untuk beli SIM card lokal adalah di Ala Moana Shopping Centre.
Masalahnya, setelah keluar dari bandara, sinyal Wi-Fi juga ikut pamit. Sementara aku belum punya koneksi internet sendiri. Jadi satu-satunya cara: ngandelin insting, peta yang sempat kuscreenshot, dan tentu saja, bertanya ke manusia lain, seperti zaman dulu. Untungnya, aku menemukan halte bus dan ada papan petunjuk yang cukup jelas. Aku pun naik bus nomor 19, berharap ini akan membawaku mendekat ke tujuan.
Oke, noted. Ala Moana Boulevard dulu, baru Ala Moana Shopping Center.
Meskipun sedikit gugup karena nggak ada peta real-time, setidaknya aku sekarang punya petunjuk yang lebih manusiawi daripada Google Maps yaitu penjelasan langsung dari orang lokal.
Sepanjang perjalanan, aku menatap ke luar jendela, memperhatikan setiap perubahan lanskap kota. Jalanan terasa bersih, banyak pohon palem tinggi menjulang, papan nama jalan yang kadang familiar karena sering disebut dalam lagu-lagu lama. Dan ya, saat bus belok ke kanan dan masuk ke jalan besar dengan gedung tinggi mulai terlihat di kiri, aku tahu—this is it.
“Here we are, that’s Ala Moana Shopping Centre,” kata si bapak sambil menunjuk ke luar jendela.
Aku pun buru-buru mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan bersiap turun. Begitu kakiku menginjak trotoar di depan Ala Moana Shopping Center, aku bisa melihat bahwa mall-nya gede banget, modern, bersih, tapi tetap terasa tropikal. Seperti Grand Indonesia yang dipindahin ke pinggir pantai dan dikasih sentuhan aloha.
Begitu melangkah masuk ke dalam Ala Moana Shopping Center, aku langsung disambut oleh area luas yang ternyata adalah semacam food court. Wangi makanan langsung menyerbu hidungku—ada aroma grilled chicken, pizza, ramen, bahkan tacos. Dan di saat itu juga aku baru sadar: aku lapar banget.
Mungkin karena dari tadi sibuk urus ini-itu, dari pesawat ke imigrasi, lalu cari bus, semua perhatian teralihkan dari sinyal perut. Tapi sekarang, begitu melihat barisan counter makanan dan orang-orang duduk makan dengan tenangnya, perutku langsung minta diisi.
Tanpa buru-buru, aku mulai keliling-keliling food court itu. Sambil lihat-lihat menu yang dipajang, mencoba mencium-cium aroma dari kejauhan, dan tentu saja cek harga—karena aku nggak mau jatuh miskin di hari pertama wkwk. Dari sekian banyak pilihan, mataku tertarik pada satu tempat yang menawarkan menu daging sapi dengan mashed potato, jagung dan udang. Sebenarnya harganya relatif lebih mahal daripada lainnya, tapi aku pengeen hehe..
Tanpa pikir panjang, aku langsung pesan. Harganya $15—lumayan mahal kalau dirupiahin, tapi untuk ukuran Hawaii dan ukuran porsi yang kulihat disajikan ke pelanggan sebelumnya, masih masuk akal. Tak lama, makanan datang. Porsinya cukup besar, dengan potongan daging sapi yang empuk dan juicy, mashed potato lembut yang kaya rasa, dan beberapa ekor udang panggang di atasnya.
Aku duduk di salah satu meja kosong dan mulai makan. Gigitan pertama langsung bikin semua kelelahan hari itu sedikit terlupakan. Setelah perut kenyang dan tenaga kembali pulih, aku lanjutkan misi utama hari itu: cari SIM card atau paket data. Dengan semangat dan harapan tinggi, aku mulai muter-muter dalam mall yang luas ini. Ala Moana Shopping Center ini gede banget, dan jujur agak bikin bingung juga karena layout-nya enggak seperti mall di Indonesia yang jelas zonasinya. Tapi ya, modal kaki dan percaya diri, aku jalan terus.
