Setelah duduk sejenak menenangkan diri dari kejutan gonggongan anjing tadi, aku langkahkan kakiku kembali menuju halte bus untuk menuju destinasi selanjutnya: Polynesian Cultural Center (PCC). Tempat ini terletak di Laie, bagian utara Pulau O‘ahu—40 km lagi dari posisi aku saat itu di Ho‘omaluhia Botanical Garden, yang berada di Kaneohe. Tidak butuh waktu lama untuk bus-ku datang. Perjalanan ke PCC ditempuh dalam waktu 1 jam, tapi pemandangan sepanjang jalan, terutama saat mulai masuk kawasan pantai utara, itu luar biasa indah. Jalanannya sering membelah perbukitan dan menyusuri garis pantai dengan laut biru di sisi kanan—bikin capek jadi nggak terasa.
Aku tiba di PCC sekitar jam 2 siang. Tiket masuknya cukup mahal, 84 SGD saat itu, tapi setelah masuk aku merasa itu worth it banget. Tempat ini luas dan dibagi menjadi beberapa desa tematik yang merepresentasikan budaya enam suku besar di kawasan Polinesia: Hawai‘i, Aotearoa (Selandia Baru), Fiji, Samoa, Tonga, dan Tahiti. Selain itu, tiket juga termasuk makan siang buffet dan pertunjukan besar malam hari di teaternya, yang berjudul “HĀ: Breath of Life”. Setelah aku broswing, ini adalah pertunjukan epik yang menampilkan lebih dari 100 penari dan musisi dari seluruh kepulauan Pasifik. "HĀ" dalam bahasa Hawai‘i berarti "nafas", dan pertunjukan ini mengisahkan perjalanan hidup seorang manusia—dari kelahiran, masa muda, cinta, hingga menjadi kepala keluarga—yang diselingi dengan tarian tradisional, musik, dan atraksi seperti tari api dari Samoa yang sangat memukau.
Setelah menjelajahi pintu masuk utama Polynesian Cultural Center dengan air terjun buatan dan kanal-kanal tropis yang menenangkan, aku memutuskan untuk menuju desa pertama yang menarik perhatianku: Desa Samoa.
Begitu masuk ke area desanya, suasana langsung terasa hidup. Di tengah panggung terbuka, sudah berkumpul sekelompok pengunjung, duduk melingkar dan menatap ke arah seorang pria Samoa bertubuh besar yang berdiri percaya diri dengan senyum lebar. Dia hanya mengenakan kain tradisional, lava-lava, dan sebuah hiasan kepala dari daun. Tangannya membawa tongkat kayu panjang, dan di belakangnya sudah disusun batok kelapa, serat pohon, dan kayu kering.
Pertunjukan dimulai dengan demonstrasi membuat api tradisional, yang disebut "fire-starting demonstration". Dia menjelaskan—dengan gaya yang sangat jenaka—bagaimana orang Samoa zaman dulu menyalakan api tanpa korek atau bensin. Kayu digesekkan cepat pada serat kering sampai asap mulai keluar. Gerakan tangannya cepat, dan dalam waktu kurang dari satu menit, api benar-benar menyala dari serat kelapa. Penonton langsung bersorak. Aku sendiri sampai tepuk tangan sambil terkagum-kagum, “Lah kok bisa secepat itu?”
Setelah itu, dia mendemonstrasikan cara memanjat pohon kelapa—meskipun kali ini hanya mempraktikkan gerakan karena tidak ada pohon tinggi di panggung. Gaya bicara dan candaan khas Pasifiknya bikin semua penonton ngakak. Salah satu kalimat yang aku ingat: “This is how we get coconut, not from a supermarket like you do!” wkwkwk.
Kemudian dia memperagakan pengolahan kelapa, dari membuka batok, mengerok dagingnya, sampai memeras santan, semua pakai alat-alat tradisional. Bahkan dia sempat membentuk mangkuk kelapa dan meminumnya langsung dari batok—sambil menatap dramatis ke kamera penonton.
