Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.03.2025

[12] Aloha Hawai'i : USS Arizona dan Kepulangan (Finished)

USS Arizona Memorial, Pearl Harbor, Hawai'i

Hari ini adalah hari terakhirku di Pulau O‘ahu, dan aku tahu dengan pasti ke mana kakiku harus melangkah: Pearl Harbor.

Buat yang belum tahu, Pearl Harbor adalah pelabuhan militer utama milik Amerika Serikat yang terletak di sebelah barat Honolulu, Pulau O‘ahu. Di sinilah terjadi serangan mendadak dari militer Kekaisaran Jepang pada 7 Desember 1941, yang kemudian menjadi pemicu resmi keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II. Serangan ini menghancurkan banyak kapal perang dan menewaskan lebih dari 2.400 orang—baik personel militer maupun warga sipil.

Salah satu kapal yang karam dan menjadi simbol tragedi ini adalah USS Arizona. Kapal perang ini tenggelam bersama lebih dari 1.100 prajurit yang masih berada di dalamnya. Di atas bangkai kapal inilah kini berdiri USS Arizona Memorial—sebuah monumen putih yang mengapung tepat di atas lokasi kapal karam, tanpa menyentuh bangkai aslinya di bawah air. Tempat ini jadi simbol penghormatan, refleksi, dan pengingat akan harga perang.

Karena ini hari terakhir, aku sekalian berangkat ke Pearl Harbor dengan membawa semua barang. Backpack, oleh-oleh berupa coklat-coklat khas Hawai‘i yang kubeli semalam dari ABC Stores di Waikiki—semuanya sudah siap dibawa langsung ke bandara setelah kunjungan ini.

Sekitar jam setengah 8 pagi, aku sudah siap, dan langsung naik bus umum ke arah barat. Aku sudah hafal jalurnya sejak hari pertama. Sesampainya di Pearl Harbor, aku langsung menuju area penitipan barang, karena di sini pengunjung tidak diizinkan membawa tas besar masuk ke dalam kompleks memorial. Biayanya cukup terjangkau—$4 untuk setiap barang. Aku menitipkan backpack dan tas oleh-olehku.

Setelah semua urusan logistik beres, aku pun masuk ke area pengunjung dan membeli tiket masuk seharga $1—harga simbolis untuk pemesanan kursi dalam tur USS Arizona. Suasananya terasa tenang, tertib, dan penuh rasa hormat. Di area awal ini, pengunjung diarahkan untuk menonton video dokumenter pendek tentang peristiwa Pearl Harbor, yang sangat mengena dan emosional.

Setelah membeli tiket masuk dan melewati gerbang utama Pearl Harbor, aku resmi berada di salah satu situs sejarah paling penting di dunia. Tapi, untuk menuju ke USS Arizona Memorial, kita nggak bisa langsung begitu saja masuk ke monumennya. Karena posisinya terletak di tengah laut, tepat di atas bangkai kapal perang yang tenggelam, kita harus menunggu giliran naik kapal shuttle milik Angkatan Laut AS yang akan mengantar ke sana.

Sambil menunggu kapal datang, aku memutuskan untuk berkeliling dulu di sekitar area Pearl Harbor Visitor Center. Kawasannya luas, bersih, dan tertata rapi. Ada taman kecil dengan pepohonan rindang, bangku-bangku untuk duduk santai, dan jalur pedestrian yang nyaman. Hari itu langit benar-benar biru bersih, nyaris tanpa awan, dan matahari bersinar terang. Suasana cukup ramai, tapi tetap terasa tertib dan penuh rasa hormat. Banyak pengunjung yang tampak diam, merenung, atau membaca panel-panel sejarah.

Di sepanjang area ini, terdapat beberapa pameran terbuka dan gedung-gedung kecil yang berfungsi sebagai museum mini. Salah satu yang aku sempat masuki adalah "Road to War" dan "Attack Museum Gallery".

Museum ini berisi dokumentasi sejarah menjelang dan saat serangan Pearl Harbor, lengkap dengan:

  • Foto-foto asli dari masa Perang Dunia II,

  • Potongan surat kabar dari tanggal 7 Desember 1941,

  • Artefak militer seperti serpihan pesawat, peralatan radio, bahkan seragam prajurit,

  • Rekaman audio dan video kesaksian para penyintas dan veteran.

Museum ini sangat informatif dan mengena. Ada satu dinding yang penuh dengan wajah-wajah prajurit muda, dan entah kenapa aku terpaku cukup lama di sana—mereka terlihat masih belia, seolah-olah baru saja lulus SMA. Tapi hidup mereka terhenti begitu cepat karena perang.

Tak lama kemudian, pengumuman pun terdengar: kapal putih milik Angkatan Laut telah tiba dan siap membawa rombongan ke USS Arizona Memorial.

Aku menaiki kapal putih milik Angkatan Laut AS bersama rombongan lainnya. Perjalanan melintasi perairan Pearl Harbor memakan waktu sekitar 15 menit. Angin laut berhembus pelan, dan pemandangan pelabuhan yang tenang hari ini menyimpan ironi mendalam—karena dulunya, perairan ini adalah saksi dari salah satu serangan paling mengejutkan dalam sejarah militer.

Saat USS Arizona Memorial mulai tampak dari kejauhan, suasana di kapal seketika berubah. Tidak ada yang bercanda. Semua mata tertuju pada struktur putih panjang yang mengapung elegan di atas laut. Monumen ini dibangun tepat di atas bangkai kapal perang USS Arizona yang masih berada di dasar laut—tanpa menyentuh atau merusaknya. Kapal itu sendiri tidak pernah diangkat, dan hingga kini, lebih dari seribu awak kapal yang gugur masih "beristirahat" di dalamnya.

Namun, kami belum bisa langsung turun. Karena ukuran monumen yang terbatas, pengunjung harus masuk secara bergantian. Kami harus menunggu rombongan sebelumnya selesai dan kembali naik kapal. Sekitar 10 menit kami menanti dalam diam, hingga akhirnya tiba giliran kami untuk menginjakkan kaki di monumen yang khidmat itu.

Begitu memasuki USS Arizona Memorial, nuansa berubah total. Ini bukan museum biasa, bukan juga tempat wisata. Ini adalah tempat perenungan, penghormatan, makam massal yang mengapung.

Strukturnya didesain seperti lorong terbuka berwarna putih, dengan bendera Amerika berkibar gagah di bagian tengahnya. Di dalamnya, terdapat beberapa bagian penting:

  1. Ruang Tengah Monumen – area terbuka di mana kita bisa melihat langsung ke bawah laut, tempat bangkai kapal Arizona masih terendam. Kadang, minyak dari kapal yang karam itu masih terlihat merembes ke permukaan—disebut “black tears of Arizona”, dan dianggap sebagai simbol bahwa kapal dan mereka yang gugur masih "menangis".


  2. Dinding Peringatan (Remembrance Wall) – di ujung monumen, terdapat tembok marmer putih dengan nama-nama seluruh prajurit USS Arizona yang gugur saat serangan. Lebih dari 1.100 nama tertulis rapi, dan suasana di sini benar-benar hening. Banyak pengunjung yang berdiri dalam diam cukup lama di depan dinding ini.

  3. Area Pemandangan Terbuka – dari sisi kanan dan kiri monumen, kita bisa melihat perairan Pearl Harbor dan menyadari betapa dekatnya dengan daratan, membuat serangan itu terasa semakin tragis.

Ada aturan jelas yang disampaikan sejak di kapal: dilarang berbicara keras, tidak boleh tertawa, dan tidak boleh bersikap tidak hormat. Ini adalah tempat suci. Aku pun dengan sendirinya menundukkan kepala, melangkah pelan, dan berusaha menyerap setiap detail, bukan dengan kamera, tapi dengan hati.

Aku berjalan pelan menyusuri monumen hingga sampai di bagian paling ujung—sebuah ruangan tertutup dengan dinding marmer putih besar yang berdiri tegak, bersih, dan sunyi. Di dinding itu, terukir nama-nama seluruh prajurit USS Arizona yang gugur dalam serangan Pearl Harbor. Jumlahnya lebih dari seribu.

Saat melihat nama-nama itu, entah kenapa suasana hatiku langsung berubah. Sedih. Sunyi. Seolah seluruh udara di ruangan itu menekan dadaku perlahan. Karena saat membaca nama demi nama, aku tidak lagi melihat angka statistik atau data sejarah... aku melihat manusia.

Mereka adalah anak muda, sebagian mungkin masih dua puluhan, sedang bertugas di kapal perang. Dan saat itu, hari Minggu pagi, tanggal 7 Desember 1941. Bagi banyak prajurit, itu hari libur. Ada yang sedang bersantai di dek kapal, ada yang sedang bersih-bersih, mungkin ada yang sedang menulis surat untuk keluarga di rumah, dan beberapa mungkin sedang bersiap untuk pergi ibadah ke gereja pangkalan.

Lalu, tiba-tiba langit pecah.

Pesawat-pesawat tempur Jepang datang tanpa peringatan, menjatuhkan bom dan torpedo ke pangkalan Pearl Harbor. USS Arizona menjadi salah satu kapal pertama yang terkena serangan langsung. Bom menghantam gudang amunisi di bagian bawah kapal, menyebabkan ledakan besar yang begitu dahsyat hingga dalam hitungan menit, kapal itu karam.

Sebagian besar prajurit tak sempat menyelamatkan diri. Mereka gugur di tempat, terkubur di dalam kapal yang kini menjadi makam abadi.

Itulah yang menjadikan tempat ini bukan sekadar monumen, tapi ruang duka yang hidup. Setiap nama yang terukir di dinding itu membawa cerita, membawa keluarga, membawa hidup yang direnggut tiba-tiba. Dan berada di sana—diam, melihat nama-nama itu—membuatku terdiam lebih lama dari yang kupikirkan.

Saat berdiri diam di depan dinding nama-nama itu, pikiranku melayang jauh. Lebih dari seribu jiwa gugur hanya di satu kapal ini. Dan itu baru satu potongan kecil dari kehancuran besar yang ditinggalkan oleh perang.

Sejarah mencatat, setelah serangan mendadak di Pearl Harbor ini, Amerika Serikat membalas serangan Jepang dengan terlibat penuh dalam Perang Dunia II. Hingga akhirnya, pada tahun 1945, dua bom atom dijatuhkan oleh AS ke dua kota di Jepang: Hiroshima dan Nagasaki. Ribuan nyawa melayang seketika, dan efek radiasinya bahkan terus menghantui generasi berikutnya.

Dari rangkaian peristiwa ini, aku benar-benar memahami satu hal:
Tidak ada yang pernah benar-benar menang dalam sebuah perang.

Ya, mungkin secara politik atau strategi ada pihak yang "menang", tapi setiap sisi kehilangan. Baik militer maupun sipil. Anak-anak yang belum tahu apa-apa, ibu-ibu yang hanya ingin membesarkan anaknya, pekerja biasa, pelaut, petani, guru, tukang roti—semua bisa menjadi korban, hanya karena keputusan yang dibuat oleh segelintir orang di pucuk kekuasaan.

Dan di sinilah, di atas laut Pearl Harbor yang tenang, aku hanya bisa berharap:
semoga tidak ada lagi perang, dalam bentuk apapun.
Kalaupun masih ada konflik, aku benar-benar berharap ada cara untuk menghentikannya sebelum berubah menjadi kehancuran global. Karena perang tidak menyisakan apa-apa selain luka, kehilangan, dan kenangan pahit yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Setelah waktu kami habis, aku dan rombongan berbaris kembali menuju kapal kecil yang akan membawa kami kembali ke daratan. Satu per satu kami naik, diam, masih larut dalam kesan yang mendalam. Kapal perlahan meninggalkan USS Arizona Memorial, dan aku menoleh sekali lagi ke belakang. Monumen putih itu berdiri kokoh di atas laut—sunyi, tapi bersuara sangat keras di dalam hati.

Setelah kapal mengantar kami kembali ke daratan, aku tiba lagi di Visitor Center Pearl Harbor. Tapi aku belum langsung pergi. Aku masih ingin berkeliling sejenak, mengulang langkah-langkah pagi tadi, seolah ingin memberi waktu tubuh dan pikiranku untuk benar-benar mencerna pengalaman hari ini.

Aku juga sempat makan siang ringan di area pengunjung. Mungkin sekadar sandwich dan minuman dingin, tapi setelah momen emosional barusan, rasanya cukup untuk mengembalikan tenagaku. Hari ini memang berat secara batin, tapi justru itu yang membuatnya berarti.

Sebenarnya, ada satu destinasi lagi di Pearl Harbor yang terkenal: USS Missouri, kapal tempur tempat penandatanganan resmi kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Tapi karena waktuku sudah semakin mepet menuju penerbangan sore ke Osaka, aku harus melewatkannya. USS Bowfin, kapal selam yang pernah kupunjungi di hari-hari sebelumnya, menjadi bagian terakhir dari eksplorasi militarku di Pearl Harbor.

Akhirnya, aku kembali ke tempat penitipan dan mengambil tasku dan kantong oleh-oleh. Lalu berjalan ke halte bus untuk melanjutkan perjalanan terakhir hari ini: kembali ke Bandara Internasional Honolulu.

Aku memilih datang lebih awal, karena menurutku lebih baik menunggu lama di bandara daripada terburu-buru dan stres di menit-menit terakhir. Apalagi ini adalah penerbangan panjang ke Osaka, melewati lautan dan benua. Aku ingin punya cukup waktu untuk istirahat, menyiapkan fisik dan mental, serta menenangkan diri setelah perjalanan penuh makna ini.

Aloha, Hawai‘i. Terima kasih untuk segalanya. Sampai jumpa di lain waktu.

Setibanya di Bandara Internasional Honolulu, aku masih punya cukup waktu untuk leyah-leyah—rebahan di kursi tunggu, ngemil sisa cokelat oleh-oleh, dan memandangi para traveler yang datang dan pergi. Rasanya seperti detik-detik terakhir sebelum lembar baru dimulai lagi di Osaka.

