Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.06.2025

[8] Balada Eropa : Eksplor Reykjanes Peninsula Seharian !

Aku berpose di Scenic Viewpoint Kleifarvatn yang begitu indah...

Esok paginya, tepat jam 8, aku sudah siap di depan penginapan. Udara masih dingin, langit sedikit mendung, tapi semangatku mengalahkan rasa malas yang biasanya muncul di pagi-pagi Islandia yang lengket dengan selimut.

Tak lama kemudian, sebuah mobil Toyota hitam berhenti di depan Bus Hostel. Dari dalam, Bu Padma melambai dan tersenyum ramah, ditemani seorang pria yang duduk di balik kemudi.

“Salam kenal ya, Kak. Aku Galuh,” sapaku ramah begitu masuk mobil.

“Salam kenal, aku Willy,” jawabnya santai, masih dengan tangan di setir. Aksen Indonesianya terasa nyaman—kayak ngobrol sama teman lama, bukan orang asing di negeri es ini.

Aku langsung duduk manis di jok belakang, tapi nggak bisa menahan rasa penasaran.

“Kira-kira kita kemana hari ini, Kak?” tanyaku polos. Jujur aja, aku emang nggak tau akan diajak kemana—ikut aja dulu wkwk.

“Ke arah Reykjanes Peninsula ya. Nanti sepanjang jalan itu bagus banget. Ada danau, terus nanti kita ke situs panas bumi, sama ke Blue Lagoon. Banyak pokoknya,” jawab Kak Willy santai.

“Wah siap, Kak!” jawabku dengan mata berbinar. Spontan, hangat, dan penuh antisipasi. Hari itu sudah terasa menjanjikan sejak detik pertama mesin mobil dinyalakan.

Tempat pertama yang kami singgahi pagi itu cukup… menggugah hidung. Mobil berhenti di pinggiran area terbuka, dan begitu jendela dibuka, duarrrr!—bau ikan asin langsung menyerbu dengan brutal.

“Selamat datang di tempat penjemuran ikan!” kata Kak Willy sambil tertawa kecil melihat ekspresi kagetku dan Bu Padma.

Di hadapan kami terbentang pemandangan yang unik banget—ratusan bahkan ribuan kepala ikan tergantung di tiang-tiang kayu panjang, berjajar rapi seperti jemuran baju, tapi versi laut. Ini bukan sekadar tempat pembuangan limbah ikan, lho, tapi proses penting dalam tradisi pangan Islandia: pengeringan ikan atau stockfish.

Tradisi ini sudah ada sejak zaman Viking. Di negara dengan musim dingin ekstrem dan terbatasnya pilihan bahan makanan, mengawetkan ikan dengan cara dijemur alami adalah cara jitu agar ikan bisa disimpan berbulan-bulan, bahkan tahunan. Biasanya yang dijemur adalah ikan cod, salah satu hasil tangkapan utama di Islandia.

Uniknya, ikan-ikan ini tidak dijemur di bawah matahari panas seperti di Indonesia. Di Islandia, prosesnya mengandalkan angin dingin yang kering dan udara bersih. Kepala-kepala ikan digantung di udara terbuka seperti ini selama sekitar 2–4 bulan, tergantung cuaca. Nggak perlu diawetkan pakai bahan kimia apa pun, cukup angin dan waktu.

Di antara rasa penasaran dan bau amis yang nyangkut di jaket, aku malah merasa senang bisa lihat langsung salah satu bagian dari rantai pangan global yang nggak pernah kebayang sebelumnya.

Kami jalan-jalan sebentar di antara jajaran tiang jemuran kayu. Bau amisnya emang bukan main, tapi pemandangannya menarik—kontras antara warna coklat ikan, hijau rumput, dan langit biru terang. Tempat ini seperti museum terbuka tentang bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim dan tetap bisa bertahan.

Setelah puas mengelilingi area ini (dan cukup mencium aromanya, wkwk), kami kembali ke mobil. Tujuan berikutnya katanya bakal lebih “aromaterapi” alias menyegarkan—situs geotermal dengan uap panas dan danau mendidih. Tapi yang jelas, petualangan hari ini sudah dimulai dengan penuh rasa, literally.

