Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.04.2025

[6] Balada Eropa : Petualangan Grand Circle Iceland !

Aku berpose di Gulfoss Waterfall. Ini bagian luar jaket sudah hampir seluruhnya basah karena hempasan kuat dari air terjun


"Oh, ini sepertinya mobil yang bakal kupakai tour hari ini," ujarku dalam hati.

Tapi ternyata bukan. Van itu hanya kendaraan jemputan. Setelah beberapa menit berkeliling menjemput peserta lainnya, kami berhenti di sebuah titik pertemuan, semacam meeting point, di mana sudah terparkir bis besar warna putih dengan tulisan “Bus Travel Iceland” di badannya.

Aku langsung turun dari van dan bergabung dengan rombongan lain yang juga sudah berdatangan. Begitu naik ke dalam bis, aku cepat-cepat mencari tempat duduk paling depan. Iya, paling depan sendiri di belakang serong sopir. Kenapa? Karena aku benar-benar excited. Ini hari pertamaku di Islandia, negara paling jauh dan asing yang pernah kukunjungi. Dan hari ini aku akan menjelajah jalur ikonik Grand Golden Circle, rute yang katanya menyimpan keindahan alam Islandia yang luar biasa. Aku ingin melihat semuanya dengan jelas, tanpa halangan kepala orang lain. Aku ingin jadi orang pertama yang melihat setiap tikungan jalan, setiap bukit, setiap air terjun. Dan tentu saja, biar gampang juga kalau mau motret.

Tak lama setelah semua peserta masuk, sopir dan pemandu wisata kami memberikan arahan singkat. Penjelasan tentang durasi perjalanan, destinasi yang akan dikunjungi, dan beberapa pengingat keselamatan.

Dan setelah itu, mesin bis dinyalakan. Perlahan kami mulai bergerak meninggalkan titik pertemuan itu, menyusuri jalanan aspal yang masih basah oleh gerimis pagi. Dan aku duduk di sana, mataku tajam menatap ke luar jendela, siap menyambut setiap keajaiban yang akan muncul di hadapanku.

Begitu kendaraan meluncur meninggalkan Reykjavik, jalanan mulai menurun dan membentang lurus ke arah timur. Di sisi kanan dan kiri jalan, lanskap bertransformasi dari perkotaan menjadi padang lava yang ditutupi lumut tebal kehijauan, seperti karpet alami yang menyelimuti batu-batu beku berusia ribuan tahun. Jalanan terbentang panjang ke depan, dibingkai oleh hamparan hijau dan ungu yang tak henti-henti membuat mataku terpukau. Deretan bunga lupina yang tumbuh liar di sisi kanan-kiri jalan seolah menyambut kami dengan anggun. Warnanya yang ungu terang menyatu indah dengan hijaunya ladang dan langit kelabu yang menggantung rendah. Meskipun cuaca agak mendung, justru kontras warna-warna inilah yang membuat semuanya tampak seperti lukisan hidup. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil kamera Sony Alpha 5000-ku dan mulai memotret—klik, klik, klik. Hampir tak ada jeda. Rasanya setiap detik di jalan ini layak untuk diabadikan.

Aku sangat bersyukur duduk di kursi paling depan dalam bus. Posisi strategis ini memberi pandangan luas ke jalan dan lanskap di hadapan kami. Tak ada kepala orang lain yang menghalangi, tak ada jendela kabur penuh goresan—hanya pemandangan Islandia yang liar dan murni. Dari balik kaca besar bus, aku menyaksikan lekukan-lekukan jalan yang melaju ke pegunungan, lalu menuruni lembah-lembah landai yang perlahan terbuka. Kamera di tanganku seakan hidup sendiri. Momen-momen ini terlalu indah untuk dibiarkan berlalu tanpa jejak visual.