Yang paling seru, tentu saja, saat dia mulai memainkan tongkat api—meski belum menyala. Gerakannya cepat, memutar tongkat itu di udara, melompat, menunduk, dan bahkan melempar ke atas. Walau tanpa api, energi dan ketangkasan gerakannya membuat semua orang terpana. Dalam budaya Samoa, ini disebut ailao afi—tarian dengan tongkat api yang biasanya dipentaskan dalam upacara besar atau pertunjukan penyambutan tamu.
Sambil nonton, aku duduk di bawah pohon kelapa buatan, sesekali tertawa bersama pengunjung lain, meskipun aku datang sendiri. Tapi suasana yang hangat dan interaktif bikin aku nggak merasa sendirian. Justru pengalaman seperti inilah yang aku cari—belajar budaya langsung dari sumbernya, dengan cara yang menyenangkan.
Dari sini, aku lanjut eksplorasi ke desa-desa lainnya. Tapi momen di desa Samoa ini jadi pembuka yang bikin hatiku langsung hangat dan semangat eksplor lebih jauh lagi.
aku memutuskan untuk duduk di tepi kanal yang membelah kawasan Polynesian Cultural Center. Hari itu cuaca cerah, matahari bersinar hangat, dan suasana perlahan dipenuhi antusiasme para pengunjung yang berkumpul. Mereka semua tahu—pertunjukan ikonik Canal Show akan segera dimulai.
Tak lama, dari kejauhan terdengar irama pukulan genderang yang mantap. Perahu pertama mulai muncul di tikungan kanal—dan itu adalah kapal dari Fiji.
Tiga penari pria bertelanjang dada berdiri tegak di atas perahu, mengenakan rok serat tradisional berwarna terang dan hiasan daun di pergelangan kaki dan tangan. Mereka langsung mempersembahkan tarian tradisional Meke, sebuah tarian khas Fiji yang kaya akan semangat dan makna.
Gerakan mereka tegas dan bertenaga—tangan dihentakkan ke depan seolah mencangkul, lalu mundur lagi dengan irama yang presisi. Kakimu ikut tergetar hanya dengan melihat betapa kuatnya mereka berdiri di atas papan perahu yang terus bergoyang. Setiap hentakan diiringi sorakan semangat dari penonton di sekeliling kanal.
Di belakang, penari wanita duduk bersila, dengan busana dan bunga hiasan kepala yang indah, siap mengiringi atau menjadi bagian dari narasi tari yang sedang dibawakan. Wajah mereka penuh ekspresi, tak hanya menari secara fisik tapi juga menyalurkan cerita—tentang kerja keras, tentang tanah yang suci, tentang leluhur dan semangat juang.
Sambil duduk di bawah naungan pohon kelapa, aku merasa seperti diangkut ke pulau-pulau Pasifik Selatan—merasakan denyut budaya yang hidup dan bergerak, bukan hanya sekadar ditonton. Gerakan seperti mencangkul itu pun bukan sembarang koreografi. Dalam budaya Fiji, itu adalah penghormatan terhadap kerja, terhadap tanah, terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat menyatu dengan alam.
Setelah energi menggelegar dari kapal Fiji, kanal pun kembali tenang. Lalu dari tikungan kanal, muncul kapal kedua—kapal dari Hawai‘i. Dan entah kenapa, saat musik khas Hawai‘i mulai terdengar, hati aku langsung terasa adem.
Di atas perahu berdiri beberapa penari wanita dan pria, mengenakan kostum tradisional warna biru laut. Para wanita memakai rok hula dan topi jerami lebar, sementara para pria mengenakan kain sarung Hawai‘i. Gerakan mereka lembut dan selaras dengan alunan musik ukulele dan gendang ipu, yang ritmenya seperti napas ombak di pantai.
Mereka membawakan hula, tarian tradisional Hawai‘i yang bukan cuma gerakan indah, tapi juga bentuk puisi gerak. Tangan mereka bergerak perlahan, membentuk lengkungan seperti ombak, daun, atau angin. Setiap gerakan punya makna—bisa tentang cinta, alam, kisah leluhur, bahkan doa. Semuanya dilakukan dengan senyuman tenang dan ekspresi wajah yang damai.
Penonton di tepi kanal, termasuk aku, seperti terhipnotis. Tidak ada teriakan. Tidak ada sorakan. Yang ada hanya tepuk tangan lembut dan senyuman. Rasanya selow banget, damai, sejuk—dan aku langsung paham kenapa banyak orang jatuh cinta pada budaya Hawai‘i.
