Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work

4.13.2016

Tanah Timor LELEBO 4 : Perbatasan Indonesiaku

Pagi telah datang.....

Selamat pagi Rinbesi Hat!

Ane, Fredo sama Arin cukup terlelap malam kemarin karena memang kita sama-sama capek sehabis perjalanan jauh. Udara bersih pedesaan menyejukkan wajah ane begitu ane keluar rumah. Mengingat kebiasaan lama 6 bulan lalu, setelah bercakap sejenak dengan Nenek Anis dan Mama Tere, ane segera menuju sumur untuk cuci muka dan menggosok gigi. Beberapa saat kemudian, Fredo dan Arin melakukan hal serupa. Mungkin ini bukan hal biasa untuk mereka, kita harus membersihkan diri di dekat sumur, tapi kulihat wajah mereka baik-baik saja. Syukurlah....

Untuk buang air ataupun mandi, kami harus mengangkut air menggunakan ember dari sumur ke kamar mandi di belakang rumah Mama Tere. Tentunya hal ini sangat kontras dengan keadaan kami di Jawa dimana untuk mandi kami tinggal menyalakan keran air. Disinilah traveling selalu mengajarkan ane untuk berjuang, bersyukur dan mengurangi mengeluh. Selesai bersih-bersih, Mama Tere sudah menyiapkan teh manis dan kue untuk kami. Kami memang sangat diterima di keluarga ini gan.
Fredo berpose dengan Mama dan Bapa Anis (GALUH PRATIWI)

Fredo berpose dengan Mama Tere dan anak-anaknya (GALUH PRATIWI)

Hari ini kami berencana akan mengunjungi perbatasan negeri (Motaain), Kolam Susu, Atapupu dan Teluk Gurita. Tiga dari tempat tersebut sudah pernah aku kunjungi 6 bulan yang lalu, tapi aku merasa tidak keberatan sama sekali untuk mengunjunginya lagi. Paginya, aku sempat mengajak Fredo dan Arin untuk bersilahturahmi di rumah Bapak Desa Rinbesi Hat dan Bakustulama, dua desa yang pernah dijadikan lokasi KKN oleh kelompokku. Well, sebenarnya ada alasan sih, supaya sekalian bisa pinjam motor karena kami baru punya 1 motor hehe. Pak Gery, kepala desa Rinbesi Hat menyambut kami dengan ramah dan kami berbincang cukup lama bahkan dikasi sprite, demikian juga dengan Bapak Desa Bakustulama. Tapi karena motornya sedang dipakai semua, akhirnya ane meminta tolong teman disini (Ardjo) untuk mengantarkan kami ke Atapupu. Sebenarnya saat itu Ardjo lagi ada urusan mau lihat nilai di universitas, tapi karena orangnya terlalu baik, dia pun setuju untuk mengantarkan kami.

Perjalanan ke Motaain pun dimulai gan. Rute yang harus kami lewati adalah Halilulik-Atambua-Atapupu-Motaain, membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Jalan aspal yang menghubungkan Atambua dengan Atapupu bisa dibilang sangat mulus dan sudah sangat baik gan. Sepanjang jalan kami disuguhi dengan pemandangan perbukitan dengan batuannya yang berwarna-warni (ada hijau, merah, abu-abu, hitam). Selain batunya yang unik, kami juga beberapa kali melewati pantai di sebelah kiri jalan. Pemandangannya sangat indah gan. Lautan yang membentang luas dikelilingi oleh perbukitan hijau yang meliuk-liuk. Karena ingin berfoto, kami pun berhenti di Pantai Atapupu sejenak. Karena sedang musim hujan, tentulah bisa ditebak gan, airnya coklat.
Berpose di Pantai Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi batuan yang unik di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi batuan yang unik di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Perbukitan subur menghijau di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kami pun melanjutkan perjalanan Atapupu-Motaain. Disinilah petualangan sebenarnya dimulai gan, karena pada beberapa bagian keadaan jalan benar-benar digenangi tanah dan air hujan. Kemungkinan karena longsor akibat intensitas hujan yang besar. Ane sempat mau benar-benar jatuh dan sudah pasrah saat melewati kubangan tanah dan air, sementara belum sempat ngerem. Arin sampai udah teriak bersiap-siap mau jatuh, tapi untunglah ane masih bisa mengontrol setang motor yang udah gelang geleng kanan kiri nggak karuan. Wuaahh, terimakasih Tuhan.
Kondisi jalan Atambua - Atapupu akibat ada longsoran tanah (GALUH PRATIWI)

