Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.06.2025

[9] Balada Eropa : Goodbye Iceland, Selamat Datang Jerman dan Belanda!

Good Bye Iceland... I hope someday I can go back here... Btw can you spot me sit in the middle? Hehe

Perjalanan selama 45 menit dari Terminal BSI membawa aku kembali ke Bandara Keflavik, Islandia. Di dalam bus, aku hanya terdiam, memandangi gelapnya malam yang perlahan mulai merayap, dengan perasaan campur aduk—antara lelah, puas, dan sedikit sedih karena harus meninggalkan negeri penuh keajaiban ini.

Sesampainya di bandara, waktu menunjukkan sekitar pukul 10 malam. Penerbanganku sendiri baru akan berangkat pukul 00.35 dini hari, jadi masih ada cukup banyak waktu. Konter check-in juga belum dibuka. Aku pun memanfaatkan waktu itu untuk ngemil sambil duduk santai di salah satu sudut bandara. Mumpung masih ada waktu, aku isi perut dulu, karena penerbangan nanti cukup panjang—dan pasti akan lapar kalau perut dibiarkan kosong.

Begitu konter check-in dibuka, aku langsung mengurus prosesnya, yang syukurnya berjalan lancar. Setelah melewati imigrasi dan pemeriksaan keamanan, sekitar pukul 12 malam akhirnya aku bersiap untuk boarding ke pesawat Eurowings yang akan membawaku ke Jerman.

Penerbangan malam itu berjalan lancar tanpa kendala. Karena tubuh sudah mulai kelelahan setelah eksplorasi penuh selama di Islandia, aku akhirnya tertidur cukup pulas di kursi pesawat. Saat bangun, aku mendengar pengumuman dari awak kabin—kami akan segera mendarat.

Jam menunjukkan pukul 5 pagi waktu Jerman. Tak lama kemudian, roda pesawat menyentuh landasan dengan mulus.

Yee! Selamat datang di Jerman!
Babak petualangan berikutnya pun dimulai.

Begitu mendarat di Bandara Berlin, aku langsung mencari toilet untuk cuci muka dan sikat gigi. Rasanya segar banget setelah perjalanan udara yang cukup panjang dan melelahkan. Setelah itu, aku juga mengisi ulang botol airku di water fill station gratis yang tersedia di bandara—fasilitas simpel tapi berguna banget buat backpacker macam aku ini.

Hari itu aku punya agenda penting: jam 10 pagi aku sudah harus sampai di Terminal Bus ZOB Berlin, karena aku akan melanjutkan perjalanan ke Amsterdam dengan Flixbus. Perjalanan ke Amsterdam cukup panjang, sekitar 7 jam, jadi aku harus pastikan tidak ada drama nyasar pagi-pagi begini.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju konter informasi bandara. Di sana aku bertanya ke petugasnya dengan sopan, “Excuse me, how can I get to ZOB Berlin?” Awalnya dia hanya menjawab singkat, “Please wait.” Dalam hati aku sempat mikir, oh oke, mungkin dia masih ngurus penumpang lain, jadi aku berdiri aja nunggu.

Tapi beberapa menit kemudian, ternyata dia bukan cuma menjawab asal. Dia mengetikkan seluruh langkah demi langkah perjalanan menggunakan transportasi umum—lengkap banget! Mulai dari kereta mana yang harus aku ambil, line berapa, harus transit di mana, semua ditulis dengan rapi dan langsung dicetak pakai printer kecil mereka.

Wow. Aku benar-benar takjub dengan pelayanan sepraktis itu. Jadi bukan cuma dikasih informasi lisan yang rawan lupa, tapi bener-bener dibekali panduan cetak. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali, sambil keluar dari konter itu dengan rasa percaya diri penuh.

Dalam kertas arahan yang diberikan tadi, tertulis jelas: dari bandara aku harus naik kereta A sampai di satu stasiun transit, lalu lanjut naik kereta B untuk sampai ke Terminal Bus ZOB. Petunjuknya cukup jelas dan mudah diikuti, bahkan untukku yang belum terlalu familiar dengan sistem transportasi Berlin.