Tarian ini semacam penyeimbang energi setelah ledakan semangat dari Fiji. Kalau Fiji adalah tifa dan tombak, maka Hawai‘i adalah ombak dan angin laut. Dan jujur, bagian ini jadi salah satu favoritku dalam Canal Show. Mungkin karena dia menyentuh sisi hati yang berbeda—yang lembut, penuh makna, dan personal.
Setelah kapal Hawai‘i dengan tarian hula yang lembut dan menenangkan lewat, suasana kembali berganti. Kali ini bukan tenang atau syahdu, tapi pecah dan penuh semangat. Dari kejauhan muncul kapal dengan tulisan TONGA di sisi depannya, dihiasi para penari pria dan wanita dengan kostum merah mencolok, hiasan kepala dari bulu, dan gerakan yang begitu eksplosif.
Begitu kapal melintas di depanku, para penari langsung mengeluarkan teriakan khas dalam bahasa Tonga—semacam yel-yel ritmis yang membangkitkan semangat. Suaranya lantang, kompak, dan membangunkan semua penonton dari keheningan. Lalu dimulailah tarian mereka: gerakan tangan cepat, dada ditepuk, kaki dihentakkan ke papan perahu, dan semua dilakukan dengan senyum lebar dan ekspresi yang energik banget.
Tarian yang mereka tampilkan kemungkinan besar adalah bagian dari tarian lakalaka atau kailao, dua jenis tarian tradisional Tonga yang sering dipentaskan untuk merayakan acara penting. Lakalaka biasanya berupa gerakan teratur dengan irama puisi, sementara kailao lebih mirip tarian perang—kasar, kuat, dan penuh hentakan. Dan yang aku lihat saat itu terasa seperti kombinasi keduanya: teatrikal tapi juga penuh tenaga.
Penonton di sekeliling kanal langsung bersorak. Beberapa bahkan berdiri untuk ikut menghentakkan tangan mengikuti irama. Aku sendiri sampai ikutan tepuk-tepuk lutut saking terbawa suasana. Rasanya seperti nonton pasukan pejuang yang sedang menari kemenangan mereka di atas air.
Yang menarik, meskipun gerakan mereka keras dan kuat, wajah para penari tetap penuh semangat dan suka cita. Tidak ada kesan galak atau menyeramkan. Justru aku merasa seperti sedang diajak bergembira dalam pesta budaya ala Tonga—di mana semangat dan komunitas dirayakan dalam bentuk tarian.
Tampilannya kontras banget dengan kapal sebelumnya, tapi di sinilah letak keindahannya. Setiap pulau di Polinesia punya cara mengekspresikan diri yang unik, dan Tonga—dengan segala teriakannya yang bergema dan gerakan yang menghentak—benar-benar jadi salah satu bagian paling berkesan dari Canal Show hari itu.
Kapal berikutnya yang melintas datang dengan warna mencolok dan irama yang menghentak. Dari kejauhan aku sudah bisa mendengar dentuman genderang cepat dan ritmis. Lalu muncul perahu dari Tahiti, diisi para penari dengan kostum serba kuning cerah dan hiasan kepala menjulang dari bulu-bulu tropis.
Penampilan mereka langsung meledak sejak awal. Para penari wanita menggoyangkan pinggul dengan cepat dan teratur, sementara penari pria ikut bergerak mengikuti irama genderang, dengan gerakan lutut yang dinamis. Gerakan ini adalah bagian dari tarian ‘ōte‘a, salah satu tarian paling terkenal dari Tahiti yang biasanya ditampilkan dalam festival dan upacara adat.
Tarian ini bukan hanya tentang keindahan gerakan, tapi juga tentang ritme tubuh yang menyatu dengan musik. Para penari wanita terlihat sangat terampil mengatur tempo pinggul mereka sesuai hentakan drum, sementara tangan mereka menari membentuk pola-pola anggun di udara. Gerakan mereka sangat cepat, nyaris seperti mesin, tapi tetap sinkron dan indah.