Perlahan, vegetasi di sekitar mulai berubah. Padang rumput mulai menghilang, digantikan oleh bentang vulkanik yang kasar, berwarna hitam dan hijau tua. Tanahnya ditutupi lumut tebal yang terlihat empuk, meski sebenarnya keras dan tajam. Dari kejauhan, mulai terlihat kepulan asap putih mengepul dari balik bukit—aku tahu kami mulai memasuki kawasan geothermal. Itulah ladang panas bumi Hengill yang terkenal. Asap ini berasal dari celah-celah tanah yang menyemburkan uap panas alami, pertanda bahwa Islandia berada tepat di atas punggungan Mid-Atlantic Ridge, tempat dua lempeng tektonik terus bergerak menjauh. Pemandangan ini terasa seperti berada di dunia lain—mistis dan memikat.


Saat melewati area ini, jalanan membelah perbukitan vulkanik yang tampak seperti benteng raksasa. Perbukitan itu dihiasi alur-alur erosi yang membentuk garis-garis alami di dindingnya, membuatnya terlihat seolah dilukis oleh tangan alam. Kadang jalanan meliuk mengikuti kontur bukit, memberi pemandangan dramatis di setiap tikungan.




Kemudian jalan menurun tajam dan terbuka, memperlihatkan lembah hijau luas yang dihuni oleh pemukiman kecil. Itulah Hveragerði, kota mungil yang terkenal dengan energi geotermalnya. Pemandangan yang tadi terasa liar dan mentah kini berganti dengan ketenangan khas pedesaan Islandia. Rumah-rumah bertebaran rapi, dikelilingi ladang, pepohonan, dan sungai kecil yang mengalir pelan. 


Begitu bus berhenti dan pintu terbuka, udara dingin langsung menyambut wajahku. Kami sampai di sebuah rest area di kota kecil bernama Hveragerði. Deretan bangunan sederhana tampak di depan: toko roti, minimarket Bonus dengan logo babi pink khasnya, hingga Vinbudin, toko minuman beralkohol khas Islandia. Baru saja aku turun dari bus, tour guide kami—dengan suara lantang dan aksen khas—mengumumkan, 

“Oke semua, kita punya 30 menit free time di sini. Silakan ke toilet, beli sarapan, atau lihat-lihat pameran kecil di dalam. Jangan telat balik ya!”

Aku langsung menuju toilet dulu, sambil masih belum sepenuhnya percaya bahwa hanya dalam 30 menit perjalanan tadi, aku sudah disuguhi pemandangan luar biasa yang bikin melongo. Gila sih, Islandia ini belum apa-apa aja udah segininya.

Setelah urusan toilet selesai, aku masuk ke toko roti dan membeli roti hangat serta secangkir coklat panas. Sederhana, tapi rasanya luar biasa enak di udara sejuk seperti ini. Begitu tangan terasa hangat lagi, aku masuk ke dalam bangunan utama rest area yang ternyata punya pameran kecil tentang gempa bumi. Di atas pintu masuk tertulis besar: Skjálftinn 2008 Quake Exhibition.

Pameran itu menjelaskan peristiwa gempa besar yang mengguncang Hveragerði pada 29 Mei 2008. Aku membaca papan informasinya: gempa berkekuatan 6,3 skala Richter pada pukul 15.45, mengguncang daerah ini selama beberapa detik yang cukup membuat panik warga, merusak rumah, toko, dan menyebabkan tanah retak di beberapa titik. Beruntungnya, tidak ada korban jiwa meskipun kerusakan material cukup luas. Efek gempa ini terasa bahkan hingga ke Reykjavik.

Di bagian bawah poster, disertakan pula terjemahan dalam bahasa Inggris yang menjelaskan retakan besar di tanah dan kerusakan rumah warga, beberapa ternak di peternakan tewas akibat runtuhan, penduduk Hveragerði panik dan sebagian harus mengungsi, gempa ini mengingatkan semua orang bahwa Islandia adalah negara yang berdiri di atas dua lempeng aktif.

Lantas, lempeng apakah itu?

Pertanyaan itu dijawab oleh satu bagian lantai disitu yang cukup unik—ada semacam kaca memanjang yang membelah ruangan. Di bawah kaca itu, tampak sebuah celah tanah yang disimulasikan, lengkap dengan label “Europe” di satu sisi dan “North America” di sisi lainnya. Ternyata, ini adalah miniatur visualisasi dari rekahan antar lempeng tektonik yang menjadi salah satu keajaiban geologis utama di Islandia—pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Amerika Utara.