Tapi, ternyata penutup perjalananku di Hawai‘i nggak bisa selesai tanpa sedikit bumbu... drama check-in.

Aku terbang dengan maskapai Aresia, yang hanya menyediakan bagasi kabin gratis 7 kg. Nah, aku memang nggak beli tambahan bagasi, karena merasa sudah cukup dengan backpack yang kupakai.

Ternyata… saat backpack-ku ditimbang, beratnya hampir 8 kg. Petugasnya—dengan wajah datar tapi prosedural—langsung bilang,
“Actually this is over limit. You have to purchase additional baggage.”

Deg.
Dalam hati aku panik. Bayar bagasi di tempat biasanya jauh lebih mahal, dan aku juga sudah mepet waktu.

Tanpa pikir panjang dan tanpa malu, aku langsung pakai jurus andalan backpacker kepepet:
Please, please… just let me in. I’m sorry. It’s just clothes. No laptop. No heavy stuff, really. Please.

Petugas itu diam sejenak. Lihat aku. Lihat timbangan. Lihat lagi wajahku.

Dan akhirnya dia mengangguk pelan, sambil bilang,
“Alright. Just this time.”

YES!
Aku hampir mau melompat kegirangan tapi langsung sadar diri—aku harus tetap elegan, meskipun dalam hati udah pengen sujud syukur.

Tasku diloloskan. Aku pun melangkah lega menuju imigrasi, membawa backpack setia dan secuil kemenangan kecil di penghujung perjalanan.

Setelah melewati drama pertama di meja check-in, aku pikir semuanya sudah beres. Backpack-ku yang nyaris 8 kg akhirnya diloloskan oleh petugas Aresia—meskipun sudah melebihi batas bagasi kabin 7 kg yang disediakan. Dia sempat bilang,

“Actually this is over, but… okay, just this time.”

Wajahnya ramah, senyum-senyum tipis, bukan yang galak atau mengintimidasi. Tapi dari air mukanya, kelihatan banget—“saya bantuin kamu, tapi tolong jangan keterlaluan ya.”
Dan aku pun mengangguk penuh syukur, dengan hati lega… atau setidaknya, kupikir urusan selesai.

Tiba-tiba dia bertanya, masih dengan senyum yang sama,
"Do you have another bag?"

Waduh.
Langsung aku merasa udara di bandara sedikit menipis.
“Uhm... yes,” jawabku sambil menunjukkan tas oleh-oleh berisi tumpukan cokelat dari ABC Stores semalam.

Dengan tetap sopan dan ramah, dia menunjuk ke timbangan. Aku tahu maksudnya.

Aku taruh tas cokelat itu, dan... boom. 4 kg.
Di titik itu, aku nyaris menyerah.

Total beratku jadi hampir 12 kg—jelas over limit, bahkan untuk batas kompromi.

Petugas itu masih tersenyum, tapi senyumnya berubah jadi senyum “penuh kesabaran”. Kayak, “Ya ampun, kok bisa sih ini orang...” Tapi nggak ada nada tinggi, nggak ada tatapan sinis. Dia tetap sopan, tetap ramah, tetap senyum. Bahkan aku tahu, kalau aku di posisinya, mungkin aku juga akan menghela napas yang sama.

Tapi ya, di situlah aku keluarkan jurus pamungkas:
Please, please… just this time. I promise I’ll repack better next time. It’s just chocolates. Really soft. No laptop. I’m sorry… please.

Dia sempat diam sebentar. Lihat tasku. Lihat wajahku.
Lalu, dengan nada datar tapi sangat pengertian, dia akhirnya bilang:
“Alright… just this time.”

Dan senyumnya masih ada. Senyum lelah tapi tulus.
Aku hampir pengen peluk dia, tapi jelas itu melanggar semua SOP bandara.

Akhirnya, semua tasku lolos, dan aku melangkah ke gerbang imigrasi dengan hati penuh syukur.
Petugas itu nggak cuma mengizinkan tasku lewat, tapi juga menyelamatkan mood perjalananku menuju Osaka.

Setelah drama bagasi dua lapis tadi—backpack yang overweight dan tas cokelat yang diam-diam menambah beban—aku akhirnya bisa bernapas lega. Rasanya seperti berhasil lolos dari ujian hidup versi bandara. Dan jujur aja, aku bersyukur banget.

Karena kalau sampai harus beli bagasi tambahan di counter check-in, wah, bisa jutaan rupiah melayang. Tiket dari Honolulu ke Kuala Lumpur (dengan transit di Osaka) aja udah mahal, apalagi kalau beli bagasi dadakan di tempat, yang biasanya jauh lebih mahal daripada booking online sebelumnya. Jadi petugas tadi itu... meskipun senyumnya setengah pasrah, dia adalah pahlawan hari itu.

Setelah itu, aku lanjut ke proses imigrasi.

Ternyata, antrian imigrasi cukup panjang, dan pemeriksaannya juga cukup ketat. Petugas benar-benar memeriksa visaku secara detail—bukan cuma lihat sekilas lalu cap paspor, tapi dilihat satu per satu, ditanya beberapa hal, bahkan dicek berkas lain. Mungkin karena sebagian besar penumpang lain adalah warga Jepang yang nggak butuh visa masuk Amerika, proses mereka jauh lebih cepat. Sementara aku, pemegang paspor Indonesia, harus siap dengan visa Amerika yang valid dan lengkap.

Tapi setelah semua dicek dan lolos, aku pun bisa boarding dengan tenang.

Dan akhirnya… aku duduk di kursiku, menatap jendela pesawat, dan siap terbang lagi. Penerbangan menuju Osaka memakan waktu sekitar 8 jam, dan aku bersiap untuk babak baru. Entah petualangan macam apa yang menunggu di Jepang nanti, tapi satu hal yang pasti—Hawai‘i telah memberiku seminggu penuh kenangan, pelajaran, dan kedamaian.


Penerbangan dari Honolulu ke Osaka memakan waktu 8 jam, dan buat sebagian orang mungkin terasa panjang, membosankan, bahkan melelahkan. Tapi buatku? It was peaceful. Momen sunyi yang sempurna untuk merenung dan... membuka galeri.

Karena jujur aja, aku tuh bukan tipe orang yang suka nge-game, nggak punya koleksi film, bahkan waktu itu belum kenal Netflix. HP-ku benar-benar "kosongan". Nggak ada hiburan eksternal, nggak ada tontonan instan.

Akhirnya, hiburan terbaikku justru datang dari galeri kamera.

Satu per satu aku buka ulang foto-foto selama seminggu di Hawai‘i—pantai-pantai biru di utara O‘ahu, padang rumput Kualoa Ranch, tebing-tebing Pegunungan Koʻolau, senyum petugas check-in yang pasrah tapi baik hati, hingga monumen sunyi di atas bangkai kapal USS Arizona.
Dan waktu aku menatap foto-foto itu, satu hal yang muncul di benakku:

"I'm so happy."

2017 ini, mimpiku benar-benar tercapai satu demi satu. Setelah keliling Eropa, kini Hawai‘i yang selama ini hanya jadi bayangan dari layar film, kini berubah jadi kenyataan yang kutangkap sendiri dengan lensa dan hati.

Short story, pesawat pun mendarat di Jepang. Transit 2 jam di Osaka, cukup untuk menarik napas panjang dan mengubah energi dari "liburan" ke "perjalanan pulang".

Masih ada satu penerbangan lagi dari Osaka ke Kuala Lumpur, sekitar 7 jam, sebelum akhirnya aku benar-benar pulang. Dan ketika roda pesawat menyentuh landasan Bandara Internasional Kuala Lumpur jam 6 pagi, ada rasa campur aduk yang susah dijelaskan. Antara lelah, lega, dan rindu makanan lokal.

Dan hal pertama yang kulakukan setelah beres imigrasi?

Sarapan.
Nasi ayam dan teh tarik.

Dan ya ampun... nikmat banget. Setelah seminggu hidup dengan burger, sandwich, dan makanan instan, akhirnya kembali ke sesuatu yang akrab—nasi hangat dan kuah gurih, diseruput dengan teh tarik manis yang ngademin hati.


Hari itu juga, setelah transit di Kuala Lumpur, aku terbang kembali ke Surabaya. Tubuhku sudah lelah, mata sembab karena kurang tidur, tapi hatiku penuh. Rasanya seperti habis menjalani satu kehidupan kecil dalam seminggu. Dan begitu kaki menginjak tanah Jawa, aku tahu: liburannya selesai, tapi jejaknya akan tinggal selamanya.

Yang lucu adalah... besoknya aku langsung masuk kerja.
Bukan karena semangat, tapi karena ya... aku cuma izin. Bukan cuti.

Iya, bayangkan.
Seminggu penuh aku izin kerja hanya demi mewujudkan mimpi ke Hawai‘i.
Sementara teman-temanku tetap duduk di kantor, lembur, ngurus laporan.
Dan aku? Aku mengirim kabar dari Waikiki. Dari Kualoa Ranch. Dari Pearl Harbor.

Waktu balik ke kantor, rasanya... malu.
Tapi juga penuh.
Karena aku tahu, meskipun tampak nekad dan terlalu berani,
aku telah melakukan sesuatu yang nggak semua orang berani lakukan:
memilih mimpiku.

Aku percaya, dalam hidup ini akan selalu ada waktu untuk tanggung jawab,
dan ada waktu untuk mewujudkan impian.
Dan terkadang, kita harus “mencuri waktu” untuk menghidupkan jiwa
walau harus izin, walau belum dapat cuti, walau hanya seminggu.

Tapi seminggu itu cukup untuk memberiku seumur hidup kenangan.

Dan kalau kau tanya,
apa aku akan lakukan itu lagi?

Jawabanku selalu sama:
untuk mimpi, aku akan lakukan apa pun.


-- FINISHED --

[11] Aloha Hawai'i : Menikmati Keindahan Pegunungan Ko'olau dari Kualoa Ranch!

Part Sebelumnya : DISINI


 Keesokan harinya, aku bangun pagi dengan semangat penuh. Rasanya seperti anak kecil yang akhirnya diajak ke tempat main impiannya. Sesuai jadwal yang disampaikan operator Kualoa Ranch lewat telepon kemarin, jam 7 pagi aku sudah meluncur ke hotel penjemputan yang ditentukan.

Begitu sampai, busnya ternyata sudah menunggu. Tepat waktu, profesional, dan bikin hati tenang. Perjalanan menuju Kualoa Ranch memakan waktu sekitar 45 menit, menyusuri jalanan hijau yang perlahan membawa kami menjauh dari keramaian Waikiki menuju kawasan perbukitan dan lembah tropis yang luas. Saat bus mulai memasuki area ranch, aku langsung bisa melihat kenapa tempat ini begitu sering muncul di film-film besar—Jurassic Park, Jumanji, Godzilla. Lanskapnya memang sinematik.

Kualoa Ranch bukan sekadar peternakan biasa. Terletak di pesisir timur Pulau O‘ahu, kawasan ini adalah lahan konservasi pribadi seluas lebih dari 1.600 hektar yang mencakup lembah-lembah subur, bukit-bukit tropis, dan garis pantai yang langsung menghadap Samudera Pasifik. Secara historis, tempat ini dulunya adalah tanah suci bagi masyarakat asli Hawai‘i, dianggap sebagai pusat pendidikan dan spiritual di masa lalu.

Kini, Kualoa Ranch berfungsi sebagai destinasi wisata ekowisata dan sejarah, tempat orang bisa mengenal alam Hawai‘i sekaligus jejak budayanya. Banyak juga yang mengenalnya sebagai lokasi syuting berbagai film Hollywood seperti Jurassic Park, Jumanji, Kong: Skull Island, Lost, dan banyak lagi. Tapi selain popularitas filmnya, tempat ini memang punya pesona alam yang luar biasa.

Jam masih menunjukkan pukul 9 kurang ketika kami tiba. Aku langsung menukarkan bukti reservasi dengan gelang tiket, yang dikalungkan ke pergelangan tangan. Semacam simbol bahwa hari ini aku resmi jadi bagian dari petualangan di Kualoa Ranch.

Kami diarahkan menuju area kandang kuda, tempat para staf sedang menyiapkan kuda-kuda yang akan kami tunggangi. Angin pagi bertiup lembut, rerumputan hijau terbentang luas, dan deretan pegunungan berjajar rapi di latar belakang. Rasanya seperti masuk ke dalam lukisan lanskap tropis.

Tepat jam 9 pagi, satu per satu peserta dipanggil dan diberi kuda masing-masing. Aku juga dibantu oleh petugas untuk naik ke atas pelana. Awalnya agak canggung—ini pengalaman berkuda pertamaku dalam setting yang sesungguhnya. Tapi begitu kuda mulai berjalan pelan dan rombongan mulai bergerak, aku merasa tenang.

Saat tur berkuda dimulai, kami melintasi jalur setapak yang membelah padang rumput luas. Anginnya sejuk, udara bersih, dan langit cerah biru. Dari atas kuda, aku bisa melihat panorama spektakuler yang membuatku beberapa kali lupa mengedip.

Di sebelah kanan, hamparan Samudera Pasifik membentang megah. Airnya biru tua, kadang memantulkan cahaya seperti kaca. Garis pantainya panjang dan natural—nyaris tanpa bangunan—membuatnya tampak murni seperti potongan dunia yang belum tersentuh modernitas.

Sementara itu, di sebelah kiri, terbentang deretan bukit-bukit tropis yang menjadi ikon Kualoa. Bukit-bukit ini bagian dari Pegunungan Koʻolau, yang terbentuk dari sisa letusan gunung berapi purba jutaan tahun lalu. Bentuknya khas—menjulang tinggi dengan punggungan yang terjal, dan puncaknya selalu dibalut kabut tipis. Bukit-bukit ini seperti tersambung satu sama lain, membentuk barisan alami yang memagari lembah.

Pemandangan ini membuatku merasa kecil, tapi juga takjub. Seolah-olah sedang menunggang kuda di dunia lain—di tengah lukisan hidup yang ditorehkan oleh waktu, alam, dan sejarah.



