Part Sebelumnya : DISINI
Selesai eksplor Diamond Head, aku melanjutkan perjalanan ke tempat yang sudah lama bikin aku penasaran yaitu Pearl Harbor. Siang itu cuaca begitu cerah. Langit biru bersih, awan tipis menggantung, dan deretan pohon kelapa menari lembut ditiup angin. Aku melangkah ringan menyusuri trotoar menuju gerbang utama kompleks bersejarah World War II Valor in the Pacific National Monument di Pearl Harbor, Hawai‘i. Tujuanku jelas—melihat langsung USS Arizona Memorial, kapal perang legendaris yang karam dalam tragedi penyerangan Jepang ke Hawai‘i tahun 1941.
Aku naik bus dari Halte Diamond Head. Rute busnya cukup panjang, sekitar 1 jam perjalanan, tapi pemandangannya menyenangkan. Bus melaju melewati kawasan pemukiman Honolulu, taman-taman kota, deretan toko-toko lokal, dan sesekali pantai muncul di kejauhan.
Aku tiba di Pearl Harbor sekitar jam 3.45 sore, aku langsung menuju loket tiket dan bertanya apakah masih bisa naik ke USS Arizona. Sayangnya, petugas bilang bahwa ferry terakhir ke memorial sudah selesai beroperasi tepat jam 3.30 ini. Sedikit kecewa, tapi petugas ramah itu langsung menyarankan,
“Tapi kamu masih bisa masuk ke USS Bowfin, kalau itu masih buka.”
"Oke, satu tiket," jawabku.
Nggak apa-apalah, kunjungan ke USS Arizona bisa kutunda nanti, yang penting kesini nggak sia-sia, masih bisa mengunjungi yang lain.
"20 Dollar," kata petugas sembari menyerahkan tiketku.
Langkah kakiku membawaku ke USS Bowfin Submarine Museum & Park. Dari luar, kapal selam tua ini tampak gagah mengambang tenang di atas perairan pelabuhan. USS Bowfin diluncurkan pada 7 Desember 1942, tepat satu tahun setelah serangan Jepang di Pearl Harbor, sehingga dijuluki "Pearl Harbor Avenger". Selama Perang Dunia II, kapal selam ini menjalani sembilan patroli tempur di Samudra Pasifik dan berhasil menenggelamkan lebih dari 30 kapal musuh, menjadikannya salah satu kapal selam paling sukses dalam armada Angkatan Laut AS. Setelah perang, Bowfin dinonaktifkan dan akhirnya dijadikan kapal museum pada tahun 1981.
Sebelum aku benar-benar masuk ke dalam kapal selam Bowfin, aku sempat berdiri di depan Lost Submarine Memorial. Tugu marmer ini tampak sederhana, tapi isinya... menyayat. Daftar panjang nama kapal selam dan tanggal ketika mereka menghilang, lengkap dengan jumlah nyawa yang ikut tenggelam ke dasar laut.
Ada satu kutipan yang langsung menusuk hati dari George Herbert (1651):
“He goes a great voyage that goes to the bottom of the sea.”Artinya secara harfiah: “Ia menempuh pelayaran besar yang membawanya ke dasar lautan.”—sebuah penghormatan puitis untuk para pelaut kapal selam yang tak pernah kembali ke permukaan.
Sebaris kalimat itu menggambarkan dengan puitis sekaligus tragis perjalanan terakhir para pelaut kapal selam yang gugur bukan dalam kemenangan, tapi dalam kesunyian laut dalam.
Yang membuatku merinding adalah, beberapa dari mereka hilang bukan karena serangan musuh, tapi karena kecelakaan teknis, tabrakan, atau kerusakan sistem tekanan. Dan lebih menyedihkan lagi, sebagian besar tubuh mereka tak pernah ditemukan. Mereka tetap di sana... menjadi bagian dari lautan seperti dalam kecelakaan USS Squalus (1939) yang fotonya terpampang di bagian atas tugu.