Mengabaikan kondisi jalan yang cukup parah, kami benar-benar menikmati pemandangan ‘hijau’ yang disediakan di sepanjang jalan Atapupu-Motaain. Julukan ‘Gersang’ yang sudah melekat cukup lama pada Provinsi Nusa Tenggara Timur seakan hilang ketika kami melihat pohon-pohon dan alang-alang yang tumbuh dengan suburnya. Saat musim hujan seperti ini, biasanya masyarakat NTT akan memanfaatkannya untuk menanam padi. Nanti hasil panennya akan mereka simpan di lumbung untuk dijual maupun dikonsumsi sendiri. Hal ini memang harus dilakukan karena perbandingan musim hujan dan musim kemarau di Pulau Timor itu 3:9 gan, jadi 3 bulan musim hujan, 9 bulan musim kemarau. Tentulah mereka harus bisa menyimpan dan menanam padi jika tidak ingin menghabiskan uang berlebih untuk membeli beras lagi.

Setengah jam kemudian, akhirnya sampailah kami di Pintu Perbatasan Motaain gan. Pintu Perbatasan Motaain ini merupakan pintu perbatasan utama Indonesia dengan Timor Leste, dimana aktivitas lintas perbatasan dibatasi dari jam 08.00 sampai 16.00 WITA. Sesaat setelah sampai kita akan dihadapkan dengan pos polisi, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Tumbuhan serta Hewan serta Karantina kesehatan. Cukup ketat ya? Namanya juga perbatasan antar negara. Tapi karena kita hanya berkunjung singkat, kita tidak harus melewati deretan kantor tersebut untuk masuk Timor Leste.
Gerbang Fare Well, Selamat jalan Indonesia (GALUH PRATIWI)

Gerbang Selamat Datang Indonesia (GALUH PRATIWI)

Tanpa membuang waktu, setelah memarkir motor dan meminta izin kepada TNI, kami segera melangkahkan kaki menuju spot legendaris yaitu garis kuning (Yellow Lines) atau bentangan garis berwarna kuning diatas jembatan yang menandai batas resmi antara Indonesia dan Timor Leste. Garis ini terletak sekitar 50 meter ke arah timur dari gerbang "Selamat Jalan Indonesia". Jika melangkahkan kaki diantara garis kuning ini, maka kita secara resmi berdiri di 2 negara dalam waktu bersamaan. Kurang keren apa gan? Hehehehe!! Hal itu masih disempurnakan dengan pemandangan Pantai Motaain pada sisi utara dan perbukitan hijau yang menghampar luas pada sisi timur.
Garis kuning, sebagai pembatas resmi antara Indonesia dan Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Begitu memasuki Timor Leste, bahasa resmi mulai berubah. Kami melihat beberapa papan dengan tulisan Bahasa Portugis. Selain Tetun, Bahasa Portugis merupakan bahasa resmi yang digunakan disini gan. Untuk mata uangnya mereka menggunakan USD. Selain itu kami juga melihat deretan mobil travel dengan plat Timor Leste. Mobil travel ini memang sengaja ngetem di perbatasan gan, untuk mengangkut para penumpang dari Indonesia yang akan melanjutkan perjalanan ke Dili (ibukota Timor Leste).
Deretan mobil berplat Timor Leste berjajar menunggu penumpang (GALUH PRATIWI)

