Kemarin, sesorean sampai tengah malam aku benar-benar tumbang. Setelah seharian mengikuti day trip Grand Circle Tour—dari Keris sampai Thingvelir—tubuhku seperti “pingsan” begitu nyentuh kasur. Pas terbangun, ternyata aku sudah tidur selama 8 jam penuh! Hehehe syukurlahh... tidur balas dendam.
Aku terbangun karena merasa lapar dan tubuhku lengket. Begitu bangun, aku langsung menyeret diri ke kamar mandi dan menikmati siraman air panas ke tubuhku. Rasanya... nikmat. Badan yang pegal langsung agak enteng. Setelah itu aku ngecek isi tas dan nemu beberapa cemilan sisa, ya udah langsung santap sambil leyeh-leyeh di tempat tidur.
Tapi ya itu, meski badan udah lumayan rileks, otakku masih beroperasi pakai “jam Indo”. Di sana udah jam 7 pagi, dan biasanya jam segitu aku udah standby di kantor buat kerja. Akhirnya, walau udah coba merem lagi, tetap aja nggak bisa tidur. Guling kanan kiri, gelundung-gelundung, dan jam 5 pagi waktu Islandia aku pun menyerah. Gpp-lah, yang penting udah tidur 8 jam, cuma jam-nya aja yang kacau hehehe.
Aku bangkit, jalan ke dapur penginapan yang masih gelap dan sepi, lalu nyiapin sarapan darurat ala anak kos. Dengan rice cooker mini andalan, aku masak Indomie goreng. Lengkap dengan segelas coklat panas. Ah, nikmatnyaa..
Hari ini kegiatanku adalah kembali ikut day trip, dimana tujuannya jauh lebih timur: Jokulsarlon. Salah satu tempat impian yang dari dulu cuma bisa aku lihat lewat foto-foto National Geographic—sebuah danau gletser di selatan Islandia yang dipenuhi gunung es terapung.
Lokasinya memang cukup jauh dari Reykjavik, sekitar 380 kilometer ke arah timur, atau setara 5–6 jam perjalanan darat sekali jalan. Itu pun belum termasuk berhenti-berhenti buat sightseeing. Jadi ya bisa dibilang ini salah satu day trip terpanjang yang ditawarkan dari ibukota. Tapi ya worth it lah, untuk melihat langsung gletser yang seolah meluncur perlahan ke laut, membentuk laguna besar yang cantik banget.
Sebenarnya aku sempat kepikiran buat bawa bekal makanan sendiri. Mengingat harga makanan di Islandia itu... ya ampun, bisa bikin dompet megap-megap. Tapi setelah kupikir-pikir, biasanya tour semacam ini pasti mampir ke restoran untuk makan siang bareng. Masa iya aku ngeluarin tupperware dan makan sendiri di pojokan? Rasanya nggak enak, takut dibilang “beda sendiri” atau ngerepotin. Akhirnya niat bawa bekel aku urungkan.
Ya sudah, biarlah jebol sedikit demi menjaga sopan santun—lagian, siapa tahu makan siangnya di tempat yang punya view kece, bisa sekalian jadi pengalaman baru juga.
Sibuk menyiapkan sarapan dan menikmati kehangatan Indomie serta coklat panas, aku sampai lupa waktu. Saat melirik jam, ternyata sudah hampir pukul 06.30 pagi—waktu penjemputan. Dengan cepat aku memastikan semua barang penting sudah masuk ke day pack: dompet, paspor, kamera, charger, powerbank dan tentu saja... snack dan sebotol air. Aku nggak mau ambil risiko kelaparan di tengah perjalanan panjang nanti.
Begitu keluar penginapan, untungnya aku nggak perlu menunggu lama. Mobil jemputan dari tour sudah datang. Sama seperti hari sebelumnya, kami hanya berkendara sebentar sebelum diturunkan di titik temu—tempat bus besar sudah menunggu.
Di bus, aku kembali memilih duduk di kursi paling depan. Tujuannya masih sama seperti kemarin: supaya bisa puas memotret pemandangan sepanjang jalan tanpa terhalang kepala siapa pun. Kamera sudah standby, baterai penuh, dan aku sudah siap menikmati lagi perjalanan lintas lanskap yang selalu berubah-ubah.
Sambil menunggu bus berangkat, aku iseng membuka-buka video berbahasa Indonesia di ponselku—mungkin semacam hiburan kecil sebelum bus benar-benar melaju. Tapi belum lama aku asyik sendiri, tiba-tiba seseorang mencolek dari belakang.