Setelah tur berkuda selesai—yang rasanya masih terlalu cepat padahal sudah sekitar satu jam—aku kembali ke area utama Kualoa Ranch dan langsung melanjutkan ke aktivitas berikutnya: Hollywood Movie Sites Tour. Ini salah satu kegiatan paling populer di sini, dan jujur saja, sebagai pecinta film, aku antusias banget.

Kami naik kendaraan wisata berbentuk seperti kereta terbuka, ditarik mobil besar, dan duduk di bangku panjang sambil dibekali penjelasan lewat pengeras suara dari pemandu yang sangat informatif dan penuh selera humor.

Tur ini membawa kami menyusuri berbagai lokasi syuting film dan serial TV ikonik yang benar-benar difilmkan di lembah-lembah Kualoa. Beberapa spot yang dilewati antara lain:

  • Lembah di mana dinosaurus lari di Jurassic Park — salah satu momen paling ikonik dari film tahun 1993. Dan yes, bahkan sampai sekarang, jejak kaki tiruan dinosaurus masih terlihat di tanah. Nggak main-main, lho!

  • Lokasi markas pasukan di Godzilla, lengkap dengan bekas struktur buatan filmnya yang masih dibiarkan berdiri sebagai "monumen".

  • Tempat syuting serial Lost, yang menggunakan lanskap lebat Kualoa sebagai pulau misterius tempat para tokohnya terdampar.

  • Adegan-adegan hutan dari Jumanji: Welcome to the Jungle, termasuk jalur-jalur setapak yang tampak eksotis dan dramatis.

  • Setting film Pearl Harbor, dan bahkan beberapa adegan dari Hobbs & Shaw, Kong: Skull Island, dan 50 First Dates juga sempat difilmkan di sini.

Pemandangannya? Benar-benar gila.

Sepanjang perjalanan, mata kita dimanjakan oleh lanskap yang terasa too good to be true. Lembah-lembah hijau luas, diapit oleh tebing tinggi dari Pegunungan Ko‘olau, dengan garis-garis alami yang tampak seperti pahatan raksasa. Kadang mobil berhenti sejenak di tempat strategis, dan kita diberi waktu untuk turun, berfoto, dan menikmati panorama 360 derajat yang luar biasa.

Bayangkan duduk di kendaraan terbuka, kanan kiri hijaunya gunung, jauh di depan laut biru, dan angin berhembus pelan membawa aroma hutan tropis. Sesekali pemandu menunjukkan tempat spesifik dan memutar klip film di monitor kecil, lalu menyuruh kita membandingkan—“Nih, adegan ini difilmkan persis di belakang kalian!”

Saat itu aku benar-benar merasa seperti masuk ke dalam layar film. Tapi yang lebih mengesankan: tempat ini nyata. Bukit-bukitnya bukan CGI. Langitnya benar-benar sebiru itu. Dan semua panorama ini bisa aku lihat dengan mata kepala sendiri, bukan lagi lewat bioskop.


Kualoa Ranch’s Military Bunker Museum, atau sering disebut juga World War II Army Bunker Museum. Museum ini memang termasuk dalam rangkaian pemberhentian dalam Hollywood Movie Sites Tour di Kualoa Ranch. Berikut penjelasan lengkapnya:


Museum Bunker Perang Dunia II di Kualoa Ranch

Di tengah tur berkeliling lokasi syuting film, kami juga sempat berhenti di sebuah tempat yang—di luar dugaan—ternyata adalah bunker peninggalan militer dari era Perang Dunia II. Lokasinya berada di lereng bukit Kualoa, dan dikenal sebagai Kualoa Bunker Museum.

Bunker ini dulunya dibangun oleh militer Amerika Serikat sebagai bagian dari sistem pertahanan pesisir setelah serangan Pearl Harbor pada 1941. Karena posisinya yang strategis menghadap Samudera Pasifik, Kualoa menjadi salah satu titik penting pertahanan militer di Pulau O‘ahu. Bunker ini tersembunyi di balik lereng, dilengkapi dengan dinding beton tebal dan lorong-lorong sempit khas bangunan militer zaman dulu.

Kini, bunker tersebut diubah menjadi semacam museum mini, isinya gabungan antara:

  1. Artefak militer seperti foto-foto pasukan, dokumen, dan peralatan tempur zaman Perang Dunia II.

  2. Informasi sejarah tentang peran Kualoa dalam sistem pertahanan O‘ahu.

  3. Galeri film—yang ini unik—karena dinding-dinding dalamnya juga dipenuhi poster, foto, dan memorabilia dari berbagai film Hollywood yang pernah syuting di Kualoa. Jadi perpaduannya cukup menarik: separuh museum militer, separuh museum film.

Masuk ke dalamnya terasa seperti melakukan perjalanan waktu—dari masa perang ke dunia sinema. Di salah satu lorongnya bahkan ada jendela yang menghadap langsung ke laut, tempat tentara dulu berjaga-jaga mengawasi perairan.

Meski ukurannya tidak besar, museum ini memberi lapisan sejarah baru yang memperkaya pengalaman tur. Kualoa ternyata bukan cuma latar film, tapi juga saksi bisu sejarah penting di masa konflik dunia.


Setelah puas berkeliling lokasi syuting dan menjelajah bunker bersejarah, perutku mulai memberi kode keras—saatnya makan siang. Dan untungnya, makan siang sudah termasuk dalam paket wisata yang kubeli sebelumnya. Jadi begitu tur selesai, aku langsung diarahkan ke area makan yang terletak di dekat pusat informasi utama Kualoa Ranch.

Sistemnya adalah buffet—alias ambil sendiri sepuasnya. Deretan meja panjang penuh dengan pilihan makanan yang hangat dan menggoda. Ada nasi, ayam panggang, beef teriyaki, salad segar, kentang, dan sayur-sayuran tropis yang dimasak dengan gaya lokal Hawai‘i. Tak lupa tersedia juga pilihan saus dan sambal manis yang aromanya mengundang.

Aku ambil secukupnya, lalu mencari tempat duduk di area semi-terbuka. Dari tempat dudukku, pemandangannya luar biasa. Di depan terbentang lembah hijau Kualoa, dengan latar belakang tebing-tebing Pegunungan Koʻolau yang masih tertutup kabut tipis. Angin laut bertiup pelan dari kejauhan. Makan di sini rasanya seperti piknik mewah di alam bebas.

Setiap suapan terasa lebih nikmat karena kombinasi lapar, puas, dan bahagia. Dan yang paling menyenangkan, aku tidak perlu mikir soal bayar—karena semua ini sudah termasuk dalam paket. Tinggal duduk, nikmati, dan resapi betapa luar biasanya hari ini.



Sekitar pukul setengah tiga sore, aku naik kembali ke bus yang sama seperti pagi tadi—bus antar jemput resmi dari Kualoa Ranch yang sudah termasuk dalam paket PP seharga $15. Supirnya masih orang yang sama, ramah dan cekatan. Di dalam bus, aku duduk dekat jendela, seperti pagi tadi, tapi suasananya kini terasa berbeda.

Matahari sudah mulai condong ke barat, menciptakan semburat cahaya keemasan di balik perbukitan. Perjalanan kembali ke Waikiki memakan waktu sekitar 45 menit, tapi aku sama sekali tidak merasa bosan. Sambil duduk di kursi, aku memutar ulang semua pengalaman hari ini di kepala: berkuda menyusuri lembah sinematik, melihat langsung lokasi film-film favoritku, masuk ke dalam bunker bersejarah, hingga makan siang dengan latar panorama yang nyaris mustahil dilupakan.

Begitu bus memasuki area Waikiki, kota kembali terasa hidup dengan hiruk-pikuk khas wisatawan. Tapi di dalam diriku, ada ketenangan baru—semacam rasa puas yang datang bukan karena checklist itinerary yang penuh, tapi karena impian lama yang akhirnya jadi kenyataan.

Hari itu, Kualoa Ranch memberiku lebih dari sekadar wisata. Ia memberiku pengalaman, pelajaran, dan sedikit keajaiban.


Part Sebelumnya : DISINI

[10] Aloha Hawai'i : Dari Teluk Waimea sampai Teluk Kahana !

Part Sebelumnya : DISINI


 Hari ketiga petualanganku di Hawai‘i sebenarnya sudah kurancang jauh-jauh hari—hari ini waktunya menjelajah Kualoa Ranch! Tempat yang sering banget muncul di film-film Hollywood kayak Jurassic Park, 50 First Dates, sampai Jumanji. Aku daftar trip seharian seharga sekitar Rp 1,6 juta—udah termasuk beberapa aktivitas seru di dalamnya, salah satunya: berkuda.

Jadwal berkudanya jam 9 pagi. Nah, karena aku tipe orang yang kalau jalan-jalan itu nggak mau nyia-nyiain waktu, aku udah siap dari pagi banget. Jam setengah 8 aku udah keluar dari hotelku di Waikiki, naik bus umum menuju Kualoa Ranch. Tapi ya namanya perjalanan, nggak semua bisa lancar terus, kan?

Rutenya butuh naik dua bus, dan bus pertama sih aman-aman aja. Tapi pas nunggu bus kedua—nah ini mulai deg-degan. Udah jam setengah 9 lewat dan busnya belum juga nongol. Aku mulai gelisah. Jam 9 itu udah jadwal naik kuda, dan dari halte ke lokasi ranch-nya masih lumayan jauh juga. Sialnya, nggak ada ojek online di sini yang bisa diandalkan kayak di Indonesia. Nggak bisa juga sembarang naik taksi karena mahal banget dan jarang lewat.

Sambil nunggu, aku celingukan. Beberapa penumpang lain juga mulai resah. Tapi aku yakin cuma aku yang sedang kebat-kebit karena punya janji berkuda pagi itu. Dalam hati aku mulai mikir, “Aduh, kalau telat, bisa-bisa nggak boleh ikut aktivitasnya. Orang Amerika kan disiplin banget sama jadwal...”

Sambil duduk gelisah di halte, aku mulai sadar—kayaknya aku bakal nggak keburu. Jam sudah mendekati pukul 9 dan bis kedua belum juga menampakkan diri. Dengan segala harapan yang masih tersisa, aku akhirnya mencoba menelepon operator dari Kualoa Ranch. Nadaku mungkin agak panik, tapi tetap kuusahakan sopan.

"Hi, sorry, I’m supposed to join the 9 AM horseback riding tour today… but I’ve been waiting for the second bus for over an hour and it still hasn’t come. Is there anything I can do?"

Operatornya ramah banget. Dia mendengarkan keluhanku dan setelah aku menjelaskan situasinya, dia langsung kasih solusi yang... menurutku sangat fair. Dia bilang aku bisa mengganti jadwal kunjunganku jadi besok! What a relief! Dan dia bahkan menawarkan layanan antar-jemput dari Waikiki hanya dengan 15 dolar PP.

“Kamu bisa datang ke hotel X (duh, aku lupa nama hotelnya), jam 7 pagi. Nanti kita jemput di sana, biar nggak kejadian kayak hari ini lagi,” katanya.

Aku langsung jawab cepat: “Yes! I will take that option.”

Legaaaaa banget rasanya. Tadinya udah pasrah, mungkin bakal hangus aja tuh uang Rp 1,6 jutaan. Tapi ternyata mereka sangat pengertian dan profesional. Seketika hari yang tadinya kacau mulai terasa ringan lagi.

Setelah telepon ditutup dan semua jadwal ke Kualoa Ranch resmi dijadwal ulang ke besok, aku duduk sebentar sambil mikir—“Oke, sekarang jam 9 kurang, itinerary utama hari ini gagal… tapi masa iya aku balik ke hotel dan leyeh-leyeh?”

Jiwa petualangku langsung bangkit. Daripada ngelamun di Waikiki, kenapa nggak sekalian aja aku menjelajah pantai-pantai utara O‘ahu? Apalagi aku memang selalu siap sedia bawa baju ganti di tas. Udah jadi semacam SOP-ku kalau lagi traveling: harus selalu siap dengan skenario “pindah haluan dadakan.” Siapa tahu kan, nemu pantai cakep dan pengen langsung nyebur!

Akhirnya aku mutusin buat ke dua tempat: Waimea Bay dan Kahana Beach. Dua nama yang mungkin nggak seterkenal Waikiki, tapi justru itu yang bikin aku tertarik. Pantai-pantai di sisi utara O‘ahu katanya lebih tenang, lebih alami, dan… lebih Hawai‘i asli.

Perjalanan dari area halte tadi ke arah utara memang agak memutar, tapi sepanjang jalan justru jadi semacam terapi. Angin sepoi-sepoi, pemandangan bukit hijau, dan langit yang bersih membuatku lupa bahwa pagi tadi sempat stres. Sesekali aku intip Google Maps, nyari posisi terbaik buat turun dan jalan kaki ke pantai.


Setelah memutuskan untuk mengganti rute harian, aku pun menunggu bus lain yang bisa membawaku ke pantai. Untungnya, nggak butuh waktu lama. Bus datang, dan aku langsung naik dengan semangat baru. Tujuanku sekarang: Waimea Bay—atau dalam pelafalan lokalnya, Teluk Wai-Mea.

Perjalanan menuju ke sana ternyata lumayan panjang, tapi justru itu yang bikin seru. Bus ini menyusuri pesisir timur Pulau O‘ahu, dan rutenya… aduh, cakep banget. Sepanjang jalan, hampir setiap pemberhentian punya embel-embel "Beach Park" di belakang namanya. Artinya jelas: ini adalah jalur pantai!

Bayangkan naik bus sambil duduk di jendela, angin laut masuk lewat celah-celah ventilasi, dan pemandangan hamparan laut biru terbentang di sisi kanan. Sesekali terlihat pantai dengan pohon kelapa melambai-lambai, para peselancar yang berdiri santai di tepi ombak, dan keluarga lokal yang piknik di bawah gazebo.