Beberapa kapal selam yang disebutkan:
-
USS F-4 (SS-23) – tenggelam di lepas pantai Honolulu, Hawaii, pada 25 Maret 1915. Kehilangan 21 awak.
-
USS Squalus (SS-192) – tenggelam pada 23 Mei 1939. 26 awak gugur, 33 diselamatkan (dengan Submarine Rescue Chamber yang kamu lihat di spot sebelumnya!).
-
USS Thresher (SSN-593) dan USS Scorpion (SSN-589) – keduanya adalah kapal nuklir yang hilang pascaperang. Kehilangan total 99 awak masing-masing.
Begitu melangkah ke atas dek USS Bowfin, aku seperti melompat mundur ke masa lalu. Papan kayu tua yang kukinjak terasa kokoh di bawah kaki, angin dari Pearl Harbor menyapu wajahku, dan pemandangan laut yang terbentang luas seolah menyambutku ke dunia yang pernah dipenuhi ketegangan dan misi rahasia.
Dari atas sini, aku bisa melihat jelas bentuk ramping kapal selam ini. Panjang dan sempit, dibangun untuk menyelinap diam-diam di bawah permukaan laut, membawa puluhan awak dan senjata mematikan menuju wilayah musuh. Di bagian tengah, aku melihat meriam dek—senjata tambahan yang digunakan saat kapal muncul ke permukaan untuk menyerang kapal kecil atau target darat.
Aku berdiri sebentar, memandangi horizon. Di kejauhan terlihat Jembatan Ford Island dan deretan daratan Oahu. Air laut berkilau diterpa sinar matahari, tapi di pikiranku tergambar bayangan perairan ini saat diselimuti asap dan ledakan—saat perang masih berkecamuk.
Beberapa orang lain juga sedang menjelajah dek ini. Kami semua diam dalam kesan masing-masing. Tak ada suara bising, hanya angin dan ombak. Rasanya seperti berada di atas hantu besi yang menyimpan ribuan cerita dalam diamnya.
Sebelum masuk ke dalam lambung kapal, aku menyempatkan naik ke bagian sail—struktur menara tegak di atas USS Bowfin. Di sinilah biasanya awak kapal berdiri ketika kapal muncul ke permukaan, dan dari sinilah komando navigasi juga bisa dikeluarkan dalam kondisi tertentu.
Tepat di depanku, berdiri dua tabung besar vertikal—itu adalah periskop. Alat legendaris yang selalu jadi ikon kapal selam. Satu digunakan untuk navigasi optik, dan satu lagi untuk serangan. Dari sinilah kapten mengintip permukaan laut, mencari target, atau memastikan lokasi kapal musuh sebelum meluncurkan torpedo.
Di dekatnya juga ada alat bidik optik dengan dua lensa besar. Rasanya seperti berada di film-film perang, hanya saja kali ini aku benar-benar di lokasi aslinya. Tangga-tangga besi yang melingkar, sambungan kabel, dan cat kelabu angkatan laut memberi nuansa "militer banget" yang kontras dengan birunya langit dan daun palem tropis di sekitarnya.
Aku membayangkan bagaimana awak kapal dulu naik ke sini dalam kondisi darurat, mungkin malam hari, dalam kesunyian, dengan satu tangan di periskop dan mata mengamati laut yang gelap gulita. Penuh ketegangan dan adrenalin.
Setelah puas menikmati pemandangan dari geladak dan memandangi laut lepas, aku pun memberanikan diri masuk ke bagian dalam USS Bowfin. Jalur masuknya sempit banget, seperti lorong besi kecil yang mengharuskan aku sedikit membungkuk dan hati-hati melangkah. Dari luar, kapal ini terlihat besar dan kokoh, tapi begitu masuk ke dalam, suasananya berubah drastis.
Begitu kaki menginjak ruang pertama, suasana langsung terasa padat. Di kiri-kanan penuh dengan panel instrumen, tuas, katup, dan pipa-pipa logam yang menempel di dinding. Semua tampak asli dan masih seperti dulu—menyisakan aroma logam tua dan sedikit bau oli yang entah kenapa justru terasa autentik. Rasanya seperti menyelinap ke dalam mesin waktu, bukan kapal selam.