Begitu mobil meninggalkan area penjemuran ikan, kami mulai memasuki lanskap yang benar-benar berbeda. Jalanan perlahan berubah menjadi jalur kerikil—sepi, lurus, dan seperti menuju dunia lain. Inilah Reykjanes Peninsula, salah satu kawasan paling raw dan primordial di Islandia, di mana jejak vulkanik masih sangat terasa.

Di kanan kiri jalan, hamparan lava tua yang sudah ditumbuhi lumut dan tanaman semak rendah melapisi tanah hitam pekat. Bukit-bukit gersang berdiri kokoh, dengan lapisan hijau samar seperti dilukis dengan sapuan kuas halus. Beberapa jalur terlihat berkelok menuju lembah, menghilang di balik dinding-dinding batu yang terlihat seperti kawah tua. Atmosfernya sepi, sunyi, tapi sangat magis.

Kak Willy langsung berhenti sejenak karena pemandangan ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja dari balik kaca mobil. Aku turun, berdiri di tengah jalan kerikil, dan membentangkan tangan lebar-lebar. Angin kencang menerpa, tapi langit yang biru cerah dan udara yang super bersih membuat semua terasa segar.

"Aku kayak di Mars ya," kataku spontan ke Bu Padma, yang hanya tertawa kecil sambil mengabadikan momen.

Padang lava yang kami lewati ini kemungkinan adalah bagian dari sistem vulkanik Krýsuvík atau Seltún, yang memang mendominasi kawasan Reykjanes. Tanah-tanah di sini adalah hasil erupsi ribuan tahun lalu, dan sebagian besar masih sangat aktif secara geologi—makanya kamu bisa melihat tanahnya retak-retak, kontur bergelombang, dan bahkan sesekali muncul uap panas dari kejauhan.

Tumbuhan hampir tidak tumbuh tinggi di sini, kecuali beberapa lupina liar yang menyelip malu-malu di antara bebatuan hitam. Kontras antara ungu lupina, tanah gelap, dan langit biru benar-benar fotogenik.

Kami pun sempat naik sedikit ke bukit batu kecil untuk melihat jalan yang berkelok menuruni lembah dari atas. Bentuknya seperti ular raksasa yang tidur di antara kawah. Sungguh, aku belum pernah melihat lanskap seperti ini sebelumnya—liar, terpencil, tapi punya daya tarik yang justru datang dari ketelanjangannya.

Perjalanan masih jauh, dan Kak Willy berkata, “Ini belum apa-apa. Nanti makin banyak kejutan.” Aku hanya tersenyum. Kalau baru segini aja sudah bikin hati bergetar, gimana nanti?

AWWW... NEGARA INI CANTIK BANGET! Huhuhu....

Setelah melewati jalanan kerikil dan tanjakan bergelombang khas Reykjanes Peninsula, kami tiba di sebuah lokasi yang terasa begitu sunyi dan damai—sebuah danau vulkanik yang tersembunyi di balik perbukitan gelap. Inilah Kleifarvatn, salah satu danau terbesar di Semenanjung Reykjanes, dan bisa dibilang juga salah satu yang paling misterius di Islandia.

Begitu keluar dari mobil, pandangan langsung disambut air danau yang tenang bak cermin raksasa. Permukaannya memantulkan langit biru cerah, awan putih tipis, dan dinding-dinding bukit yang menjulang dengan warna-warni alami: coklat tanah, hijau lumut, dan guratan-guratan lava hitam. Kombinasi yang seolah menegaskan: “Selamat datang di planet lain.”

Yang membuat tempat ini semakin menakjubkan adalah formasi perbukitannya. Bukit-bukit yang mengelilingi danau terlihat seperti tembok alami, tinggi dan kokoh, membentengi Kleifarvatn seolah menjaga rahasia yang tersimpan di dalamnya. Permukaannya tidak halus, melainkan terukir oleh sejarah geologis Islandia yang keras—dari letusan gunung berapi, pergeseran lempeng, hingga erosi oleh angin dingin Samudera Atlantik.

Beberapa bagian bukit terlihat nyaris hitam pekat, seperti bekas lava yang membeku ratusan tahun lalu. Di sela-sela lerengnya, muncul sapuan warna hijau dari lumut dan semak yang bandel, tumbuh walau di tanah yang keras dan nyaris tandus. Dan kalau diperhatikan lebih jauh, ada semburat ungu dan putih dari bunga-bunga lupin yang liar tapi justru menambah harmoni pemandangan ini.

