Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.01.2025

[6] Aloha Hawai'i : Menaklukkan Puncak Ikonik di Pulau Oahu, Diamond Head!

Part Sebelumnya : DISINI

Diamond Head, Pulau Oahu, Hawai'i

Honolulu, 19 September 2017

Hoahhmm.., pagi akhirnya menyapa. Aku meregangkan badan. Sinar matahari perlahan merambat masuk lewat jendela dorm hostel, mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggantung. Aku cukup surprise juga sebenarnya—semalam aku bisa tidur lumayan nyenyak. Padahal itu malam pertamaku di Honolulu, dan perbedaan waktu dari Indonesia tuh nggak main-main, minus 17 jam. Tapi entah kenapa, tubuhku justru terasa ringan pagi itu. Mungkin karena rasa lega—karena setelah semua drama hari sebelumnya, aku tahu: aku akhirnya benar-benar di sini.

Setelah bersih-bersih dan menyiapkan barang-barang yang akan kubawa hari ini, aku keluar dari penginapan. Dan begitu aku menginjakkan kaki di luar pagar hostel… wah. Ini dia momen yang diam-diam sudah lama kubayangkan. Untuk pertama kalinya aku melihat dengan mata kepala sendiri, pinggiran kota Honolulu di pagi hari.

Langit biru bersih tanpa awan. Jalanan lebar, aspalnya mulus, trotoarnya luas dan ramah pejalan kaki. Di sisi jalan, rumah-rumah bergaya tropis khas Hawaii berdiri rapi—tak terlalu tinggi, banyak yang berwarna pastel, dengan halaman hijau kecil di depannya. Pohon-pohon palem menjulang seperti pengingat bahwa ini adalah tanah tropis yang eksotis.

Udara pagi itu terasa luar biasa segar. Sejuk, bersih, dan entah kenapa membawa semacam aroma kebebasan. Jalanan belum ramai. Hanya sesekali mobil melintas pelan, dan beberapa orang yang juga berjalan kaki—mungkin menuju halte bus, mungkin sekadar jogging pagi. Tidak ada hiruk-pikuk. Semuanya terasa tenang dan tertata.

Dan di titik itu, aku berhenti sejenak. Menengadah. Mengambil napas dalam-dalam dan kembali merasa bersyukur. Setelah belasan tahun cuma bisa membayangkan tempat ini dari foto, artikel blog, video YouTube, dan impian-impian yang dulu rasanya cuma angan-angan—akhirnya aku sampai juga. Aku bisa berjalan kaki di jalanan Honolulu dengan kakiku sendiri, tanpa terburu-buru, tanpa dikejar waktu. Aku benar-benar sedang hidup di mimpi yang dulu hanya berani kupeluk diam-diam.

Kalau boleh jujur, suasana Honolulu ini bukan seperti kota besar yang sibuk dan bising. Justru sebaliknya. Kota ini terasa santai, ramah, dan penuh warna. Walaupun secara administratif Honolulu adalah ibu kota negara bagian Hawaii, tapi nuansanya tetap terasa laid-back—tidak segaduh kota-kota besar Amerika lain yang sering kubayangkan. Mungkin ini memang tempat di mana “kerja keras dan liburan” bisa hidup berdampingan.

Dan pagi itu, aku berjalan kaki dengan penuh rasa syukur, menuju 7-Eleven untuk mencari sarapan.

Setelah beberapa blok, akhirnya kutemukan 7-Eleven. Aku langsung masuk dan memilih sarapan: kopi panas, telur rebus, dan sepotong roti isi. Kombinasi sederhana yang cukup buat ngisi tenaga sebelum mendaki.

Aku membayar semuanya, lalu keluar dari toko dan mencari tempat duduk seadanya. Di trotoar depan toko ada semacam bangku semen panjang, dan di sanalah aku duduk. Sarapan di pinggir jalan, sambil mengamati lalu lintas yang masih lengang, rasanya seperti bonus tak terduga. Tidak glamor, tapi justru itulah nikmatnya: sederhana, tenang, dan jujur.

Di seberang, kulihat lalu-lalang orang lokal yang sibuk dengan aktivitas pagi mereka. Rasanya damai. Nggak ada suara klakson, nggak ada kemacetan. Hanya pagi yang tenang dan aku yang sedang sarapan dengan rasa syukur.

Setelah perut kenyang dan kopi mulai menunjukkan efeknya, aku lanjutkan perjalanan. Aku naik bus menuju Diamond Head. Setelah menunggu beberapa menit di halte, akhirnya bus yang kutunggu tiba. Aku naik, duduk di dekat jendela, dan merapatkan ransel kecil di pangkuan.