Aku jadi mikir, “Wah, di sepanjang rute ini, kayaknya bisa aja asal turun dan langsung nemu spot kece buat nyantai atau nyebur.” Rasanya kayak naik bus yang tiap pemberhentiannya adalah surga mini.

Tujuan utamaku tetap Waimea Bay—pantai yang katanya legendaris buat para surfer, tapi juga punya sisi tenang untuk sekadar rebahan atau berenang.


Dalam perjalanan menuju Waimea Bay, bus yang kutumpangi perlahan mulai memasuki kawasan utara O‘ahu. Dan di antara deretan pantai serta hutan tropis yang dilewati, ada satu momen yang membuatku benar-benar terdiam: busku melintasi Turtle Bay Resort.

Buat sebagian orang, mungkin ini hanya resor biasa. Tapi buatku, ini tempat yang spesial. Kenapa? Karena dari sinilah semuanya bermula. Pertama kali aku mengenal Hawai‘i bukan dari buku atau brosur wisata, tapi dari film Forgetting Sarah Marshall. Sebagian besar adegan film itu mengambil setting di Turtle Bay Resort. Aku masih ingat betapa film itu membuatku terpana—pantainya, vibe-nya, hotelnya yang langsung menghadap laut. Sejak saat itu, aku tahu, satu hari nanti aku ingin menginjakkan kaki di Hawai‘i.

Dan hari ini… ya, aku benar-benar ada di sini. Oke, aku memang nggak nginap di resornya—karena, let’s be honest, it’s way too expensive buat kantong backpacker sepertiku. Tapi cuma bisa melihat bangunannya dari balik jendela bus, menyaksikan atap-atapnya yang khas, dan membayangkan adegan-adegan film itu, rasanya cukup buat membuat dadaku hangat.

Dalam hati aku bilang, “I’m really here. Akhirnya sampai juga. Meskipun nggak nginap… tapi aku lewat di depannya aja udah bahagia.”

Bus terus melaju, dan perlahan Turtle Bay tertinggal di belakang. Tapi rasa haru itu masih tertinggal di hatiku. Perjalanan berlanjut, dan tak lama kemudian, aku turun di halte Waimea Bay. Pantai legendaris yang katanya jadi arena pertempuran para peselancar dunia, tapi hari ini… akan jadi tempatku bersantai dan membiarkan semua rasa campur aduk tadi larut bersama debur ombak.


Begitu turun dari halte, aku berjalan kaki sebentar menuju Waimea Bay—salah satu pantai paling legendaris di Pulau O‘ahu. Terletak di pesisir utara, teluk ini dikenal sebagai rumahnya ombak-ombak raksasa di musim dingin, tempat diadakannya berbagai kompetisi selancar kelas dunia seperti The Eddie Aikau Big Wave Invitational. Tapi kalau datang di musim panas seperti aku, Waimea Bay berubah jadi lebih tenang—seolah-olah lautnya sedang beristirahat.

Secara geografis, teluk ini berupa cekungan besar yang dipagari tebing hijau dan hutan tropis di sisi belakangnya. Di sisi lainnya, terbentang laut Pasifik yang luas dan biru tua, dengan gradasi warna yang semakin muda menuju bibir pantai. Pasirnya keemasan, cukup halus untuk ditiduri, tapi juga cukup padat untuk tidak terlalu kotorin baju. Di sebelah kiri pantai, ada batu besar yang biasa dipakai pengunjung buat cliff jumping—meski aku jelas nggak berani coba wkwk.

Siang itu, pantai cukup ramai. Ada keluarga lokal yang piknik, sekelompok peselancar yang bersantai sambil memantau ombak, dan beberapa turis yang berjemur sambil membaca buku. Tapi nggak terlalu sesak. Masih banyak ruang untuk cari spot duduk yang tenang.

Aku langsung duduk di tepi pantai. Angin laut meniup pelan, membawa aroma asin yang khas. Aku pandangi laut yang tenang tapi dalam itu, membentang luas sampai ke cakrawala. Kalau dibandingkan dengan pantai-pantai di Indonesia, aku harus jujur—secara tampilan, mungkin kita punya yang lebih dramatis, lebih liar, lebih sepi. Tapi… ini Hawai‘i. Dan ada perasaan yang nggak bisa dijelaskan waktu aku duduk di pasir Waimea.

Ada rasa damai yang dalam. Mungkin karena aku tahu, aku sedang duduk di tempat yang dulu cuma bisa kulihat di film, kulamunkan saat lagi bosan kerja, atau kudambakan sambil nyicil tabungan. Dan sekarang, aku benar-benar ada di sini.

Sempat terpikir mau berenang, tapi begitu menyentuh airnya, aku sadar: bibir pantainya cukup curam. Beberapa langkah saja dari garis pasir, langsung dalam. Aku yang nggak bisa ngambang dan bukan perenang jago, akhirnya cuma bermain air di tepi. Sekadar membasuh kaki, nyipratin air ke wajah, lalu kembali duduk menikmati pemandangan.

Tak ada hal spektakuler yang kulakukan. Tapi duduk sendirian di Waimea Bay—dikelilingi tebing hijau, pasir keemasan, dan laut Pasifik yang luas—sudah cukup membuatku merasa utuh.


Dari Waimea Bay di sebelah utara Pulau O‘ahu, aku kembali naik bus untuk menuju destinasi selanjutnya: Kahana Bay. Bukan Kahuna Beach seperti rencana awal—aku memutuskan untuk sedikit berbelok arah. Banyak orang mungkin lebih memilih pantai populer seperti Sunset atau Lanikai, tapi hari itu aku ingin yang lebih tenang, lebih tersembunyi. Dan akhirnya, pilihanku jatuh ke Kahana Bay.

Perjalanan dari Waimea ke Kahana Bay memakan waktu cukup lama—sekitar 1 jam 20 menit naik bus umum. Tapi perjalanan ini sendiri sudah jadi bagian dari petualangan. Bus meluncur menyusuri jalanan pesisir timur O‘ahu, membelah perkampungan lokal, hutan tropis, dan deretan pantai yang silih berganti terlihat dari jendela. Pemandangan sepanjang jalan benar-benar memanjakan mata—gunung menjulang di sisi kiri, dan laut biru tak berujung di sisi kanan.

Nah, di tengah perjalanan ini aku baru tahu satu hal penting: kalau mau turun dari bus di Hawai‘i, kita harus narik tali yang ada di dekat jendela. Tali ini fungsinya seperti tombol bel. Kalau nggak ditarik, supir nggak akan berhenti di halte yang kita maksud. Untung aku cepat sadar. Waktu halte Kahana Bay makin dekat, aku buru-buru tarik tali itu. Duh, kebayang nggak sih kalau aku kelewatan dan harus jalan kaki jauh balik lagi? Wkwk.

Begitu turun, aku langsung disambut suasana yang... jujur, bikin terdiam.

Kahana Bay bukan pantai turistik. Tempat ini lebih terasa seperti halaman belakang Hawai‘i yang sesungguhnya. Dikelilingi perbukitan hijau dan hutan tropis, pantainya tenang, nyaris tanpa ombak. Airnya jernih kehijauan, dan pasirnya lebih kasar dibanding Waimea, tapi justru itu yang membuatnya terasa alami. Beberapa perahu kayu kecil tampak terparkir di pinggir, dan di kejauhan ada penduduk lokal yang duduk santai sambil memancing.

Keistimewaan Kahana Bay bukan pada gemerlapnya, tapi pada kesunyiannya. Tempat ini seperti pelarian. Nggak ada restoran mewah, nggak ada keramaian turis, bahkan nggak ada warung kecil. Hanya alam, angin, suara ombak yang lembut, dan aroma hutan yang sesekali terbawa semilir angin laut.

Aku duduk di bawah pohon besar, membuka bekal kecil yang kubawa, dan membiarkan waktu mengalir pelan. Tak ada rencana besar. Hanya menikmati detik demi detik di tempat yang seolah melambatkan dunia. Dan di situlah aku sadar: Hawai‘i bukan cuma tentang pantai cantik dan aktivitas seru. Kadang, ia juga tentang keheningan yang menenangkan.


Aku duduk lama di Kahana Bay—mungkin sekitar 45 menit—hanya untuk menyerap semuanya. Aku ingin menyimpan pemandangan ini sebagai memori abadi di kepala. Bukit-bukit hijau yang mengelilingi teluk, laut tenang yang memantulkan langit biru pucat, suara dedaunan yang berbisik pelan diterpa angin... semuanya terasa seperti lukisan hidup yang tidak ingin lekas kutinggalkan.

Tapi perlahan, perut mulai memberontak. Aku sadar, dari pagi belum makan apa-apa yang layak disebut makan siang. Waktu sudah masuk sore, dan rasa lapar mulai menggeser ketenangan tadi. Akhirnya aku buka Google Maps, berharap ada tempat makan terdekat yang bisa dijangkau jalan kaki.

Dan ternyata—yes! Ada satu restoran kecil yang jaraknya cuma sekitar 500 meter. Tanpa pikir panjang, aku pun melangkah meninggalkan pantai, berjalan kaki menyusuri jalan sepi dengan semangat baru: semangat cari makan.

Sesampainya di restoran itu, tempatnya ternyata sangat sederhana. Bukan restoran mewah, tapi lebih ke warung makan lokal khas pinggir jalan. Menu yang tersedia cukup terbatas, tapi justru itu kadang jadi pertanda makanan enak. Aku pesan satu porsi besar—isinya kentang goreng sebagai sumber karbohidrat, dan beef goreng berbumbu yang gurih dan juicy banget. Oh, dan tentu saja satu botol minuman dingin buat menemani.

Masalahnya? Nggak ada tempat duduk.

Tapi lapar nggak bisa ditunda, jadi aku pun memutuskan untuk jalan kaki ke halte bus terdekat, duduk di bangku halte, dan makan di situ. Dan jujur aja… itu jadi salah satu momen makan paling memorable selama di Hawai‘i. Makan sambil lihat bus lalu-lalang, ditemani suara alam sekitar, dan ditiup angin sore pesisir—nggak mewah, tapi justru berkesan.

Kadang yang sederhana justru yang paling dikenang, ya.


Aku menghabiskan makananku pelan-pelan di bangku halte, sambil sesekali memperhatikan kendaraan yang lewat dan hembusan angin sore yang mulai terasa lebih sejuk. Setelah perut kenyang dan hati tenang, aku menunggu bus untuk kembali ke Waikiki. Perjalanan panjang pulang menanti, tapi entah kenapa, aku nggak merasa capek. Justru ada rasa puas yang sulit dijelaskan.

Memang, dari sekian banyak beach park yang dilewati bus umum sepanjang rute hari ini, aku cuma sempat mampir ke dua: Waimea Bay dan Kahana Bay. Tapi dua itu rasanya sudah cukup. Waimea mewakili pantai utara yang bersejarah dan penuh karakter, sedangkan Kahana adalah pantai timur yang sunyi, hijau, dan damai. Keduanya menghadirkan dua sisi Hawai‘i yang sangat berbeda, tapi sama-sama menenangkan.

Hari ini mungkin bukan itinerary yang awalnya kurencanakan. Tapi begitulah traveling—selalu ada hal-hal tak terduga yang justru bikin perjalanan jadi lebih hidup.

Besok, aku harus bangun pagi-pagi banget. Aku sudah janjian untuk dijemput dan diantar ke Kualoa Ranch, tempat impianku sejak nonton Forgetting Sarah Marshall. Dan kali ini aku harus on time, supaya nggak kejadian lagi kayak hari ini.

Satu hari yang dimulai dengan kekecewaan, akhirnya ditutup dengan rasa syukur.

Hawai‘i, kamu memang nggak pernah gagal bikin hati penuh.


Part Selanjutnya : DISINI

[9] Aloha Hawai'i : Berkeliling 6 Negara di Polynesia Cultural Centre !

 

Setelah duduk sejenak menenangkan diri dari kejutan gonggongan anjing tadi, aku langkahkan kakiku kembali menuju halte bus untuk menuju destinasi selanjutnya: Polynesian Cultural Center (PCC). Tempat ini terletak di Laie, bagian utara Pulau O‘ahu—40 km lagi dari posisi aku saat itu di Ho‘omaluhia Botanical Garden, yang berada di Kaneohe. Tidak butuh waktu lama untuk bus-ku datang. Perjalanan ke PCC ditempuh dalam waktu 1 jam, tapi pemandangan sepanjang jalan, terutama saat mulai masuk kawasan pantai utara, itu luar biasa indah. Jalanannya sering membelah perbukitan dan menyusuri garis pantai dengan laut biru di sisi kanan—bikin capek jadi nggak terasa.

Aku tiba di PCC sekitar jam 2 siang. Tiket masuknya cukup mahal, 84 SGD saat itu, tapi setelah masuk aku merasa itu worth it banget. Tempat ini luas dan dibagi menjadi beberapa desa tematik yang merepresentasikan budaya enam suku besar di kawasan Polinesia: Hawai‘i, Aotearoa (Selandia Baru), Fiji, Samoa, Tonga, dan Tahiti. Selain itu, tiket juga termasuk makan siang buffet dan pertunjukan besar malam hari di teaternya, yang berjudul “HĀ: Breath of Life”. Setelah aku broswing, ini adalah pertunjukan epik yang menampilkan lebih dari 100 penari dan musisi dari seluruh kepulauan Pasifik. "HĀ" dalam bahasa Hawai‘i berarti "nafas", dan pertunjukan ini mengisahkan perjalanan hidup seorang manusia—dari kelahiran, masa muda, cinta, hingga menjadi kepala keluarga—yang diselingi dengan tarian tradisional, musik, dan atraksi seperti tari api dari Samoa yang sangat memukau.

Setelah menjelajahi pintu masuk utama Polynesian Cultural Center dengan air terjun buatan dan kanal-kanal tropis yang menenangkan, aku memutuskan untuk menuju desa pertama yang menarik perhatianku: Desa Samoa.

Begitu masuk ke area desanya, suasana langsung terasa hidup. Di tengah panggung terbuka, sudah berkumpul sekelompok pengunjung, duduk melingkar dan menatap ke arah seorang pria Samoa bertubuh besar yang berdiri percaya diri dengan senyum lebar. Dia hanya mengenakan kain tradisional, lava-lava, dan sebuah hiasan kepala dari daun. Tangannya membawa tongkat kayu panjang, dan di belakangnya sudah disusun batok kelapa, serat pohon, dan kayu kering.

Pertunjukan dimulai dengan demonstrasi membuat api tradisional, yang disebut "fire-starting demonstration". Dia menjelaskan—dengan gaya yang sangat jenaka—bagaimana orang Samoa zaman dulu menyalakan api tanpa korek atau bensin. Kayu digesekkan cepat pada serat kering sampai asap mulai keluar. Gerakan tangannya cepat, dan dalam waktu kurang dari satu menit, api benar-benar menyala dari serat kelapa. Penonton langsung bersorak. Aku sendiri sampai tepuk tangan sambil terkagum-kagum, “Lah kok bisa secepat itu?”

Setelah itu, dia mendemonstrasikan cara memanjat pohon kelapa—meskipun kali ini hanya mempraktikkan gerakan karena tidak ada pohon tinggi di panggung. Gaya bicara dan candaan khas Pasifiknya bikin semua penonton ngakak. Salah satu kalimat yang aku ingat: “This is how we get coconut, not from a supermarket like you do!” wkwkwk.

Kemudian dia memperagakan pengolahan kelapa, dari membuka batok, mengerok dagingnya, sampai memeras santan, semua pakai alat-alat tradisional. Bahkan dia sempat membentuk mangkuk kelapa dan meminumnya langsung dari batok—sambil menatap dramatis ke kamera penonton.

Yang paling seru, tentu saja, saat dia mulai memainkan tongkat api—meski belum menyala. Gerakannya cepat, memutar tongkat itu di udara, melompat, menunduk, dan bahkan melempar ke atas. Walau tanpa api, energi dan ketangkasan gerakannya membuat semua orang terpana. Dalam budaya Samoa, ini disebut ailao afi—tarian dengan tongkat api yang biasanya dipentaskan dalam upacara besar atau pertunjukan penyambutan tamu.

Sambil nonton, aku duduk di bawah pohon kelapa buatan, sesekali tertawa bersama pengunjung lain, meskipun aku datang sendiri. Tapi suasana yang hangat dan interaktif bikin aku nggak merasa sendirian. Justru pengalaman seperti inilah yang aku cari—belajar budaya langsung dari sumbernya, dengan cara yang menyenangkan.

Dari sini, aku lanjut eksplorasi ke desa-desa lainnya. Tapi momen di desa Samoa ini jadi pembuka yang bikin hatiku langsung hangat dan semangat eksplor lebih jauh lagi.


aku memutuskan untuk duduk di tepi kanal yang membelah kawasan Polynesian Cultural Center. Hari itu cuaca cerah, matahari bersinar hangat, dan suasana perlahan dipenuhi antusiasme para pengunjung yang berkumpul. Mereka semua tahu—pertunjukan ikonik Canal Show akan segera dimulai.

Tak lama, dari kejauhan terdengar irama pukulan genderang yang mantap. Perahu pertama mulai muncul di tikungan kanal—dan itu adalah kapal dari Fiji.

Tiga penari pria bertelanjang dada berdiri tegak di atas perahu, mengenakan rok serat tradisional berwarna terang dan hiasan daun di pergelangan kaki dan tangan. Mereka langsung mempersembahkan tarian tradisional Meke, sebuah tarian khas Fiji yang kaya akan semangat dan makna.

Gerakan mereka tegas dan bertenaga—tangan dihentakkan ke depan seolah mencangkul, lalu mundur lagi dengan irama yang presisi. Kakimu ikut tergetar hanya dengan melihat betapa kuatnya mereka berdiri di atas papan perahu yang terus bergoyang. Setiap hentakan diiringi sorakan semangat dari penonton di sekeliling kanal.

Di belakang, penari wanita duduk bersila, dengan busana dan bunga hiasan kepala yang indah, siap mengiringi atau menjadi bagian dari narasi tari yang sedang dibawakan. Wajah mereka penuh ekspresi, tak hanya menari secara fisik tapi juga menyalurkan cerita—tentang kerja keras, tentang tanah yang suci, tentang leluhur dan semangat juang.

Sambil duduk di bawah naungan pohon kelapa, aku merasa seperti diangkut ke pulau-pulau Pasifik Selatan—merasakan denyut budaya yang hidup dan bergerak, bukan hanya sekadar ditonton. Gerakan seperti mencangkul itu pun bukan sembarang koreografi. Dalam budaya Fiji, itu adalah penghormatan terhadap kerja, terhadap tanah, terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat menyatu dengan alam.


Setelah energi menggelegar dari kapal Fiji, kanal pun kembali tenang. Lalu dari tikungan kanal, muncul kapal kedua—kapal dari Hawai‘i. Dan entah kenapa, saat musik khas Hawai‘i mulai terdengar, hati aku langsung terasa adem.

Di atas perahu berdiri beberapa penari wanita dan pria, mengenakan kostum tradisional warna biru laut. Para wanita memakai rok hula dan topi jerami lebar, sementara para pria mengenakan kain sarung Hawai‘i. Gerakan mereka lembut dan selaras dengan alunan musik ukulele dan gendang ipu, yang ritmenya seperti napas ombak di pantai.

Mereka membawakan hula, tarian tradisional Hawai‘i yang bukan cuma gerakan indah, tapi juga bentuk puisi gerak. Tangan mereka bergerak perlahan, membentuk lengkungan seperti ombak, daun, atau angin. Setiap gerakan punya makna—bisa tentang cinta, alam, kisah leluhur, bahkan doa. Semuanya dilakukan dengan senyuman tenang dan ekspresi wajah yang damai.

Penonton di tepi kanal, termasuk aku, seperti terhipnotis. Tidak ada teriakan. Tidak ada sorakan. Yang ada hanya tepuk tangan lembut dan senyuman. Rasanya selow banget, damai, sejuk—dan aku langsung paham kenapa banyak orang jatuh cinta pada budaya Hawai‘i.

Tarian ini semacam penyeimbang energi setelah ledakan semangat dari Fiji. Kalau Fiji adalah tifa dan tombak, maka Hawai‘i adalah ombak dan angin laut. Dan jujur, bagian ini jadi salah satu favoritku dalam Canal Show. Mungkin karena dia menyentuh sisi hati yang berbeda—yang lembut, penuh makna, dan personal.



Setelah kapal Hawai‘i dengan tarian hula yang lembut dan menenangkan lewat, suasana kembali berganti. Kali ini bukan tenang atau syahdu, tapi pecah dan penuh semangat. Dari kejauhan muncul kapal dengan tulisan TONGA di sisi depannya, dihiasi para penari pria dan wanita dengan kostum merah mencolok, hiasan kepala dari bulu, dan gerakan yang begitu eksplosif.

Begitu kapal melintas di depanku, para penari langsung mengeluarkan teriakan khas dalam bahasa Tonga—semacam yel-yel ritmis yang membangkitkan semangat. Suaranya lantang, kompak, dan membangunkan semua penonton dari keheningan. Lalu dimulailah tarian mereka: gerakan tangan cepat, dada ditepuk, kaki dihentakkan ke papan perahu, dan semua dilakukan dengan senyum lebar dan ekspresi yang energik banget.

Tarian yang mereka tampilkan kemungkinan besar adalah bagian dari tarian lakalaka atau kailao, dua jenis tarian tradisional Tonga yang sering dipentaskan untuk merayakan acara penting. Lakalaka biasanya berupa gerakan teratur dengan irama puisi, sementara kailao lebih mirip tarian perang—kasar, kuat, dan penuh hentakan. Dan yang aku lihat saat itu terasa seperti kombinasi keduanya: teatrikal tapi juga penuh tenaga.

Penonton di sekeliling kanal langsung bersorak. Beberapa bahkan berdiri untuk ikut menghentakkan tangan mengikuti irama. Aku sendiri sampai ikutan tepuk-tepuk lutut saking terbawa suasana. Rasanya seperti nonton pasukan pejuang yang sedang menari kemenangan mereka di atas air.

Yang menarik, meskipun gerakan mereka keras dan kuat, wajah para penari tetap penuh semangat dan suka cita. Tidak ada kesan galak atau menyeramkan. Justru aku merasa seperti sedang diajak bergembira dalam pesta budaya ala Tonga—di mana semangat dan komunitas dirayakan dalam bentuk tarian.

Tampilannya kontras banget dengan kapal sebelumnya, tapi di sinilah letak keindahannya. Setiap pulau di Polinesia punya cara mengekspresikan diri yang unik, dan Tonga—dengan segala teriakannya yang bergema dan gerakan yang menghentak—benar-benar jadi salah satu bagian paling berkesan dari Canal Show hari itu.


Kapal berikutnya yang melintas datang dengan warna mencolok dan irama yang menghentak. Dari kejauhan aku sudah bisa mendengar dentuman genderang cepat dan ritmis. Lalu muncul perahu dari Tahiti, diisi para penari dengan kostum serba kuning cerah dan hiasan kepala menjulang dari bulu-bulu tropis.

Penampilan mereka langsung meledak sejak awal. Para penari wanita menggoyangkan pinggul dengan cepat dan teratur, sementara penari pria ikut bergerak mengikuti irama genderang, dengan gerakan lutut yang dinamis. Gerakan ini adalah bagian dari tarian ‘ōte‘a, salah satu tarian paling terkenal dari Tahiti yang biasanya ditampilkan dalam festival dan upacara adat.

Tarian ini bukan hanya tentang keindahan gerakan, tapi juga tentang ritme tubuh yang menyatu dengan musik. Para penari wanita terlihat sangat terampil mengatur tempo pinggul mereka sesuai hentakan drum, sementara tangan mereka menari membentuk pola-pola anggun di udara. Gerakan mereka sangat cepat, nyaris seperti mesin, tapi tetap sinkron dan indah.

Penonton di sekitar kanal langsung terpukau. Banyak yang bersorak, bertepuk tangan, bahkan ikut bergoyang kecil dari tempat duduk. Aku sendiri ikut larut dalam irama. Rasanya seperti diseret ke tengah festival di pulau tropis, di mana semua orang merayakan hidup lewat musik dan tarian.

Yang membuatku kagum adalah energi dan keceriaan yang mereka pancarkan. Wajah para penari selalu tersenyum, seolah mereka benar-benar menikmati setiap detik pertunjukan. Dan memang, semangat Tahiti yang cerah dan menggembirakan terasa nyata dari perahu ini.

Setelah kapal Tahiti lewat, suasana masih terasa bergetar. Pertunjukannya mungkin hanya beberapa menit, tapi goyangan pinggul mereka kayak masih tertinggal di kepala—wkwk. Sebuah ledakan warna dan energi yang jadi highlight tersendiri dalam parade budaya ini.


Canal Show dibuka dengan semangat oleh kapal dari Samoa. Begitu perahu mereka muncul dari balik jembatan kayu di kanal, suasana langsung bergemuruh. Di atasnya berdiri para penari—pria dan wanita—dengan busana serba merah muda dan aksesori dari serat alam yang khas. Mereka langsung bergerak dengan ritme cepat, menepuk paha, menghentakkan kaki, dan meneriakkan seruan khas dalam bahasa lokal.

Tarian yang mereka bawakan adalah bentuk dari fa'ataupati dan siva afi—tarian penuh energi yang mencerminkan keberanian, kekompakan, dan ekspresi budaya komunitas Samoa. Meski dalam versi show ini tidak ada api sungguhan, gerakan mereka tetap intens—menggambarkan bagaimana tarian digunakan dalam acara penyambutan, perayaan, atau upacara adat.

Gerakan para penari pria sangat ritmis, penuh tenaga, dan diselingi teriakan semangat. Sementara penari wanita mengimbangi dengan gerakan tangan yang lebih lembut dan senyuman hangat. Di tepi kanal, penonton langsung larut dalam tepuk tangan dan sorakan. Aku duduk sambil kagum—terpesona oleh bagaimana gerakan tubuh dan suara bisa menyampaikan kebudayaan yang begitu kuat, bahkan tanpa kata-kata.

Kesan yang kutangkap dari pertunjukan Samoa ini adalah: semangat komunitas, kehangatan, dan kekuatan tradisi. Sebuah pembukaan yang sempurna untuk parade budaya yang akan terus mengalir setelahnya.


Kapal terakhir yang meluncur pelan di atas kanal adalah dari Aotearoa, nama asli dari Selandia Baru dalam bahasa Māori. Di atas perahu berdiri para penari pria dan wanita dari suku Māori, mengenakan kostum tradisional berwarna hijau, dengan tato dan motif khas suku mereka. Begitu kapal mendekat, suasana langsung berubah.

Tidak ada musik meriah. Yang terdengar adalah teriakan keras penuh tenaga, diikuti gerakan menghentak, menepuk dada, membelalak, dan menjulurkan lidah. Mereka membawakan haka, tarian perang tradisional yang digunakan suku Māori untuk menyambut tamu penting, memotivasi sebelum perang, atau mengenang leluhur.

Gerakannya tegas dan menggetarkan. Tidak ada keraguan. Mereka berdiri dengan penuh wibawa, dan setiap gerakan terasa seperti manifestasi dari jiwa leluhur yang berbicara lewat tubuh mereka. Bahkan tanpa mengerti bahasanya, aku bisa merasakan kedalaman emosinya.

Penonton di sekeliling kanal terdiam. Semua mata tertuju pada perahu Aotearoa ini. Tidak ada tepuk tangan saat mereka tampil—baru setelah mereka selesai, barulah sambutan meriah menggema. Dan jujur, haka sebagai penutup Canal Show adalah keputusan yang tepat—meninggalkan getaran dan rasa hormat mendalam terhadap kekuatan budaya yang ditampilkan.