Aku pun dengan cepat menemukan peron untuk kereta A. Keretanya bersih, modern, dan tepat waktu banget—seperti yang sudah kudengar tentang efisiensi Jerman. Pemandangan selama di dalam kereta pun menyenangkan: melewati perumahan, taman kota, dan jalanan yang mulai sibuk oleh aktivitas pagi.

Setelah beberapa belas menit, aku tiba di stasiun transit. Sebenarnya disitu aku cukup kebingungan karena ada beberapa jalur kereta. "Mana ya yang ke arah ZOB?" Kataku dalam hati. 

Aku langsung berinisiatif bertanya ke seorang wanita yang juga sedang menunggu kereta. Dia sangat ramah dan menunjukkan bahwa aku harus naik ke peron 1, saat itu peron terdekat tempatku berdiri. Woww.. benar-benar keramahan warga Jerman yang mulai sering dijumpai disini. Tidak berapa lama kereta dimaksud datang dan aku sudah berada di jalur yang tepat, menuju Terminal ZOB.

Begitu keluar dari peron Terminal ZOB, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang sangat... menggoda: penjual hotdog kecil di sudut stasiun. Dan ketika kulirik harganya—2 euro saja—aku langsung senyum lebar.

Bayangkan saja, setelah beberapa hari di Islandia di mana sekali makan bisa menghabiskan 17 hingga 30 euro, sekarang aku bisa sarapan dengan 2 euro saja! Ini seperti kejutan manis di pagi yang sudah cukup menyenangkan. Tanpa pikir panjang, aku langsung melipir dan memesan satu hotdog hangat. Sosisnya besar, rotinya empuk, dan disajikan dengan mustard—sederhana, tapi cukup mengenyangkan untuk sarapan 

Dengan perut kenyang dan semangat kembali penuh, aku melanjutkan langkah kaki menuju terminal. Di kejauhan, tampak bangunan besar dengan huruf-huruf mencolok bertuliskan "Zentraler Omnibusbahnhof"—atau yang lebih dikenal dengan nama ZOB Berlin. Inilah terminal bus antarkota utama di Berlin, yang jadi titik berangkat dan datangnya bus-bus dari dan ke berbagai kota di Eropa.

Bangunannya nggak mewah-mewah banget, tapi cukup besar dan fungsional. Di dalamnya ada ruang tunggu yang cukup nyaman, deretan kursi, beberapa vending machine, papan jadwal digital yang terus berganti-ganti menampilkan info keberangkatan, dan tentu saja—suasana khas terminal: orang-orang dengan ransel besar, beberapa rebahan setengah tidur, ada juga yang sibuk mengecas HP sambil terus lirik layar monitor.

Begitu aku lihat papan pengumuman, ternyata busku ke Amsterdam belum datang. “Oke, masih ada waktu,” batinku. Akhirnya aku pilih duduk santai di salah satu bangku yang belum ditempati, menarik napas panjang, dan membiarkan kakiku sedikit beristirahat. Di sekitar, kulihat ada rombongan turis dengan koper segede kulkas, pasangan muda yang sibuk selfie, dan satu dua traveler solo seperti aku yang diam-diam seolah sedang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Terminal ini memang jadi simpul penting mobilitas darat di Jerman, apalagi buat traveler hemat sepertiku. Dari sinilah bus-bus FlixBus, BlaBlaBus, dan lainnya datang dan pergi, menghubungkan Berlin dengan kota-kota besar macam Amsterdam, Praha, Paris, bahkan sampai ke Barcelona kalau niat banget. Terminal ZOB ini ibarat pintu gerbang Eropa bagi para pejalan dengan bujet terbatas—dan hari itu, aku jadi salah satunya.

Nah, sewaktu sedang duduk santai mengamati aktivitas terminal—deru mesin bus yang datang silih berganti, orang-orang yang sibuk mengecek tiket, dan sesekali suara koper tergesek lantai—tiba-tiba kejadian tak terduga terjadi. Seorang anak laki-laki, mungkin usianya sekitar belasan, berjalan agak terburu-buru di depanku. Entah dia lagi ngelamun atau memang tidak terlalu awas, tapi tiba-tiba saja—BRAK!—kakiku disandung cukup keras.

Padahal posisi kakiku biasa aja, nggak sampai menjulur ke depan. Tapi yang bikin aku lebih kaget adalah reaksinya. Atau lebih tepatnya, ketiadaan reaksi. Anak itu terus berjalan begitu saja, tanpa sekalipun menengok ke belakang. Tidak ada ucapan maaf, tidak ada sekadar lirikan refleks untuk melihat apakah yang dia tabrak itu manusia atau tiang listrik.

Aku yang merasa cukup kaget sekaligus kesal karena gesture-nya yang kurang sopan langsung spontan menegurnya.

"Heeey!??!!" seruku, dengan nada sedikit meninggi.

Baru setelah itu dia berhenti, menoleh setengah kikuk, dan berkata pelan,
"I’m sorry."

Hhh… sudahlah. Aku tidak benar-benar marah, tapi jujur aja aku agak terganggu. Aku paham kalau kecelakaan kecil seperti ini bisa terjadi di tempat ramai. Tapi setidaknya, ucapan maaf harusnya jadi reaksi otomatis ketika menyandung seseorang—apalagi kalau itu cukup keras dan menyandung bagian kaki manusia, bukan cuma ransel atau tas.

Dalam hati aku bergumam, “Yah, semoga dia belajar lebih aware dan behave lebih baik ke depannya.” Karena traveling bukan cuma soal ke mana kita pergi, tapi juga gimana kita memperlakukan orang lain di sepanjang perjalanan.

Tidak menunggu lama, sekitar pukul 10 kurang, busku akhirnya datang. Warnanya hijau terang—ciri khas FlixBus—dengan papan digital yang jelas menunjukkan tujuan: Amsterdam. Aku segera berdiri, mengambil ransel, dan masuk ke dalam bersama penumpang lainnya yang juga sudah tak sabar ingin duduk. Setelah menemukan bangkuku, aku bersyukur banget karena ternyata aku duduk sendirian.

"Syukurlah, aku duduk sendirian. Ga ada sebelahnya," gumamku dalam hati sambil melonggarkan jaket dan menyandarkan kepala.

Bus perlahan mulai bergerak meninggalkan terminal ZOB. Kami menyusuri pinggiran kota Berlin, melintasi kawasan perumahan dan gedung-gedung bertingkat yang berganti dengan ladang luas dan rimbun pepohonan. Cuaca saat itu cerah, langit sedikit berawan, dan rasanya suasana hati pun ikut ringan. FlixBus ini nyaman banget—kursinya empuk, ada colokan USB, dan yang paling penting: pemandangan di luar jendela benar-benar jadi hiburan utama.

Kami melaju mulus di jalan tol Jerman yang terkenal rapi dan cepat—ya, Autobahn! Nggak terasa laju bus kadang ngebut banget, tapi tetap stabil. Sepanjang perjalanan, aku sempat melihat plang kota-kota yang kami lewati, meskipun tidak semua sempat disimak detail. Beberapa kota yang kuingat terlewati antara lain Hannover, kemudian sempat juga melihat tanda arah ke Osnabrück, dan entah kapan persisnya kami melintasi wilayah North Rhine-Westphalia—negara bagian besar di barat Jerman.

Yang menarik, saat bus memasuki wilayah perbatasan menuju Belanda, tidak ada pos pemeriksaan sama sekali. Nggak ada petugas imigrasi, nggak ada kontrol paspor. Bus terus melaju tanpa hambatan, seolah perpindahan antarnegara ini hanya seperti berpindah provinsi. Aku sempat ngelirik ke luar jendela, berharap lihat semacam gerbang atau plang “Welcome to Netherlands,” tapi sepertinya aku kelewat.