“Dari Indonesia ya?” tanya suara perempuan dengan logat yang familiar.
“Eh, iya Bu,” jawabku sambil menoleh dan tersenyum sopan.
Tujuan pertama kami hari ini adalah Skógafoss. Bahkan sebelum sampai ke air terjunnya, aku sudah dibuat terpana oleh pemandangan di sekitarnya. Jalan menuju lokasi dipagari oleh perbukitan hijau yang tinggi menjulang, seolah memeluk kami yang datang dari kejauhan. Rumputnya hijau terang, segar seperti baru dicuci hujan semalaman. Udara di sini juga berbeda—lebih bersih, lebih dingin, dan entah kenapa bikin paru-paru serasa dimanjakan.
Cuaca hari ini juga sangat mendukung. Langit cerah, tidak mendung seperti kemarin. Sinar matahari tipis menyelinap lewat sela-sela awan, membuat lanskap terlihat makin dramatis tapi hangat di saat bersamaan.
Begitu turun dari bus dan mulai berjalan ke arah air terjun, gemuruh air mulai terdengar. Dan saat akhirnya Skógafoss tampak di depan mata... wow. Rasanya kayak berdiri di depan lukisan hidup.
Air terjunnya tinggi dan sangat lebar, airnya jatuh lurus dari tebing yang terpotong rapi—deras, jernih, dan penuh tenaga. Kabut halus dari cipratan air menyapu wajahku lembut, dan sedikit demi sedikit bajuku mulai lembab. Tapi anehnya, aku justru merasa nyaman.
Kami hanya diberi waktu 30 menit di sini. Rasanya kurang, apalagi buatku yang sempat kepikiran naik ke bagian atas air terjun lewat tangga panjang di sisi tebing. Tapi ya sudahlah, waktu terbatas, jadi aku memilih menikmati momen dari bawah saja—menghirup udara basah yang segar dan merekam semuanya baik-baik di kepala.
Kali ini aku nggak sendiri. Ada Bu Padma, ibu dosen dari Pontianak yang tadi baru kukenal di dalam bus. Kami akhirnya jalan bareng ke arah air terjun, saling bantu motret, dan bahkan—wkwk—aku sempat pinjam kupluk kepalanya karena angin di sana benar-benar kencang dan dingin menusuk telinga. “Biar kamu nggak masuk angin,” kata beliau sambil ketawa kecil. Rasanya seperti ditemani ibu sendiri.
Aku berdiri cukup dekat, di atas batuan hitam basah yang tersebar seperti hamparan kerikil raksasa. Di balikku, beberapa turis tampak sibuk foto-foto, tapi aku lebih memilih diam sebentar, mengamati setiap detil: gradasi hijau lumut di dinding tebing, burung-burung kecil yang beterbangan di sekitar air, dan suara air terjun yang bergemuruh tapi sekaligus menenangkan.
Aku sempat membuka tangan lebar-lebar, menyerap semuanya ke dalam tubuh. Dan dalam hati, aku cuma bisa bilang: “Terima kasih, semesta. Aku benar-benar ada di Islandia.”
Sebelum sampai di Jokulsarlon, kami sempat berhenti dulu untuk makan siang di sebuah restoran yang letaknya cukup terpencil, tapi cozy. Setelah duduk cukup lama di bus, tempat ini jadi oase kecil buat mengisi tenaga.
Menunya cukup menggoda—nasi, sayur, dan daging yang tampilannya lumayan meyakinkan. Dan entah kenapa, hari itu aku merasa ingin sedikit “berbeda”. Mungkin efek dari pemandangan gila yang baru saja kami lewati, atau mungkin karena dingin yang menusuk tulang, aku pun... memesan sebotol bir dingin.
Iya, bir. Padahal biasanya aku nggak pernah minum bir. Tapi rasanya kayak momen yang pas untuk sok-sokan bergaya. Duduk di Islandia, habis lihat air terjun, makan nasi dan minum bir—kenapa enggak?
Totalnya? 550 ribu rupiah sekali makan. Huhuhu. Rasanya campur aduk antara kenyang, hangat, dan sedikit pengen nangis pas lihat struk. Tapi ya sudahlah, pengalaman traveling kadang memang datang sepaket sama “kejutan” semacam ini. Yang penting... perut aman.
Perjalanan kami berlanjut ke Jokusarlon. Tapi sebelum sampai ke sana, perjalanan panjang ini justru menyuguhkan transisi lanskap yang luar biasa.