Setelah beberapa kali mental dari satu toko ke toko lain, akhirnya ada satu pegawai yang bilang, “Maybe try there,” sambil menunjuk ke sebuah ruko di salah satu sudut mall. Tempatnya memang tampak seperti konter provider seluler—ada casing dan spare part berbagai macam merk HP yang dipajang, dan beberapa orang yang terlihat sedang berkonsultasi. Oke, sepertinya inilah tempatnya.
Aku masuk, dan ternyata sedang ada pelanggan lain yang sedang dilayani. Jadi aku duduk dulu di bangku kecil dekat pintu, nunggu sambil iseng scroll foto-foto di galeri karena ya... belum ada koneksi buat buka media sosial wkwk. Setelah beberapa menit, giliranku.
Aku langsung setuju. Tapi saat dia mencoba memasukkan SIM card itu ke HP-ku—sebuah Infinix Android yang selama ini setia menemani perjalanan—ekspresinya langsung berubah. “Uhh... your phone is not compatible with our network.”
Ternyata benar. HP-ku yang sudah cukup jadul itu enggak support dengan jaringan seluler yang mereka pakai di Hawaii atau Amerika Serikat secara umum. Katanya sih karena beda frekuensi jaringan dan nggak unlock untuk carrier lokal. Dan kemudian, dengan ekspresi penuh usaha, dia bertanya, “Do you want to buy a phone?”
Sambil mikir keras dan menimbang-nimbang, aku pegang iPhone itu di tangan. Rasanya enteng, mulus, dan ada aura “akhirnya online lagi” di sekelilingnya.
Akhirnya, setelah mikir cukup lama dan mencoba menenangkan diri dari shock "HP nggak kompatibel", aku memutuskan untuk beli juga itu iPhone 6. Ya, pilihan spontan tapi realistis—karena apa gunanya hemat kalau akhirnya nyasar di negeri orang tanpa koneksi internet? Pegawai konternya dengan cekatan langsung buka bungkus SIM card dan memasangnya di iPhone baruku. Dalam beberapa menit, ponsel itu hidup, sinyal muncul, dan... tadaa, koneksi internet akhirnya aktif. Rasanya seperti bisa bernapas lega lagi. Hmm.. UUD ya. Ujung-ujungnya duit! Wkwkwk..
Begitu bisa online, hal pertama yang kulakukan tentu buka Google Maps. Kutulis “Honolulu University Hostel”—penginapanku malam itu. Ternyata letaknya cukup jauh dari area pantai Waikiki, lebih ke arah perumahan dan bukan di zona turis banget. Tapi ya sudahlah, yang penting bisa tidur malam ini. Dari hasil pencarian, aku tahu harus naik bus lagi, jadi kulanjutkan perjalanan.
Langit sudah mulai temaram saat aku sampai dan check-in. Hostel-nya sederhana, berbentuk dorm—satu kamar isi beberapa orang. Bangunannya agak tua, tapi bersih dan cukup nyaman buat standar backpacker. Aku diberi tempat tidur di salah satu sisi kamar, dan karena hari sudah cukup sore, aku memutuskan buat santai dulu sebelum mandi.
Sambil rebahan, aku iseng buka cemilan yang kubawa dari rumah: sebungkus Tic Tac. Ya, cemilan receh tapi cukup menghibur dan bikin mulut gak kosong. Tapi belum lama aku ngemil sambil selonjoran di kasur, tiba-tiba ada pegawai hostel (atau mungkin pemiliknya) lewat dan melihatku. Dia langsung menegur dengan nada agak serius, “You shouldn’t eat on the bed. It can cause bed bugs, and we try to keep the place clean.”