Setelah masuk wilayah Belanda, suasananya mulai sedikit berbeda. Rumah-rumah bergaya khas Belanda mulai terlihat—berjendela lebar, dengan taman-taman kecil di depannya. Ladang luas masih menemani perjalanan, tapi mulai ada kanal-kanal kecil dan kincir angin modern yang muncul di kejauhan.

Sambil mendengarkan lagu dari earphone dan sesekali menatap keluar jendela, aku merasa perjalanan ini menyenangkan banget. Hening, reflektif, tapi juga mengandung rasa bebas—semacam rasa “woy, aku lagi nyebrang negara dari Jerman ke Belanda pakai bus!” Sebuah sensasi yang sederhana, tapi bermakna. Satu lagi langkah kedepan telah terlewati .


Sekitar pukul 4 sore, akhirnya bus perlahan memasuki wilayah kota Amsterdam. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Berlin, melewati jalan tol dan hamparan pedesaan yang luas, akhirnya kota ini menyambutku dengan langit agak mendung dan suasana yang mulai sibuk. Bus mengarah ke terminal Amsterdam Sloterdijk, salah satu hub transportasi utama di kota ini.

Begitu bus benar-benar berhenti, para penumpang langsung berdiri dan mengambil barang bawaan masing-masing. Suasananya tetap tertib dan tenang—nggak ada dorong-dorongan atau buru-buru. Aku bahkan sempat membangunkan seorang penumpang di sebelah yang tertidur sangat pulas, sampai-sampai nyender ke jendela dan nyaris nggak sadar kalau kami sudah sampai. “Mas, udah sampai,” kataku pelan sambil senyum. Dia hanya mengangguk setengah sadar sambil buru-buru merapikan tasnya.

Amsterdam Sloterdijk sendiri bukan terminal bus biasa. Ini adalah pusat transportasi besar yang menghubungkan kereta antar kota, bus lokal dan internasional, serta trem dan metro. Dari luar, bangunannya terlihat modern dan agak industrial. Begitu masuk ke bagian dalam, suasananya seperti stasiun besar: atap tinggi, dinding kaca, dan papan digital informasi keberangkatan yang berjajar. Ada beberapa kafe kecil, mesin penjual tiket otomatis, dan tempat duduk tersebar di sana-sini. Tapi yang paling aku cari saat itu adalah: sinyal Wi-Fi.

Dengan ransel yang sudah mulai bikin pundak pegal, aku segera masuk ke dalam bangunan terminal dan membuka HP, berharap bisa konek ke Wi-Fi gratis. Setelah beberapa menit coba-coba login ke jaringan publik, akhirnya sinyal berhasil nyambung. Aku langsung membuka Google Maps—niatnya sederhana: mencari rute ke hostel yang sudah aku pesan, Amigo Budget Hostel, yang lokasinya ada di pusat kota Amsterdam.

Tapi saat lagi fokus liat peta, tiba-tiba notifikasi email masuk. Aku buka. Dan...
Kaget setengah mati.

Email dari pihak hostel masuk dengan isi yang cukup mengejutkan:
Reservasiku dibatalkan.
Alasannya? Mereka tidak bisa memverifikasi kartu kredit yang aku gunakan sebagai jaminan saat booking.

"Owalah... Apa lagi ini?" gerutuku sambil menatap layar dengan wajah kosong.

Aku sempat bengong beberapa detik. Udah sampai kota, udah siap menuju hostel buat istirahat, tapi malah dapat kabar bahwa tempat menginapku batal sepihak. Yah, beginilah realita traveling—selalu ada kejutan, dan sayangnya, kadang nggak selalu yang menyenangkan.

Aku mencoba menenangkan diri sejenak, menyadari bahwa bengong doang akan membuatku tidak punya tempat tinggal malam ini. Aku segera membuka aplikasi booking lagi, dan ternyata harga booking Amigo Hostel kini sudah naik tiga kali lipat. Hampir 50 euro hanya untuk satu kasur di dormitory semalam.

"Gila, nggak mungkin aku booking lagi," kataku dalam hati sambil mengernyitkan dahi.