Di dinding lainnya tergantung peta besar Islandia yang sangat detail. Aku sempat berfoto di depannya sambil senyum lebar. Di sisi kirinya ada penjelasan tentang bagaimana kota Hveragerði berdiri di atas tanah yang aktif, dan bagaimana gempa bumi serta panas bumi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga di sini.

Mobil kami terus melaju meninggalkan rest area Hveragerði, dan dari balik jendela bus, pemandangan mulai berubah. Jalanan membentang panjang, mulus seperti digambar, dengan garis-garis putih yang mengarahkan pandangan ke cakrawala. Di kiri kanan, bukit-bukit hijau menjulang lembut, sebagian ditutupi batu-batu lava hitam yang menyembul di antara semak dan rerumputan.

Langit Islandia sore itu mendung tipis, tapi justru bikin nuansa semakin dramatis. Gradasi abu-abu di langit bertemu dengan hijau dan ungu di daratan—warna yang muncul dari hamparan bunga Lupina yang tumbuh liar di sepanjang jalan. Mereka seakan jadi pagar alami, mengiringi tiap tikungan dengan keanggunannya. Tapi ternyata, bunga cantik ini punya cerita unik. Namanya Lupina, dan meskipun terlihat alami, dia bukan penduduk asli Islandia. Asalnya dari Amerika Utara, dan dibawa ke sini buat membantu memperbaiki tanah yang rusak. Tapi siapa sangka, sekarang dia malah menyebar ke mana-mana.

Lupina bukan tanaman asli Islandia. Bunga ini berasal dari Amerika Utara dan pertama kali diperkenalkan ke Islandia pada 1945 oleh para ilmuwan yang mencoba mengatasi masalah erosi tanah dan membantu memperbaiki tanah tandus yang miskin unsur hara. Karena Islandia punya banyak area lava gersang dan tanah vulkanik yang sulit ditanami, lupina dianggap solusi yang cepat tumbuh dan bisa "mengikat nitrogen" ke tanah.

Dan benar saja, lupina tumbuh subur luar biasa—bahkan mungkin terlalu subur. Sekarang, tanaman ini berkembang liar hampir di seluruh penjuru Islandia, terutama saat musim semi dan awal musim panas (sekitar Mei hingga Juli). Pinggiran jalan, lembah, bukit, bahkan kawasan konservasi, semua bisa jadi lahan lupina. Meskipun awalnya dimaksudkan sebagai penolong, kini lupina justru dianggap invasif karena ia mendominasi ekosistem lokal, menutupi lumut-lumut khas Islandia dan mengganggu tumbuhan asli yang butuh waktu puluhan tahun untuk tumbuh serta karena pertumbuhannya cepat dan agresif, lupina mengubah lanskap alami menjadi hamparan ungu yang meskipun indah, tapi bukan "asli" Islandia.

Sesekali kami melewati hutan pinus kecil, lalu kembali ke lembah terbuka dengan latar pegunungan berundak. Kadang jalanannya naik sedikit, lalu menurun panjang, memberi sudut pandang yang semakin luas. Bukit-bukit di kejauhan terlihat seperti gulungan karpet hijau, halus dan tenang, namun di baliknya aku tahu: ini adalah negeri yang dibentuk oleh api dan es. Vulkanik, liar, tapi memikat.

Kalau bukan karena duduk di dalam bus tur, rasanya aku pengen turun, duduk sebentar di rerumputan, dan menghadap bukit sambil ngeteh hehehe..

Tiga puluh menit kemudian akhirnya aku tiba Kerið Crater. Begitu turun dari bus dan mulai berjalan menuju kawah, tanah di sekitarku mulai berubah warna—merah bata, nyaris seperti permukaan Mars. Aroma tanah vulkanik yang lembap dan udara dingin menyambut langkahku. Dan ketika akhirnya aku berdiri di tepi kawah, mulutku langsung ternganga. Wow.