Di antara semua pertunjukan yang warna-warni dan meriah, Aotearoa memberikan semacam penutup sakral, mengingatkan bahwa budaya bukan hanya hiburan—tapi juga warisan, identitas, dan jiwa yang tak boleh hilang.

[8] Aloha Hawai'i : Surga Tropis Bernama Hoo'maluhia Botanical Garden !

 Yeay, hari ketiga aku di sini! Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal karena rencananya mau jalan ke tempat yang cukup jauh dari Pantai Waikiki, yaitu Ho‘omaluhia Botanical Garden (yang sering juga ditulis Fo‘o Malohia, tapi nama resminya Ho‘omaluhia). Taman ini berada di daerah Kaneohe, di sisi timur laut Pulau O‘ahu. Jaraknya dari Pantai Waikiki sekitar 20–25 km, dan kalau naik bus umum butuh waktu kurang lebih 1,5 jam tergantung lalu lintas dan transfer antar busnya.

Keluar dari penginapan, aku langsung menuju 7-Eleven buat cari sarapan. Di sini pilihan makanannya beragam banget. Ada bento, musubi, onigiri, bahkan lauk-pauk panas. Aku akhirnya ambil nasi ayam jamur, yang kemudian kukuyur dengan saus sambal—bikin tambah gurih dan mantep!

Aku membawa sarapanku ke Pantai Waikiki. Berjalan sejenak, aku menemukan sudut yang sepi untuk sarapan. Suasana pagi di pantai itu luar biasa tenang dan menyegarkan. Ombak-ombak kecil pecah di pantai, angin pantai yang sepoi-sepoi dan matahari yang belum naik. Langit cerah tapi belum terik, dan udara masih segar banget. Burung-burung dara beterbangan rendah di sekitar pasir, kadang nyamperin kalau ada remah makanan jatuh.

Papan-papan selancar masih berdiri berjejer di pinggir pantai, seperti pasukan yang siap beraksi. Beberapa peselancar sudah terlihat di kejauhan, mengejar ombak pagi yang katanya paling enak buat main selancar. Tapi selain itu, pantai masih relatif sepi, bikin momennya terasa lebih personal dan damai.

Makan sambil lihat pemandangan kayak gini tuh nikmatnya nggak bisa dijelasin. Cuma duduk di pasir, makanan sederhana dari 7-Eleven, tapi rasanya damai banget.

Selesai sarapan di Pantai Waikiki yang damai itu, aku langsung naik bus menuju halte terdekat dengan Ho‘omaluhia Botanical Garden. Perjalanan dari Waikiki ke arah Kaneohe ini memakan waktu sekitar 30–40 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Bus berhenti di tepi jalan utama, dan dari situ aku masih harus jalan kaki cukup lumayan—melewati jalanan yang tidak terlalu ramai tapi tetap beraspal mulus—untuk bisa sampai ke gerbang taman.

Belum juga masuk taman, tiba-tiba perutku memberontak. Aku pun cepat-cepat mampir ke sebuah minimarket di sekitar situ buat numpang toilet. Syukurlah bersih dan lega. Selesai urusan darurat itu, aku sekalian beli es kopi buat teman jalan pagi. Rasanya menyegarkan dan pas banget buat recharge tenaga sebelum menjelajah.

Begitu sampai di gerbang Ho‘omaluhia Botanical Garden, suasananya langsung beda. Nggak ada tiket masuk alias gratis, cukup sapa dan senyum ke petugas penjaga yang duduk santai di posnya. Dari situ aku mulai masuk ke dalam—melalui jalan beraspal yang kanan kirinya sudah mulai menunjukkan keindahan alam Hawaii yang khas.

Ho‘omaluhia sendiri berarti “untuk menciptakan ketenangan” dalam bahasa Hawaii, dan memang sesuai namanya, tempat ini bener-bener bikin hati adem. Taman ini dibangun oleh U.S. Army Corps of Engineers pada tahun 1982 sebagai bagian dari proyek pengendalian banjir, tapi sekarang sudah berkembang jadi taman botani seluas 400 hektar yang menyimpan berbagai jenis tumbuhan tropis dari seluruh dunia—Asia Tenggara, Afrika, Pasifik, dan tentu saja tanaman asli Hawaii.

Semakin aku masuk ke dalam, pemandangan makin spektakuler. Bukit-bukit hijau yang menjulang membentuk latar belakang dramatis—bagian dari pegunungan Ko‘olau Range. Permukaannya nggak halus, malah sebaliknya: penuh lekukan curam dan vertikal yang seperti dipahat oleh waktu dan hujan tropis selama ribuan tahun. Saat kabut tipis menggantung di puncaknya, rasanya kayak lagi di dunia film fantasi.

Di sepanjang jalan, aku melihat danau buatan yang tenang, jalan setapak yang membawa pengunjung menjelajahi taman dengan berbagai zona vegetasi, dan area piknik yang menghadap ke panorama pegunungan hijau. Suara burung lokal dan desiran angin membuat suasana makin damai. Ini bukan sekadar taman, tapi tempat buat menyatu dengan alam.

Setelah sekitar satu jam menjelajahi kedamaian dan keasrian Ho‘omaluhia Botanical Garden—berjalan santai di antara pohon-pohon tropis, menyerap udara segar yang masih bersih, dan berfoto dengan latar pegunungan hijau nan megah—aku merasa puas banget. Rasanya seperti recharge total dari hiruk pikuk kota. Tempat ini benar-benar bikin pikiran jadi lebih ringan.

Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari taman dan berjalan kembali menuju jalan raya. Jalur keluar masih sama seperti saat masuk tadi, tapi kali ini aku lebih santai. Sambil jalan, aku melewati pemukiman warga lokal—rumah-rumah sederhana khas Hawaii, beberapa ada yang memajang tanaman hias di halaman, dan suasananya terasa damai dan sangat "hidup".

Tapi tiba-tiba... GUK! GUK! GUK!
Sebuah gonggongan keras banget terdengar dari sisi kanan. Astaga! Jantungku langsung lompat, kayak mau copot saking kagetnya. Ternyata itu suara anjing peliharaan dari salah satu rumah yang kulewati. Dia menggonggongin aku kencang banget dari balik pagar rumah. Dalam sepersekian detik, aku sempat mikir, “Ya ampun, ini anjing lepas nggak ya? Jangan-jangan dia lari ngejar aku?”

Tapi untungnya dia tetap di balik gerbang—cuma menggonggong keras dengan ekspresi teritorial. Aku cuma bisa menghela napas panjang dan bilang dalam hati, “Astaga... ngagetin banget, sih. Bikin jantungan aja."

Jalan pun kulanjutkan, tapi langkahku jadi agak loyo, sisa kagetnya masih terasa. Rasanya kayak baru dapat shock therapy gratis.

Akhirnya, setelah beberapa menit jalan, aku sampai lagi di tepi jalan raya. Matahari udah tinggi, sekitar jam 12 siang. Aku duduk sebentar di bangku halte, minum sisa es kopi tadi, sambil menenangkan diri. Napas mulai stabil lagi, dan aku buka ponsel buat browsing—cari tahu, habis ini enaknya ke mana ya? Hari masih panjang, dan O‘ahu masih punya banyak cerita yang ingin kutelusuri.

Setelah duduk sejenak menenangkan diri dari kejutan gonggongan anjing tadi, akhirnya aku memutuskan destinasi selanjutnya: Polynesian Cultural Center (PCC). Tempat ini terletak di Laie, bagian utara Pulau O‘ahu—jauh lebih ke utara lagi dari posisi aku saat itu di Ho‘omaluhia Botanical Garden, yang berada di Kaneohe.

Jarak dari Ho‘omaluhia Botanical Garden ke Polynesian Cultural Center sekitar 48–50 km, dan karena ini O‘ahu, perjalanannya nggak bisa dibilang cepat. Kalau naik bus umum, biasanya butuh waktu sekitar 2,5 hingga 3 jam, tergantung waktu tunggu dan rute yang dipakai (biasanya harus transit di Haleiwa atau sekitar Wahiawa). Tapi pemandangan sepanjang jalan, terutama saat mulai masuk kawasan pantai utara, itu luar biasa indah. Jalanannya sering membelah perbukitan dan menyusuri garis pantai dengan laut biru di sisi kanan—bikin capek jadi nggak terasa.

Sebelum naik bus, aku mampir dulu ke minimarket buat beli makan siang. Sederhana aja, tapi cukup buat bekal perjalanan panjang. Sambil duduk nunggu bus, aku masih nggak nyangka aja—karena awalnya sama sekali nggak ada rencana ke PCC, ini murni keputusan spontan karena baca-baca info dan langsung tertarik.

Dengan harga 84 USD (saat itu), ternyata sudah termasuk tiket masuk ke kompleks budaya yang sangat luas ini, menampilkan tujuh kawasan budaya yang mewakili pulau-pulau utama di kawasan Polinesia—seperti Hawaii, Samoa, Tonga, Fiji, Tahiti, dan Aotearoa (Selandia Baru). Selain itu, tiket juga termasuk makan siang buffet dan pertunjukan besar malam hari di teaternya, yang katanya sih gila kerennya—penuh dengan musik, tarian api, dan cerita mitologi khas kepulauan Pasifik.

Perjalananku menuju utara pun dimulai. Dari taman tropis yang tenang di Kaneohe, aku akan menuju ke pusat budaya yang meriah dan penuh warna di Laie. Ready for the next culture experience!

[7] Aloha Hawai'i : USS Bowfin (SS287) dan Tari Hula Pantai Kahua

Part Sebelumnya : DISINI


Selesai eksplor Diamond Head, aku melanjutkan perjalanan ke tempat yang sudah lama bikin aku penasaran yaitu Pearl Harbor. Siang itu cuaca begitu cerah. Langit biru bersih, awan tipis menggantung, dan deretan pohon kelapa menari lembut ditiup angin. Aku melangkah ringan menyusuri trotoar menuju gerbang utama kompleks bersejarah World War II Valor in the Pacific National Monument di Pearl Harbor, Hawai‘i. Tujuanku jelas—melihat langsung USS Arizona Memorial, kapal perang legendaris yang karam dalam tragedi penyerangan Jepang ke Hawai‘i tahun 1941.

Aku naik bus dari Halte Diamond Head. Rute busnya cukup panjang, sekitar 1 jam perjalanan, tapi pemandangannya menyenangkan. Bus melaju melewati kawasan pemukiman Honolulu, taman-taman kota, deretan toko-toko lokal, dan sesekali pantai muncul di kejauhan. 

Aku tiba di Pearl Harbor sekitar jam 3.45 sore, aku langsung menuju loket tiket dan bertanya apakah masih bisa naik ke USS Arizona. Sayangnya, petugas bilang bahwa ferry terakhir ke memorial sudah selesai beroperasi tepat jam 3.30 ini. Sedikit kecewa, tapi petugas ramah itu langsung menyarankan, 

“Tapi kamu masih bisa masuk ke USS Bowfin, kalau itu masih buka.”

"Oke, satu tiket," jawabku.

Nggak apa-apalah, kunjungan ke USS Arizona bisa kutunda nanti, yang penting kesini nggak sia-sia, masih bisa mengunjungi yang lain.

"20 Dollar," kata petugas sembari menyerahkan tiketku.



Langkah kakiku membawaku ke USS Bowfin Submarine Museum & Park. Dari luar, kapal selam tua ini tampak gagah mengambang tenang di atas perairan pelabuhan. USS Bowfin diluncurkan pada 7 Desember 1942, tepat satu tahun setelah serangan Jepang di Pearl Harbor, sehingga dijuluki "Pearl Harbor Avenger". Selama Perang Dunia II, kapal selam ini menjalani sembilan patroli tempur di Samudra Pasifik dan berhasil menenggelamkan lebih dari 30 kapal musuh, menjadikannya salah satu kapal selam paling sukses dalam armada Angkatan Laut AS. Setelah perang, Bowfin dinonaktifkan dan akhirnya dijadikan kapal museum pada tahun 1981.

Sebelum aku benar-benar masuk ke dalam kapal selam Bowfin, aku sempat berdiri di depan Lost Submarine Memorial. Tugu marmer ini tampak sederhana, tapi isinya... menyayat. Daftar panjang nama kapal selam dan tanggal ketika mereka menghilang, lengkap dengan jumlah nyawa yang ikut tenggelam ke dasar laut.

Ada satu kutipan yang langsung menusuk hati dari George Herbert (1651):

“He goes a great voyage that goes to the bottom of the sea.”
Artinya secara harfiah: “Ia menempuh pelayaran besar yang membawanya ke dasar lautan.”
—sebuah penghormatan puitis untuk para pelaut kapal selam yang tak pernah kembali ke permukaan.

Sebaris kalimat itu menggambarkan dengan puitis sekaligus tragis perjalanan terakhir para pelaut kapal selam yang gugur bukan dalam kemenangan, tapi dalam kesunyian laut dalam.

Yang membuatku merinding adalah, beberapa dari mereka hilang bukan karena serangan musuh, tapi karena kecelakaan teknis, tabrakan, atau kerusakan sistem tekanan. Dan lebih menyedihkan lagi, sebagian besar tubuh mereka tak pernah ditemukan. Mereka tetap di sana... menjadi bagian dari lautan seperti dalam kecelakaan USS Squalus (1939) yang fotonya terpampang di bagian atas tugu.

Beberapa kapal selam yang disebutkan:

  • USS F-4 (SS-23) – tenggelam di lepas pantai Honolulu, Hawaii, pada 25 Maret 1915. Kehilangan 21 awak.

  • USS Squalus (SS-192) – tenggelam pada 23 Mei 1939. 26 awak gugur, 33 diselamatkan (dengan Submarine Rescue Chamber yang kamu lihat di spot sebelumnya!).

  • USS Thresher (SSN-593) dan USS Scorpion (SSN-589) – keduanya adalah kapal nuklir yang hilang pascaperang. Kehilangan total 99 awak masing-masing.

Begitu melangkah ke atas dek USS Bowfin, aku seperti melompat mundur ke masa lalu. Papan kayu tua yang kukinjak terasa kokoh di bawah kaki, angin dari Pearl Harbor menyapu wajahku, dan pemandangan laut yang terbentang luas seolah menyambutku ke dunia yang pernah dipenuhi ketegangan dan misi rahasia.

USS Bowfin sewaktu masih aktif digunakan untuk patroli

Dari atas sini, aku bisa melihat jelas bentuk ramping kapal selam ini. Panjang dan sempit, dibangun untuk menyelinap diam-diam di bawah permukaan laut, membawa puluhan awak dan senjata mematikan menuju wilayah musuh. Di bagian tengah, aku melihat meriam dek—senjata tambahan yang digunakan saat kapal muncul ke permukaan untuk menyerang kapal kecil atau target darat.

Aku berdiri sebentar, memandangi horizon. Di kejauhan terlihat Jembatan Ford Island dan deretan daratan Oahu. Air laut berkilau diterpa sinar matahari, tapi di pikiranku tergambar bayangan perairan ini saat diselimuti asap dan ledakan—saat perang masih berkecamuk.

Beberapa orang lain juga sedang menjelajah dek ini. Kami semua diam dalam kesan masing-masing. Tak ada suara bising, hanya angin dan ombak. Rasanya seperti berada di atas hantu besi yang menyimpan ribuan cerita dalam diamnya.

Sebelum masuk ke dalam lambung kapal, aku menyempatkan naik ke bagian sail—struktur menara tegak di atas USS Bowfin. Di sinilah biasanya awak kapal berdiri ketika kapal muncul ke permukaan, dan dari sinilah komando navigasi juga bisa dikeluarkan dalam kondisi tertentu.

Tepat di depanku, berdiri dua tabung besar vertikal—itu adalah periskop. Alat legendaris yang selalu jadi ikon kapal selam. Satu digunakan untuk navigasi optik, dan satu lagi untuk serangan. Dari sinilah kapten mengintip permukaan laut, mencari target, atau memastikan lokasi kapal musuh sebelum meluncurkan torpedo.

Di dekatnya juga ada alat bidik optik dengan dua lensa besar. Rasanya seperti berada di film-film perang, hanya saja kali ini aku benar-benar di lokasi aslinya. Tangga-tangga besi yang melingkar, sambungan kabel, dan cat kelabu angkatan laut memberi nuansa "militer banget" yang kontras dengan birunya langit dan daun palem tropis di sekitarnya.

Aku membayangkan bagaimana awak kapal dulu naik ke sini dalam kondisi darurat, mungkin malam hari, dalam kesunyian, dengan satu tangan di periskop dan mata mengamati laut yang gelap gulita. Penuh ketegangan dan adrenalin.

Setelah puas menikmati pemandangan dari geladak dan memandangi laut lepas, aku pun memberanikan diri masuk ke bagian dalam USS Bowfin. Jalur masuknya sempit banget, seperti lorong besi kecil yang mengharuskan aku sedikit membungkuk dan hati-hati melangkah. Dari luar, kapal ini terlihat besar dan kokoh, tapi begitu masuk ke dalam, suasananya berubah drastis.

Begitu kaki menginjak ruang pertama, suasana langsung terasa padat. Di kiri-kanan penuh dengan panel instrumen, tuas, katup, dan pipa-pipa logam yang menempel di dinding. Semua tampak asli dan masih seperti dulu—menyisakan aroma logam tua dan sedikit bau oli yang entah kenapa justru terasa autentik. Rasanya seperti menyelinap ke dalam mesin waktu, bukan kapal selam.

Aku melewati ruang torpedo depan, di mana torpedo besar diletakkan siap luncur. Ruangannya sempit, tapi di sinilah para awak bekerja dengan presisi. Tepat di belakangnya, ada tempat tidur tingkat yang berjejer rapat di dinding—ya ampun, tempatnya kecil banget! Sulit dipercaya kalau para pelaut bisa tidur di sana, di antara torpedo dan alat berat. Tapi katanya, itulah “keseharian” mereka saat bertugas di lautan Pasifik.

Lanjut ke ruang kendali, aku melihat berbagai alat navigasi: kompas besar, radar manual, dan sederet tombol-tombol misterius yang bikin aku pengen nekan satu-satu (tapi tentu saja, nggak berani 😅). Ada juga kursi kapten, menghadap ke periskop yang mengarah ke atas. Dulu, dari titik inilah keputusan besar diambil—menyerang atau bertahan.

Di tengah perjalanan, aku harus beberapa kali merunduk dan melangkah melalui pintu bulat khas kapal selam. Setiap pindah ruangan, rasanya seperti naik level dalam game survival. Ruangan dapur kecil juga sempat kulihat, lengkap dengan kompor logam, rak piring mungil, dan bahkan menu harian tempel di dinding—dulu mereka masak di sini untuk lebih dari 70 kru!

Terakhir, aku melewati ruang mesin, tempat suara dentuman diesel dulunya bergemuruh. Mesinnya besar, berpelat logam, dan terhubung ke baling-baling kapal. Bahkan dalam kondisi mati, ruangan ini masih memancarkan aura bising yang seolah tersisa di udara.

Jujur, setelah keluar dari kapal, aku merasa lega bisa kembali menghirup udara bebas. Tapi juga penuh kekaguman. Bayangkan hidup selama berbulan-bulan dalam ruang sempit seperti itu, berhadapan dengan ancaman dari dalam laut dan musuh dari luar. Rasanya bukan hanya fisik, tapi juga mental yang harus baja.

Dan dari sini, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang sangat absurd.

Waktu aku SMA dulu, aku sempat punya mimpi konyol banget. Gara-garanya aku nonton film "Annapolis"—film tentang perjuangan pemuda yang berusaha bertahan dalam pendidikan militer US Navy. Filmnya intens, penuh adegan latihan fisik ekstrem, mental digembleng habis-habisan, dan yang paling bikin ngiler... seragam putih bersih ala taruna angkatan laut itu. Entah kenapa, aku merasa keren banget bayangin diriku pakai seragam itu, berdiri tegap di atas kapal perang, diterpa angin laut.

Dan ya… dari situlah lahir mimpi absurd: pengen jadi warga negara Amerika biar bisa daftar jadi anggota US Navy 😂

Padahal ya, cuma lari 1,6 km aja napas udah tinggal setengah. Tes mental? Dengar suara peluit keras aja udah gemetar.

Tapi sekarang, setelah benar-benar menginjakkan kaki di kapal selam asli, setelah melihat betapa keras dan ekstremnya dunia ini—aku baru sadar... itu bukan soal keren-kerenan doang. Itu soal dedikasi, keberanian, dan kesiapan untuk menantang maut setiap saat.

Dan aku? Aku tetap bersyukur jadi turis yang bisa keluar lewat pintu darurat, kembali ke kafe museum, dan ngopi sambil mikir,
"Yup, mimpi SMA-ku itu... benar-benar absurd." 😅

Sebelum meninggalkan kapal, aku sempat berdiri di bagian paling belakang dek USS Bowfin. Langit Hawaii bersinar terang, laut memantulkan cahaya matahari, dan bendera Amerika berkibar pelan di angin sore. Aku berdiri di sana cukup lama, diam, menghadap horizon. Dari atas sini, pemandangan Samudra Pasifik membentang luas, biru tanpa batas. Di titik ini, semua yang kulihat dan kupelajari seolah menyatu. Tentang keberanian. Tentang sempitnya ruang hidup di kapal selam. Tentang mesin, torpedo, dan periskop. Tapi juga tentang manusia—mereka yang pernah berdiri di tempat ini, dengan seragam lusuh dan tekad baja, menghadapi kemungkinan tak kembali.

Dan aku yang dulu pernah punya mimpi aneh jadi anggota US Navy, berdiri di tempat ini sebagai seorang wisatawan biasa. Tanpa beban misi. Tanpa bom laut. Tapi tetap dengan rasa kagum yang luar biasa besar.

USS Bowfin bukan cuma kapal selam tua. Ia adalah ruang waktu, tempat kita bisa masuk dan belajar, membayangkan, merenungi, lalu keluar dengan kepala dan hati yang berbeda.

Turun dari kapal, aku menuju Harpoon Missile Display yang ternyata penuh artefak dan teknologi maritim bersejarah dari era Perang Dunia II. Di tepi taman yang menghadap langsung ke perairan Pearl Harbor, aku menemukan satu objek yang bentuknya panjang, ramping, dan auranya cukup mengintimidasi: torpedo.


TORPEDO

Ya, inilah senjata utama kapal selam—senjata yang meluncur diam-diam di bawah permukaan laut, lalu meledak begitu mengenai target. Yang kupandangi ini kemungkinan besar adalah jenis Mark 14 Torpedo, torpedo standar yang dipakai kapal selam Amerika selama Perang Dunia II, termasuk Bowfin.

Torpedo ini panjangnya hampir 6 meter, beratnya lebih dari 1,5 ton, dan membawa hulu ledak yang bisa menghancurkan kapal perang dalam sekali tembak. Ia digerakkan oleh mesin torpedonya sendiri, bisa diatur arah dan kedalamannya sebelum dilepaskan melalui tabung peluncur dari dalam kapal.

Melihat torpedo ini dari dekat rasanya beda banget dibanding nonton film perang. Ini bukan cuma potongan logam raksasa—ini adalah alat pembunuh yang menentukan hidup dan mati. Dan yang bikin ngeri, torpedo seperti ini dulu diluncurkan dalam keheningan, tanpa suara, dari kedalaman laut… lalu boom.

Aku berdiri cukup lama di sini, menghadap torpedo, lalu memalingkan pandang ke arah Bowfin yang sedang berlabuh tak jauh dari situ. Dulu, torpedo-torpedo seperti ini ada di dalam lambungnya, siap diluncurkan ke kapal musuh.


RUDAL HARPOON

Berjalan lagi, mataku tertumbuk pada sesuatu yang tampak jauh lebih modern—rudal Harpoon. Ditempatkan tegak lurus di dekat pagar pembatas museum, rudal berwarna putih ini berdiri gagah menghadap ke langit, seolah siap meluncur kapan saja.

Berbeda dengan torpedo yang diam-diam menyelinap di bawah laut, Harpoon Missile adalah senjata sergap dari udara atau permukaan. Rudal ini bisa ditembakkan dari kapal perang, pesawat tempur, bahkan kapal selam versi modern. Ia punya sistem pemandu canggih yang bisa mengunci target kapal musuh dari jarak puluhan mil laut, lalu menghancurkannya dengan presisi tinggi.

Menurut papan informasi di bawahnya, Harpoon adalah bagian dari revolusi teknologi senjata laut pasca-Perang Dunia II—tanda bahwa perang laut telah berubah. Kini tak perlu lagi mendekat diam-diam seperti Bowfin dulu. Serangan bisa dilakukan dari jauh, cepat, dan mematikan.


BALING-BALING KAPAL USS BOWFIN

Di bawah pohon kamboja yang sedang berbunga, aku menemukan baling-baling besar dari kapal selam—salah satu komponen vital yang sering terlupakan.

Empat bilah besar dari logam kokoh itu berdiri diam, padahal dulu merekalah yang mendorong tubuh besar kapal selam seperti USS Bowfin menyelinap senyap di kedalaman laut. Di belakangnya, tampak kepala torpedo mengintip dari sela-sela pepohonan. Rasanya seperti semua bagian kapal selam—baik yang mencolok maupun yang tersembunyi—diberi tempat untuk bercerita di sini.

Taman ini seperti tempat istirahat terakhir bagi bagian-bagian mesin perang yang sudah pensiun. Tapi suasananya jauh dari menyeramkan. Justru damai dan teduh. Bunga-bunga jatuh di rumput, burung berkicau, dan turis sesekali melangkah pelan sambil membaca plakat sejarah.

Aku duduk sebentar di bangku taman. Menatap baling-baling itu. Bayangkan kalau dia bisa bicara—mungkin akan bercerita tentang keheningan laut dalam, tentang malam-malam gelap saat menyelinap di bawah kapal musuh, atau tentang rasa lega saat akhirnya kembali ke pelabuhan.


MERIAM ANTI PESAWAT KEMBAR

Di bagian lain taman USS Bowfin, dikelilingi pohon kelapa dan hijau rumput tropis, aku menemukan satu lagi peninggalan perang yang masih gagah berdiri: meriam anti-pesawat kembar.

Dua laras panjang berdampingan, siap membidik ke langit—menyambut ancaman pesawat musuh yang datang menyambar cepat dari atas laut. Ini kemungkinan adalah 40mm Bofors twin gun, salah satu senjata pertahanan udara paling legendaris dari era Perang Dunia II.

Setiap larasnya mampu menembakkan ratusan peluru dalam semenit. Saat kapal diserang dari udara, awak meriam ini harus bergerak cepat—memutar, membidik, dan menembak sebelum bom jatuh atau torpedo dilepaskan. Posisi mereka selalu terbuka di geladak, tanpa perlindungan. Risiko tinggi, tekanan besar.

Tapi hari ini, senjata ini hanya berdiri diam. Terpajang di bawah pohon palem, dengan sinar matahari Hawaii menyinari baja tuanya. Tak ada peluru, tak ada ledakan, hanya kenangan akan pertempuran yang pernah terjadi jauh dari tempat kita berdiri sekarang.

Aku duduk sejenak di dekatnya. Membayangkan suara dentuman, pekikan perintah, dan ketegangan yang pernah ada di balik ketenangan taman ini.


KAITEN

Aku berhenti cukup lama di depan satu benda besar berwarna hitam. Sekilas bentuknya mirip torpedo biasa, tapi papan informasi di sampingnya bikin aku tercengang.

Ternyata ini adalah Kaiten, torpedo bunuh diri buatan Jepang yang digunakan pada masa Perang Dunia II. Namanya sendiri berarti "perubahan arah secara radikal". Jepang menciptakan senjata ini dengan harapan bisa membalikkan keadaan perang di Samudra Pasifik tahun 1944. Tapi kenyataannya... senjata ini justru menjadi salah satu simbol paling tragis dari keputusasaan perang.