Sepanjang perjalanan, aku disuguhi pemandangan kota Honolulu dari balik jendela bus—dan jujur saja, rasanya seperti menonton film dengan suasana tropikal yang tenang. Jalan-jalan lebar dipenuhi mobil-mobil pribadi yang tidak terburu-buru, gedung-gedung pendek bergaya kolonial bercampur dengan arsitektur modern, serta rimbunnya pohon-pohon tropis yang sesekali berayun ditiup angin. Tidak ada klakson, tidak ada hiruk-pikuk yang bikin tegang. Hanya ketenangan.

Aku duduk dalam diam, tapi di dalam hati aku seperti anak kecil yang tidak sabar masuk ke taman bermain. Setelah belasan tahun mimpi ke Hawaii, pagi ini aku benar-benar sedang menuju salah satu ikon alamnya—Diamond Head. Rasa bahagia, haru, dan penasaran campur jadi satu. Aku bahkan beberapa kali senyum sendiri tanpa sadar.

Setelah sekitar 45 menit melintasi kota, bus pun akhirnya berhenti di halte dekat area masuk Diamond Head. Aku turun dan mengikuti jalur pejalan kaki yang menuju gerbang utama. Dari sini, sudah terlihat dinding kawah besar menjulang di kejauhan, seperti benteng alam yang menyimpan sejarah.

Di loket masuk, aku membayar tiket seharga $1 karena datang dengan berjalan kaki (murah banget kan?). Setelah menerima tiket, aku mulai melangkah masuk ke jalur pendakian. Suasana sekitar tenang, hanya suara angin, burung-burung lokal, dan langkah kaki para pendaki lain yang sesekali menyusul atau berpapasan.

Diamond Head, atau dalam bahasa Hawaii disebut Lēʻahi, adalah kawah vulkanik yang terbentuk sekitar 300.000 tahun yang lalu akibat letusan eksplosif dari sistem gunung api bawah laut KoÊ»olau. Letusan tersebut menciptakan tuff cone—jenis formasi vulkanik yang terbentuk dari partikel dan abu vulkanik yang mengeras. Bentuknya yang melingkar dengan lereng curam menjadikan Diamond Head sangat khas dan terlihat mencolok dari kejauhan, terutama dari pantai Waikiki.

Nama “Diamond Head” sendiri diberikan oleh para pelaut Inggris di abad ke-19 yang mengira kristal-kristal kalsit di lereng kawah itu adalah berlian. Padahal ya… bukan. Tapi nama itu keburu melekat dan dipakai sampai sekarang.

Jalur pendakian Diamond Head National Monument memiliki panjang sekitar 1,3 kilometer (sekitar 0,8 mil) satu arah. Elevasinya naik sekitar 170 meter dari dasar ke puncak. Rute ini tergolong mudah sampai sedang, cocok untuk pejalan biasa, walaupun ada beberapa bagian yang cukup menanjak dan melibatkan tangga curam serta terowongan pendek. Tapi tenang aja, jalurnya jelas, aman, dan banyak titik untuk berhenti kalau mau ambil napas (atau foto-foto, tentu saja).

Begitu aku mulai berjalan melewati jalur trekkingnya, awal-awalnya sih cukup ramah. Trek masih datar dan permukaan jalan berupa beton kasar. Banyak pendaki lain juga, dari yang muda sampai yang sudah senior, semua berjalan santai dengan pace masing-masing. Bahkan ada yang sambil dorong stroller! Jadi aku merasa cukup pede, “Ah ini mah gampang.”

Semakin lama, jalurnya mulai menanjak dan berkelok-kelok. Beberapa bagian berubah jadi tanah dan kerikil, dan ada juga yang bentuknya seperti jalan zig-zag memeluk lereng bukit. Di beberapa titik, jalurnya sempit, tapi untungnya satu arah dan tetap aman untuk dilalui. Di sinilah pemandangan mulai bikin terpesona.

Dari ketinggian yang makin bertambah, aku bisa melihat hamparan Samudera Pasifik membentang luas, dengan warna biru yang... ah, nggak bisa dijelaskan kata-kata. Langit cerah, ombak kecil berkilau diterpa matahari, dan di kejauhan sana, garis pantai Waikiki terlihat melengkung sempurna. Ini pemandangan yang selama ini cuma kulihat di wallpaper laptop—sekarang aku benar-benar ada di dalamnya.

Aku terus melangkah naik, dan jalurnya makin menantang. Beberapa tanjakan cukup curam, lalu tiba-tiba… tangga. Bukan satu dua anak tangga, tapi tangga curam sekitar 70-an anak tangga yang bikin dengkul langsung mengeluh. Tapi hey, aku udah sampai sejauh ini, masa nyerah?