Sudahlah, kejadian yang nggak terlalu penting untuk dipikirkan hehe.. Aku memutuskan mandi aja biar badan seger. Seharusnya kalau masih hari pertama gini kan santai-santai aja ya, tapi aku rasanya nggak mau buang waktu. Rasanya udah nggak sabar banget pengen ke Pantai Waikiki—pantai yang namanya udah sering banget aku denger sejak dulu, kayaknya jadi simbolnya Hawaii gitu. Mungkin seperti Pantai Kuta-nya Pulau Bali. Aku pun naik bis, dan nggak lama kemudian sampai juga di Waikiki.
Begitu turun dari bis, aku disambut dengan suasana kota yang modern, ramai dengan hotel-hotel mewah yang menjulang tinggi. Lampu-lampu jalanan mulai menyala, memantulkan sinar cantiknya di trotoar. Di sepanjang jalan dekat pantai, berjajar berbagai toko brand ternama dan restoran-restoran yang menggoda, dari yang lokal sampai yang internasional. Suasananya hidup banget, tapi tetap santai. Banyak turis lalu lalang dengan pakaian santai—ada yang habis surfing, ada yang cuma jalan-jalan sambil makan es krim.
Aku langsung jalan ke arah pantai. Dan di sana, aku melihat patung yang terkenal itu—patung Duke Kahanamoku, sosok yang dikenal sebagai bapak selancar modern. Banyak orang berfoto di depannya, termasuk aku tentunya. Rasanya kayak akhirnya ketemu ikon yang selama ini cuma kulihat di foto-foto.
Setelah itu, aku jalan dan duduk di pasir pantai yang halus sambil membuka beberapa cemilan yang aku bawa dari hostel, dan mulai menikmati momen. Angin laut malam itu sejuk, suara ombak jadi latar belakang alami yang bikin tenang. Langit malam di atas Waikiki memelukku dengan cahaya-cahaya lembut dari kota. Ini adalah saat yang udah lama banget aku impikan, dan sekarang akhirnya aku ada di sini.
Aku habiskan waktu dengan melamun sambil bersyukur, menikmati suara deburan ombak yang menghempas pasir pantai. Mengenang kembali ketika ini semua hanya berupa angan-angan.
"Trimakasih ya diriku, untuk tidak pernah menyerah," kataku lirih.
Dari Pantai Waikiki, aku memutuskan untuk jalan kaki menyusuri area pejalan kaki yang membentang di sepanjang pinggir pantai. Suasana malam itu cukup nyaman. Di satu sisi ada deretan pohon kelapa yang menjulang santai, sesekali terdengar debur ombak dari sisi pantai, dan di sisi lainnya berdiri hotel-hotel megah dengan arsitektur yang modern tapi tetap terasa tropikal. Lampu-lampu taman menerangi jalan, menciptakan suasana yang hangat dan aman meski malam mulai turun.
Sepanjang jalan, aku melihat banyak orang yang juga sedang menikmati malam Waikiki—ada yang duduk di bangku taman, pasangan yang berjalan berdua, sampai musisi jalanan yang memainkan ukulele dengan alunan lagu Hawaii yang bikin hati tenang. Sesekali ada toko es krim atau restoran dengan outdoor seating yang dipenuhi pengunjung. Beberapa spot juga dipenuhi turis yang masih sibuk berfoto atau sekadar ngobrol sambil menikmati suasana pantai malam.
Langitnya masih bersih, hanya ada beberapa awan tipis. Cahaya dari hotel-hotel dan toko-toko memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan malam yang cantik banget. Rasanya tenang dan damai.
Sampai sekitar jam 9 malam, aku akhirnya memutuskan kembali ke penginapan. Tapi aku udah punya rencana—besok aku bakal pindah ke penginapan yang lokasinya lebih dekat ke Pantai Waikiki, supaya bisa lebih santai explore, bahkan kalau malam sekalipun. Biar kalau lagi pengen duduk-duduk liat bintang sambil ngunyah cemilan tengah malam, tinggal jalan kaki sebentar aja.
Besok rencananya aku akan mendaki Diamond Head. Jadi ya... selamat malam, Honolulu. Sampai jumpa di petualangan hari kedua!
Thank you for today...
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar