Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.22.2025

Solo, 22 April 2025 : Sejenak Berhenti......

Ada kalanya dalam hidup, kita merasa ingin berhenti sejenak dari segala sesuatu. Bukan karena ada yang salah, tetapi terkadang kelelahan muncul karena hidup yang penuh dengan keharusan, kekuatiran, kegelisahan, dan kegundahan. Ada kalanya kita hanya ingin beristirahat dari rutinitas yang terus-menerus menuntut kita untuk berlari mengejar uang, membahagiakan orang lain, dan memenuhi ekspektasi yang terkadang terasa begitu berat.

Pikiran itu muncul seperti angan-angan, tetapi bukan tanpa makna. Ketika pemikiran 'sejenak berhenti' muncul, aku membayangkan sebuah tempat yang luas, jauh dari hiruk-pikuk dunia—sebuah tempat di mana ketenangan dan kedamaian menjadi satu-satunya hal yang diperlukan. Sebuah campervan yang terbuka, diletakkan di tengah area luas, seperti padang savana Ndoro Canga di Sumbawa. Di sana, angin berhembus pelan, sejuk di bawah pohon-pohon besar yang menaungi rumput kehijauan yang tumbuh subur. Di dekat situ, ada sungai yang alirannya bersih, memberi ketenangan bagi setiap pendengarnya. Suasana ini seakan membawaku jauh dari semua kekhawatiran.

Ilustrasi tempat 'sejenak berhenti' dalam angan-anganku. Created by AI.

Setiap pagi, aku bangun dan rasanya seperti dunia ini hanya milikku. Tak ada yang perlu dipikirkan berlebihan, tak ada kekhawatiran akan deadline yang harus dikerjakan hari itu. Aku minum dua gelas air putih untuk menyegarkan tubuh, kemudian membuat sarapan sederhana yang sehat. Setelah itu, aku membuat kopi dengan kepulan asap yang nikmat, menghirup aromanya yang hangat dan menenangkan. Setelah sarapan, aku bisa meluangkan waktu untuk merawat sayur-sayuran yang kutanam di dekat campervanku. Menyentuh tanah yang lembap dan melihat tanaman-tanaman kecil itu tumbuh perlahan memberi rasa puas yang tak terungkapkan.

Selanjutnya, aku mandi dengan air jernih dari sungai yang mengalir dengan tenang, merasakan kesejukan air yang menyegarkan. Tak ada yang terburu-buru, tak ada waktu yang terus mengejar. Setelah itu, aku bisa membaca buku, menulis, atau melakukan kegiatan lainnya yang memberi ketenangan dan rasa produktif tanpa tekanan. Di sini, aku bisa merasa bebas—bebas dari hiruk-pikuk dunia, bebas dari ekspektasi orang lain, dan bebas untuk menjadi diri sendiri.

Di sampingku, ada seekor kucing yang setia menemani. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada kehadiran seekor kucing yang duduk dengan santai, menatap dunia dengan mata yang penuh ketenangan. Kucing itu tidak peduli apakah aku sibuk atau tidak, apakah aku bahagia atau sedang resah. Ia hanya ada di sana, dengan keberadaannya yang penuh kehangatan, tidak menuntut apa-apa selain memberikan kenyamanan. Kehadirannya mengingatkan aku pada kesederhanaan hidup—bahwa kadang, yang kita butuhkan hanyalah ada di saat ini, tanpa terbebani dengan masa lalu atau kekhawatiran masa depan.

Kucing, kepulan asap kopi, dan kebun sawi. Created by AI. Tapi kok tiang penyangga awning-nya jadi 1 aja ya wkwk..

Selain itu, aku tahu orangtuaku juga berada dalam keadaan yang baik. Mereka sehat dan bahagia di rumah pensiun mereka, menjalani hari-hari dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan, tanpa kekhawatiran yang mengikat. Hal itu memberi rasa nyaman dan aman dalam hatiku, mengetahui bahwa mereka menikmati masa tua mereka dengan bahagia.

Di dunia yang penuh tuntutan ini, kadang kita butuh untuk beristirahat dari kehidupan, bukan dengan menghindar atau menyerah, tetapi dengan memberi ruang bagi diri sendiri untuk mereset, untuk mengembalikan keseimbangan. Kita sering terjebak dalam tekanan untuk selalu berproduksi, untuk selalu berusaha lebih keras, untuk selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Tetapi pada akhirnya, kesejahteraan mental dan kebahagiaan sejati datang ketika kita memberi izin pada diri kita sendiri untuk berhenti sejenak, untuk merasakan kebebasan, dan untuk menikmati keheningan.

Mungkin itu bukan pelarian, melainkan sebuah cara untuk menemukan kembali kekuatan dalam keheningan, untuk meresapi setiap detik tanpa terburu-buru. Mencari tempat yang tidak mengharuskan kita menjadi siapa-siapa selain diri kita yang sebenarnya, tanpa label atau beban yang membelenggu.

Aku tahu, aku harus kembali ke dunia nyata, tapi aku juga tahu bahwa aku tak perlu terburu-buru. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat dari kehidupan yang tak pernah berhenti. Karena terkadang, kita tak perlu mencari tujuan atau jawaban, cukup berhenti sejenak dan membiarkan diri kita merasakan kedamaian yang sederhana.

Suatu saat nanti, mungkin aku akan menemukan tempat seperti itu. Dan untuk saat ini, aku akan membiarkan angan-angan itu menjadi tempat persembunyian untuk sejenak. Sebuah pengingat bahwa kita semua butuh waktu untuk beristirahat dari kehidupan—bukan untuk melarikan diri darinya.

[2] ACEH : Gua Sarang, Snorkeling di Pulau Rubiah dan Sate Gurita khas SABANG!

Hari kedua di Pulau Weh, aku dan Nur bangun cukup pagi. Udara masih segar, dengan sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan. Setelah mandi dan bersiap, kami berjalan kaki ke sebuah warung sederhana dekat penginapan untuk sarapan. Menu yang kami pilih cukup sederhana, tapi mengenyangkan—nasi dengan ikan goreng dan sambal khas Aceh yang sedikit pedas, ditemani segelas teh hangat.

Pagi itu, aku dan Nur melajukan motor menuju destinasi pertama kami hari ini—Gua Sarang di Pulau Weh. Kami memilih ke sana lebih dulu karena jaraknya paling dekat dari penginapan. Udara pagi yang sejuk membelai wajah saat motor kami melaju di jalanan berkelok dengan pemandangan hijau di kanan dan kiri. Sesekali, kami melewati bukit kecil yang dari puncaknya, sekilas terlihat lautan biru membentang di kejauhan.

Semakin mendekati Gua Sarang, jalan mulai menurun dengan beberapa bagian berbatu. Kami pun memarkir motor di area yang disediakan, lalu bersiap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari titik ini, sudah terdengar suara deburan ombak yang menghantam tebing-tebing karang, seolah memanggil kami untuk segera turun.

Perjalanan ke bawah dimulai dengan menuruni ratusan anak tangga yang curam, berliku-liku menempel di lereng bukit. Setiap langkah membawa kami semakin dekat ke laut, dan di sela-sela anak tangga, celah pepohonan membuka pemandangan ke laut lepas yang luas dan berkilauan diterpa matahari pagi. Semakin turun, udara semakin terasa lembap, bercampur dengan aroma asin khas laut yang segar.

Setibanya di bawah, kami melangkah menyusuri tepi pantai yang dipenuhi batu-batu karang. Ombak kecil bergulung, menyapu kaki kami yang sesekali terendam air laut. Jalan setapak ini membawa kami mendekati tebing-tebing tinggi yang menjulang megah, berdiri kokoh berbatasan langsung dengan laut. Dinding-dinding karang yang dipenuhi lumut dan tanaman liar menciptakan suasana alami yang masih sangat asri.

Di depan kami, gua-gua alami tampak menganga di tebing, seolah menjadi mulut raksasa yang menyimpan rahasia. Beberapa gua lebih dalam dan gelap, sementara yang lain terbuka, membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi bagian dalamnya. Dari celah-celah gua, suara burung-burung laut menggema, berpadu dengan deru ombak yang terus menghantam batuan karang.

Kami terdiam sejenak, membiarkan semua pemandangan ini meresap dalam ingatan. Ada rasa takjub melihat betapa alam bisa membentuk tempat seindah ini. Rasa lelah setelah menuruni ratusan anak tangga seketika lenyap, tergantikan oleh ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini—jauh dari hiruk-pikuk, hanya ada kami, tebing-tebing kokoh, dan laut yang seakan tak berujung.

Hari ini, rencana kami sudah jelas: snorkeling di Pulau Rubiah. Snorkeling di sana adalah aktivitas wajib bagi siapa pun yang datang ke Pulau Weh. Pulau Rubiah terkenal dengan keindahan bawah lautnya yang luar biasa—airnya jernih kebiruan, terumbu karangnya masih alami, dan ikan-ikan tropis berwarna-warni berenang bebas di antara karang-karang. Banyak wisatawan yang mengatakan bahwa snorkeling di Pulau Rubiah adalah salah satu pengalaman terbaik di Indonesia.

Setelah sarapan, kami berangkat dari Pantai Gapang menuju Pantai Iboih, titik keberangkatan utama menuju Pulau Rubiah. Perjalanan dengan motor hanya sekitar 10-15 menit, melewati jalanan berliku dengan pemandangan indah di sepanjang sisi jalan. Sesekali, kami bisa melihat laut biru kehijauan yang membentang luas di kejauhan, membuat perjalanan singkat ini terasa menyenangkan.

Begitu tiba di Pantai Iboih, suasana lebih ramai dibandingkan Pantai Gapang. Banyak turis berlalu-lalang, beberapa sedang bersiap untuk snorkeling atau diving, sementara yang lain hanya duduk menikmati pemandangan. Deretan warung dan kios penyedia jasa wisata berjejer di sepanjang pantai, menawarkan penyewaan peralatan snorkeling, diving, hingga kapal untuk menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kami mendekati salah satu stand penyewaan dan bertanya tentang paket snorkeling. Seorang pria muda menjelaskan bahwa kapal ke Pulau Rubiah pulang pergi seharga Rp100.000. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5-10 menit perjalanan dengan kapal, karena Pulau Rubiah berada tepat di seberang Pantai Iboih. Dari bibir pantai saja, pulau itu sudah terlihat jelas dengan pepohonannya yang hijau dan air laut yang begitu bening.

Untuk peralatan snorkeling, biaya sewanya Rp80.000, termasuk pelampung dan snorkel. Kami juga memutuskan untuk menyewa kamera underwater seharga Rp150.000, supaya bisa mengabadikan momen di bawah laut. Setelah setuju dengan harga tersebut, kami menunggu sebentar sambil melihat kapal-kapal kecil yang berseliweran mengantar wisatawan ke Pulau Rubiah.

Tak lama, kapal kami siap. Kami naik ke perahu kayu bermotor bersama beberapa wisatawan lainnya. Mesin kapal dinyalakan, dan perlahan kami bergerak meninggalkan Pantai Iboih. Air laut yang jernih membuat dasar laut terlihat jelas, bahkan dari atas kapal. Dengan semangat, kami bersiap untuk menjelajahi keindahan bawah laut Pulau Rubiah.

Selesai snorkeling, kami mengendarai motor menuju Kota Sabang. Angin sore yang sejuk menemani perjalanan kami, sementara sisa air laut yang masih menempel di kulit terasa mengering perlahan. Sepanjang jalan, deretan pepohonan dan rumah-rumah sederhana khas daerah pesisir memberi suasana yang tenang. Namun, satu hal yang terus ada di pikiranku: sate gurita.

Sudah sejak lama aku penasaran dengan kuliner khas Pulau Weh ini. Begitu melihat sebuah warung sate gurita yang tampak cukup meyakinkan—bersih, ramai pengunjung, dan aromanya menggoda—kami pun berhenti. Kami memesan satu porsi lebih dulu, harganya 20 ribu rupiah.

Tak butuh waktu lama, sepiring sate gurita tersaji di depan kami. Lima tusuk sate tersusun rapi di atas piring, dengan saus kacang yang kental menggenang di sekelilingnya. Aroma asap panggangan masih tercium samar, bercampur dengan wangi khas bumbu rempah yang menggugah selera.

Aku mengambil satu tusuk dan menggigitnya perlahan. Tekstur guritanya sungguh unik—kenyal tapi tidak alot, justru terasa empuk dan sedikit renyah di bagian luar, hasil dari proses pemanggangan yang sempurna. Setiap gigitan dipenuhi rasa gurih alami dari daging gurita yang berpadu dengan manis, pedas, dan sedikit smoky dari bumbu sate. Saus kacangnya menambah kekayaan rasa, memberikan sentuhan gurih dan sedikit creamy yang melapisi setiap potongan daging.

Satu tusuk habis dalam hitungan detik. Aku dan Nur saling pandang, lalu tertawa kecil. Tanpa ragu, kami langsung memesan satu porsi lagi. Sate gurita ini benar-benar lezat—paduan rasa dan teksturnya menciptakan pengalaman kuliner yang sulit dilupakan.

Esoknya seharusnya kami pulang kembali ke Banda Aceh, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Dua hari sudah kami mengeksplor Pulau Weh, namun entah kenapa aku merasa belum puas. Seolah masih ada sesuatu yang belum lengkap, sudut-sudut yang belum sempat kusentuh.

Aku duduk di tepi pantai sore itu, memandangi laut yang perlahan berubah warna seiring matahari mulai condong ke barat. Ombak bergulung dengan tenang, dan angin lembut menerpa wajahku. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa perjalanan ini sudah cukup, bahwa besok aku harus kembali ke Banda Aceh seperti rencana awal. Namun, pikiranku terus melayang ke bagian timur Pulau Weh—tempat yang belum sempat kami jelajahi.

Aku menoleh ke arah Nur, yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Kayaknya aku mau extend semalam lagi," kataku akhirnya.

Nur mengangkat alis, sejenak terdiam, lalu tersenyum kecil. "Aku udah nebak," katanya santai. "Oke, ayo kita eksplor bagian timur besok."

Keputusan itu langsung membuat hatiku lebih ringan. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Besok, satu hari lagi di Pulau Weh—satu hari lagi untuk menyelami sudut-sudutnya yang masih tersembunyi. Aku tidak ingin terburu-buru meninggalkan tempat ini sebelum benar-benar merasa puas.

[1] ACEH : First Impression, Pulau We dan 0 Kilometer INDONESIA!

 Pesawat AirAsia yang kami tumpangi dari Kuala Lumpur mulai menurunkan ketinggian. Dari jendela, terbentang samudra biru luas yang mengelilingi pesisir Banda Aceh. Kota ini terletak di ujung utara Pulau Sumatra, di mana perairan Selat Malaka dan Samudra Hindia bertemu. Gugusan pulau kecil tampak di kejauhan, dan perlahan, daratan Aceh semakin jelas di bawah sana.

Ini adalah pertama kalinya aku dan Nur menginjakkan kaki di Aceh, yang juga dikenal sebagai Serambi Mekah. Ada rasa penasaran dan antusias yang bercampur dalam perjalanan ini, terutama karena Aceh memiliki sejarah dan budaya yang begitu khas dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Begitu pesawat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, kami langsung menuju imigrasi. Saat menyerahkan paspor, petugas sempat bertanya,

"Mau ke mana dan ngapain?"

Kami jawab singkat bahwa kami ingin jalan-jalan dan akan menyeberang ke Pulau Weh besok pagi. Setelah pemeriksaan yang cukup cepat, kami pun melangkah keluar bandara.

Begitu tiba di luar bandara, kami awalnya ingin mencari transportasi umum. Namun, setelah celingak-celinguk di sekitar bandara, ternyata tidak ada angkutan umum. Yang ada hanya taksi bandara yang langsung menawarkan tarif. Seorang sopir mendekati kami dan menyebut harga, tapi rasanya masih terlalu mahal.

Kami pun memutuskan untuk berjalan keluar dari area bandara, berharap bisa menemukan tempat yang memungkinkan untuk memesan Grab. Namun, baru beberapa ratus meter berjalan di bawah terik matahari, taksi yang tadi menawari kami datang lagi. Kali ini, dia menawarkan harga yang lebih murah. Setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kepraktisan, kami pun setuju dan langsung naik ke dalam mobil ber-AC yang cukup lega.

Tak butuh waktu lama, sekitar 25 menit, kami tiba di Hotel Kuala Nanggroe, hotel yang sudah kami pesan online. Hotel ini cukup sederhana, tetapi fasilitasnya lumayan lengkap—ada Wi-Fi, AC yang dingin, dan kamar yang bersih. Setelah perjalanan panjang, akhirnya bisa merebahkan badan di kasur empuk terasa sangat menyenangkan.

Saat melewati jalanan Banda Aceh menuju hotel, aku memperhatikan kota ini lebih detail.

  • Tidak terlalu ramai, tidak ada hiruk-pikuk kendaraan seperti di kota besar lain di Indonesia.
  • Jalanan tertata rapi, dengan trotoar yang cukup nyaman untuk pejalan kaki.
  • Kota ini juga terasa bersih, hampir tidak ada sampah berserakan di pinggir jalan.
  • Banyak bangunan berarsitektur khas Aceh, terutama masjid dengan kubah besar dan motif Islami yang indah.

Setelah beristirahat sebentar, malamnya kami memutuskan untuk memesan makanan online. Pilihan kami jatuh pada sesuatu yang familiar dan mengenyangkan—nasi Padang. Begitu makanan tiba, aku langsung membuka bungkusnya dan aroma rempahnya langsung menguar ke seluruh kamar.

Saat suapan pertama masuk ke mulut, aku dan Nur langsung saling pandang dengan ekspresi kaget.

"Gila, ini enak banget!"

Bumbunya benar-benar kaya rasa, dagingnya empuk, kuah gulainya terasa gurih, dan sambalnya memiliki pedas yang pas. Entah karena kami lapar atau memang makanan di Aceh seenak ini, tapi malam itu rasanya nasi Padang terbaik yang pernah kumakan.

Setelah perut kenyang, kami memutuskan untuk tidur lebih awal. Besok pagi, kami akan memulai perjalanan menuju Pulau Weh, petualangan yang sudah kami tunggu-tunggu sejak lama. Aku menutup mata dengan perasaan puas dan tak sabar untuk melihat apa lagi yang Aceh tawarkan.

Esok paginya, aku dan Nur bangun lebih awal dengan semangat untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh, salah satu pulau terluar Indonesia yang menjadi tujuan utama kami. Setelah mandi dan berkemas, kami segera check-out dari hotel.

Beruntung, saat memesan Grab, kami mendapatkan promo dengan tarif Rp 1 menuju Pelabuhan Ulee Lheue, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 20 hingga 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Setibanya di pelabuhan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung makan sederhana di depan pelabuhan. Menu yang kami pilih adalah nasi dengan sayur, ikan goreng, dan sambal. Rasanya sungguh nikmat, perpaduan bumbu khas Aceh yang kaya rempah membuat sarapan pagi itu menjadi pengalaman kuliner tersendiri.

Setelah selesai makan, kami menuju area keberangkatan untuk naik ke kapal. Suasana pelabuhan pagi itu cukup ramai; banyak warga lokal dan wisatawan yang juga hendak menyeberang ke Pulau Weh. Beberapa penjual makanan dan minuman tampak menjajakan dagangannya di sekitar area tunggu. Kendaraan seperti mobil dan motor antre untuk masuk ke dalam kapal feri. Meskipun ramai, suasananya tetap tertib dan teratur.

Kami memiliki dua pilihan transportasi laut menuju Pulau Weh:

  1. Kapal Feri: Dengan tarif sekitar Rp 25.000, waktu tempuhnya sekitar 2 jam.

  2. Kapal Cepat: Dengan tarif sekitar Rp 75.000, waktu tempuhnya lebih singkat, sekitar 45 menit.

Kami memilih kapal feri karena ingin menikmati perjalanan laut yang lebih santai dan hemat biaya. Pagi itu, kondisi laut cukup bersahabat, sehingga perjalanan berlangsung lancar dan menyenangkan. Selama di atas feri, kami menikmati pemandangan laut yang luas dan sesekali melihat pulau-pulau kecil di kejauhan, menambah antusiasme kami untuk menjelajahi keindahan Pulau Weh.

Catatan: Informasi mengenai tarif dan waktu tempuh kapal feri dan kapal cepat diperoleh dari pengalaman perjalanan dan dapat berubah sewaktu-waktu.

Setelah kapal feri merapat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh, kami segera bersiap untuk turun bersama para penumpang lainnya. Sejak awal, kami memang belum menyewa motor untuk transportasi selama di Pulau Weh. Namun, berdasarkan informasi yang aku baca sebelumnya, banyak sumber menyebutkan bahwa setelah tiba di pelabuhan, akan ada banyak orang yang menawarkan jasa sewa motor. Aku cukup yakin dengan info itu karena sudah membaca dari berbagai sumber.

Dan benar saja, begitu kami melangkah keluar dari kapal, seorang bapak langsung mendekati kami dengan senyum ramah.

"Sewa motor, Kak? 90 ribu per hari," katanya sambil menunjuk ke arah beberapa motor yang tersedia.

Motornya Honda Vario, tidak terlalu baru, tetapi juga tidak terlihat terlalu tua. Aku dan Nur mengecek kondisinya sebentar—lampu menyala, rem pakem, dan ban masih layak. Semua tampak baik-baik saja, jadi kami pun langsung deal untuk menyewa motor tersebut selama tiga hari.

Dengan motor ini, perjalanan kami di Pulau Weh akan jauh lebih fleksibel dan nyaman!

Setelah beberapa kilometer meninggalkan Pelabuhan Balohan, aku mulai merasakan ketidaknyamanan pada motor yang kami sewa.

"Aduh, remnya nggak pakem," kataku dari depan motor.

"Kita bawa ke bengkel dulu aja ya, paling rem belakang dikencangin, rem depan ganti kampas," lanjutku.

"Iya, dibawa aja dulu, bahaya juga kalau gini," jawab Nur.

"Iya. Soalnya medan yang bakal kita lewatin banyak kelok dan pegunungan. Bisa bahaya kalau remnya nggak pakem."

Aku segera mencari bengkel terdekat melalui ponsel dan menemukan satu yang tidak jauh dari situ. Syukurlah, masalah bisa dibereskan dengan cepat. Aku membayar Rp 40.000 untuk perbaikan tersebut. Aku memutuskan untuk tidak meminta penggantian biaya kepada bapak penyewa motor, karena merasa kasihan jika rezekinya berkurang. Lagipula, ini demi keselamatan kami sendiri.

Setelah memastikan motor dalam kondisi baik, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang telah kami pesan sebelumnya, berlokasi di Pantai Gapang, namanya Cheapest Bungalow. Dari namanya udah ketebak ya, kenapa kami memilih penginapan ini 😁. Jarak dari Pelabuhan Balohan ke Pantai Gapang sekitar 20 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 30 hingga 40 menit menggunakan motor. Kondisi jalan di Pulau Weh umumnya baik, dengan beberapa bagian yang sepi dan berkelok-kelok melewati perbukitan. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat menawan, dengan hutan hijau dan sesekali pemandangan laut yang memukau.

Di tengah jalan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah warung sederhana di tepi pantai. Tempatnya sederhana, beratapkan daun rumbia dan beberapa meja kayu tua yang menghadap langsung ke laut. Kami duduk di salah satu meja yang paling dekat dengan air, dan dari sana bisa terlihat ombak kecil yang pelan-pelan menyapu pasir putih di garis pantai yang panjang dan sunyi. Alasanku berhenti disini tentunya satu, pengen banget ngerasain Mie Aceh langsung disini. Setelah semalam merasakan nasi Padang di Kota Banda Aceh dan 'termehek-mehek' dengan kelezatan rasanya, tentunya ekspetasiku untuk Mie Aceh ini lumayan tinggi.

"Mie Aceh 1 sama es kopi 1 mas," kataku ke penjaga warung.


Sesampainya di penginapan - Cheapest Bungalow Sabang, kami disambut dengan kejutan menyenangkan: kami diberikamar ber-AC! Padahal saat memesan kami memilih kamar dengan kipas angin. Penginapan ini langsung menghadap ke Pantai Gapang, menawarkan pemandangan laut yang menakjubkan. Terdapat gubuk-gubuk di depan hotel yang disediakan untuk duduk santai menikmati pantai. Setelah meletakkan barang dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Titik Nol Kilometer Indonesia, sebuah monumen yang menandai ujung barat wilayah Indonesia.

Perjalanan dari Pantai Gapang ke Titik Nol Kilometer memakan waktu sekitar 30 menit dengan motor, melewati jalan yang berkelok-kelok dan pemandangan alam yang asri. Sesampainya di sana, kami merasa bangga bisa berdiri di titik paling barat Indonesia, sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Sore itu, aku dan Nur memutuskan untuk mengunjungi titik nol kilometer Indonesia di Pulau Weh. Kami berangkat dari Pantai Gapang dengan motor sewaan, melaju di jalanan yang berkelok-kelok menembus perbukitan hijau yang masih asri. Jalanan cukup sepi, hanya sesekali kami berpapasan dengan motor lain atau truk kecil yang melintas perlahan. Sesekali di sisi jalan, monyet-monyet liar tampak bertengger di dahan pepohonan, mengawasi kami dengan tatapan penasaran.

Udara di sepanjang perjalanan terasa segar, dengan hembusan angin laut yang membawa aroma khas asin dari Samudra Hindia. Kami melewati beberapa tanjakan curam dan turunan tajam, sementara di beberapa titik, pepohonan di pinggir jalan terbuka, memperlihatkan pemandangan laut biru kehijauan yang terbentang luas di bawah sana.

Setelah sekitar 30 menit berkendara dari Pantai Gapang, akhirnya kami tiba di kawasan Tugu Nol Kilometer. Tempat ini merupakan salah satu destinasi ikonik di Pulau Weh, menandai titik paling barat dari Indonesia. Tugunya sendiri cukup besar dan megah, dengan desain modern yang dihiasi warna putih dan kuning keemasan. Di bagian atasnya terdapat angka "0 KM" yang mencolok, sementara di bawahnya tertera tulisan "Indonesia" yang menegaskan bahwa inilah titik awal perhitungan jarak di negeri ini.

Tugu ini dibangun untuk menandai posisi geografis Indonesia, dan sejak dulu menjadi simbol bagi para petualang yang ingin menjejakkan kaki di ujung barat Nusantara. Dulunya, tempat ini hanya berupa tugu kecil, tetapi kini telah direnovasi menjadi lebih besar dan menarik. Ada juga papan informasi yang menjelaskan sejarah serta koordinat geografisnya.

Saat kami tiba, angin bertiup cukup kencang dari arah samudra. Ombak besar menghantam tebing di bawah sana, menciptakan suara gemuruh yang berpadu dengan desir angin di telinga kami. Langit sore yang semula cerah perlahan berubah kelabu, dan tak lama kemudian, gerimis mulai turun. Aku dan Nur sempat berteduh di bawah tugu, menikmati suasana yang mendadak menjadi syahdu.

Meski hujan turun, tempat ini tetap terasa istimewa. Berdiri di sini, menghadap langsung ke samudra luas, benar-benar menghadirkan perasaan seakan berada di ujung dunia. Ada rasa haru sekaligus bangga bisa sampai di titik ini, titik nol perjalanan darat Indonesia.

Setelah hujan sedikit reda, kami sempat mengambil beberapa foto, mengabadikan momen di tempat bersejarah ini. Nur bercanda, "Berarti kita ini sudah menyelesaikan perjalanan dari nol," katanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang jarak, tetapi juga pengalaman, cerita, dan kenangan yang akan selalu kami ingat.

Matahari mulai turun ke cakrawala saat kami bersiap untuk kembali. Kami menyalakan motor dan kembali menyusuri jalanan sepi yang berkelok-kelok, meninggalkan Tugu Nol Kilometer dengan hati penuh rasa syukur. Sore itu, kami telah sampai di ujung barat Indonesia, dan perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling berkesan dalam petualangan kami.

Malam itu, setelah kenyang dengan makan malam sederhana di warung sekitar penginapan, aku dan Nur berjalan santai menuju gubuk kecil di depan penginapan. Gubuk itu menghadap langsung ke pantai, tempat sempurna untuk menikmati suasana malam di Pulau Weh.

Suara deburan ombak terdengar jelas, berpadu dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut. Langit malam begitu jernih, bertabur bintang, sementara cahaya bulan menerangi permukaan air yang bergelombang tenang. Kami duduk di bangku kayu, mengobrol santai sambil menikmati ketenangan malam.

Nur membuka percakapan, "Besok pasti seru, snorkeling di Pulau Rubiah." Aku mengangguk antusias, membayangkan kejernihan airnya yang terkenal, dengan terumbu karang dan ikan-ikan warna-warni yang berenang bebas di bawahnya.

Tak banyak yang kami lakukan malam itu selain menikmati suasana. Sesekali kami diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, hanya ditemani suara alam yang menenangkan.

Setelah beberapa saat, kantuk mulai menyerang. Kami pun memutuskan untuk masuk ke kamar dan beristirahat. Besok adalah hari yang dinantikan—snorkeling di Pulau Rubiah, surga bawah laut yang katanya salah satu yang terbaik di Indonesia.

Dengan perasaan puas dan semangat untuk petualangan esok, aku menarik selimut dan perlahan terlelap, ditemani suara ombak yang terus berkejaran di pantai.

[5] Explore Sumba : Bendungan Kambaniru dan Kepulangan (Finished)

                                 Part Sebelumnya : DISINI

Bendungan Kambaniru

Hari kelima di Sumba, hari terakhir kami sebelum terbang kembali ke Denpasar lalu lanjut ke Jogja. Pagi itu, setelah check-out dari hotel di pusat kota Waingapu, aku, Arin, Fredo, dan Mbak Hayu langsung melanjutkan perjalanan terakhir kami di pulau ini. Tujuan utama kami pagi itu adalah Bendungan Kambaniru, salah satu ikon penting di Sumba Timur.

Perjalanan dari kota menuju bendungan terasa menyenangkan. Mobil kami melaju melewati deretan bukit khas Sumba yang menggulung lembut, dengan warna keemasan yang mencolok di bawah sinar matahari pagi. Pemandangan bukit-bukit itu seperti lautan yang diam—hening, luas, dan memukau. Sumba benar-benar punya cara sendiri untuk memanjakan mata.

Sesampainya di Bendungan Kambaniru, kami langsung disuguhi dengan pemandangan air bendungan yang membentang tenang, dan di sekelilingnya, bukit-bukit hijau menjulang dalam diam. Kami sempat berfoto-foto di beberapa titik, menikmati momen terakhir kami di alam terbuka Sumba. Di sekitar Bendungan Kambaniru, bukit-bukit hijau menjulang dengan bentuk yang melekuk-melekuk cantik. Bukit-bukit ini tampak seperti gelombang yang perlahan mengalir, dengan warna hijau segar dari pepohonan yang menghiasi setiap lerengnya.


Bendungan Kambaniru sendiri bukan sekadar cantik. Bendungan ini dibangun sejak tahun 1992 dan selesai pada 1996, dan berfungsi sangat vital untuk masyarakat sekitar. Ia mampu mengairi sekitar 1.740 hektar lahan pertanian di Kabupaten Sumba Timur—sumber kehidupan yang sangat berarti di tanah yang cukup kering ini.

Setelah cukup puas menikmati pemandangan dan mengabadikan kenangan lewat kamera, kami langsung diantar oleh driver ke rumah makan yang searah dengan bandara. Tidak mampir ke tempat lain, kami memilih makan siang santai di sana sambil menikmati detik-detik terakhir perjalanan ini. Obrolan ringan, tawa kecil, dan rasa kenyang perlahan menggiring kami ke momen perpisahan.

Setelah makan siang, kami pun meluncur ke Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu. Saat duduk di ruang tunggu, rasanya campur aduk. Perjalanan lima hari ini terasa begitu cepat, tapi penuh warna. Dari bukit Wairinding, Pantai Walakiri, savana-savana luas, hingga hari ini di Bendungan Kambaniru, semuanya akan membentuk memori yang abadi di hidupku.

Penerbangan dari Waingapu ke Denpasar berlangsung lancar tanpa ada turbulensi berarti, sekitar 1,5 jam yang terasa cepat. Sekitar jam 4 sore, kami sudah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Begitu tiba, rasanya campur aduk. Ini adalah titik perpisahan kami berempat setelah beberapa hari penuh petualangan di Sumba.

Aku dan Fredo akan melanjutkan perjalanan ke Jogja, sementara Arin harus terbang ke Surabaya, dan Mbak Hayu menuju Jakarta. Sejujurnya, aku seharusnya langsung ke Surabaya, karena besok sudah harus kembali kerja. Namun, karena tiket SJ Travel Pass tujuan Surabaya sudah habis, aku harus terbang ke Jogja dulu, baru naik kereta malam ini juga menuju Surabaya. Meskipun perjalanan harus sedikit lebih panjang, setidaknya aku masih bisa menikmati beberapa jam di Jogja sebelum kembali ke rutinitas.

Aku dan Fredo akhirnya sampai di Jogja sekitar jam 7 malam. Setelah berpamitan singkat di bandara, Fredo langsung meninggalkan aku karena sudah dijemput adiknya. Memang dia orang Jogja asli, jadi bisa langsung istirahat di rumah. Sementara itu, perutku sudah mulai keroncongan, jadi aku keluar bandara dan makan mie geprek di stand bandara yang rasanya cukup memuaskan.

Setelah makan, aku naik ojek menuju Stasiun Tugu untuk menunggu keretaku. Keretaku masih lama, yaitu jam 2 dini hari, dan aku harus menunggu selama beberapa jam. Rasanya penantian itu cukup menyiksa karena aku ngantuk banget, tapi nggak bisa tidur. Waktu berjalan lambat banget, dan aku mulai merasa semakin lelah.

Akhirnya, jam 2 dini hari pun tiba, dan aku naik kereta menuju Surabaya. Selama perjalanan, aku mencoba tidur, tapi nggak terlalu sukses. Kereta bergetar dan berhenti di beberapa stasiun, sementara aku cuma bisa mencoba mencari posisi tidur yang nyaman.

Setelah perjalanan yang panjang, aku sampai di Surabaya sekitar jam 5 pagi. Langsung menuju kos untuk istirahat sebentar sebelum kembali ke realita—yaitu kerja. Rasanya berat banget, tapi ya begitulah, kehidupan harus terus berjalan!

Meskipun aku sangat capek setelah perjalanan panjang ini, tapi ada rasa puas dan bahagia yang nggak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Perjalanan ini benar-benar seperti mereset otakku, yang sebelumnya hanya dipenuhi pekerjaan dan rutinitas yang kadang membuatnya terasa monoton. Sekarang, otakku terasa lebih ringan, segar, dan penuh dengan kenangan baru yang memuaskan.

Selain itu, perjalanan ini juga punya makna yang lebih dalam bagi aku. Ini adalah perjalanan terakhirku sebagai pegawai, karena per-akhir 2018 ini aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan kantor dan memilih jalur freelance. Sebuah langkah besar yang tentu saja membawa banyak tantangan, tapi aku merasa siap untuk menjalani hal baru. Beberapa pengalaman seru sudah menunggu di tahun 2019, dan aku tidak sabar untuk menjalaninya.

Terima kasih, Sumba, untuk semua pengalaman yang luar biasa. Kau mengajarkanku banyak hal—tentang keindahan alam, keramahan orang-orang, dan bagaimana menyatu dengan ketenangan. Semoga perjalanan ini menjadi awal dari banyak cerita seru yang akan datang.

FINISHED...

4.20.2025

[4] Explore Sumba : Padang Savana Puru Kambera, Pantai Puru Kambera dan Air Terjun Tanggedu

Part Sebelumnya : DISINI

Pemandangan sepanjang jalan ke Air Terjun Tanggedu..

Setelah tiga hari menjelajahi keindahan alam dan budaya Sumba dari barat ke tengah, akhirnya kami tiba juga di ujung timur pulau ini — Waingapu, kota yang jadi gerbang menuju sisi Sumba Timur. Kalau hari-hari sebelumnya kami disuguhi perbukitan hijau dan kampung adat, kali ini waktunya bertemu hamparan savana kering yang eksotis, panas, dan liar. Tapi justru di situ letak daya tariknya.

Semalam aku, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu menginap di sebuah hotel sederhana di Waingapu. Badan sudah mulai terbiasa dengan ritme petualangan yang padat. Pagi ini, saat matahari baru mulai naik pelan-pelan di ufuk timur, kami turun ke lobi hotel sambil menguap kecil (wkwk), masih setengah ngantuk tapi excited. Sekitar pukul 08.00, driver kami datang menjemput. Mobil meluncur pelan, dan perjalanan menuju Padang Savana Puru Kambera pun dimulai.

Jaraknya sekitar 25 kilometer ke arah timur dari kota, dengan estimasi waktu 30–40 menit. Awalnya, jalanan mulus banget — aspal hitam membentang, dengan latar pemandangan khas pedesaan Sumba: rumah-rumah sederhana, ladang, dan aktivitas pagi warga yang masih berjalan santai. Tapi begitu mulai menjauh dari kota, jalan mulai bervariasi. Beberapa lubang kecil muncul, lalu aspal mulai putus, dan akhirnya berubah jadi jalanan tanah berbatu yang cukup berdebu.

Di sepanjang perjalanan, aura Sumba Timur mulai terasa. Bukit-bukit tandus, ilalang yang mengering ditiup angin, dan pohon-pohon lontar yang berdiri tegak sendiri seperti penjaga sunyi savana — semuanya menciptakan pemandangan yang khas dan fotogenik banget. Langit biru cerah tanpa awan jadi latar sempurna untuk semua itu. Sesekali kami juga melihat rumah-rumah panggung tradisional Sumba, atapnya dari rumbia dan dinding bambu, berdiri tenang di tengah ladang atau dekat pohon-pohon jarang.

Begitu tiba, kami langsung disambut pemandangan yang sangat luas dan terbuka. Padang Savana Puru Kambera adalah hamparan padang rumput yang tampak tak berujung. Di musim kemarau seperti sekarang, warna kecoklatan mendominasi, menciptakan lanskap yang eksotis. Jika datang saat musim hujan, savana ini berubah menjadi hijau subur, tetapi saat ini, rerumputan kering bergoyang diterpa angin, memberikan kesan sepi namun indah.

Kami turun dari mobil dan mulai berjalan menyusuri savana. Udara terasa hangat meski matahari belum terlalu tinggi. Beberapa ekor kuda liar terlihat merumput di kejauhan, salah satu ciri khas dari savana ini. Kuda-kuda ini bukan sepenuhnya liar, sebagian besar dimiliki oleh warga setempat yang membiarkan mereka berkeliaran bebas. Selain kuda, ada juga sapi dan kerbau yang sesekali terlihat di kejauhan.

Vegetasi di sini cukup khas. Selain ilalang yang mendominasi, ada pohon-pohon lontar yang tumbuh menyebar, memberikan sedikit keteduhan di tengah padang yang terbuka. Beberapa burung kecil terbang rendah di antara rerumputan, dan jika beruntung, bisa melihat burung elang melayang tinggi di angkasa mencari mangsa.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di sini, menikmati lanskap yang terasa begitu luas dan tenang. Angin berembus perlahan, membawa aroma rumput kering dan tanah yang panas. Rasanya seperti berada di Afrika, dengan padang savana yang membentang luas sejauh mata memandang.

Setelah puas menikmati padang savana, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Puru Kambera, yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari savana. Perjalanan tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 15 menit, tetapi jalanan semakin berbatu dan berdebu mendekati pantai.

Begitu tiba, kami langsung disambut dengan suara deburan ombak yang tenang. Pantai ini masih sangat alami dan sepi, tidak banyak wisatawan yang datang. Pasirnya putih kecoklatan, membentang panjang dengan garis pantai yang luas. Air lautnya luar biasa jernih, berwarna biru toska, kontras dengan pasir dan langit yang cerah.

Saat melangkah ke tepi pantai, kami langsung merasakan panasnya pasir di bawah kaki. Matahari sudah cukup terik, dan angin laut bertiup cukup kencang, membawa aroma garam. Ombak di sini tidak terlalu besar, cukup tenang untuk sekadar bermain air atau berendam di tepi.

Kami berjalan menyusuri pantai, merasakan hembusan angin yang menerpa wajah. Arin dan Mbak Hayu langsung melepas sandal dan bermain air di tepi pantai, sementara aku dan Fredo memilih duduk di bawah pohon ketapang yang tumbuh di dekat bibir pantai, menikmati pemandangan laut yang begitu luas.

Pantai Puru Kambera benar-benar menawarkan ketenangan. Tidak ada deretan warung atau keramaian turis, hanya kami, suara ombak, dan angin yang terus berembus. Setelah puas menikmati suasana pantai, kami akhirnya kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Hari keempat di Sumba masih panjang, dan kami tidak sabar untuk melihat lebih banyak keajaiban alam pulau ini.

Setelah menikmati Pantai Puru Kambera yang tenang, kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Tanggedu, salah satu air terjun tersembunyi di Sumba Timur yang sering dijuluki "Grand Canyon-nya Sumba". Dari Pantai Puru Kambera, perjalanan menuju Tanggedu memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2 jam, dengan jarak sekitar 46 kilometer ke arah utara Waingapu.

Awalnya, kami masih melaju di jalan nasional yang cukup bagus. Namun, setelah beberapa kilometer, kami berbelok masuk ke jalan tanah yang mulai menantang. Jalan ini membelah perbukitan, berkelok-kelok mengikuti lekukan alam, dengan pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit savana khas Sumba terbentang di sekeliling, sebagian besar berwarna kecoklatan karena musim kemarau, dengan beberapa pepohonan lontar tumbuh di sela-sela lereng.

Semakin jauh masuk, kondisi jalan semakin sulit. Beberapa bagian masih berbatu dengan debu yang cukup tebal, membuat perjalanan terasa lebih lambat. Di beberapa titik, kami harus melewati tanjakan dan turunan curam, memberikan sensasi petualangan yang sebenarnya. Meski begitu, perjalanan ini justru membuat kami semakin antusias untuk melihat keindahan yang tersembunyi di ujung jalan ini.

Setelah berkilo-kilometer membelah perbukitan, akhirnya kami tiba di sebuah desa kecil yang menjadi titik awal trekking menuju Air Terjun Tanggedu. Begitu kami turun dari mobil, beberapa penduduk lokal menghampiri dan menyarankan kami untuk menyewa guide karena dari titik ini, masih dibutuhkan trekking sekitar 45 menit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati bukit dan lembah. Setelah berdiskusi sejenak, kami menyetujui menggunakan guide dengan tarif Rp 100.000/antar. Guide kami ternyata seorang gadis kecil lokal.

"Mari kak ikut saya," katanya dengan ramah.

Awal perjalanan masih terasa ringan. Jalan setapak melintasi ladang-ladang penduduk dan bukit-bukit hijau yang mengapit kami di kiri dan kanan. Tapi, karena kami berangkat menjelang siang, matahari mulai naik tinggi, dan sengatannya mulai terasa di kulit. Langit bersih tanpa awan, dan jalur yang kami lewati jarang ada naungan pohon besar. Seiring waktu, langkah jadi makin lambat. Keringat mulai mengucur deras. Sinar matahari memantul dari tanah kering dan bebatuan.

Yang bikin tetap semangat adalah pemandangan sepanjang jalur. Sumba ini seperti lukisan hidup. Bukit-bukit hijau menjulang gagah, sebagian tampak seolah dipotong rapi, memperlihatkan lapisan-lapisan tanah dan batu kapur. Jalur trekking yang kami lewati kadang naik, kadang turun, kadang rata, lalu menanjak kembali. Peluh bercucuran? Sudah pasti. Nafas ngos-ngosan? Wajar. Tapi hati senang? Jelas! Jarang-jarang kan kami menjumpai pemandangan seperti ini di tempat kami.


Tapi seindah-indahnya pemandangan, panasnya siang itu tetap jadi tantangan. Matahari bulan Desember di Sumba ternyata tidak kalah menyengat. Kami duduk bersila di tanah, membuka bekal air minum, sambil mengipasi wajah dan saling melempar canda. Panasnya siang hari terasa lebih bersahabat saat ada tawa dan semangat bareng teman seperjalanan.

Setelah istirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan sengatan matahari yang masih membakar. Tapi tiap kali kami berpikir, “Masih jauh nggak sih ini air terjun?”, pemandangan sekeliling terus membalas dengan keindahan. Bukit-bukit menjulang seperti pelindung raksasa, padang luas tanpa batas, dan langit biru bersih—semuanya seolah menguatkan langkah kami untuk terus maju.

Hingga akhirnya, setelah sekitar 45–50 menit berjalan, sebuah papan kayu sederhana menyambut kami: “Selamat Datang di Air Terjun Tanggedu”. Rasanya seperti melihat oasis di tengah padang yang luas. Meski air terjunnya belum terlihat dari situ, keberadaan papan itu seperti alarm bahwa perjuangan kami hampir berakhir. Rasa lelah sedikit sirna, digantikan rasa semangat yang baru karena tahu tujuan kami sudah dekat.


Akhirnya, tidak lama kemudian, kami mendengar suara gemuruh air yang semakin jelas. Tak lama, kami sampai di pinggir sebuah aliran sungai yang dikelilingi formasi bebatuan besar berwarna putih pucat. Air sungai mengalir lembut di sela-sela batuan, menciptakan panorama yang sangat kontras dengan pemandangan perbukitan kering yang kami lewati sebelumnya. Kami sempat berhenti sejenak di sini, terpana dengan keindahan alam yang begitu unik—hamparan batu kapur yang tampak seperti pahatan alam, seolah sungai ini telah mengukirnya perlahan selama ribuan tahun.

Dari titik ini, kami masih harus melanjutkan sedikit lagi perjalanan sekitar lima menit menyusuri aliran sungai. Jalurnya cukup menantang karena harus melewati bebatuan yang licin dan naik-turun, tapi semua itu terbayar lunas saat akhirnya kami tiba di depan Air Terjun Tanggedu.

Dari titik pandang ini, kami bisa melihat keseluruhan lanskap air terjun yang luas dan bertingkat-tingkat. Di sisi kiri, air terjun utama mengalir deras menuruni dinding batu seperti tirai raksasa yang membentang. Airnya jernih dan deras, jatuh ke kolam alami berwarna hijau toska yang tenang di bawahnya. Tepat di depannya, aliran sungai terus mengalir menyusuri celah-celah batu kapur berlapis-lapis, seolah-olah membentuk jalan air alami yang mengarahkan mata hingga ke kejauhan.

Sementara itu, di sisi kanan, ada aliran lain yang tak kalah dramatis, jatuh dari undakan batuan kapur yang lebih kecil tapi membentuk aliran cantik yang seperti mengalir dari sela-sela jari bumi. Dinding-dinding tebing tinggi yang mengapit air terjun ini menambah kesan megah dan tersembunyi—benar-benar seperti surga kecil yang disembunyikan di balik bukit-bukit Sumba.

Beberapa pengunjung terlihat berdiri di bebatuan tengah sungai untuk berfoto, sementara yang lain duduk santai di pinggir kolam menikmati kesejukan air dan panorama yang menghipnotis. Suasana di sini terasa damai, hanya diiringi suara gemuruh air, angin semilir, dan gelegak riang air yang membentur batu.

Air terjun ini tidak seperti air terjun tinggi yang jatuh dalam satu aliran deras, melainkan lebih seperti serangkaian cascading waterfalls, di mana air mengalir deras melewati celah-celah batu dan membentuk kolam alami di beberapa titik. Aliran air yang kuat menciptakan riak-riak kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari. Kami bisa mendengar suara air menghantam batu, menciptakan suasana yang begitu alami dan menenangkan.

Di dekat air terjun, beberapa mama terlihat menjual kelapa muda. Melihat kami yang kepanasan setelah trekking, mereka langsung menawarkan kelapa segar. Tanpa pikir panjang, kami pun membeli beberapa butir. Sensasi air kelapa dingin yang segar setelah trekking panjang benar-benar menyegarkan. Kami menghabiskan waktu cukup lama di sini, menikmati kesegaran air, berfoto dengan latar bebatuan yang eksotis, dan berbincang dengan penduduk lokal. Suasana begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya ada suara air terjun, tawa wisatawan, dan angin yang berhembus lembut.

"Kalau mau bisa coba naik ke atas kak, pemandangannya bagus," kata seorang mama kepadaku.

"Oh iya ma, bisa ya naiknya?" Jawabku.

"Bisa kak, itu ada jalannya. Hati-hati aja soalnya agak licin."

Kami akhirnya memutuskan untuk naik ke atas. Jalurnya sempit dan berbatu. Dari atas sini, pemandangan air terjun terlihat lebih jelas dan luas. Kami bisa melihat aliran sungai yang berliku di antara tebing, dan formasi batu yang makin terlihat artistik. Kemudian karena waktu sudah mendekati ashar, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu yang beragama Muslim hendak shalat. Mereka mengambil air wudhu dari sungai lalu menunaikan salat di atas batu datar yang cukup luas. Ada rasa damai melihat mereka menunaikan ibadah di tengah keheningan alam, dengan gemuruh air sebagai background alami.

Setelahnya kami pun duduk santai sembari menyelupkan kaki ke aliran sungai yang sejuk. Diam sejenak. Menikmati setiap belaian alam. Momen ini bukan cuma soal perjalanan atau destinasi, tapi soal bagaimana alam perlahan-lahan membasuh penat, menyisakan rasa syukur yang dalam.

Setelah puas menikmati keindahan Air Terjun Tanggedu, kami bersiap untuk perjalanan pulang, kembali menapaki jalur trekking yang menantang. Meski harus berjalan kaki lagi sejauh 45 menit, rasanya tidak terlalu berat karena hati masih dipenuhi oleh keindahan yang baru saja kami lihat. Sumba memang penuh kejutan, dan hari keempat ini menjadi salah satu pengalaman terbaik dalam perjalanan kami.


Part Selanjutnya : DISINI

[3] Explore Sumba : Bendungan Waikelo Sawah, Kampung Adat Prai Ijing, Bukit Warinding dan Pantai Walakiri !

Part Sebelumnya : DISINI


Kampung Adat Prai Ijing dari atas bukit..

Hoaahm… pagi telah kembali menyapa. Selamat pagi dunia...kembali bersyukur tidur semalam cukup nyenyak dan pagi ini aku masih diberi kesehatan untuk mengawali hari dengan baik. Tidak menunggu lama aku segera mandi dan bersiap-siap. Begitu keluar kamar, aku disambut oleh udara pagi Tambolaka yang sejuk.  Hari ini kami bersiap agak pagi karena berdasarkan jadwal yang dibuat Arin, kami akan mengunjungi wisata di tiga kabupaten sekaligus yaitu Bendungan Waikelo Sawah yang masih berada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kampung Adat Prai Ijing yang berada di Kabupaten Sumba Barat, dan Bukit Warinding yang berada di Kabupaten Sumba Timur; dimana kami akan mengakhiri hari dengan menginap di hotel Kota Waingapu di Sumba Timur. Artinya, roadtrip sebenarnya akan dimulai. Kami akan menempuh jarak cukup jauh hari ini dari barat ke timur. Menilik dari google maps, total jarak tempuh kami adalah 172 km.

Rute perjalanan hari ini...

Sejak semalam, kami sudah packing semua barang-barang. Setelah sarapan sederhana dari hotel —sepiring nasi goreng hangat, telur mata sapi, dan secangkir teh manis—kami langsung masuk ke mobil yang sudah standby.

Rasa excited tentu mulai muncul setelah keindahan-keindahan yang kami lihat  kemarin. Aku yakin hari ini jalanan akan menantang dan pemandangan bakal luar biasa. Dari desa-desa tradisional, bukit-bukit sabana, rumah adat, biru kristal laguna, sampai senyum anak-anak lokal yang tulus di sepanjang perjalanan—semuanya sudah ada dalam bayangan.

Dan begitulah, mesin mobil pun dinyalakan, perlahan meninggalkan Kota Tambolaka. Di balik jendela, kota kecil ini mulai menghilang dari pandangan. Destinasi pertama kami hari ini adalah Bendungan Waikelo Sawah, sebuah bendungan unik yang juga berfungsi sebagai sumber irigasi utama bagi pertanian. Dari Tambolaka, perjalanan menuju Waikelo Sawah memakan waktu sekitar 45-60 menit, dengan jarak sekitar 30 kilometer ke arah selatan, mendekati perbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah.

Begitu sampai di lokasi, pemandangan pertama yang aku lihat adalah air jernih mengalir deras dari dalam gua. Iya, dari gua! Dan bukan gua biasa, tapi gua dengan warna air biru toska yang bening banget sampe dasar-dasarnya kelihatan. Saking jernihnya, aku pengen banget segera merendam kaki disitu. Seger banget pastinya. Aliran air dari gua tersebut mengalir di irigasi yang terlihat begitu bening dan segar. Airnya ngalir tenang membelah pematang sawah yang hijau terbentang luas di kejauhan. Suara gemericik air, ditambah udara bersih pedesaan, langsung bikin hati adem. Aku sempat berhenti cukup lama di sini, sekadar duduk di tepi irigasi sambil ngeliatin sawah dan percikan air — suasananya tenang banget.

Aliran air dari Bendungan Waikelo Sawah


Nama Waikelo Sawah sendiri berasal dari bahasa Sumba, yang terdiri dari dua kata:

"Wai" berarti air

"Kelo" atau "Kelo Sawah" merujuk pada sistem irigasi yang mengalir ke sawah

Jadi, Waikelo Sawah bisa diartikan sebagai "air yang mengalir ke sawah", sesuai dengan fungsi utama bendungan ini yang sejak dulu digunakan untuk mengairi area persawahan dan pertanian di sekitarnya.

Nama ini juga membedakannya dari Waikelo lainnya, karena di Sumba terdapat beberapa sumber air atau sungai yang menggunakan nama Waikelo, tetapi hanya Waikelo Sawah yang memiliki bendungan dan fungsi irigasi utama bagi masyarakat setempat.

Air di Waikelo Sawah berasal dari sumber mata air alami yang berada di dalam gua. Mata air ini begitu melimpah sehingga sejak zaman dahulu digunakan untuk mengairi sawah dan ladang di sekitarnya. Bendungan ini merupakan satu-satunya sistem irigasi besar di Sumba yang berperan penting dalam pertanian lokal. Selain sebagai sumber irigasi, air dari Waikelo Sawah juga digunakan sebagai pembangkit listrik mikro hidro, yang menyuplai listrik ke beberapa desa di sekitar wilayah ini.

"Eh yuk kita naik keatas mendekati gua," kataku ke mereka bertiga.

Kami  berjalan lebih dekat hingga ke mulut gua, tempat di mana air deras keluar dari dalam tanah, yang awalnya merupakan sungai bawah tanah di gua. Jalur menuju gua cukup licin dan berbatu, jadi aku berjalan super hati-hati. Saat semakin mendekati, kami bisa melihat air yang keluar dari gua begitu deras dan segar, menciptakan pemandangan yang eksotis dan alami. Tapi buatku yang tidak bisa berenang, membayangkan renang disitu agak ngeri hehehe.. Soalnya alirannya terlihat tenang, menandakan 'mungkin saja' dalam. 

Bagian dalam guanya sendiri bikin aku cukup terpukau. Airnya tenang, jernih, dan dikelilingi dinding batu kapur yang berlumut. Cahaya matahari yang masuk dari mulut gua bikin permukaan air berkilau. Rasanya tenang dan damai memandangnya. Tempat ini cocok banget buat ngadem secara fisik maupun batin. Duduk aja di pinggiran batu sambil dengerin suara air, udah cukup bikin hati adem.

Sungai bawah tanah yang keluar dari gua ini merupakan asal muasal air di Bendungan Waikelo Sawah

Waikelo Sawah ini sendiri merupakan sistem irigasi peninggalan yang sudah aktif dari tahun 1976 yang masih aktif sampai sekarang. Fungsinya untuk menyuplai air bersih ke masyarakat sekitar, mengairi sawah-sawah, bahkan dulu sempat digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Jadi bukan cuma indah, tapi juga bermanfaat nyata buat kehidupan warga. Jadi bisa dibayangkan, 1976-2018, wow, debit air yang benar-benar besar.

Derasnya air yang mengalir keluar dari sungai bawah tanah

Aliran air sungai bawah tanah mengaliri sawah disekitarnya

Derasnya air yang mengalir keluar dari sungai bawah tanah

Kami menghabiskan waktu 40 menit disini. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Adat Prai Ijing, salah satu kampung adat yang paling terkenal, terletak di Kabupaten Sumba Barat. Dari Waikelo Sawah, perjalanan menuju Prai Ijing memakan waktu sekitar 45-60 menit, dengan jarak sekitar 30 kilometer.

Jalan yang kami lalui cukup bersahabat karena lewat jalur utama yang sudah beraspal. Tapi jangan bayangin jalan lurus mulus terus ya — khas Sumba, rute ini tetap dihiasi tanjakan dan tikungan tajam yang cukup menantang. Tapi sebagai gantinya, pemandangan sepanjang jalan nggak main-main. Perbukitan hijau, padang savana, dan rumah-rumah adat Sumba yang muncul di kejauhan bikin mata terus dimanjain.

Begitu tiba di Kampung Adat Prai Ijing, kesan pertama langsung wow. Di atas bukit berdiri megah deretan rumah adat khas Sumba dengan atap tinggi berbentuk kerucut, terbuat dari alang-alang kering. Warna cokelat alami dari kayu dan bambu mendominasi seluruh tampilan rumah, ngasih kesan tradisional yang kuat banget. Jalan setapak berbatu membelah kampung, mengarahkan langkah kami ke tengah-tengah perkampungan.

Arin, Aku dan Fredo di Kampung Adat Prai Ijing

Penduduk lokal terlihat santai, duduk di beranda rumah sambil ngobrol atau sekadar menikmati angin sore. Beberapa di antaranya tersenyum ramah dan menyapa kami, bikin suasana makin hangat. Anak-anak kecil lari-larian tanpa alas kaki, tertawa lepas. Sementara itu, di sudut lain, tampak ibu-ibu sedang menenun kain tenun khas Sumba di depan rumah mereka — tenang, penuh konsentrasi, tapi tetap ramah ketika kami menyapa.

Di tengah kampung, terdapat batu-batu besar yang merupakan kuburan megalitik leluhur mereka, sebuah ciri khas yang masih dipertahankan dalam budaya Sumba. Batu-batu ini memiliki ukiran dan ornamen khas, mencerminkan status sosial orang yang dimakamkan di sana

Kuburan Batu Megalitik yang berada di bagian tengah Kampung Adat Prai Ijing

Mama yang sedang menenun kain adat..

Kain dan syal adat hasil buatan mama-mama yang dijual di Kampung Adat Prai Ijing

Dari kampung ini, pemandangan perbukitan hijau membentang luas sejauh mata memandang. Langit biru, awan menggantung rendah, dan udara yang sejuk bikin betah banget berlama-lama di sini.

Rumah adat di Prai Ijing disebut "Uma Mbatangu", yang artinya rumah menara. Disebut begitu karena bentuk atapnya yang tinggi dan runcing seperti menara. Atap ini biasanya dibuat dari ijuk atau alang-alang, sementara dindingnya dari kayu atau bambu. Uniknya, tinggi atap ini ternyata nggak sembarangan — semakin tinggi atapnya, semakin tinggi pula status sosial pemilik rumah di masyarakat. Jadi selain arsitekturnya keren, rumah-rumah ini juga menyimpan filosofi dan struktur sosial yang dalam.

Berjalan membelah kampung menuju titik tertinggi

Secara tradisional, rumah adat di Sumba terdiri dari tiga bagian utama:

1. Bagian bawah (parona) → tempat hewan ternak seperti kuda, babi, dan kerbau.

2. Bagian tengah → tempat tinggal penghuni rumah.

3. Bagian atas (ubuduma) → tempat menyimpan benda-benda pusaka dan hasil panen.

Rumah-rumah ini dihuni oleh masyarakat asli Sumba yang masih memegang teguh adat istiadat Marapu, kepercayaan leluhur yang masih dianut di Sumba hingga sekarang.