Semakin ke timur, pemandangan Islandia berubah total. Bukit-bukit hijau perlahan menghilang, digantikan oleh hamparan lava hitam, padang tandus berbatu, dan tanah berkerikil yang seolah membawa kami ke planet lain. Tak ada pepohonan tinggi, hanya dataran luas yang terbentang sampai horison—sunyi, kasar, dan misterius.
Lalu, tiba-tiba saja muncul gletser di kejauhan. Kilauan putihnya memantul di balik awan, terlihat dingin dan megah. Sementara itu, beberapa kali kami melewati jembatan kecil yang melintasi sungai-sungai es yang mengalir dari pegunungan. Warnanya biru pucat, jernih dan membekukan hanya dengan melihatnya.
Aku dan Bu Padma berjalan berdua, berputar kesana kemari di tepi danau. Kami saling gantian motret, sesekali saling tunjuk, “Eh liat yang itu! Foto disitu ya!”.
Sebenarnya sejak masih di dalam bus tadi, kami sudah ditawari opsi tambahan: naik boat keliling danau untuk melihat bongkahan es dari jarak dekat. Harganya sekitar 6.000 ISK—kalau dirupiahkan ya sekitar 600 ribuan. Tidak murah. Tapi katanya worth it banget, karena bisa sampai dekat ke es dan bahkan melihat pecahan dari gletser utama.
Bu Padma langsung semangat ikut.
“Yakin nggak mau join? Ini pengalaman seumur hidup loh,” kata Bu Padma waktu aku ragu-ragu di pinggir loket tiket.
Aku senyum sambil menggeleng pelan. “Aman, Bu. Aku nikmati dari atas aja udah cukup,” jawabku.
Lagipula, dari tempatku berdiri pun pemandangannya udah luar biasa. Angin yang menusuk, gemuruh lembut dari es yang pecah, dan lanskap yang seperti tidak berasal dari bumi... semuanya terasa nyata justru karena aku bisa mengamatinya perlahan, tanpa terburu-buru.
Setelah Bu Padma naik ke boat bersama rombongan kecilnya, aku memilih berjalan sendiri mengitari sisi lain laguna. Rasanya tenang banget. Hanya ada suara es yang sesekali retak halus, angin dingin yang menampar pelan, dan suara burung camar yang terbang rendah di atas permukaan air.
Aku berhenti di satu titik yang agak sepi, lalu duduk di atas batu besar menghadap ke danau. Di depanku, ratusan bongkahan es mengambang perlahan, seperti kapal-kapal kecil yang hanyut tanpa arah tapi tetap padu. Beberapa terlihat kokoh dan besar, seperti kastil. Yang lain sudah mulai mencair, berubah bentuk, seperti sedang menua dan akhirnya akan hilang.
Saat itu dalam hati aku bergumam, “Ya ampun… ternyata beneran ada tempat seindah ini di bumi.”
Bukan indah yang glamor. Bukan indah yang penuh warna-warni mencolok. Tapi indah dalam bentuknya yang paling sunyi dan murni. Es, air, langit, dan angin. Cuma itu, dan itu cukup untuk membuatku terdiam lama.
Setelah menjelajah keajaiban es di Jökulsárlón, day trip hari itu membawa kami ke satu lagi tempat ikonik di selatan Islandia yaitu Reynisfjara Black Sand Beach yang berada dekat dengan desa Vík í Mýrdal, di pesisir selatan Islandia.
Dari parkiran, kami berjalan kaki melewati ladang luas yang penuh bunga lupin ungu yang sedang bermekaran. Sepanjang jalan, suasananya damai banget, seperti dunia dalam lukisan. Angin semilir sejuk, dan di kejauhan, tebing hijau menjulang menambah kesan dramatis. Jalur gravel membawa kami perlahan menuju bibir pantai—dan saat akhirnya sampai, aku cuma bisa tertegun.
Bayangkan, pasirnya benar-benar hitam. Bukan abu-abu, bukan kecokelatan—tapi hitam pekat, hasil dari aktivitas vulkanik ribuan tahun lalu. Di depan kami terbentang Samudra Atlantik Utara yang luas dan liar, sementara di kejauhan tampak formasi batu laut menjulang dari laut: Reynisdrangar, formasi batu basal tajam yang menurut legenda lokal dulunya adalah troll yang membatu karena terkena sinar matahari saat hendak menyeret kapal ke pantai.