Aku melewati ruang torpedo depan, di mana torpedo besar diletakkan siap luncur. Ruangannya sempit, tapi di sinilah para awak bekerja dengan presisi. Tepat di belakangnya, ada tempat tidur tingkat yang berjejer rapat di dinding—ya ampun, tempatnya kecil banget! Sulit dipercaya kalau para pelaut bisa tidur di sana, di antara torpedo dan alat berat. Tapi katanya, itulah “keseharian” mereka saat bertugas di lautan Pasifik.
Lanjut ke ruang kendali, aku melihat berbagai alat navigasi: kompas besar, radar manual, dan sederet tombol-tombol misterius yang bikin aku pengen nekan satu-satu (tapi tentu saja, nggak berani 😅). Ada juga kursi kapten, menghadap ke periskop yang mengarah ke atas. Dulu, dari titik inilah keputusan besar diambil—menyerang atau bertahan.
Di tengah perjalanan, aku harus beberapa kali merunduk dan melangkah melalui pintu bulat khas kapal selam. Setiap pindah ruangan, rasanya seperti naik level dalam game survival. Ruangan dapur kecil juga sempat kulihat, lengkap dengan kompor logam, rak piring mungil, dan bahkan menu harian tempel di dinding—dulu mereka masak di sini untuk lebih dari 70 kru!
Terakhir, aku melewati ruang mesin, tempat suara dentuman diesel dulunya bergemuruh. Mesinnya besar, berpelat logam, dan terhubung ke baling-baling kapal. Bahkan dalam kondisi mati, ruangan ini masih memancarkan aura bising yang seolah tersisa di udara.
Jujur, setelah keluar dari kapal, aku merasa lega bisa kembali menghirup udara bebas. Tapi juga penuh kekaguman. Bayangkan hidup selama berbulan-bulan dalam ruang sempit seperti itu, berhadapan dengan ancaman dari dalam laut dan musuh dari luar. Rasanya bukan hanya fisik, tapi juga mental yang harus baja.
Dan dari sini, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang sangat absurd.
Waktu aku SMA dulu, aku sempat punya mimpi konyol banget. Gara-garanya aku nonton film "Annapolis"—film tentang perjuangan pemuda yang berusaha bertahan dalam pendidikan militer US Navy. Filmnya intens, penuh adegan latihan fisik ekstrem, mental digembleng habis-habisan, dan yang paling bikin ngiler... seragam putih bersih ala taruna angkatan laut itu. Entah kenapa, aku merasa keren banget bayangin diriku pakai seragam itu, berdiri tegap di atas kapal perang, diterpa angin laut.
Sebelum meninggalkan kapal, aku sempat berdiri di bagian paling belakang dek USS Bowfin. Langit Hawaii bersinar terang, laut memantulkan cahaya matahari, dan bendera Amerika berkibar pelan di angin sore. Aku berdiri di sana cukup lama, diam, menghadap horizon. Dari atas sini, pemandangan Samudra Pasifik membentang luas, biru tanpa batas. Di titik ini, semua yang kulihat dan kupelajari seolah menyatu. Tentang keberanian. Tentang sempitnya ruang hidup di kapal selam. Tentang mesin, torpedo, dan periskop. Tapi juga tentang manusia—mereka yang pernah berdiri di tempat ini, dengan seragam lusuh dan tekad baja, menghadapi kemungkinan tak kembali.
Dan aku yang dulu pernah punya mimpi aneh jadi anggota US Navy, berdiri di tempat ini sebagai seorang wisatawan biasa. Tanpa beban misi. Tanpa bom laut. Tapi tetap dengan rasa kagum yang luar biasa besar.
USS Bowfin bukan cuma kapal selam tua. Ia adalah ruang waktu, tempat kita bisa masuk dan belajar, membayangkan, merenungi, lalu keluar dengan kepala dan hati yang berbeda.