Kami melangkahkan kaki lebih jauh ke Timor Leste, sebelum akhirnya menemukan sebuah gerbang bertuliskan "Bem Vindo A Timor Leste", Bahasa Portugis yang kurang lebih artinya "Selamat Datang di Timor Leste". Selain Gerbang Selamat Jalan Indonesia dan Garis Kuning, Gerbang "Bem Vindo A Timor Leste" merupakan salah satu spot yang diincar para wisatawan juga gan untuk berfoto. Dari sini, ane sudah bisa melihat kantor imigrasi Timor Leste yang berdiri menghadang 500 meter di sebelah timur. Kantor imigrasi tersebut merupakan batas paling terakhir kita bisa menginjakkan kaki di Timor Leste tanpa paspor dan visa gan. Sedikit cerita, ane pernah menginjakkan kaki sampai ke Batu Gade, sebuah kota perbatasan setelah imigrasi Timor Leste pada 6 bulan yang lalu. Itu semua bisa terjadi karena ane jalan dengan Bapeda Kabupaten Belu gan, ditemani tentara Indonesia dan Timor Leste juga. Keadaan di Batu Gade tidak berbeda jauh dengan Motaain.
Gerbang Bem Vindo A (Welcome to) Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Langkah kaki kami terhenti di 1 spot terakhir sebelum imigrasi yakni tugu dengan tulisan Timor Leste. Tugu berbentuk balok dengan 3 penopang pada bagian bawahnya ini merupakan tugu selamat datang yang cukup terkenal disini. Pada bagian atasnya terdapat bulu-bulu yang dibentuk seperti mahkota dengan lambang negara pada bagian paling atas. Pada bagian bawah tugu terdapat batu yang berisi informasi peresmian tugu tersebut yakni pada 4 Februari 2012, diresmikan oleh Perdana Menteri Timor Leste yakni S. Exa. Kay Rala Xanana Gusmao.
Tugu Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Puas mengunjungi Timor Leste dengan status sebagai ‘imigran gelap’, kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi destinasi selanjutnya, Kolam Susu yang berada di Desa Junelu, Kecamatan Kakuluk Mesak. Dari berbagai info yang ane baca di internet, katanya bisa menikmati sajian bandeng bakar disini, karena sebagian besar lahan disitu memang digunakan untuk ternak bandeng. Jadi kami rencana akan makan siang dengan bandeng disini. Dan sejauh ingatan ane, pas ane kesini bulan Agustus 2013 itu memang rame banget gan. Pikiran ane kembali bernostalgia melewati jalanan yang dulu pernah ane lewatin dengan teman-teman KKN ane. Pada 2013 lalu, nama Kolam Susu tiba-tiba meroket setelah dijadikan salah satu jalur destinasi Sail Komodo 2013 gan. Sail Komodo adalah parade akbar kapal-kapal layar yang puncaknya berlangsung pada 27 Juli-7 September 2013. Ratusan kapal layar, termasuk kapal perang, dari berbagai negara akan berangkat (flag off) dari Darwin, Australia.

Kolam Susu? Apakah agan familiar dengan frase tersebut? Jika agan lahir di era 1980-1990 tentulah ingat dengan grup musik legendaris asal Tuban, Koes Plus. Ya, Kolam Susu adalah salah satu lagu ciptaan Koes Plus yang dalam proses pembuatannya terinspirasi dari kunjungan mereka ke Atambua pada 1971. Lagu tersebut menggambarkan keindahan alam nusantara. Tengok saja syairnya:

"Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman..."

Sampai di Kolam Susu, kami semua hanya terdiam. Ternyata sangat sepi, tidak ada pengunjung sama sekali selain kami. Jangankan penjual bandeng bakar, menjumpai manusia lain aja tidak ada. Keadaan Kolam Susu benar-benar seperti tempat wisata yang ditinggalkan. Sepertinya tempat ini memang hanya  ramai pas akhir pekan atau pas liburan aja. Ane sempat merasa tidak enak dengan Fredo dan Arin karena takut mengecewakan mereka. Tapi untunglah mereka tidak menunjukkan ekspresi kesal atau kecewa.

Meskipun sepi, pemandangan di Kolam Susu tetap mempesona gan. Sejatinya disini itu wisata utama yang ditawarkan adalah keberadaan danau-danau besar alami yang difungsikan sebagai tempat untuk mengembangbiakkan bandeng. Danau-danau tersebut dikelilingi oleh perbukitan hijau yang menghampar luas, seakan melindungi keasrian dan keindahan danau. Di sana sini terdapat pohon kedondong hutan dan bakau yang membuat Kolam Susuk terasa berangin sejuk meski matahari menyengat. Kami menghabiskan waktu mencari spot-spot indah untuk foto dengan danau. 
Tambak bandeng di Kolam Susu (GALUH PRATIWI)

Kondisi bagian dalam Kolam Susu yang sangat sepi (GALUH PRATIWI)

Tambak bandeng di dalam Kolam Susu (GALUH PRATIWI)

Selesai dari sini, sebenarnya tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi adalah Teluk Gurita. Tapi karena Ardjo mengatakan lokasinya lumayan jauh dan seperti menunjukkan wajah enggan dan capek, kami pun ngalah dan bersiap pulang kembali ke Atambua karena hari sudah semakin sore juga. 