Kami melanjutkan eksplorasi kampung dengan mendaki ke titik tertinggi. Dari sana, pemandangan yang kami dapat luar biasa. Seluruh kawasan kampung adat terbentang di bawah — rumah-rumah dengan atap runcing berjajar rapi, dikelilingi hijau perbukitan Sumba yang membentang sampai ke cakrawala. Angin berhembus pelan, adem banget, dan suasananya tenang. Kami pun menyempatkan ambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan dari tempat yang begitu indah dan damai ini.

Pemandangan dari titik tertinggi Kampung Adat Prai Ijing

Selfie di titik tertinggi untuk mengabadikan momen

Dari sini, kami melanjutkan perjalanan menuju Bukit Warinding. Jarak dari Kampung Adat Prai Ijing ke Bukit Warinding sekitar 40-45 menit, dengan jarak sekitar 25 km. Kami melewati jalanan berbatu dan beberapa tanjakan curam, tetapi pemandangan sepanjang perjalanan membuat rasa lelah kami terbayar lunas. Rute yang kami lalui menuju Bukit Warinding terkenal sebagai salah satu rute terindah di dunia karena pemandangan alamnya yang memukau, berupa perbukitan hijau yang berkelok-kelok dan lanskap alam yang sangat dramatis.

Setibanya di Bukit Warinding, kami naik ke salah satu view point dan langsung disambut oleh bukit yang terlihat bermelekuk-melekuk, seperti undakan alami yang membentuk pola yang sangat cantik. Saat kami mengunjungi tempat ini pada bulan Desember, semua bukit tampak berwarna hijau subur, hasil dari curah hujan yang cukup tinggi di musim penghujan. Pemandangan ini mirip seperti yang kami lihat di Bukit Lendongara yang kami kunjungi di hari pertama kemarin, hanya Bukit Warinding ini sangat luasss, jauh lebih luas dari Bukit Lendongara. Langit biru yang mulai terang memberi kontras sempurna dengan hijaunya perbukitan. Bukit-bukit kecil itu tampak seperti ombak laut yang membeku, baris demi baris sampai ke ujung horizon. 

Hijaunya Bukit Warinding..

Hijaunya Bukit Warinding..

Dari atas juga, kami melihat sebuah ceruk alami yang terbentuk di tengah pertemuan kaki-kaki bukit. Sekeliling ceruk itu ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan hijau pekat. Ceruk ini memberikan indikasi bahwa sumber air terdapat di sini, memungkinkan pepohonan tumbuh dengan begitu lebat di sekitar aliran sungai tersebut. Vegetasi hijau yang tumbuh di ceruk ini sangat kontras dengan bukit-bukit kering yang lebih tinggi, menciptakan pemandangan yang memukau dan menambah keindahan alami Bukit Warinding. Kami merasa sangat beruntung bisa menyaksikan keajaiban alam ini, di mana air dan kehidupan tumbuh subur di tengah gurun perbukitan Sumba yang menakjubkan.

Bukit Warinding yang membentuk gelombang-gelombang

Ceruk-ceruk yang bertemu di kaki bukit ditumbuhi pepohonan

Setelah puas menjelajah dan mengagumi pemandangan, kami pun mulai sibuk dengan urusan dokumentasi wkwk. Beberapa dari kami duduk di atas batu kapur putih yang jadi semacam spot alami buat selfie. Aku pun sempat ambil foto bareng teman-teman, dengan latar belakang perbukitan hijau membentang luas — foto yang pastinya akan jadi kenangan yang awet banget. Angin di atas bukit cukup kencang, bikin jilbab dan kemeja beterbangan, tapi justru itu yang bikin suasana makin hidup.

Making memories together in Bukit Warinding..

Tidak lupa mengabadikan momen di Bukit Warinding..

Setelah menikmati keindahan Bukit Warinding, perjalanan kami berlanjut ke destinasi terakhir hari itu — Pantai Walakiri, yang udah lama terkenal sebagai spot sunset paling magis di Sumba. 

"Itu nanti ada pohon-pohon bakau unik yang berdiri sendiri-sendiri di garis pantai. Pas sunset jadi keren banget siluet pohon-pohon bakaunya," kata Arin menjelaskan ketika aku bertanya tentang sunset ini.

Perjalanan dari Warinding ke Walakiri sekitar 30–40 menit. Dan untungnya, kami tiba di sana saat sore masih cukup muda. Langit masih terang, suasana pantai belum terlalu ramai, dan waktu rasanya berjalan pelan. Kami pun memutuskan untuk duduk-duduk santai dulu di pasir pantai yang lembut, menikmati desir angin laut yang berhembus sepoi-sepoi. 

Matahari mulai condong ke barat...

Beberapa menit kemudian, matahari semakin turun ke arah barat dan langit mulai menyuguhkan pertunjukan cahaya yang luar biasa. Warna oranye pastel mulai muncul di horizon, disusul gradasi ungu dan merah muda yang menyebar ke seluruh langit barat. Matahari turun perlahan ke laut, dan cahaya lembutnya mulai memantul di permukaan air dangkal, menciptakan kilau yang seperti kaca.

Dan di tengah momen itu — pohon-pohon bakau yang jadi ikon Pantai Walakiri, mulai mempertontonkan kemagisannya. Bentuknya nggak seperti bakau biasa. Batangnya melengkung elegan, akarnya menjulang keluar dari pasir dan air dangkal, menciptakan siluet dramatis yang bener-bener artistik. Rasanya kayak ada di galeri seni, tapi versi alam liar.

Sunset menciptakan pemandangan dramatis di Pantai Walakiri...

Sunset menciptakan pemandangan dramatis di Pantai Walakiri...

Kami pun nggak mau kehilangan momen. Kamera langsung keluar semua. Di titik itu, cahaya sunset lagi “mateng-matengnya”. Warna langit berubah cepat, dari peach ke pink, terus ke ungu tua. Dan setiap detiknya berubah. Kami mengambil foto dengan latar belakang pohon-pohon bakau yang berdiri gagah di atas pantulan air. Komposisinya luar biasa. Bahkan hanya dengan berdiri di situ tanpa pose berlebihan, hasil fotonya udah keren banget.

Beberapa foto kami tunjukin bayangan refleksi sempurna pohon-pohon itu di atas pasir basah. Langit seolah meleleh ke bawah, dan pohon-pohon itu jadi semacam penjaga senja. Momen kayak gini cuma bisa didapetin beberapa menit saja — ketika cahaya dan air dalam kondisi paling ideal.

Saat langit mulai gelap, justru warna-warna senja makin jadi. Merah oranye yang tadinya lembut berubah jadi merah pekat, berpadu dengan ungu tua dan semburat biru gelap yang mulai mengambil alih langit. Momen transisi ini luar biasa, dan jujur — ini bagian paling aku tunggu.

Pohon bakau penjaga senja di Pantai Walakiri...

Kami pun kembali ke barisan pohon bakau yang berdiri megah di tengah pasir basah. Tapi kali ini nuansanya berubah total. Siluet pohon-pohon itu terlihat makin tegas dan dramatis, tercermin sempurna di permukaan air dangkal. Langit terbakar jingga-merah, dan refleksi warna itu tumpah ke seluruh permukaan pantai — kayak cermin besar yang memantulkan lukisan alam.

Indahnya... can't say a word..

Beberapa temanku sibuk mengambil foto siluet. Ada yang berdiri tepat di antara batang-batang bakau, menciptakan siluet manusia di tengah bentang pohon yang bentuknya artistik banget. Di satu titik, aku sempat berdiri sendiri menghadap lautan, hanya ditemani cahaya merah dari langit dan suara debur kecil ombak. Rasanya memang beneran magis.

Kami memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum gelap total. Setiap detik terasa mahal. Awan-awan yang tadinya cuma background, sekarang berubah jadi elemen penting, menyerap warna langit dan memantulkannya ke air di bawah.

Selain berfoto, aku juga meluangkan waktu sejenak menikmati momen tenang ini dengan mata, merasa bersyukur atas keputusan melakukan perjalanan ini. Sunset ini benar-benar memikat hati, meninggalkan kenangan indah yang sulit untuk dilupakan.

Saat pantai sudah benar-benar menjadi gelap, kami melanjutkan perjalanan menuju Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, untuk beristirahat setelah hari yang penuh petualangan. Perjalanan dari Pantai Walakiri ke hotel di Waingapu memakan waktu sekitar 1-1,5 jam. Begitu tiba di hotel, kami langsung check in, makan dan setelahnya beristirahat. Terimakasih Sumba untuk hari ini. Kamu sangat cantik!


Part Selanjutnya : DISINI