Turun dari kapal, aku menuju Harpoon Missile Display yang ternyata penuh artefak dan teknologi maritim bersejarah dari era Perang Dunia II. Di tepi taman yang menghadap langsung ke perairan Pearl Harbor, aku menemukan satu objek yang bentuknya panjang, ramping, dan auranya cukup mengintimidasi: torpedo.
TORPEDO
Ya, inilah senjata utama kapal selam—senjata yang meluncur diam-diam di bawah permukaan laut, lalu meledak begitu mengenai target. Yang kupandangi ini kemungkinan besar adalah jenis Mark 14 Torpedo, torpedo standar yang dipakai kapal selam Amerika selama Perang Dunia II, termasuk Bowfin.
Torpedo ini panjangnya hampir 6 meter, beratnya lebih dari 1,5 ton, dan membawa hulu ledak yang bisa menghancurkan kapal perang dalam sekali tembak. Ia digerakkan oleh mesin torpedonya sendiri, bisa diatur arah dan kedalamannya sebelum dilepaskan melalui tabung peluncur dari dalam kapal.
Melihat torpedo ini dari dekat rasanya beda banget dibanding nonton film perang. Ini bukan cuma potongan logam raksasa—ini adalah alat pembunuh yang menentukan hidup dan mati. Dan yang bikin ngeri, torpedo seperti ini dulu diluncurkan dalam keheningan, tanpa suara, dari kedalaman laut… lalu boom.
Aku berdiri cukup lama di sini, menghadap torpedo, lalu memalingkan pandang ke arah Bowfin yang sedang berlabuh tak jauh dari situ. Dulu, torpedo-torpedo seperti ini ada di dalam lambungnya, siap diluncurkan ke kapal musuh.
RUDAL HARPOON
Berjalan lagi, mataku tertumbuk pada sesuatu yang tampak jauh lebih modern—rudal Harpoon. Ditempatkan tegak lurus di dekat pagar pembatas museum, rudal berwarna putih ini berdiri gagah menghadap ke langit, seolah siap meluncur kapan saja.
Berbeda dengan torpedo yang diam-diam menyelinap di bawah laut, Harpoon Missile adalah senjata sergap dari udara atau permukaan. Rudal ini bisa ditembakkan dari kapal perang, pesawat tempur, bahkan kapal selam versi modern. Ia punya sistem pemandu canggih yang bisa mengunci target kapal musuh dari jarak puluhan mil laut, lalu menghancurkannya dengan presisi tinggi.
Menurut papan informasi di bawahnya, Harpoon adalah bagian dari revolusi teknologi senjata laut pasca-Perang Dunia II—tanda bahwa perang laut telah berubah. Kini tak perlu lagi mendekat diam-diam seperti Bowfin dulu. Serangan bisa dilakukan dari jauh, cepat, dan mematikan.
BALING-BALING KAPAL USS BOWFIN
Di bawah pohon kamboja yang sedang berbunga, aku menemukan baling-baling besar dari kapal selam—salah satu komponen vital yang sering terlupakan.
Empat bilah besar dari logam kokoh itu berdiri diam, padahal dulu merekalah yang mendorong tubuh besar kapal selam seperti USS Bowfin menyelinap senyap di kedalaman laut. Di belakangnya, tampak kepala torpedo mengintip dari sela-sela pepohonan. Rasanya seperti semua bagian kapal selam—baik yang mencolok maupun yang tersembunyi—diberi tempat untuk bercerita di sini.
Taman ini seperti tempat istirahat terakhir bagi bagian-bagian mesin perang yang sudah pensiun. Tapi suasananya jauh dari menyeramkan. Justru damai dan teduh. Bunga-bunga jatuh di rumput, burung berkicau, dan turis sesekali melangkah pelan sambil membaca plakat sejarah.
Aku duduk sebentar di bangku taman. Menatap baling-baling itu. Bayangkan kalau dia bisa bicara—mungkin akan bercerita tentang keheningan laut dalam, tentang malam-malam gelap saat menyelinap di bawah kapal musuh, atau tentang rasa lega saat akhirnya kembali ke pelabuhan.