FYI, sebenarnya jarak dari Kolam Susu ke Teluk Gurita itu hanya 3 kilometer gan. Tapi 3 km pun akan terasa sangat jauh karena jalannya yang berkelok-kelok dan naik turun dengan kemiringan yang tajam. Jalannya pun terbuat dari batu, bukan aspal.

Teluk Gurita yang dalam bahasa setempat disebut Kuit Namon itu sudah lama menjadi tempat pendaratan kapal gan. Lautnya dalam sehingga airnya tampak sangat biru. Lantaran berbentuk teluk, ombak pun jarang datang. Teluk itu juga dipagari bukit-bukit yang menghijau. Pasirnya yang kecokelatan tampak halus. Pas sebagai sebuah dermaga penyeberangan. Dermaga ini biasa digunakan sebagai dermaga penyeberangan ke Pulau Alor.
 
Terus, kenapa dinamai Teluk Gurita? Dalam sejarah pedagang Asia hingga Eropa dulu pernah menyinggahi Teluk Gurita untuk mencari komoditas cendana. Konon, ada kapal Spanyol yang dililit gurita raksasa hingga tenggelam ke dasar teluk. Hingga kini, bangkai kapal itu masih berada di dasar teluk dan berubah menjadi terumbu karang. Saat Jepang masuk, Teluk Gurita difungsikan sebagai pendaratan kapal. Begitu pula ketika Sekutu datang mengusir Jepang.


Mengobati kekecewaan kami karena tidak jadi makan siang dengan bandeng bakar, kami makan sate kambing super enak di Kota Atambua. Jujur malah lebih enak dari bandeng bakar hehe. Seporsi nasi kambing dihargai Rp 15.000,00. Bisa dibilang, disini makanan termewah itu ya  daging ayam gan. Untuk daging kambing, sapi, kepiting, cumi harganya relatif lebih murah dari ayam . Sore itu kami juga membeli oleh-oleh berupa roti kering untuk diberikan ke keluarga Mama Tere. Well, meskipun hari ini target tidak tercapai 100 %, tetapi kami cukup puas karena bisa mampir ke Timor Leste. Sorenya kami terlelap, mempersiapkan diri menyambut hari esok. Esok rencana kami akan berpetualang ke Winnie di Kabupaten TTU untuk mengunjungi Pantai Tanjung Bastian dan perbatasan Salore (Enclave Indonesia-Timor Leste). 
Kota Atambua (GALUH PRATIWI)

Kota Atambua (GALUH PRATIWI)


4.12.2016

Tanah Timor LELEBO 3 : Perjalanan Menembus Perbatasan Negeri

ATAMBUA.

Akhirnya gan, hari ini ane akan kembali ke tempat yang sudah ane rindukan setelah sekian lama. Satu-satunya tempat yang saat itu membuat ane bahagia........

Kenapa dengan Atambua gan?

Di Atambua-lah ane menyimpan banyak kenangan indah gan. Kenangan 6 bulan yang lalu. Kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan karena memang begitu nyata. Silahkan baca disini gan (kalau penasaran). Kalau nggak penasaran langsung lanjut aja.

Pukul 05.30 WITA, dengan sangat malas dan setengah kriyip-kriyip ane sebenarnya udah bangun dan segera membangunkan Fredo dan Arin. Rencana hari ini kami akan menuju kota di perbatasan negeri, Atambua. Sebenarnya Any sudah memesankan bus yang berangkat jam 06.30, tapi karena ane yang membangunkan ogah-ogahan dan Arin serta Fredo kayaknya nggak berminat bangun pagi, akhirnya lanjut tiduurrr......

Akhirnya bisa ditebak, semuanya bangun kesiangan dan belum sarapan, alhasil kami baru naik bus yang berangkat jam 10 dari Terminal Oebobo setelah sebelumnya sarapan di dekat penginapan. Dari Ketapang Satu ke Terminal Oebobo dapat ditempuh menggunakan bemo lampu 10 selama kurang lebih 20 menit. Di bemo aku udah ditelfon aja sama Mama Tere di Atambua yang rencana ane akan nginap di rumahnya. Ane udah nggak sabar pengen cepat-cepat sampai Atambua, seakan rasa kangen kepada Desa Rinbesi Hat sudah berada di ubun-ubun.