Di tengah kebingungan, aku mulai mencari alternatif lain. Pusat kota Amsterdam memang sudah terlalu mahal, dan harga 50 euro itu benar-benar bikin kantong bolong. "Gimana ya?" gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, sebuah ide terlintas. Kenapa nggak cari penginapan di kota sekitar Amsterdam saja? Asalkan nggak terlalu jauh, kan masih bisa naik transportasi umum—seperti kereta atau bis—untuk kembali ke Amsterdam keesokan harinya. Aku berpikir, yang penting tetap hemat.

Aku mulai telusuri Google Maps lagi dan mempertimbangkan beberapa opsi. Tiba-tiba, aku menemukan kota Alkmaar. Jarak antara Amsterdam dan Alkmaar sekitar 40 kilometer—jaraknya cukup dekat sehingga perjalanan dengan kereta intercity hanya memerlukan sekali naik dan mungkin sekitar 30–40 menit saja. Di aplikasi booking, aku menemukan kamar dorm di Alkmaar dengan harga 'hanya' 19 euro semalam, dengan rating yang cukup bagus.

"Nah, mantap nih, ini aja," kataku dalam hati, merasakan secercah harapan di tengah dilema penginapan malam ini.

Setelah memastikan rute di Google Maps bahwa perjalanan ke hotel di Alkmaar bisa ditempuh dengan kereta intercity langsung, aku merasa tenang. Namun, muncul pertanyaan yang tak bisa kutinggalkan: "Wah, berapa nih harga tiket kereta PP (Alkmaar – Amsterdam)? Kalau tiketnya mahal, sama aja, jadi aku harus cari kejelasan."

Tak tahan penasaran, aku pun mendekati loket tiket di stasiun. Aku bertanya kepada petugas tiket dengan nada bercampur penasaran dan cemas. "Permisi, Pak/Bu, berapa harga tiket kereta pulang-pergi antara Amsterdam dan Alkmaar?"

"It’s 7 euro," jawab petugas tiket dengan ramah, membuatku langsung mengangguk pelan.

Aku mengucapkan terima kasih, lalu berjalan menjauh sebentar ke sudut stasiun untuk menimbang-nimbang. Otak dan kalkulatorku langsung jalan otomatis: 19 euro untuk dorm di Alkmaar, ditambah 7 euro untuk tiket pulang-pergi kereta. Total 26 euro. Masih jauh lebih murah dibanding booking ulang hostel di Amsterdam yang tembus 50 euro hanya untuk semalam.

"Masih boleh lah," gumamku dalam hati, sedikit lega.

Tanpa menunda, aku segera booking kasur dorm itu melalui aplikasi. Beberapa klik dan konfirmasi kartu, dan… done! Kamar di Alkmaar berhasil diamankan. Rasanya seperti menang lotre kecil-kecilan. Dari nyaris nginep di bangku stasiun, jadi dapat penginapan nyaman dengan harga wajar.

Aku kembali ke loket tiket dan menyapa petugas tadi,
"Baik, Pak. Saya beli tiket sekali jalan ke Alkmaar ya."

Petugas itu dengan cekatan mengetik sesuatu di layar dan kemudian mencetak tiket kecil dari mesin di depannya.
"3,5 euro," ujarnya sambil menyerahkan tiket itu padaku.

"Terima kasih," kataku sambil menyerahkan uang dan menerima tiket dengan senyum lega.

Tanganku menggenggam tiket kecil itu erat-erat seperti menggenggam tiket menuju harapan. 

Setelah memegang tiket di tangan, aku segera melangkah menuju area peron. Mencari peron untuk kereta Intercity tujuan Alkmaar ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Petunjuk arah di Amsterdam Sloterdijk sangat jelas, dengan papan informasi digital yang terus diperbarui secara real-time. Aku hanya perlu memastikan nomor peron dari layar besar di tengah aula stasiun, lalu mengikuti panah petunjuk yang mengarah ke peron yang dimaksud.