MERIAM ANTI PESAWAT KEMBAR
Di bagian lain taman USS Bowfin, dikelilingi pohon kelapa dan hijau rumput tropis, aku menemukan satu lagi peninggalan perang yang masih gagah berdiri: meriam anti-pesawat kembar.
Dua laras panjang berdampingan, siap membidik ke langit—menyambut ancaman pesawat musuh yang datang menyambar cepat dari atas laut. Ini kemungkinan adalah 40mm Bofors twin gun, salah satu senjata pertahanan udara paling legendaris dari era Perang Dunia II.
Setiap larasnya mampu menembakkan ratusan peluru dalam semenit. Saat kapal diserang dari udara, awak meriam ini harus bergerak cepat—memutar, membidik, dan menembak sebelum bom jatuh atau torpedo dilepaskan. Posisi mereka selalu terbuka di geladak, tanpa perlindungan. Risiko tinggi, tekanan besar.
Tapi hari ini, senjata ini hanya berdiri diam. Terpajang di bawah pohon palem, dengan sinar matahari Hawaii menyinari baja tuanya. Tak ada peluru, tak ada ledakan, hanya kenangan akan pertempuran yang pernah terjadi jauh dari tempat kita berdiri sekarang.
Aku duduk sejenak di dekatnya. Membayangkan suara dentuman, pekikan perintah, dan ketegangan yang pernah ada di balik ketenangan taman ini.
KAITEN
Aku berhenti cukup lama di depan satu benda besar berwarna hitam. Sekilas bentuknya mirip torpedo biasa, tapi papan informasi di sampingnya bikin aku tercengang.
Ternyata ini adalah Kaiten, torpedo bunuh diri buatan Jepang yang digunakan pada masa Perang Dunia II. Namanya sendiri berarti "perubahan arah secara radikal". Jepang menciptakan senjata ini dengan harapan bisa membalikkan keadaan perang di Samudra Pasifik tahun 1944. Tapi kenyataannya... senjata ini justru menjadi salah satu simbol paling tragis dari keputusasaan perang.
Kaiten itu bukan sekadar torpedo otomatis. Ada manusia di dalamnya. Seorang pilot masuk ke kokpit sempit, lengkap dengan periskop dan kontrol manual, lalu mengarahkan torpedo ini ke kapal musuh. Misinya? Menabrakkan diri dan meledakkan kapal lawan bersama tubuhnya sendiri.
Aku membaca detilnya pelan-pelan. Mesin bertenaga 550 HP, hulu ledak 3.000 pon, kecepatan 75 kaki per detik—semua terdengar begitu teknis, tapi yang menggetarkan hati justru satu kalimat di bawah:
“Dari 96 pilot Kaiten, semuanya tewas. 16 bahkan gugur hanya dalam latihan.”
Gila.
Satu-satunya kapal Angkatan Laut AS yang pernah tenggelam karena Kaiten adalah USS Mississinewa, dihantam oleh Sekio Nishina. Yang bikin makin sedih, Nishina membawa abu temannya sendiri yang tewas dalam latihan Kaiten. Rasanya seperti dia sudah tahu akan mati, dan membawa serta sahabatnya yang lebih dulu gugur.
Aku berdiri cukup lama di depan torpedo itu. Diam. Membayangkan seorang anak muda duduk sendirian di dalam silinder sempit itu, menyetir menuju kematian yang sudah pasti.
40 MM QUAD GUN ASSEMBLY
Di halaman luar USS Bowfin Submarine Museum & Park, langkah kakiku terhenti di depan benda besar berwarna abu-abu kebiruan. Awalnya aku kira cuma replika senjata biasa, tapi ternyata ini adalah 40MM Quad Gun Assembly—sebuah meriam berat berkekuatan empat laras yang digunakan untuk menembak pesawat musuh di udara.