Tepi danau sendiri unik—bukan berpasir, melainkan berupa batuan vulkanik hitam yang bulat dan tajam. Rasanya seperti berada di pantai Mars, kalau Mars punya danau tentunya. Aku sempat jongkok di tepi danau, menyentuh airnya yang dingin menusuk, segar tapi tidak mengundang untuk berenang. Wkwk.

Kleifarvatn sendiri bukan danau biasa. Danau ini tidak punya aliran masuk atau keluar, sehingga permukaan airnya hanya ditentukan oleh curah hujan dan penguapan. Setelah gempa bumi besar tahun 2000, airnya sempat menyusut drastis karena rekahan bawah tanah terbuka, tapi kemudian secara alami perlahan kembali terisi. Legenda lokal bahkan menyebutkan bahwa di danau ini hidup makhluk seperti “monster” Loch Ness versi Islandia.

Danau ini terasa seperti dunia milik sendiri. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada sinyal, hanya hembusan angin, suara kerikil di bawah kaki, dan pantulan gunung yang tak bergerak. Kami pun berlama-lama di sini, mengabadikan banyak momen sambil sesekali diam merenung. Ada ketenangan yang aneh tapi indah di Kleifarvatn ini.

Setelah puas bermain di tepian Danau Kleifarvatn—danau besar dengan air yang begitu tenang dan dalam hingga menciptakan refleksi langit seolah tanpa batas—kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan berkerikil yang membelah lanskap vulkanik tandus. Mobil kami melaju pelan, debu beterbangan, diapit oleh perbukitan gelap yang curam di kiri-kanan. Dan ketika jalan mulai sedikit menurun dan berbelok, terbukalah pemandangan yang membuatku terdiam sejenak: kami tiba di kawasan Scenic Viewpoint Kleifarvatn / Bukit Vulkanik Rute 42.

Tempat ini adalah salah satu sisi tebing dan danau paling memukau di Semenanjung Reykjanes, Islandia bagian barat daya. Posisinya tak jauh dari Kleifarvatn, tapi atmosfernya terasa lebih "liar" dan dramatis. Air danau membentang dengan warna biru tua pekat, dikelilingi oleh barisan bukit dan tebing batu vulkanik beraneka warna—dari hitam legam, merah karat, hingga coklat keemasan—yang tampak kontras dengan semak hijau dan bunga lupin ungu yang bermekaran liar di musim panas. Warna-warni alam yang bertabrakan ini membuat seluruh lanskap terlihat seperti lukisan realisme magis.

Kak Willy memarkirkan mobil di area lapang yang berupa lahan kerikil luas, lalu kami mulai menjelajah dengan berjalan kaki. Setiap sudutnya fotogenik. Bukit-bukit batuan beku menjulang di sisi danau, dengan bentuk-bentuk aneh hasil erosi jutaan tahun. Ada bagian perbukitan yang terlihat seperti lava yang terlipat dan membeku, menciptakan pola gelombang keras seperti rahang naga yang membatu. Di sisi lain, aku melihat dinding bukit berlapis-lapis dengan warna kemerahan seperti guratan darah tua yang kontras dengan tumbuhan hijau kecil yang tumbuh liar di antaranya.

Naik sedikit ke atas, dari tebing batu yang terbuka ke arah danau, aku duduk di sebuah batu besar yang hangat diterpa matahari. Dari sini, pemandangan terbuka luas ke segala arah. Danau tenang membentang di bawah sana, dikelilingi oleh barisan perbukitan yang melingkar bagai mangkuk raksasa, dan langit biru cerah tanpa cela. Refleksi awan di air begitu sempurna hingga batas antara dunia nyata dan bayangan seperti menghilang. Rasanya seperti sedang duduk di dunia lain—hening, purba, dan tak terjamah.

Tak banyak orang di sini. Hanya beberapa turis dengan mobil sewaan yang juga berhenti sejenak, kagum seperti aku. Ini adalah jenis tempat yang tidak banyak disebut-sebut dalam brosur wisata, tapi justru itulah yang membuatnya spesial. Sebuah rahasia kecil yang disimpan oleh alam Islandia untuk mereka yang benar-benar mencarinya.