Kerið adalah sebuah kawah vulkanik berumur sekitar 3.000 tahun, dengan kedalaman sekitar 55 meter dan diameter hampir 170 meter. Tapi yang bikin tempat ini benar-benar magis adalah danau berwarna biru kehijauan yang tenang di dasarnya. Kontras banget dengan dinding kawah yang merah kecokelatan dan tumbuhan hijau yang merambat di sisinya—warna-warna yang mencolok tapi justru harmonis.

Para ahli geologi percaya bahwa Kerið terbentuk ketika kerucut gunung vulkanik yang kosong di bawahnya runtuh ke dalam setelah magma keluar dari dalamnya. Ini dikenal sebagai kawah runtuhan (collapse crater), bukan kawah letusan. Jadi, Kerið dulunya adalah gunung berapi kecil yang aktif, dan ketika magma-nya surut, atapnya tak lagi kuat menopang—akhirnya ambrol, membentuk kawah seperti mangkuk raksasa ini. Kerið sekarang dipenuhi air yang membentuk danau kecil dengan warna biru kehijauan yang tenang. Air itu bukan dari mata air, melainkan air hujan dan salju yang tertampung secara alami. Kedalaman danau ini bervariasi tergantung musim, biasanya antara 7 hingga 14 meter.

Aku berjongkok di pinggir pagar kayu, mengambil foto dengan latar kawah yang luar biasa itu. Angin sempat berembus cukup kencang, tapi suasananya damai. Tak banyak suara selain percakapan pelan sesama turis yang ikut tur ini. Tempat ini terasa seperti lukisan geologi yang hidup, diciptakan oleh letusan ribuan tahun lalu, lalu diisi oleh air hujan secara alami selama bertahun-tahun.

Dan yang bikin senyum makin lebar: Kerið bukan hanya indah dilihat dari atas, tapi juga bisa dikelilingi atau bahkan dituruni ke bawah danau jika punya waktu lebih panjang. Tapi karena ini tur satu hari, aku hanya punya sekitar 30 menit di sini. Waktu yang terlalu singkat untuk tempat seindah ini.

Setelah meninggalkan Kerið, bus kembali meluncur membelah lanskap hijau Islandia menuju pemberhentian berikutnya: Faxi Waterfall. Tour guide kami berkata sambil tersenyum, “Oke teman-teman, ini bonus ya. Kita akan berhenti sebentar di Faxi selama 15 menit sebelum lanjut ke Gulfoss.” Bonus? Wah, rasanya seperti menang lotere kecil di tengah itinerary padat ini.

Faxi bukan air terjun besar dan menggelegar seperti Gullfoss. Sebaliknya, dia justru tenang, pendek, dan tampak bersahabat. Aliran airnya membentuk tirai putih memanjang yang jatuh perlahan ke sungai berkelok di bawahnya. Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuat tempat ini terasa sangat damai. Udara terasa lembap, semak liar tumbuh subur di pinggir sungai, dan suara gemericik air yang ritmis seperti meditasi alam.

Dari posisi tempatku berdiri, aku bisa melihat aliran sungai membelok tajam setelah air terjun. Lengkungannya terlihat seperti guratan kuas air di atas kanvas hijau. Indah dan tenang. Aku sempat bertanya-tanya juga, kenapa aliran sungainya bisa membentuk tikungan seindah itu. Entah karena kontur tanah, atau jejak lava purba yang membentuk jalurnya. Tapi yang jelas, itu pemandangan yang sulit dilupakan. Meski singkat, kunjungan ke Faxi ini benar-benar jadi semacam interlude tenang yang menyenangkan.

Setelah dari Faxi, bus kembali melaju, dan kali ini menuju salah satu ikon alam paling terkenal di Islandia: Gullfoss Waterfall.

Begitu bus berhenti dan aku melangkah keluar, udara langsung terasa jauh lebih dingin. Langit masih kelabu, angin kencang, dan aroma air segar langsung menyapa. Dari area parkir, aku mengikuti jalan setapak menurun menuju platform pandang. Deru air terjun sudah terdengar dari kejauhan, seperti suara gemuruh konstan yang menggetarkan tanah. Dan ketika aku akhirnya berdiri di depan Gullfoss—wah, tidak ada kata lain selain majestik.