Aku dekati pelan-pelan, baca keterangan yang terpasang di sampingnya. Ternyata masing-masing larasnya bisa menembakkan 120 peluru per menit, dengan proyektil seberat 2 pon. Jarak tembaknya luar biasa: bisa menjangkau 33.000 kaki secara horizontal, dan 22.800 kaki ke atas. Kebayang nggak, itu bisa sampai setara 7 kilometer lebih ke langit!
Senjata ini dulunya dipasang di kapal-kapal perusak dan berbagai jenis kapal perang lainnya. Untuk kapal selam seperti USS Bowfin, biasanya dipakai versi tunggalnya saja, sebagai pertahanan terakhir kalau-kalau musuh datang dari udara atau permukaan laut.
Melihat langsung bentuk aslinya, lengkap dengan kursi operatornya, membuatku merenung sejenak. Betapa kerasnya kehidupan para awak kapal perang saat itu. Mereka bukan hanya hidup dalam ruang sempit dan gelap, tapi juga selalu siaga menghadapi serangan dari mana pun, kapan pun.
Dan sekarang, senjata ini berdiri diam di taman yang damai, dikelilingi pohon kelapa dan angin laut dari Pearl Harbor. Diam tapi penuh cerita.
3"/50 GUN
Di bagian lain taman USS Bowfin, aku menemukan satu lagi peninggalan perang yang bikin kagum sekaligus ngeri: sebuah 3"/50 Gun, alias meriam 3 inci 50 kaliber. Dari bentuknya yang tegap, dengan laras panjang dan dudukan yang bisa diputar, aku langsung tahu—ini bukan senjata sembarangan. Ia adalah andalan kapal-kapal perang Angkatan Laut AS, khususnya selama era Perang Dunia II dan masa sesudahnya.
Secara teknis, kaliber "3 inci" berarti diameter laras senjata ini sekitar 76 mm. Sedangkan angka "50 kaliber" menunjukkan bahwa panjang larasnya adalah 50 kali diameter laras, yaitu sekitar 150 inci atau 3,8 meter. Meriam ini termasuk senjata serbaguna, bisa digunakan untuk menyerang pesawat musuh, kapal permukaan, bahkan target darat jika diperlukan.
Meriam ini lazimnya dipasang di kapal perusak, kapal pengawal konvoi, bahkan beberapa kapal selam sebagai bagian dari sistem pertahanan mandiri mereka. Dengan daya tembak yang cepat dan fleksibel, senjata ini bisa beroperasi dalam berbagai situasi tempur laut—baik saat menghadapi serangan dari atas maupun bertahan dari kapal musuh di permukaan.
Aku mendekat, mengamati detail tuas dan sistem pengoperasiannya. Terlihat sederhana, tapi penuh presisi. Bisa kubayangkan seorang awak kapal dulu berdiri di posisi itu—memutar laras, membidik pesawat Jepang yang menyambar di langit Pasifik, lalu melepaskan tembakan cepat yang menggetarkan seluruh geladak.
Yang menarik, di samping meriam ini juga ada rudal bersayap putih—seolah jadi representasi perkembangan zaman. Dari senjata semi-manual seperti meriam ini, dunia militer kemudian beralih ke rudal kendali canggih, seperti Harpoon dan Tomahawk. Perubahan teknologi yang begitu drastis, tapi tetap mengarah ke satu tujuan yang sama: menghancurkan musuh sebelum dihancurkan.
SUBMARINE RESCUE CHAMBER
Di antara koleksi tak biasa yang ada di taman USS Bowfin Museum, aku menemukan benda besar berbentuk silinder dengan atap oranye mencolok. Bentuknya aneh, kayak kapsul luar angkasa yang mendarat darurat di Pearl Harbor. Tapi tulisan di depannya menjelaskan bahwa ini adalah Submarine Rescue Chamber alias kapsul penyelamat awak kapal selam.
Kapsul ini berasal dari USS Florikan (ASR-9), sebuah kapal penyelamat milik Angkatan Laut AS. Fungsi utamanya? Untuk menyelamatkan para awak kapal selam yang terjebak di dasar laut. Dalam kondisi darurat, kapsul ini akan diturunkan dari kapal penyelamat, disambungkan ke pintu darurat kapal selam yang karam, lalu satu per satu para awaknya dibawa ke permukaan dengan aman.