Penonton di sekitar kanal langsung terpukau. Banyak yang bersorak, bertepuk tangan, bahkan ikut bergoyang kecil dari tempat duduk. Aku sendiri ikut larut dalam irama. Rasanya seperti diseret ke tengah festival di pulau tropis, di mana semua orang merayakan hidup lewat musik dan tarian.
Yang membuatku kagum adalah energi dan keceriaan yang mereka pancarkan. Wajah para penari selalu tersenyum, seolah mereka benar-benar menikmati setiap detik pertunjukan. Dan memang, semangat Tahiti yang cerah dan menggembirakan terasa nyata dari perahu ini.
Setelah kapal Tahiti lewat, suasana masih terasa bergetar. Pertunjukannya mungkin hanya beberapa menit, tapi goyangan pinggul mereka kayak masih tertinggal di kepala—wkwk. Sebuah ledakan warna dan energi yang jadi highlight tersendiri dalam parade budaya ini.
Canal Show dibuka dengan semangat oleh kapal dari Samoa. Begitu perahu mereka muncul dari balik jembatan kayu di kanal, suasana langsung bergemuruh. Di atasnya berdiri para penari—pria dan wanita—dengan busana serba merah muda dan aksesori dari serat alam yang khas. Mereka langsung bergerak dengan ritme cepat, menepuk paha, menghentakkan kaki, dan meneriakkan seruan khas dalam bahasa lokal.
Tarian yang mereka bawakan adalah bentuk dari fa'ataupati dan siva afi—tarian penuh energi yang mencerminkan keberanian, kekompakan, dan ekspresi budaya komunitas Samoa. Meski dalam versi show ini tidak ada api sungguhan, gerakan mereka tetap intens—menggambarkan bagaimana tarian digunakan dalam acara penyambutan, perayaan, atau upacara adat.
Gerakan para penari pria sangat ritmis, penuh tenaga, dan diselingi teriakan semangat. Sementara penari wanita mengimbangi dengan gerakan tangan yang lebih lembut dan senyuman hangat. Di tepi kanal, penonton langsung larut dalam tepuk tangan dan sorakan. Aku duduk sambil kagum—terpesona oleh bagaimana gerakan tubuh dan suara bisa menyampaikan kebudayaan yang begitu kuat, bahkan tanpa kata-kata.
Kesan yang kutangkap dari pertunjukan Samoa ini adalah: semangat komunitas, kehangatan, dan kekuatan tradisi. Sebuah pembukaan yang sempurna untuk parade budaya yang akan terus mengalir setelahnya.
Kapal terakhir yang meluncur pelan di atas kanal adalah dari Aotearoa, nama asli dari Selandia Baru dalam bahasa Māori. Di atas perahu berdiri para penari pria dan wanita dari suku Māori, mengenakan kostum tradisional berwarna hijau, dengan tato dan motif khas suku mereka. Begitu kapal mendekat, suasana langsung berubah.
Tidak ada musik meriah. Yang terdengar adalah teriakan keras penuh tenaga, diikuti gerakan menghentak, menepuk dada, membelalak, dan menjulurkan lidah. Mereka membawakan haka, tarian perang tradisional yang digunakan suku Māori untuk menyambut tamu penting, memotivasi sebelum perang, atau mengenang leluhur.
Gerakannya tegas dan menggetarkan. Tidak ada keraguan. Mereka berdiri dengan penuh wibawa, dan setiap gerakan terasa seperti manifestasi dari jiwa leluhur yang berbicara lewat tubuh mereka. Bahkan tanpa mengerti bahasanya, aku bisa merasakan kedalaman emosinya.
Penonton di sekeliling kanal terdiam. Semua mata tertuju pada perahu Aotearoa ini. Tidak ada tepuk tangan saat mereka tampil—baru setelah mereka selesai, barulah sambutan meriah menggema. Dan jujur, haka sebagai penutup Canal Show adalah keputusan yang tepat—meninggalkan getaran dan rasa hormat mendalam terhadap kekuatan budaya yang ditampilkan.
Di antara semua pertunjukan yang warna-warni dan meriah, Aotearoa memberikan semacam penutup sakral, mengingatkan bahwa budaya bukan hanya hiburan—tapi juga warisan, identitas, dan jiwa yang tak boleh hilang.
0 comments:
Posting Komentar