Sesampainya di peron, udara sore mulai terasa dingin. Orang-orang berdiri dengan ransel dan koper, beberapa duduk sambil main ponsel. Tak butuh waktu lama, kereta Intercity datang dengan tenang. Warnanya khas—biru dan kuning, ciri khas NS (Nederlandse Spoorwegen), perusahaan kereta api nasional Belanda.

Aku masuk ke salah satu gerbong dan langsung merasakan kenyamanan khas kereta Eropa. Interiornya bersih dan cukup modern, dengan jendela besar dan kursi empuk berlapis kain biru. Tempat duduknya lega dan tertata rapi, sebagian besar kosong. Hari itu aku beruntung bisa duduk sendiri tanpa ada penumpang di sebelah.

Kereta mulai melaju, perlahan meninggalkan hiruk-pikuk Amsterdam. Sepanjang perjalanan menuju Alkmaar, aku disuguhi pemandangan yang berbeda dari suasana kota. Kereta melewati pinggiran kota, lalu berangsur-angsur berubah menjadi desa-desa kecil yang tenang. Ladang hijau terbentang luas, sesekali terlihat kanal-kanal kecil yang mengalir tenang. Rumah-rumah bata merah khas Belanda berjajar rapi, sebagian dengan taman kecil di depannya. Langit sore yang mulai redup menambah nuansa syahdu.

Di tengah perjalanan, seorang kondektur dengan seragam biru dan topi datang menyusuri lorong. Ia mengecek tiket dengan ramah sambil menyapa penumpang. Setelah aku menunjukkan tiketku, ia hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya.

Sekitar 40 menit kemudian, mendekati pukul 6 sore, kereta melambat. Alkmaar—tujuan akhirku malam ini—akhirnya tiba.

Stasiun Alkmaar tampak jauh lebih tenang dibanding Sloterdijk atau Amsterdam Centraal. Bangunannya tidak besar, tapi bersih dan terawat. Ada nuansa klasik khas kota kecil Eropa, dengan peron sederhana dan kanopi melengkung di atasnya. Beberapa penumpang turun bersamaku, tapi tak banyak. Di kejauhan kulihat deretan sepeda parkir rapi, dan bangunan-bangunan batu bata yang memberi kesan hangat meski udara mulai dingin.

Begitu keluar dari stasiun Alkmaar dan menjejakkan kaki di pelatarannya, hal pertama yang kulakukan adalah mengaktifkan Wi-Fi. Dan seperti yang kusyukuri sejak awal tiba di Eropa: akses Wi-Fi publik di sini luar biasa mudah. Gratis, tanpa password, dan sinyalnya kuat. Dalam hitungan detik, aku sudah terkoneksi dan langsung membuka Google Maps—mencari rute ke hostel tempatku akan bermalam malam ini: King's Inn City Hostel.

Rute yang kutemukan di peta menunjukkan jarak yang tak terlalu jauh. Hanya sekitar 12 menit jalan kaki, atau bisa juga naik transportasi umum selama 8 menit. Tapi karena suasana kota ini terlihat tenang dan nyaman, aku memutuskan untuk jalan kaki saja sambil menikmati suasana.

Langkahku mulai menyusuri jalan kecil yang keluar dari stasiun. Udara sore menjelang malam terasa sejuk, dan suasananya sangat berbeda dari hiruk pikuk Amsterdam. Ini kota kecil yang terasa ramah. Di kiri-kanan jalan, rumah-rumah khas Belanda dengan tembok bata berwarna cokelat berjajar rapi. Jendela-jendelanya lebar, beberapa dihiasi bunga di pot gantung, dan nyaris semuanya tampak sangat bersih dan terawat.

Tak lama kemudian, aku sampai di sebuah kanal kecil. Airnya jernih, memantulkan cahaya lampu jalan dan pepohonan di sekitarnya. Aku menyeberang lewat jembatan kecil yang membelah kanal itu. Dari atas jembatan, aku sempat berhenti sejenak, sekadar mengamati air yang tenang, dan rumah-rumah yang berjajar di kejauhan. Pohon-pohon rindang tumbuh di sepanjang tepi jalan, menambah kesan teduh dan asri.