Mobil kami melaju ke arah tenggara. Jalanan mulai menanjak dan menurun di antara bebatuan lava yang tampak seperti baru saja keluar dari perut bumi. Tak lama, kami tiba di sebuah tempat yang—jujur aja—kayak dunia lain.

Inilah Krysuvík–Seltún, kawasan panas bumi aktif yang memamerkan langsung isi perut bumi. Begitu turun dari mobil, aku langsung disambut aroma belerang yang menusuk. Bukan bau yang enak, tapi cukup bikin semangat karena tandanya aku beneran lagi berdiri di atas tanah yang sedang “hidup”.

Di sini, tanahnya berwarna-warni—merah, oranye, coklat kekuningan, putih, bahkan ada semburat hijau. Asap tipis mengepul dari kolam-kolam lumpur mendidih dan celah-celah tanah. Beberapa kolam terlihat seperti mendidih dengan suara gemuruh halus. Jalur kayu disediakan agar pengunjung nggak salah langkah, karena sebagian titik benar-benar bisa menyemburkan uap panas secara tiba-tiba.

Aku berjalan menyusuri boardwalk sambil sesekali berhenti, menatap lanskap alien ini. Bukit-bukit di sekelilingku berwarna kontras dengan rumput hijau yang mencoba tumbuh di antara tanah mineral. Di kejauhan, mobil-mobil campervan berbaris rapi di area parkir—menjadi pengingat bahwa meskipun tempat ini terasa seperti planet Mars, aku masih berada di Islandia, negeri dengan seribu rupa.

Aku sempat berdiri di depan papan peringatan besar bertuliskan “HÆTTA! Danger!”, sambil ngakak kecil—karena kata “bahaya” memang cocok banget buat menggambarkan suasana ekstrem di sini. Tapi di balik bahaya itu, terselip keajaiban geologi yang sulit dicari tandingannya.

Seltún ini berada di atas zona rekahan tektonik aktif, yaitu Mid-Atlantic Ridge, di mana dua lempeng raksasa—Lempeng Amerika Utara dan Lempeng Eurasia—perlahan menjauh satu sama lain. Gerakan lempeng ini menciptakan tekanan besar di bawah tanah yang memungkinkan panas dari dalam bumi naik ke permukaan. Panas ini memanaskan air tanah, menghasilkan aktivitas hidrotermal seperti kolam lumpur mendidih (mud pool), semburan uap (fumarole), dan bahkan kadang geyser kecil.

Mineral yang terbawa oleh uap dan air panas—seperti belerang, besi, dan silika—mewarnai tanah di sekitarnya. Itu sebabnya kenapa tanah di sini tampak seperti palet cat alam: merah karena oksida besi, putih karena silika, kuning karena sulfur, dan terkadang hijau dari alga tahan panas. Tapi meskipun cantik, tanah di sini sangat rapuh dan bisa membahayakan jika diinjak sembarangan. Makanya, jalur kayu itu bukan sekadar estetik, tapi penyelamat nyawa juga.

Kalau ditanya dampaknya, ya selain jadi destinasi wisata yang epik, kawasan seperti ini juga membantu ilmuwan memahami sistem geothermal dan potensi energi panas bumi. Islandia sendiri jadi salah satu negara paling maju dalam pemanfaatan energi geothermal—dan tempat seperti Seltún adalah salah satu “laboratorium alam”-nya.

Destinasi selanjutnya yang kami datangi setelah dari kawasan panas bumi Krysuvík–Seltún adalah sebuah danau yang airnya berwarna biru toska menyala—begitu cerah sampai rasanya tidak nyata. Danau ini dikenal dengan nama Grænavatn, yang secara harfiah berarti “danau hijau” dalam bahasa Islandia. Tapi jangan tertipu namanya—warna yang kulihat lebih mendekati biru susu atau biru toska terang, hasil dari kandungan mineral dan pantulan cahaya di kedalaman air yang cukup unik.

Sesaat setelah keluar dari area parkir, aku berdiri di depan rambu penunjuk arah bertuliskan Dalaleið dan Austurengjahver. Rambu ini menandai jalur hiking panjang yang bisa ditempuh hingga puluhan kilometer. Tapi tentu saja, kami nggak sedang ingin trekking sejauh itu. Tujuan utama kami hari ini adalah menikmati lanskap tenang Grænavatn dan mengambil foto-foto di tepiannya.