"Islandia emang gila ya bu… tempat-tempatnya kayak dunia lain,"kataku ke Bu Padma, yang dibalas oleh anggukan kepala Bu Padma.
Suara ombak di sini juga beda—keras, misterius, dan sedikit mengintimidasi. Kami diingatkan oleh pemandu untuk tidak terlalu dekat dengan garis pantai, karena sneaker waves di Reynisfjara terkenal berbahaya dan bisa menyeret orang tiba-tiba.
Hamparan bunga lupina ungu memenuhi sekeliling. Sejauh mata memandang, ungu dan hijau berbaur dengan latar tebing basalt dan bukit hijau yang menjulang dramatis. Jalur gravel membawaku menyusuri semacam lorong alami yang dibentuk oleh bunga-bunga. Rasanya seperti masuk ke dalam lukisan. Aku pun mengeluarkan kamera, dan tanpa sadar berjalan menjauh dari kerumunan turis lain. Sendiri di tengah ladang lupina, aku merasa benar-benar damai.
Kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah barat, menuju Reykjavik. Tapi sebelum benar-benar kembali ke kota, masih ada satu perhentian terakhir—dan entah kenapa, rasanya seperti penutup yang sempurna untuk hari luar biasa ini: Seljalandsfoss.
Air terjun ini sudah lama masuk daftar wajibku. Tingginya sekitar 60 meter, menjulang dari tebing berlumut dengan aliran air yang jatuh lurus, membentuk tirai alami yang mengagumkan. Tapi yang paling ikonik dari Seljalandsfoss adalah satu hal: kita bisa berjalan di belakangnya.
Aku sempat mengajak Bu Padma ikut menyusuri jalur menuju belakang air terjun. Tapi beliau hanya tertawa dan menggeleng pelan. “Waduh, aku nggak mau basah,” katanya sambil memegangi jaketnya erat-erat. Ya sudah, akhirnya aku pun melanjutkan langkah sendirian.
Tanpa ragu aku melangkah masuk ke jalur kecil berbatu, melewati susunan batuan basal yang licin dan lembap. Di situ, aku mulai merasa seperti sedang masuk ke rahasia alam. Air terjun tampak lebih megah dari dekat—deras, bertenaga, dan menghasilkan hempasan angin bercampur air yang langsung membasahi wajah dan jaketku. Tapi siapa peduli? Rasanya segar luar biasa.
Dari cerukan di balik air terjun, aku berhenti sejenak. Di depanku, tirai air jatuh deras, dan di baliknya... pelangi. Lengkung warnanya muncul samar tapi jelas, membentang di antara semprotan air dan cahaya sore yang menembus awan.
Aku sempat berdiri lama di sana, membiarkan cipratan air membasahi sekujur tubuh. Tapi itu justru jadi bagian dari keindahan—karena Seljalandsfoss bukan cuma untuk dilihat, tapi juga untuk dirasakan.
Akhirnya, resmi berakhirlah perjalanan kami hari ini. Bus perlahan melaju kembali ke arah kota Reykjavik. Langit mulai meredup, matahari menyelinap di balik pegunungan bersalju yang perlahan tertelan cakrawala. Di dalam bus, sebagian besar penumpang terlelap, sementara aku hanya diam menatap keluar jendela—masih membiarkan pikiranku mencerna semua keajaiban hari ini.
Ini adalah day trip keduaku sejak mendarat di Islandia. Dan meskipun tubuh mulai terasa lelah, semangatku justru masih menyala. Besok, rencananya aku akan mencari day trip lain atau mungkin eksplor mandiri keliling kota. Tapi ternyata semesta (lagi-lagi) punya rencana lain.
“Besok saya ikut day trip Will, orang Indonesia yang udah jadi residen sini. Kamu mau ikut? Biayanya 12.000 ISK,” kata Bu Padma tiba-tiba sambil melirik ke arahku.
Aku yang belum punya rencana pasti dan merasa biayanya masih masuk akal langsung menjawab, “Wah, mau Bu! Siap, aku ikut ya.”
“Oke, besok kami jemput di hostelmu ya. Di Bus Hostel Reykjavik kan? Sekitar jam 8 pagi.”
“Siaaap Bu,” jawabku mantap.
Dan dalam hati aku tersenyum. Ternyata perjalanan ini belum benar-benar selesai. Masih ada babak baru yang menunggu esok hari—dan aku siap menyambutnya, entah dengan gletser, gunung, atau cerita-cerita baru lainnya.
0 comments:
Posting Komentar