Setelah tanjakan dan tangga, tiba saatnya melewati bagian yang cukup unik sekaligus ikonik dari Diamond Head: terowongan dan benteng militer. Jalur ini dulunya memang digunakan sebagai bagian dari sistem pertahanan pantai Amerika Serikat. Diamond Head sempat dijadikan pos pengintaian dan artileri sejak awal abad ke-20, dan peninggalannya masih bisa dilihat sampai sekarang.

Nah, di sinilah ada satu bagian sempit—mirip lorong bawah tanah—yang mengharuskan kita menunduk cukup rendah untuk melewati atapnya yang pendek. Kalau nggak hati-hati, kepala bisa kejedot. Aku pun ikut menunduk sambil jalan perlahan di lorong itu, yang ternyata adalah bagian dari Fire Control Station—bunker militer yang dulunya digunakan untuk memandu tembakan meriam dari pantai. Lorong ini remang-remang dan agak lembab, tapi memberikan nuansa sejarah yang kuat. 

Begitu keluar dari lorong sempit itu, tinggal sedikit lagi menuju puncak. Nafas sudah ngos-ngosan, kaki pegal, tapi semangat terus menyala. Puncak Diamond Head sudah menunggu—dan aku tahu pemandangan dari atas sana akan sepadan dengan semua usaha ini.

Akhirnya, setelah keluar dari lorong sempit yang gelap dan rendah itu, aku pun resmi tiba di puncak Diamond Head. Yeay! Rasa lega, puas, dan senang bercampur jadi satu. Meski napas masih ngos-ngosan dan kaus udah lepek kena keringat, tapi begitu sampai atas—semua rasa lelah itu langsung terbayar lunas.

Aku segera mengambil posisi di dekat pagar pembatas dan mulai foto-foto. Background-nya? Luar biasa. Dari puncak ini, kita bisa melihat pemandangan 360 derajat yang spektakuler. Ke arah selatan dan barat, terhampar Samudera Pasifik yang birunya benar-benar intens, nyaris seperti cat lukis. Di bawah sana, ombak kecil berderak pelan di garis pantai Waikiki yang melengkung seperti sabit putih panjang. Gedung-gedung tinggi Waikiki tampak kecil dari sini, seperti tumpukan LEGO yang disusun rapi. Kalau menoleh ke sisi lain, terlihat pula Gunung Koʻolau di kejauhan yang hijau dan berkabut tipis. Dan di sisi timur, dataran rendah Oʻahu membentang dengan perumahan dan pepohonan yang tampak damai.

Angin di puncak sejuk dan cukup kencang, bikin suasana makin sempurna. Orang-orang di sekitarku sibuk selfie, duduk-duduk mengaso, atau sekadar memandang ke kejauhan sambil senyum-senyum sendiri. Aku juga mengambil beberapa menit hanya untuk berdiri diam, menikmati momen. Rasanya kayak… "Aku benar-benar di sini. Di titik ini."

Nah, waktu aku sudah cukup puas keliling dan mengambil banyak foto, aku melihat sesuatu yang menarik di salah satu sudut: ada seseorang yang menjual sertifikat. Di atas mejanya tertulis “Official Diamond Head Certificate – $5”. Wah, ini lucu juga. Jadi kita bisa beli sertifikat yang menyatakan bahwa kita successfully hiked to the summit of Diamond Head. Sebuah suvenir sederhana, tapi bermakna. Aku pun tanpa ragu membeli satu lembar. Ditulis namaku di sana, lengkap dengan tanggal pendakian dan tanda tangan. Sebagai kenang-kenangan? Tentu. Tapi juga sebagai pengingat kecil bahwa impian masa lalu ini akhirnya benar-benar tercapai.

Setelah puas menikmati puncak, aku pun mulai turun melewati rute yang sama seperti saat naik. Kali ini jalannya terasa lebih cepat dan ringan—karena menurun dan karena hati juga lebih ringan. Aku tetap beberapa kali berhenti, terutama di titik-titik pemandangan yang tadi sempat kulewati saat naik. Kali ini lebih santai, bisa ambil foto tanpa terburu-buru. Angin pagi masih berhembus, dan sinar matahari sudah mulai hangat.

Dan akhirnya… sampailah aku kembali di bawah, di titik awal pendakian. Lelah, tapi bahagia. Yeyyy... Aku benar-benar menaklukkan puncak Diamond Head! Hehe.

Thank you myself for doing this! List Checked!


Part Selanjutnya : DISINI

0 comments:

Posting Komentar