RINBESI HAT, AKU DATANG!!!!!

Sampai di Terminal Oebobo, belum sampai turun dari bemo, tiba-tiba tas ane udah ditarik aja sama mas-mas sambil ngomong Atambua-Atambua. Bujubuset, sempat kaget juga sih sebenernya. Kok main tarik gitu aja. Ane sempet deg-degan juga tas mau dibawa kemana. Ternyata mereka adalah konjak-konjak (kondektur) bus Kupang-Atambua yang sedang mencari penumpang. Kami akhirnya naik bus mereka sambil masih menunggu penumpang yang lain. Ane sama Arin pilih bangku paling depan supaya bisa lihat pemandangan. Sembari menunggu keberangkatan, ane sempet-sempetnya galau masalah proposal skripsi dikarenakan saat itu Arin udah selesai proposal skripsinya, sementara ane mulai aja belom *mahasiswa malas.

Perjalanan dari Kupang ke Atambua akhirnya dimulai juga dengan rute Kupang-Camplong-Soe-NikiNiki-Kefamenanu-Atambua. Sawah hijau dan lopo-lopo masih mendominasi sepanjang perjalanan dari Kupang ke Camplong. Jalanan mulus khas Pulau Timor, penjual garam di Oebelo, pemandangan mama-bapa yang mengunyah sirih-pinang menjadi pemandangan yang khas disini. Melewati ini semua memori ane benar-benar ditarik ke 6 bulan lalu. Rasanya benar-benar bahagia bisa kembali kesini. Sudah tidak ada lagi beban atau kekecewaan seperti kegalauan ane di awal trip ini. 

Perjalanan terus berlanjut, medan Kupang-Camplong yang relatif datar mulai berubah menjadi berbukit-bukit seiring bus yang terus melaju menuju Soe. Soe yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan memang mempunyai topografi berupa pegunungan. Jalan berkelak-kelok tiada henti menembus pegunungan. Pohon-pohon tinggi menjulang di kanan kiri jalan. Sesekali rumah penduduk yang sangat sederhana terlihat di pinggir jalan. Sinyal HP? Jangan ditanya. Saat melewati daerah pegunungan ini, sinyal HP, bahkan Telkoms*l sekalipun, sudah lenyap.

Perjalanan terus berlanjut ke Niki-Niki. Dari semua rute yang kami lewati hari itu, perjalanan dari Soe ke Niki-Niki mungkin adalah yang paling berat karena medan yang semakin tinggi serta jalan yang berkelak-kelok seakan tanpa henti. Fredo yang duduk di belakang kami sudah mulai mabuk dan hanya bisa tidur terdiam. Ane sama Arin hanya cerita dengan sesekali mencoba tidur di tengah tarian kelokan bus. Tengah hari, akhirnya bus berhenti di Rumah Makan Padang di Niki-Niki untuk memberi kesempatan penumpang makan siang. Karena nyemil terus di bis, Arin memutuskan nggak makan lagi cuma pesan teh panas. Akhirnya Ane sama Fredo aja yang makan, tapi sepiring buat berdua. Lega rasanya mengisi perut ini setelah beberapa jam diaduk-aduk.

Perjalanan terus berlanjut ke kota selanjutnya, Kefamenanu. Jalan yang berkelak-kelok masih mendominasi sampai 1 jam berikutnya. Saat mendekati Kota Kefamenanu, topografi mulai berubah sedikit melandai. Turunan dan turunan terus mendominasi. Kota Kefamenanu memang terletak di Lembah Bikomi gan, dibatasi oleh pegunungan di sebelah baratnya. Secara umum Kefamemanu merupakan sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan /ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara gan. Jadi ceritanya, Kefa ini merupakan kota yang didirikan Belanda dalam usahanya untuk menguasai Pulau Timor, tapi niatnya itu terhalang oleh Portugis yang udah berkuasa duluan terutama di dekat Distrik Oekusi. Parahnya, beberapa raja kecil disekitar saat itu udah cinta duluan ma Portugis, jadilah mereka dukung Portugis ngusir Belanda dari Kefa. Wkwkwk, kasian de lu! Tapi akhirnya hubungan Portugis dengan beberapa raja kecil tersebut retak dan mereka gantian memihak Belanda, meninggalkan Portugis yang patah hati, nah gimana sih? Sayang saat itu ane nggak sempat eksplor Kefamenanu gan, tapi ane pernah mengunjunginya tahun 2013 ceritanya disini.