Begitu mendekat ke tepian danau, aku langsung terpukau. Permukaannya tenang nyaris tanpa riak, memantulkan warna langit dan bukit-bukit di kejauhan. Perbukitannya tampak lembut, berlapis-lapis hijau lumut dan coklat muda, seolah sedang dilukis dengan sapuan kuas akrilik. Suasana di sekitar danau begitu damai—hanya suara angin dan kadang-kadang percakapan pelan dari pengunjung lain.

Grænavatn sendiri adalah sebuah danau kawah vulkanik (maar lake) yang terbentuk dari letusan eksplosif akibat pertemuan magma panas dengan air tanah. Letusan jenis ini membentuk kawah yang lebar dan dalam, yang kemudian terisi air. Kandungan belerang dan mineral lainnya di dasar danau inilah yang memberi warna airnya yang khas. Beberapa ilmuwan bahkan menggunakannya sebagai lokasi penelitian geokimia.

Aku berdiri di tepian batu sambil merentangkan tangan. Rasanya seperti sedang berdiri di depan dunia dongeng. Satu lagi tempat di Islandia yang berhasil membuatku diam, takjub, dan bersyukur pernah menginjakkan kaki di sini.

Kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang—meskipun tidak beruap—masih terasa seperti planet lain.Kami tiba di lava field yang luas, permukaannya dipenuhi batuan lava hitam yang tertutup lumut tebal berwarna abu-abu kehijauan. Ini namanya lava moss field, hasil letusan gunung berapi yang sudah berusia ratusan tahun. Sekilas terlihat lembut seperti kasur empuk, padahal di balik selimut lumut itu tersembunyi batuan tajam dan tidak rata.

Nama latin lumut ini adalah Racomitrium lanuginosum, sejenis lumut wol yang tumbuh di atas batuan lava. Ia menyelimuti batu-batu dengan tampilan seperti kasur empuk berwarna keabuan. Tapi jangan salah: lumut ini sangat rapuh, dan sekali rusak oleh injakan, bisa butuh puluhan tahun untuk pulih.

Aku meresapi kesunyian dan keunikan lanskap yang nggak akan kamu temui di tempat lain. Jalur jalan kerikil memanjang membelah padang lava, dan di kejauhan terlihat barisan pegunungan Reykjanes yang mengingatkanku bahwa ini adalah tanah muda secara geologis—tanah yang masih terus “hidup”.

Lava field ini terbentuk dari aliran lava basaltik hasil letusan gunung berapi di sistem vulkanik Reykjanes. Letusan besar-besaran yang menciptakan medan lava seperti ini terjadi antara abad ke-13 sampai yang terbaru, letusan Fagradalsfjall pada 2021. Setelah lava membeku, butuh waktu ratusan tahun sampai lumut (jenis Racomitrium lanuginosum) bisa tumbuh menutupi permukaannya. Lumut ini sangat sensitif dan tumbuh sangat lambat—hanya beberapa milimeter per tahun.

Tapi tiba-tiba terjadilah momen ini. Saat aku bersiap mau memotret pemandangan lagi (menggunakan satu-satunya kamera andalanku untuk trip ini, Sony Alpha 5000, kamera yang sebelumnya hampir ketinggalan di Bandara Istanbul Ataturk), tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamera,

"Srrrttt.. krkkk"

Seperti ada sesuatu yang menyangkut setiap kamera mau 'clap' menangkap foto.

'Oh sial... Apalagi ini ?!' kataku dalam hati.

Aku segera mencobanya lagi, mungkin hanya kebetulan saja kan. Tapi sama,

"Srrtt.. krkk.. srrtt.. krkk," setiap aku mau mengambil foto.

Kucoba matikan kamera sejenak untuk mencobanya lagi, tapi sama saja, tetap suara nyangkut itu yang keluar. Apalagi ini😭😭😭.

Kak Willy sempat melihat kegusaranku dan menanyakan ada apa. Aku coba menyerahkan kamera ke dia, dan setelah diutik-utik sejenak, dia bilang ini memang ada yang error jadi ga bisa dipakai.