Gullfoss bukan hanya satu air terjun, tapi dua tingkat sekaligus. Air dari sungai Hvítá jatuh pertama setinggi 11 meter, lalu langsung menghantam ke tingkat kedua yang lebih dalam, sekitar 21 meter, ke dalam celah ngarai yang sempit dan dalam. Dari posisi tertentu, aliran airnya terlihat seperti “menghilang” ke dalam bumi. Sangat dramatis. Dan volume airnya... gila sih, brutal. Setiap detik, puluhan ribu liter air menghantam batuan di bawah. Suaranya menggelegar dan membentuk kabut tebal yang terbawa angin ke segala arah.

Aku sempat berjalan mendekat ke jalur yang paling dekat dengan bibir tebing. Dan di situ, tanpa ampun, aku langsung disambut hempasan kabut air. Jaketku langsung basah. Rambut lepek. Bahkan kameraku sempat harus kulap berkali-kali supaya lensanya nggak penuh titik air. Tapi aku nggak menyerah—dengan tubuh gemetar karena dingin, aku tetap berusaha mengambil beberapa foto dari kamera Sony Alpha 5000-ku. Momen seperti ini nggak bisa dilewatkan begitu saja.

Saking kuatnya hembusan kabut air dari Gullfoss, aku bahkan merasa seperti sedang diguyur hujan gerimis tanpa henti. Tapi anehnya, semua orang tetap bertahan di sana. Termasuk aku. Karena keindahan dan kekuatan alam yang satu ini benar-benar membuat siapa pun terpaku. Gullfoss bukan cuma air terjun. Dia adalah pengingat bahwa alam bisa sangat cantik… dan sangat ganas, di saat bersamaan.

Setelah beberapa saat menggigil dan puas memotret, aku kembali ke atas dengan pipi yang memerah karena dingin dan jaket yang masih basah di bagian depan. Tapi rasanya puas banget. Gullfoss benar-benar layak disebut sebagai salah satu air terjun paling mengesankan di dunia. 

Setelah pengalaman penuh hempasan air di Gullfoss yang membuatku setengah kuyup, kami melanjutkan perjalanan menuju Geysir Geothermal Area—rumah bagi salah satu fenomena alam paling ikonik di Islandia: geysir yang menyembur dari dalam bumi.

Bus berhenti di area parkir yang luas, dan dari situ kami berjalan kaki menuju kompleks geotermal. Langit tetap mendung, angin makin menusuk, dan jaketku masih setengah basah akibat kabut Gullfoss tadi. Setiap hembusan angin terasa seperti pisau kecil yang menampar kulit. Serius, dinginnya udah nggak lucu lagi—aku sampai menggigit bibir sendiri sambil setengah jalan ngedumel dalam hati. Rasanya nyaris nangis karena dingin, dan sempat kepikiran buat balik ke dalam bus aja. Tapi aku tahan. Ini Geysir. Masa iya udah sampai sini nggak lihat atraksinya?

Lalu aku melihat kerumunan orang berkumpul di satu titik. Di situlah Strokkur, geysir aktif paling terkenal di Islandia, berada. Aku ikut berdiri di antara mereka, sambil menggigil dan mengusap kamera yang lensanya masih lembap. Tanah di sekitarku hangat dan mengepulkan uap—ironisnya, uapnya nggak cukup hangat buat menolong tubuhku yang nyaris beku.

Dan beberapa detik kemudian… BOOM!

Air panas menyembur dari perut bumi, melompat tinggi ke udara—mungkin sekitar 20 meter lebih! Semburannya begitu cepat, tinggi, dan kuat. Semua orang refleks berteriak, lalu langsung memotret. Aku sempat terkesiap—sungguh pemandangan yang luar biasa. Rasanya seperti melihat bumi sendiri sedang menunjukkan kekuatannya dengan gaya teatrikal. Air itu hanya muncul selama beberapa detik sebelum kembali tenang, lalu mulai membentuk gelembung-gelembung besar sebagai tanda bahwa siklusnya akan terulang.