Aku tersenyum sendiri. Perasaan nyaman dan tenang mulai mengisi dadaku, menggantikan rasa panik dan stres yang sempat kurasakan di Amsterdam tadi siang. Ada rasa syukur yang pelan-pelan muncul—syukur karena aku memilih solusi yang tepat, syukur karena masih bisa bermalam dengan aman dan nyaman, dan syukur karena bisa melihat sisi lain dari Belanda yang lebih damai dan tenang.

Begitu sampai di depan King's Inn City Hostel, aku langsung masuk ke lobi dengan langkah lega. Bangunannya tidak terlalu besar, tapi tampak hangat dan modern. Proses check-in berlangsung cepat dan lancar—resepsionisnya ramah, dan aku hanya perlu menunjukkan paspor serta bukti booking.

Syukurlah, aku diberi kasur di bagian bawah—hal kecil yang sangat kusyukuri setelah hari yang cukup melelahkan. Kamarku adalah dorm campur, tapi saat aku masuk, kondisinya masih sepi. Hanya ada satu koper di pojok dan suara gemerisik dari ranjang atas di ujung ruangan. Aku segera meletakkan tas besarku, mengganti baju dengan yang lebih nyaman, dan duduk sejenak untuk menarik napas panjang.

Tapi tak lama kemudian, rasa lapar mulai menyergap. Rasanya energi hari ini sudah terkuras sejak dari Amsterdam. Aku pun mengaktifkan Wi-Fi hostel dan mulai browsing tempat makan di sekitar. Setelah menimbang-nimbang beberapa pilihan, akhirnya aku putuskan untuk main aman: KFC aja deh. Lumayan dekat dari hostel, dan rasanya sudah bisa terbayang—hangat, gurih, dan mengenyangkan.

Sekalian saja, aku niatkan untuk jalan-jalan sore di kota Alkmaar. Kota kecil ini punya suasana yang damai dan menenangkan—cocok banget untuk menutup hari yang penuh kejutan ini.

Langit mulai berwarna keemasan, cahaya senja menyentuh pelan bangunan bata tua dan kanal-kanal kecil yang berliku di tengah kota. Aku pun melangkah keluar hostel, siap menyambut malam dengan perut kenyang dan hati yang jauh lebih ringan.

Sore itu, aku melangkah santai dari hostel menuju KFC yang lokasinya tak jauh. Udara Alkmaar terasa dingin tapi menenangkan—angin sepoi-sepoi menyapa wajah, dan jalanan kota terlihat lengang. Cahaya sore keemasan menyinari rumah-rumah bata khas Belanda yang berjajar rapi. Di sepanjang jalan, sesekali aku melintasi kanal kecil yang tenang, memantulkan langit yang perlahan berubah warna.

Begitu sampai di KFC, aku masuk dan langsung memesan: satu porsi kentang goreng, ayam crispy, nugget, dan secangkir hot chocolate. Makanan comfort yang pas banget untuk menghangatkan tubuh dan hati. Aku memilih duduk di kursi bagian luar, tepat di area teras KFC yang menghadap ke jalan kecil yang damai.

Suasananya tenang. Hampir tidak ada suara bising. Hanya sesekali deru sepeda melintas dan percikan air kanal yang mengalir pelan. Udara dingin sore hari terasa justru pas, membuat hot chocolate yang kupesan jadi makin nikmat saat diseruput.

Saat aku sedang menikmati kentang goreng, beberapa burung kecil mulai mendekat. Mereka berjalan pelan-pelan ke arahku, kepala miring ke kiri dan kanan seperti minta jatah. Aku tersenyum sendiri, lalu menyobek beberapa kentang dan kuberikan ke mereka. Mereka langsung berebut, tapi tetap dengan cara yang lucu dan tidak gaduh. Rasanya seperti adegan dari film indie Eropa—sunyi, sederhana, tapi hangat.