Kaiten itu bukan sekadar torpedo otomatis. Ada manusia di dalamnya. Seorang pilot masuk ke kokpit sempit, lengkap dengan periskop dan kontrol manual, lalu mengarahkan torpedo ini ke kapal musuh. Misinya? Menabrakkan diri dan meledakkan kapal lawan bersama tubuhnya sendiri.

Aku membaca detilnya pelan-pelan. Mesin bertenaga 550 HP, hulu ledak 3.000 pon, kecepatan 75 kaki per detik—semua terdengar begitu teknis, tapi yang menggetarkan hati justru satu kalimat di bawah:

“Dari 96 pilot Kaiten, semuanya tewas. 16 bahkan gugur hanya dalam latihan.”

Gila.

Satu-satunya kapal Angkatan Laut AS yang pernah tenggelam karena Kaiten adalah USS Mississinewa, dihantam oleh Sekio Nishina. Yang bikin makin sedih, Nishina membawa abu temannya sendiri yang tewas dalam latihan Kaiten. Rasanya seperti dia sudah tahu akan mati, dan membawa serta sahabatnya yang lebih dulu gugur.

Aku berdiri cukup lama di depan torpedo itu. Diam. Membayangkan seorang anak muda duduk sendirian di dalam silinder sempit itu, menyetir menuju kematian yang sudah pasti.


40 MM QUAD GUN ASSEMBLY

Di halaman luar USS Bowfin Submarine Museum & Park, langkah kakiku terhenti di depan benda besar berwarna abu-abu kebiruan. Awalnya aku kira cuma replika senjata biasa, tapi ternyata ini adalah 40MM Quad Gun Assembly—sebuah meriam berat berkekuatan empat laras yang digunakan untuk menembak pesawat musuh di udara.

Aku dekati pelan-pelan, baca keterangan yang terpasang di sampingnya. Ternyata masing-masing larasnya bisa menembakkan 120 peluru per menit, dengan proyektil seberat 2 pon. Jarak tembaknya luar biasa: bisa menjangkau 33.000 kaki secara horizontal, dan 22.800 kaki ke atas. Kebayang nggak, itu bisa sampai setara 7 kilometer lebih ke langit!

Senjata ini dulunya dipasang di kapal-kapal perusak dan berbagai jenis kapal perang lainnya. Untuk kapal selam seperti USS Bowfin, biasanya dipakai versi tunggalnya saja, sebagai pertahanan terakhir kalau-kalau musuh datang dari udara atau permukaan laut.

Melihat langsung bentuk aslinya, lengkap dengan kursi operatornya, membuatku merenung sejenak. Betapa kerasnya kehidupan para awak kapal perang saat itu. Mereka bukan hanya hidup dalam ruang sempit dan gelap, tapi juga selalu siaga menghadapi serangan dari mana pun, kapan pun.

Dan sekarang, senjata ini berdiri diam di taman yang damai, dikelilingi pohon kelapa dan angin laut dari Pearl Harbor. Diam tapi penuh cerita.


3"/50 GUN

Di bagian lain taman USS Bowfin, aku menemukan satu lagi peninggalan perang yang bikin kagum sekaligus ngeri: sebuah 3"/50 Gun, alias meriam 3 inci 50 kaliber. Dari bentuknya yang tegap, dengan laras panjang dan dudukan yang bisa diputar, aku langsung tahu—ini bukan senjata sembarangan. Ia adalah andalan kapal-kapal perang Angkatan Laut AS, khususnya selama era Perang Dunia II dan masa sesudahnya.

Secara teknis, kaliber "3 inci" berarti diameter laras senjata ini sekitar 76 mm. Sedangkan angka "50 kaliber" menunjukkan bahwa panjang larasnya adalah 50 kali diameter laras, yaitu sekitar 150 inci atau 3,8 meter. Meriam ini termasuk senjata serbaguna, bisa digunakan untuk menyerang pesawat musuh, kapal permukaan, bahkan target darat jika diperlukan.

Meriam ini lazimnya dipasang di kapal perusak, kapal pengawal konvoi, bahkan beberapa kapal selam sebagai bagian dari sistem pertahanan mandiri mereka. Dengan daya tembak yang cepat dan fleksibel, senjata ini bisa beroperasi dalam berbagai situasi tempur laut—baik saat menghadapi serangan dari atas maupun bertahan dari kapal musuh di permukaan.

Aku mendekat, mengamati detail tuas dan sistem pengoperasiannya. Terlihat sederhana, tapi penuh presisi. Bisa kubayangkan seorang awak kapal dulu berdiri di posisi itu—memutar laras, membidik pesawat Jepang yang menyambar di langit Pasifik, lalu melepaskan tembakan cepat yang menggetarkan seluruh geladak.

Yang menarik, di samping meriam ini juga ada rudal bersayap putih—seolah jadi representasi perkembangan zaman. Dari senjata semi-manual seperti meriam ini, dunia militer kemudian beralih ke rudal kendali canggih, seperti Harpoon dan Tomahawk. Perubahan teknologi yang begitu drastis, tapi tetap mengarah ke satu tujuan yang sama: menghancurkan musuh sebelum dihancurkan.


SUBMARINE RESCUE CHAMBER

Di antara koleksi tak biasa yang ada di taman USS Bowfin Museum, aku menemukan benda besar berbentuk silinder dengan atap oranye mencolok. Bentuknya aneh, kayak kapsul luar angkasa yang mendarat darurat di Pearl Harbor. Tapi tulisan di depannya menjelaskan bahwa ini adalah Submarine Rescue Chamber alias kapsul penyelamat awak kapal selam.

Kapsul ini berasal dari USS Florikan (ASR-9), sebuah kapal penyelamat milik Angkatan Laut AS. Fungsi utamanya? Untuk menyelamatkan para awak kapal selam yang terjebak di dasar laut. Dalam kondisi darurat, kapsul ini akan diturunkan dari kapal penyelamat, disambungkan ke pintu darurat kapal selam yang karam, lalu satu per satu para awaknya dibawa ke permukaan dengan aman.

Kapsul ini bukan cuma sekadar pajangan. Ia pernah benar-benar digunakan—tercatat pada tahun 1939, saat kapal selam USS Squalus tenggelam, 33 orang berhasil diselamatkan menggunakan rescue chamber seperti ini. Bayangkan paniknya suasana saat itu: di dalam gelapnya dasar laut, oksigen menipis, dan harapan satu-satunya datang dari sebuah kapsul besi kecil.

Berdiri di depan kapsul ini, aku kembali diingatkan betapa beratnya hidup sebagai awak kapal selam. Mereka hidup dalam ruang sempit, gelap, jauh dari cahaya matahari—dan kalau terjadi sesuatu, tak banyak pilihan selain menunggu bantuan dari atas. Dan kapsul inilah, kadang jadi perbedaan antara hidup dan mati.

Saat akhirnya aku melangkah keluar dari area USS Bowfin Submarine Museum & Park, mataku terangkat ke deretan tiang bendera yang menjulang tinggi. Bendera Amerika berkibar gagah, dikelilingi oleh bendera dari berbagai cabang militer dan negara bagian. Langit Hawaii begitu biru hari itu, awan menggumpal di balik tiang-tiang baja, dan angin laut yang sejak tadi menemani kini seakan berbisik pelan.

Ada rasa takjub, tapi juga haru.
Bahwa tempat ini bukan cuma museum. Tapi semacam pengingat keras—tentang perjuangan, pengorbanan, dan sisi kemanusiaan di balik perang.

Kupandangi lagi bendera itu. Dulu aku cuma tahu bendera ini dari film dan buku pelajaran. Tapi hari ini, aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia tak lagi hanya simbol negara. Tapi juga simbol dari semua cerita, nyawa, dan pilihan besar yang pernah terjadi di kapal-kapal seperti Bowfin.


Bergeser ke Pantai Kahua...

Dari Pearl Harbor, aku kembali ke Waikiki menjelang malam. Tujuanku malam ini adalah menonton pertunjukan tari Hula gratis yang katanya sering digelar di Kuhio Beach Hula Mound. Lokasinya persis di tepi pantai, nggak jauh dari patung Duke Kahanamoku yang semalam aku kunjungi.

Tapi aku datang agak terlambat. Begitu sampai, wow... kerumunan sudah menutupi hampir semua sisi depan panggung. Orang-orang berdiri, duduk di kursi lipat, bersila di atas pasir, bahkan ada yang berdiri di akar pohon hanya demi melihat panggung lebih jelas. Aku pun hanya bisa menyelinap dari sisi samping, mencari celah antara tubuh-tubuh penonton yang antusias.

Panggungnya tidak besar, tapi atmosfernya luar biasa. Didirikan tepat di bawah pohon banyan raksasa yang akar-akarnya menjuntai anggun ke tanah. Lampu sorot putih lembut menyorot ke arah para pengisi acara, sementara obor-obor tinggi menyala di kedua sisi, menambah nuansa eksotis malam itu. Cahaya api menari di udara, seolah jadi bagian dari tarian itu sendiri.

Acara dimulai dengan alunan ukulele dan double bass yang dimainkan live. Lagu-lagu tradisional Hawai‘i mengalun dengan suara vokal yang merdu dan syahdu. Kemudian muncul para penari Hula. Ada yang mengenakan kostum rumput hijau, ada pula yang berbaju merah muda cerah, dengan lei bunga melati menghiasi leher dan rambut mereka. Gerakan mereka lambat tapi penuh makna. Setiap ayunan tangan, lenggokan pinggang, dan tapak kaki seakan bercerita—tentang angin laut, tentang cinta, tentang gunung dan hutan, tentang para leluhur.

Tarian demi tarian berganti. Ada sesi solo, lalu duet, dan ada juga tarian berkelompok. Salah satu bagian yang paling memikat adalah saat dua penari perempuan menari sambil memegang ipu heke, semacam gendang dari labu kering yang mereka pukul-pukul ke lantai untuk menciptakan ritme. Suaranya ritmis dan menghentak, memberi semangat dan nuansa ritual yang kuat.

Di tengah pertunjukan, pembawa acara menjelaskan makna tiap lagu dan tarian—dalam bahasa Inggris, tentu saja—dan bagaimana setiap gerakan menggambarkan elemen alam Hawai‘i. Ternyata tari Hula bukan sekadar hiburan, tapi juga bentuk pelestarian cerita, sejarah, dan filosofi kehidupan masyarakat asli Hawai‘i.

Penonton pun beragam. Ada turis dari berbagai negara, warga lokal, anak-anak, hingga lansia. Beberapa bahkan ikut menari kecil mengikuti irama. Meski aku harus berdiri hampir selama satu jam penuh karena kehabisan tempat duduk, aku nggak menyesal sama sekali. Justru momen ini jadi salah satu highlight dari kunjunganku di Honolulu.


Setelah pertunjukan berakhir, banyak penonton tetap tinggal sejenak. Ada yang antre foto bareng penari, ada juga yang sekadar duduk menikmati hembusan angin malam. Aku berjalan ke arah pantai, menatap garis cahaya lampu hotel-hotel yang memantul di laut Waikiki. Ombak berirama pelan, dan suasana terasa begitu damai.

Setelah pertunjukan tari hula selesai, aku memutuskan untuk nggak langsung pulang. Masih ingin menikmati malam di Waikiki. Suasananya terlalu menyenangkan untuk dilewatkan begitu saja. Jadi aku melangkah pelan menyusuri area di sekitar pantai Waikiki sambil menikmati udara malam dan suasana yang khas kota pesisir tropis.

Langit malam begitu gelap, tapi kota ini tetap terang benderang. Dari pantai, aku bisa melihat kerlap-kerlip cahaya dari hotel-hotel tinggi yang berjajar rapat di tepi laut. Beberapa hotel tampak mewah dengan balkon-balkon kecil menyala, mungkin para tamunya sedang menikmati malam dari atas sana. Sementara di sisi pantai, air laut tampak berkilau memantulkan lampu-lampu kota. Pantainya sendiri cukup sepi malam itu, hanya terdengar deburan ombak halus dan sesekali orang lalu lalang.

Aku sempat berhenti di sebuah penanda sejarah yang berbentuk seperti papan selancar. Ternyata itu bagian dari Waikiki Historic Trail. Tulisannya menjelaskan tentang sejarah nama Waikiki yang berarti “air memancar” karena dulu daerah ini berupa rawa-rawa yang dialiri banyak sungai kecil. Ada cerita menarik juga tentang asal usul nama tempat-tempat di Waikiki dan bagaimana tempat ini dulunya menjadi arena surfing para raja. Bahkan disebutkan Duke Kahanamoku pernah menunggangi ombak setinggi 35 kaki dan meluncur sejauh lebih dari satu mil!

Setelah itu, aku menyebrang ke seberang jalan dan melihat bangunan-bangunan komersial yang masih buka. Starbucks di sudut jalan itu ramai, kelihatan dari jendela kaca—ada banyak orang duduk santai menikmati kopi. Aku cuma lewat, menikmati suasana malam dan lampu-lampu kota yang hangat. Rasanya damai sekali berjalan kaki di tengah malam seperti ini, di tempat yang asing tapi menyenangkan.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam ketika kakiku mulai berasa lelah. Well, bagaimana tidak? Hari ini aku sudah membawanya muncak Diamond Head, keliling USS Bowfin dan museum di sekitarnya, berdiri nonton tari hula, masih jalan kaki lagi eksplore Pantai Waikiki. Wow... sudah mulai protes dia! hehehe... 

Menanggapi protes tubuhku, aku akhirnya melangkahkan kaki kembali ke hostelku, Waikiki Beachside Hostel. Begitu sampai aku langsung mandi air panas, dan setelahnya merebahkan badan di kasurku, di dorm bagian atas.

Tidak menunggu lama mataku semakin berat dan aku tertidur.

Terimakasih diriku untuk hari ini, terimakasih Hawai'i.. See u tomorrow....


Part Selanjutnya : DISINI