Ane berdiam dan seakan masih tidak percaya.. oh my God😞😞.. kamera ini kan satu-satunya penangkap foto bagus yang ane bawa. Selain kamera itu ane cuma bawa HP Infinix Hot Note 2016 dan Action Cam Xiaomi, dimana keduanya kalau untuk ambil gambar gak bisa clear kayak kamera😭. 

Hari itu yang awalnya menyenangkan untuk ane tiba-tiba jadi menyebalkan. Ane bener-bener sebel dan ga habis pikir, 'kenapa harus rusak sekaraaaaaang??? Kenapa pas ane lagi traveling disini?? Sehabis ini kan ane bakalan masih ke Belanda, Italy, Yunani, gimana ane bisa ambil foto kenangan yang bagus kalau kameranya rusak??!!! Huaaaa...😭😭 tangisku dalam hati.

'Gak mungkin aku benerin kamera disini atau di Belanda (tujuanku selanjutnya) , pasti mahal banget🥲🥲🥲,' gumamku dalam hati.

'Atau aku beli HP aja di Belanda atau Italy? Ahhh tapi sayang duit lah, pasti mahal juga,' aku terus berperang dengan pikiranku sendiri sembari menatap nanar pemandangan di luar mobil yang disetiri Kak Willy.

'Ah tapi yasudahlah Galuh. Paling tidak kan kamu sudah bisa mengambil foto-foto selama transit di Turki dan selama 2,5 hari di Islandia.. nanti di Belanda, Italy sama Yunani kamu pakai HP atau action cam aja
. Gpp.. sama aja kok..' kataku menghibur diri sendiri.

Beberapa saat kemudian, aku membenarkan pikiran terakhirku dan sudah berada di fase penerimaan. Aku berpikir mau seberapapun menolak takdir, sama saja. Kameranya tetap rusak, aku masih di Islandia, aku akan tetap ke Belanda, Italy dan Yunani. Jalani takdir saja....

Selesai dari Blue Lagoon, mobil kami melaju kembali ke arah Reykjavik. Hari itu terasa agak sendu—karena ini adalah hari terakhirku di Islandia. Pukul 00.35 nanti malam, aku akan terbang meninggalkan negeri es ini menuju Jerman. Tapi sebelum benar-benar pamit, ada satu tempat penting yang belum aku datangi: Kota Reykjavik itu sendiri.

Aku pun bilang ke Kak Willy, “Kak, bisa diturunkan di Halgrimskirkja aja ya?”

Kak Willy mengangguk ramah, lalu menepikan mobil di sekitar gereja. Bu Padma tidak ikut turun karena katanya ada urusan lain, atau mungkin ingin langsung beristirahat. Jadi, kali ini aku jalan sendiri.

Halgrimskirkja berdiri menjulang di hadapanku—bangunannya unik, menjulang dengan bentuk seperti aliran lava beku yang membatu ke langit. Gereja ini ikonik banget, bahkan dari jauh pun kelihatan.

Gereja Hallgrímskirkja bukan gereja biasa. Bangunannya menjulang tinggi hingga 74,5 meter—menjadikannya bangunan tertinggi di Reykjavik, dan salah satu yang paling ikonik di seluruh Islandia.

Yang membuatnya unik adalah bentuk fasadnya. Arsitekturnya terinspirasi dari formasi basalt heksagonal, yaitu kolom-kolom batu yang terbentuk secara alami dari proses pendinginan lava panas yang membeku secara perlahan. Formasi seperti ini bisa kamu temukan di banyak tempat di Islandia, seperti di Svartifoss atau di sepanjang pantai Reynisfjara. Maka tak heran kalau gereja ini terlihat seperti puncak lava yang mengeras dan mengarah ke langit—menggabungkan unsur alam vulkanik Islandia dengan gaya ekspresionisme modern.

Gereja ini dirancang oleh arsitek Guðjón Samúelsson pada tahun 1937, namun proses pembangunannya berlangsung sangat lama. Pondasinya baru dikerjakan pada tahun 1945, dan konstruksinya secara keseluruhan baru selesai pada tahun 1986—memakan waktu hampir 40 tahun. Nama Hallgrímskirkja sendiri diambil dari nama penyair dan pendeta terkenal Islandia abad ke-17, Hallgrímur Pétursson, yang dikenal lewat karya himne religiusnya Passion Hymns (Passíusálmar).