Kapsul ini bukan cuma sekadar pajangan. Ia pernah benar-benar digunakan—tercatat pada tahun 1939, saat kapal selam USS Squalus tenggelam, 33 orang berhasil diselamatkan menggunakan rescue chamber seperti ini. Bayangkan paniknya suasana saat itu: di dalam gelapnya dasar laut, oksigen menipis, dan harapan satu-satunya datang dari sebuah kapsul besi kecil.
Berdiri di depan kapsul ini, aku kembali diingatkan betapa beratnya hidup sebagai awak kapal selam. Mereka hidup dalam ruang sempit, gelap, jauh dari cahaya matahari—dan kalau terjadi sesuatu, tak banyak pilihan selain menunggu bantuan dari atas. Dan kapsul inilah, kadang jadi perbedaan antara hidup dan mati.
Saat akhirnya aku melangkah keluar dari area USS Bowfin Submarine Museum & Park, mataku terangkat ke deretan tiang bendera yang menjulang tinggi. Bendera Amerika berkibar gagah, dikelilingi oleh bendera dari berbagai cabang militer dan negara bagian. Langit Hawaii begitu biru hari itu, awan menggumpal di balik tiang-tiang baja, dan angin laut yang sejak tadi menemani kini seakan berbisik pelan.
Kupandangi lagi bendera itu. Dulu aku cuma tahu bendera ini dari film dan buku pelajaran. Tapi hari ini, aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia tak lagi hanya simbol negara. Tapi juga simbol dari semua cerita, nyawa, dan pilihan besar yang pernah terjadi di kapal-kapal seperti Bowfin.
Bergeser ke Pantai Kahua...
Dari Pearl Harbor, aku kembali ke Waikiki menjelang malam. Tujuanku malam ini adalah menonton pertunjukan tari Hula gratis yang katanya sering digelar di Kuhio Beach Hula Mound. Lokasinya persis di tepi pantai, nggak jauh dari patung Duke Kahanamoku yang semalam aku kunjungi.
Tapi aku datang agak terlambat. Begitu sampai, wow... kerumunan sudah menutupi hampir semua sisi depan panggung. Orang-orang berdiri, duduk di kursi lipat, bersila di atas pasir, bahkan ada yang berdiri di akar pohon hanya demi melihat panggung lebih jelas. Aku pun hanya bisa menyelinap dari sisi samping, mencari celah antara tubuh-tubuh penonton yang antusias.
Panggungnya tidak besar, tapi atmosfernya luar biasa. Didirikan tepat di bawah pohon banyan raksasa yang akar-akarnya menjuntai anggun ke tanah. Lampu sorot putih lembut menyorot ke arah para pengisi acara, sementara obor-obor tinggi menyala di kedua sisi, menambah nuansa eksotis malam itu. Cahaya api menari di udara, seolah jadi bagian dari tarian itu sendiri.
Acara dimulai dengan alunan ukulele dan double bass yang dimainkan live. Lagu-lagu tradisional Hawai‘i mengalun dengan suara vokal yang merdu dan syahdu. Kemudian muncul para penari Hula. Ada yang mengenakan kostum rumput hijau, ada pula yang berbaju merah muda cerah, dengan lei bunga melati menghiasi leher dan rambut mereka. Gerakan mereka lambat tapi penuh makna. Setiap ayunan tangan, lenggokan pinggang, dan tapak kaki seakan bercerita—tentang angin laut, tentang cinta, tentang gunung dan hutan, tentang para leluhur.
Tarian demi tarian berganti. Ada sesi solo, lalu duet, dan ada juga tarian berkelompok. Salah satu bagian yang paling memikat adalah saat dua penari perempuan menari sambil memegang ipu heke, semacam gendang dari labu kering yang mereka pukul-pukul ke lantai untuk menciptakan ritme. Suaranya ritmis dan menghentak, memberi semangat dan nuansa ritual yang kuat.