Di sela-sela menunggu Strokkur kembali menyembur, aku berjalan sedikit ke arah sisi lain jalur. Di sana ada beberapa kolam geysir lainnya—berbeda dari Strokkur yang meledak-ledak, kolam-kolam ini justru tenang dan diam, tapi tak kalah menarik. Airnya berwarna biru kehijauan yang sangat jernih, dengan permukaan yang beruap pelan seperti cermin panas. Beberapa kolam bahkan tampak seperti mata air dari dunia fantasi—jernih, dalam, tapi kamu tahu bahwa itu bisa meledak sewaktu-waktu. Papan peringatan dipasang di sekitarnya: Do not touch the water. Extremely hot.

Strokkur ini menyembur hampir setiap 5–10 menit sekali. Jadi meskipun gagal memotret di percobaan pertama, aku bisa menunggu sebentar dan mencoba lagi. Tapi dinginnya makin menggila. Jaketku yang basah makin lengket di badan, dan angin terbuka di dataran ini benar-benar tanpa ampun. Aku menggigil sambil bersikeras tetap menunggu satu semburan lagi.

Dan ketika semburan kedua terjadi, aku berhasil menangkap momen itu dengan kameraku—tepat saat kolom air panas menjulang di antara kabut dan latar langit kelabu. Aku senyum kecil meskipun jari-jari tanganku udah nyaris beku. Rasanya seperti menang atas cuaca.

Setelah puas melihat pertunjukan bumi yang satu ini, aku langsung masuk ke restoran kecil di dekatnya untuk makan siang dan menghangatkan badan. Begitu masuk aku disambut oleh interiornya yang hangat dan cantik, dengan dekorasi modern yang unik, dan aroma makanan yang langsung menggoda begitu pintu dibuka. Sebenarnya, aku sudah membawa roti bekal dari penginapan dan semula berencana untuk menghemat. Tapi kondisi fisik berkata lain: tubuhku lelah, dua malam tidak tidur, dan dingin yang menusuk mulai terasa sampai ke tulang.

Akhirnya aku menyerah. Demi menyelamatkan mood yang nyaris ambruk, aku putuskan makan di restoran ini. Pilihanku jatuh pada satu piring besar berisi meatball khas Islandia, kentang rebus, dan tumisan sayuran dengan brown sauce yang melimpah. Rasanya... enak banget! Dagingnya lembut, sausnya gurih, dan setiap suapan terasa seperti pelukan hangat yang menyelamatkan mental. Harganya memang nggak murah—sekitar 250 ribu rupiah—tapi untuk kondisi saat itu, worth every krona.

Sambil menunggu makanan datang, aku sempat berjalan-jalan sebentar ke toko souvenir dan butik kecil di sebelah restoran. Beberapa jaket wol Islandia yang menggoda terpajang manis, dengan bahan yang terlihat super hangat. Aku pegang satu dan lihat harganya: 4 juta rupiah. Langsung mundur teratur sambil tertawa dalam hati—wkwk, cukup lihat aja lah ya. Di sudut ruangan, dua musisi memainkan biola dan keyboard, mengisi ruangan dengan musik klasik yang syahdu. Suasananya tenang, hangat, dan penuh turis yang juga sama-sama menenangkan diri sebelum melanjutkan petualangan berikutnya.

Setelah makan siang yang hangat di restoran area Geysir, aku memilih tetap diam di dalam ruangan. Jaketku yang lembab dan suhu yang menggigit membuatku enggan kembali ke luar. Dua hari tanpa tidur juga mulai menagih utangnya. Tapi tak lama kemudian, suara tour guide memanggil semua peserta, “Yuk kembali ke bus, kita lanjut ke tujuan terakhir: Þingvellir!”

Begitu tiba di Þingvellir (dilafalkan “Thingvellir”), kami langsung diminta turun dan berjalan kaki mengikuti jalur yang sudah disiapkan. Udara makin dingin, langit kelabu menggantung, dan kabut tipis menyelimuti tebing bebatuan. Tapi semua itu justru menambah kesan magis tempat ini. Guide kami menjelaskan panjang lebar soal keunikan geologi Þingvellir—dan aku benar-benar menyimak.