Karena bentuknya gereja ini yang tinggi menjulang, aku cukup kesulitan mengatur kameraku untuk berfoto dengannya. Aku berjalan ke depan gereja, berusaha mengambil foto yang oke, tapi susah banget mencari angle yang pas—bangunannya tinggi menjulang, dan butuh jarak cukup jauh dan sedikit menunduk supaya bisa muat semua ke dalam frame. Di saat itulah, seorang pria yang menuntun sepeda mendekat dan bertanya sopan sambil tersenyum,

“Hi, excuse me. Could you help take a photo of me with the church?”

Aku langsung mengangguk. “Sure!”

Setelah aku bantu motret beberapa kali pakai HP-nya, dia tersenyum dan berkata,

“Do you want a photo too? This church is hard to shoot by yourself.”

Aku tertawa kecil, “Yes please, thank you!”

Akhirnya gantian, dia membantuku memotret dengan HP-ku. Namun seperti kita tahu, karena kameraku rusak, aku cuma bisa berfoto dengan HP-ku yang kualitas fotonya kurang bagus, dan kurang bisa zoom out. Kim terlihat kesulitan menfotoku dengan keseluruhan gereja.

"Wait I Will take picture with my handphone. Then I Will send the file via email," katanya.

"Wah okee thank you," jawabku senang.

Setelahnya kami pun mulai ngobrol ringan. Namanya Kim, seorang traveler dari Korea Selatan. Tapi yang membuatku benar-benar terpukau adalah ketika dia bilang bahwa dia menjelajahi Islandia dengan sepeda, dan menginap dengan cara camping.

“Wait… with a tent?” tanyaku, refleks.

“Yes,” jawabnya. “I’ve been cycling for 15 days.”

Aku melongo. “Are you not feeling cold? It's freezing here.”

He chuckled, “Yes, cold. Sometimes I can't sleep. The wind is strong.”

Aku makin salut. Bayangin aja—angin kencang, suhu yang menusuk, dan dia harus tidur di tenda sambil tetap punya tenaga buat gowes setiap hari. Sementara aku aja kadang udah kedinginan cuma buat jalan kaki dari hostel ke supermarket.

Kami ngobrol beberapa menit, bertukar cerita tentang rute yang kami lewati. Kim bilang dia baru saja menyelesaikan rute dari selatan ke barat, dan masih ada beberapa tempat lagi yang ingin dia kunjungi sebelum kembali ke bandara.

Sebelum berpisah, dia berkata, “I already sent the photos to your email. Check it later.”

“Thank you so much, Kim. Really appreciate it,” kataku sambil tersenyum.

"Good luck with your journey,” katanya. “And enjoy the rest of your time here.”

“You too. Stay warm!” sahutku sambil melambaikan tangan.

Kemudian aku memutuskan masuk kedalam gereja. Penasaran juga seperti apa didalamnya. Begitu masuk ke dalam, suasananya langsung berubah—tenang, sejuk, dan sangat sederhana. Di sisi-sisi lorong terdapat bangku-bangku panjang dari kayu, dengan jalur utama menuju altar di depan. Tidak ada dekorasi mewah atau ornamen rumit, hanya langit-langit tinggi menjulang dan cahaya alami yang masuk dari jendela-jendela besar di sisi. Di tengah ruang utama, terdengar alunan musik lembut dari organ gereja yang megah—yang ternyata merupakan salah satu organ terbesar di Islandia, dengan lebih dari 5.000 pipa.

Di bagian belakang gereja ada semacam konter informasi, dan tangga menuju area menara atas. Katanya sih dari atas bisa melihat pemandangan Kota Reykjavik dari ketinggian, tapi kalau mau naik harus bayar tiket. Aku sih nggak naik, cukup menikmati suasana dalam gereja sambil menghangatkan diri sejenak dari terpaan angin dingin sore itu.

Guide-ku saat day trip Grand Circle pernah bilang, meskipun Islandia mayoritas penduduknya beragama Kristen (Lutheran), tapi sekarang kebanyakan orang sudah jarang ke gereja. Gereja-gereja besar seperti Hallgrímskirkja lebih banyak dikunjungi oleh turis daripada jemaat lokal. Dan memang saat aku di dalam, sebagian besar yang duduk diam atau mondar-mandir juga tampak seperti turis, bukan penduduk setempat.