Di tengah pertunjukan, pembawa acara menjelaskan makna tiap lagu dan tarian—dalam bahasa Inggris, tentu saja—dan bagaimana setiap gerakan menggambarkan elemen alam Hawai‘i. Ternyata tari Hula bukan sekadar hiburan, tapi juga bentuk pelestarian cerita, sejarah, dan filosofi kehidupan masyarakat asli Hawai‘i.
Penonton pun beragam. Ada turis dari berbagai negara, warga lokal, anak-anak, hingga lansia. Beberapa bahkan ikut menari kecil mengikuti irama. Meski aku harus berdiri hampir selama satu jam penuh karena kehabisan tempat duduk, aku nggak menyesal sama sekali. Justru momen ini jadi salah satu highlight dari kunjunganku di Honolulu.
Setelah pertunjukan berakhir, banyak penonton tetap tinggal sejenak. Ada yang antre foto bareng penari, ada juga yang sekadar duduk menikmati hembusan angin malam. Aku berjalan ke arah pantai, menatap garis cahaya lampu hotel-hotel yang memantul di laut Waikiki. Ombak berirama pelan, dan suasana terasa begitu damai.
Setelah pertunjukan tari hula selesai, aku memutuskan untuk nggak langsung pulang. Masih ingin menikmati malam di Waikiki. Suasananya terlalu menyenangkan untuk dilewatkan begitu saja. Jadi aku melangkah pelan menyusuri area di sekitar pantai Waikiki sambil menikmati udara malam dan suasana yang khas kota pesisir tropis.
Langit malam begitu gelap, tapi kota ini tetap terang benderang. Dari pantai, aku bisa melihat kerlap-kerlip cahaya dari hotel-hotel tinggi yang berjajar rapat di tepi laut. Beberapa hotel tampak mewah dengan balkon-balkon kecil menyala, mungkin para tamunya sedang menikmati malam dari atas sana. Sementara di sisi pantai, air laut tampak berkilau memantulkan lampu-lampu kota. Pantainya sendiri cukup sepi malam itu, hanya terdengar deburan ombak halus dan sesekali orang lalu lalang.
Aku sempat berhenti di sebuah penanda sejarah yang berbentuk seperti papan selancar. Ternyata itu bagian dari Waikiki Historic Trail. Tulisannya menjelaskan tentang sejarah nama Waikiki yang berarti “air memancar” karena dulu daerah ini berupa rawa-rawa yang dialiri banyak sungai kecil. Ada cerita menarik juga tentang asal usul nama tempat-tempat di Waikiki dan bagaimana tempat ini dulunya menjadi arena surfing para raja. Bahkan disebutkan Duke Kahanamoku pernah menunggangi ombak setinggi 35 kaki dan meluncur sejauh lebih dari satu mil!
Setelah itu, aku menyebrang ke seberang jalan dan melihat bangunan-bangunan komersial yang masih buka. Starbucks di sudut jalan itu ramai, kelihatan dari jendela kaca—ada banyak orang duduk santai menikmati kopi. Aku cuma lewat, menikmati suasana malam dan lampu-lampu kota yang hangat. Rasanya damai sekali berjalan kaki di tengah malam seperti ini, di tempat yang asing tapi menyenangkan.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika kakiku mulai berasa lelah. Well, bagaimana tidak? Hari ini aku sudah membawanya muncak Diamond Head, keliling USS Bowfin dan museum di sekitarnya, berdiri nonton tari hula, masih jalan kaki lagi eksplore Pantai Waikiki. Wow... sudah mulai protes dia! hehehe...
Menanggapi protes tubuhku, aku akhirnya melangkahkan kaki kembali ke hostelku, Waikiki Beachside Hostel. Begitu sampai aku langsung mandi air panas, dan setelahnya merebahkan badan di kasurku, di dorm bagian atas.
Tidak menunggu lama mataku semakin berat dan aku tertidur.
Terimakasih diriku untuk hari ini, terimakasih Hawai'i.. See u tomorrow....
Part Selanjutnya : DISINI
0 comments:
Posting Komentar