Þingvellir adalah salah satu tempat paling penting dalam sejarah dan geologi Islandia. Secara geologis, tempat ini adalah pertemuan antara dua lempeng tektonik besar: Lempeng Amerika Utara dan Lempeng Eurasia. Yang membuatnya istimewa, pergerakan kedua lempeng ini bisa dilihat secara langsung—dengan mata kepala sendiri! Bayangkan, setiap tahun kedua lempeng ini terus bergerak menjauh sekitar 2,5 cm. Dan retakan-retakan yang terbentuk akibat proses itu kini menjadi jalur-jalur dramatis yang membelah daratan—seperti koridor batu tempat kami berjalan ini.

Bahkan di satu titik, kami melewati jembatan yang membentang di antara dua lempeng benua itu. Aku berdiri di atasnya, membuka tangan lebar-lebar sambil berkata dalam hati: "Saat ini aku berdiri di antara dua benua!" Rasanya absurd dan luar biasa dalam waktu bersamaan.

Tak hanya geologis, Þingvellir juga punya makna sejarah besar. Di sinilah pada tahun 930, parlemen tertua di dunia—Althing—didirikan. Orang-orang dari seluruh penjuru Islandia datang ke sini untuk berdiskusi, mengatur hukum, dan menyelesaikan sengketa. Tempat ini adalah jantung lahirnya demokrasi Islandia.

Setelah penjelasan dari tour guide selesai, kami diberi waktu bebas untuk menjelajah. Aku memutuskan menyusuri jalur setapak hingga ke atas tebing. Pemandangannya benar-benar menyapu luas, dengan hamparan hijau di bawah, aliran sungai jernih, dan tebing batu menjulang di kedua sisi. Kamera Sony Alpha 5000-ku terus bekerja, tangan tak berhenti menekan tombol shutter—mengabadikan tiap sudut seolah takut kehilangan momen.

Akhirnya, sekitar pukul 5 sore, tour guide kami memanggil semua peserta untuk kembali ke bus. “Tour hari ini selesai, teman-teman. Saatnya kita pulang ke Reykjavík,” katanya. Hari itu benar-benar padat—penuh dengan keajaiban alam, embusan angin dingin, jalan kaki di celah benua, dan deretan pemandangan yang bikin mata dan hati nggak berhenti takjub. Capek? Banget. Dingin? Apalagi. Tapi rasa puasnya tuh ngalahin segalanya.

Perjalanan pulang ke Reykjavík memakan waktu sekitar 1,5 jam. Tapi jujur aja, aku sudah nggak terlalu fokus lagi menikmati pemandangan dari balik jendela. Badan rasanya udah mau tumbang, dan mata nyaris merem total. Begitu bus sampai di pusat kota dan aku kembali ke hostel, aku langsung lempeng masuk kamar dormku. Nggak pake ritual apa-apa, langsung ambruk di kasur. Dan detik berikutnya? Tertidur lelap. Bener-bener langsung blackout tanpa sempat buka HP, cek map, atau apapun. Hahaha.

Aku baru terbangun lagi sekitar jam 12 malam. Itu pun karena badan rasanya lengket, dan tiba-tiba ada dorongan kuat buat mandi. Akhirnya aku menyeret diri ke kamar mandi dan menyiramkan air panas ke seluruh tubuh. Rasanya surga banget. Meskipun di luar masih dingin menggigit, tapi mandi air panas malam-malam itu sukses bikin badan rileks dan kepala plong.

Selesai mandi, aku merasa cukup bersyukur. Setidaknya, aku akhirnya bisa tidur selama kurang lebih enam jam—sesuatu yang sangat berarti setelah dua hari nyaris tanpa tidur. Rasa kantukku masih cukup kuat, jadi aku mencoba kembali tidur lagi. Dalam hati, aku berharap bisa bangun esok pagi dengan tubuh yang lebih segar dan semangat baru untuk melanjutkan petualangan di negeri penuh keajaiban ini.

Golden Circle hari itu mungkin jadi salah satu highlight paling keren selama aku di Islandia. Bayangkan aja—dari kawah merah darah, air terjun yang menghantam dengan buas, geyser yang menyembur, hingga celah bumi tempat dua benua bertemu. Dan aku mengalami semuanya dalam sehari. Luar biasa.

0 comments:

Posting Komentar