Lalu, hal kecil tapi sangat berkesan terjadi. Seorang pria paruh baya duduk di bangku seberangku. Ia mengeluarkan rokok, tapi sebelum menyalakan, ia menoleh ke arahku dan bertanya dengan sopan—bolehkah ia merokok.

Aku sedikit kaget, tapi sekaligus salut. Di Eropa, duduk di luar memang otomatis area merokok. Tapi tetap saja, dia memilih untuk bertanya dulu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum,
"Of course, it's okay."
Dalam hati aku kagum. Sebuah bentuk etika sederhana yang jarang kulihat di banyak tempat.

Aku duduk cukup lama di situ. Menikmati makanan, suasana, angin yang membelai ringan, dan langit yang perlahan berganti warna jadi jingga tua. Waktu seolah melambat, dan aku hanya duduk diam, merasa damai di titik ini. Tidak ada yang perlu buru-buru. Tidak ada yang harus dikejar malam ini.

"Besok aku check out pagi-pagi dan harus ke Zaanse Schans," bisikku dalam hati, mulai menyusun rencana esok hari.
"Backpack kayaknya aku bawa sekalian aja dan kutaruh di luggage storage. Biar praktis, gak usah balik-balik lagi ke Alkmaar."

Sore itu kututup dengan syukur. Karena di balik segala kekacauan hari ini, aku justru mendapat momen ketenangan yang sulit dicari di kota besar. Dan semua itu dimulai dari sebuah kasur dorm 19 euro dan sebungkus kentang goreng yang dibagi ke burung jalanan.

Malam itu tak banyak yang bisa kulakukan. Setelah tadi sore kamar dorm masih kosong dan sunyi, ternyata saat aku pulang dari KFC, suasananya sudah berubah. Beberapa pria berbadan besar sudah mengisi ranjang-ranjang lainnya. Dari logat mereka saat berbicara satu sama lain, aku bisa menebak itu bahasa Slavia—sepertinya bahasa sirilik. Dan benar saja, ketika salah satu dari mereka bertanya padaku dengan aksen berat,
“Where are you from?”
Aku jawab, “Indonesia,” sambil tersenyum ramah.

Saat aku balik bertanya, mereka mengangguk sambil berkata,
“Russia.”

Wah, menarik juga. Meskipun penampilan mereka bisa bikin ciut nyali—badan besar, suara berat, wajah sangar—ternyata mereka sangat ramah dan sopan. Kami berbincang ringan sejenak, lalu masing-masing kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang langsung selonjoran sambil scrolling HP, ada juga yang rebahan memejamkan mata.

Perutku masih terasa agak lapar, mungkin karena udara dingin dan sisa perjalanan hari ini. Jadi aku mengeluarkan rice cooker mini andalanku. Yup, traveler sejati wajib siap dengan alat tempur semacam ini. Aku pun mulai merebus air dan memasak stok terakhir Indomie rebus yang kubawa dari rumah. Aroma bumbu mie yang familiar langsung memenuhi ruang tengah hostel—dan seketika, rasanya seperti pulang.

Aku duduk santai di ruang tengah hostel sambil menikmati setiap suapan mie panas itu. Nikmat banget. Sambil makan, pikiranku melayang—membayangkan seperti apa kisah esok hari. Mungkinkah ada kejutan lain yang menanti di Zaanse Schans? Mungkinkah aku akan bertemu orang baru lagi, atau malah kehilangan arah di tengah desa kincir angin?

Setelah kenyang dan suasana mulai hening, kantuk mulai menyerang. Aku bereskan mangkukku, membereskan sedikit barang, lalu beranjak ke kasur. Lampu kamar sudah redup, dan hanya terdengar suara napas pelan para penghuni dorm.

"Semoga besok menjadi hari yang menyenangkan," ujarku dalam hati.
"Terima kasih, diriku, untuk tetap kuat hari ini."

Dan dengan perasaan damai, aku pun terlelap dalam diam, membiarkan tubuhku istirahat dari hari yang panjang, dan hatiku bersiap untuk petualangan esok pagi.

0 comments:

Posting Komentar