Setelah sekitar 30 menit di dalam, aku memutuskan keluar dan mulai berjalan kaki membelah Reykjavik. Tujuanku: kembali ke penginapan, Bus Hostel, yang agak di pinggir kota. Karena aku tidak punya paket internet dan mengandalkan peta di kepalaku, aku berusaha mengingat jalur saat datang tadi.

Aku berjalan santai, menikmati sore yang mataharinya masih tinggi meski jam sudah menunjukkan hampir malam—karena ya, ini musim panas di Islandia, matahari baru benar-benar tenggelam sekitar pukul 23.00. Sesekali aku berhenti, mengambil foto rumah-rumah dengan desain simpel dan rapi. Suara klakson bersahutan dari kejauhan, tapi tetap tidak membuat suasana kota ini jadi gaduh. Sebaliknya, ada semacam ketenangan yang menenangkan hati.

Meski jalannya tanpa sinyal, tanpa Google Maps, tanpa rencana pasti, tapi aku merasa bebas. Tidak takut tersesat, tidak terburu-buru. Hanya aku, kota asing yang kini mulai terasa akrab, dan matahari yang lambat sekali tenggelam.

Islandia mungkin dingin, tapi orang-orangnya hangat. Aku dibantu beberapa kali selama di sini oleh warga lokal tanpa diminta. Dan momen-momen sederhana seperti ini—menjelajahi kota sendirian, tanpa internet, hanya mengandalkan intuisi—justru jadi salah satu kenangan terindah dari perjalanan ini.

Aku tahu, aku akan merindukan Reykjavik.

Tanpa sadar, langkah kakiku akhirnya mengantarkanku kembali ke Bus Hostel. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi sinar matahari masih menggantung rendah di langit Reykjavik, seperti belum mau beranjak pergi—seakan tahu aku juga belum siap meninggalkan kota ini.

Aku memilih untuk tidak langsung masuk. Sebaliknya, aku duduk sebentar di kursi luar hostel, membiarkan angin dingin sore menyapa wajahku pelan. Ini adalah momen-momen terakhirku di Islandia. Entah kenapa rasanya ingin benar-benar berhenti sejenak. Duduk diam. Meninjau ulang semuanya—semua tempat yang telah aku kunjungi, semua orang yang kutemui, semua keajaiban yang ditawarkan negara ini. Dari air terjun raksasa, danau biru kehijauan, hingga ladang lava yang seperti dunia lain.

Aku menghela napas panjang, mencoba merekam semuanya dalam ingatan, karena aku tahu, tak semua bisa terekam sempurna dalam kamera.

Begitu udara makin menusuk dan tubuh mulai menggigil, aku memutuskan masuk ke hostel. Aku mengambil tasku, melakukan pengecekan singkat untuk memastikan semua perlengkapan aman, dan tentu saja, menyempatkan diri ke toilet untuk terakhir kalinya—karena setelah ini, perjalanan panjang menantiku.

Sekitar pukul 9 malam, aku melangkah lagi, kali ini menyusuri jalan sejauh 1 kilometer menuju Terminal BSI. Jalannya sepi. Hanya derap langkah kakiku di atas aspal dan suara gemerisik angin yang menemani. Di terminal, aku menunggu bus Straeto 55 yang akan membawaku kembali ke Bandara Keflavik. Dari sanalah, tepat pukul 00.35 dini hari nanti, aku akan terbang ke Jerman.

Aku bersyukur banget bisa mengunjungi negara ini, karena jujur saja, ini salah satu destinasi terindah yang pernah aku datangi. Aku nggak tahu kapan bisa kembali lagi ke sini—mungkin suatu hari, mungkin tidak akan pernah. We never know. Tapi yang jelas, semua pengalaman ini sangat-sangat berharga dan pantas diabadikan dalam bentuk tulisan. Kamera rusakku? Ah, aku sudah nggak terlalu memikirkannya lagi. It’s already happened, itu di luar kontrolku. Yang penting, kenangannya tetap utuh. Dan kalaupun nanti di Eropa Daratan harus mengandalkan HP untuk foto-foto, ya nggak apa-apa. Aku siap melanjutkan petualangan ini—dengan cara apa pun yang bisa kulakukan

0 comments:

Posting Komentar