Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.14.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 18: Samsara: Lingkaran Tanpa Akhir dari Keinginan dan Ketidakpuasan

 

Dalam ajaran Buddha, samsara dipahami sebagai siklus kehidupan yang tiada akhir—rangkaian kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali yang digerakkan oleh keinginan (tanha), ketidaktahuan (avijja), dan kemelekatan (upadana). Namun samsara tidak hanya merujuk pada siklus kelahiran kembali dalam pengertian literal, melainkan juga mencerminkan pola batin yang berlangsung terus-menerus dalam keseharian kita—perputaran tanpa henti antara harapan dan kekecewaan, pencapaian dan kekosongan, cinta dan kehilangan.

Kita hidup di dalam lingkaran itu, bahkan sering kali tanpa menyadarinya. Kita berpikir, “Kalau aku sudah punya pekerjaan tetap, aku akan bahagia.” Lalu ketika sudah mendapat pekerjaan itu, muncul lagi keinginan baru: “Aku ingin gaji yang lebih tinggi.” Setelah gaji naik, muncullah keinginan lain: “Sepertinya aku harus beli rumah sendiri.” Dan setelah rumah terbeli, rasa tenang tak juga datang—malah muncul kekhawatiran soal cicilan, renovasi, atau rasa kesepian dalam rumah itu.

Contoh lainnya, seseorang merasa hidupnya akan lebih bahagia kalau punya pasangan. Ia merasa "sendiri itu menyedihkan." Tapi setelah memiliki pasangan, ternyata muncul keinginan-keinginan baru: ingin pasangannya lebih perhatian, lebih romantis, lebih sukses. Saat pasangan tidak sesuai harapan, muncullah konflik, kekecewaan, dan penderitaan. Kadang kita bahkan melupakan bahwa dahulu, kita pernah sangat bersyukur hanya karena tidak lagi merasa sendirian.

Atau dalam hal yang lebih sederhana—misalnya makanan. Kita merasa sangat ingin makan sesuatu yang lezat, mungkin martabak manis coklat keju. Kita beli, kita makan, dan ya, memang enak. Tapi kepuasan itu hanya berlangsung sebentar. Setelahnya, muncul rasa bersalah karena terlalu banyak gula, atau bahkan rasa hambar karena ternyata tak seperti yang dibayangkan. Hari berikutnya, kita kembali mencari makanan lain yang lebih memuaskan. Begitu terus, tak ada habisnya. Inilah bentuk samsara dalam pengalaman yang sangat dekat dengan kita.

Sering kali, penderitaan muncul bukan karena apa yang kita miliki atau tidak miliki, melainkan karena cara kita bereaksi terhadap perubahan. Kita ingin hal-hal menyenangkan bertahan selamanya, dan hal-hal yang tidak menyenangkan segera pergi. Padahal, dalam ajaran Buddha, semua fenomena—perasaan, keadaan, hubungan, bahkan hidup itu sendiri—adalah anicca, tidak kekal, dan akan terus berubah.

Dalam Dhamma, jalan untuk keluar dari lingkaran ini dimulai dari sati, atau kesadaran penuh. Kesadaran untuk melihat bahwa keinginan yang timbul dalam batin bukanlah musuh, tetapi juga bukan sesuatu yang harus selalu dituruti. Dengan mempraktikkan mindfulness, kita belajar untuk mengamati pikiran dan emosi kita—termasuk dorongan untuk mengejar, mempertahankan, atau menolak sesuatu—tanpa harus selalu bereaksi terhadapnya.

Melihat pikiran sebagai fenomena yang datang dan pergi, bukan sesuatu yang kekal.

Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, saat merasa jengkel karena seseorang tidak membalas pesan kita dengan cepat. Sebelum bereaksi, kita bisa diam sejenak, menyadari bahwa kejengkelan itu muncul karena kita berharap orang lain merespons sesuai waktu yang kita inginkan. Saat kita menyadari keinginan itu, kita bisa memilih untuk melepaskannya. Tidak perlu menekan emosi, hanya melihat, mengakui, dan melepaskan. Dengan latihan seperti ini secara konsisten, kita perlahan mulai membebaskan diri dari kecenderungan reaktif yang membuat hidup kita lelah dan penuh kekecewaan.

Pemahaman akan samsara tidak membuat kita menjadi apatis atau kehilangan semangat hidup. Justru sebaliknya, kita belajar bertindak tanpa didorong oleh dorongan haus yang tak berujung. Kita tetap bekerja, menjalin hubungan, menikmati hidup—tetapi dengan kesadaran bahwa semua itu bersifat sementara. Maka, ketika hal-hal itu berubah atau hilang, kita tidak runtuh, karena kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang fana.

Pada akhirnya, kebebasan dari samsara bukan tentang pergi ke tempat lain, tetapi tentang berdamai dengan kenyataan sebagaimana adanya. Menyadari bahwa keinginan dan ketidakpuasan adalah bagian dari hidup, dan kita bisa belajar melepaskannya tanpa kehilangan arah. Ketika kita mampu hidup di tengah perubahan dengan hati yang lapang dan tidak melekat, saat itulah kita mulai mencicipi rasa damai yang tidak tergantung pada apa pun. Di tengah dunia yang terus berputar, kita menemukan titik hening di dalam diri.

0 comments:

Posting Komentar