Bus semakin menambah kecepatan meninggalkan Kota Kefamenanu untuk menuju tujuan terakhirnya, Atambua. Hati ane semakin berdesir semakin bus ini mendekat ke Atambua. Berbeda dengan medan pegunungan yang kami lalui sebelumnya, kali ini medan berganti dengan dataran bergelombang dengan padang savana yang menghampar di kanan kiri kami. Sangat indah memandang padang yang sangat luas dengan beberapa ternak sedang mencari makan. Jarak dari Kefamenanu ke Halilulik (kota kecil sebelum Atambua tempatnya Desa Rinbesi Hat) sekitar 90 km dilalui selama 2 jam.

Pukul 18.00 WITA, akhirnya bus yang kami tumpangi secara perlahan mulai memasuki Desa Rinbesi Hat. Padang savana ini, rumah-rumah ini, gapura ini yang dulu ane bangun, toko ini, jembatan ini, semua kenangan 6 bulan lalu seakan menyerbu kepalaku dengan cepat. Semuanya tampak familiar, tak berubah sedikitpun. Sejak meninggalkan desa ini pada Agustus 2013, ane memang mempunyai mimpi untuk kembali dan bertemu dengan adik-adik serta teman lamaku. Suasana desa ini yang begitu tenang, asri dan tentram begitu menyenangkan hati ane. Beberapa saat sebelum sampai rumah Mama Tere, rumah dimana kami akan menginap malam ini, ane sempat melihat wajah beberapa teman lama ane  dari bus. Tapi karena terlalu antusias, ane malah diam aja dan menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan mereka hehehe.

Akhinya ane sampai juga di depan rumah Mama Tere, rupanya kedatangan kami sudah disambut oleh adik-adik dari Rinbesi Hat. Malam itu aku bahagia sekali, seakan semua rasa kangen setelah 6 bulan meninggalkan mereka sirna begitu melihat wajah bahagia mereka. Mereka juga terlihat welcome dengan kedua temanku, Fredo dan Arin. Malam itu kami habiskan dengan bercengkerama dan kangen-kangenan. Dengan suguhan sederhana dan teh hangat, kami habiskan untuk mengobrol kesana kemari. Malamnya ane sama Arin tidur sama Rinel, sementara Fredo sama saudara laki-lakinya Rinel. Perfect night!!

Lanjut ke : PART 4

Tanah Timor LELEBO 2 : Keliling Kabupaten Kupang

Hujan yang cukup kencang pada dini hari telah membangunkan tidur cantik ane di malam pertama di Kupang. Karena posisi Hotel Susi dipinggir laut, bisa ditebak gan, dini hari tadi terjadi badai menggelepar-gelepar yang membuat bulu kuduk ane merinding. Ane yakin Fredo sama Arin takut juga kok sebenernya, tapi semuanya hanya diam dan tetap memaksa tidur. Ane sempet putus asa juga sih, wah kok hujannya kayak gini ya semoga aja besok cerah karena kami berencana mengunjungi banyak tempat. Udah sewa motor lagi. Doa ane terkabul.

"Gan, gan, btw LELEBO itu apa to gan?"

"Oiya gan ane lupa menjelaskan. Kenapa ane memilih kata LELEBO untuk topik tulisan ini? LELEBO itu suatu ungkapan dalam Bahasa Timor sana yang artinya "Lebih Baik". Jadi Tanah Timor LELEBO berarti Tanah Timor Lebih Baik. Lewat tulisan ini ane ingin menunjukkan bahwa Tanah Timor adalah tanah yang indah dan masyarakatnya baik."

Keesokan paginya, pukul 05.30 kedua motor yang kami sewa sudah diantarkan ke penginapan. Cuaca cerah berawan. Dan tentu saja yang menerima motor, nego masalah jam, serta menemui Pak Nato adalah Si Fredo. Ane ma Arin? Lanjot tiduur..... Enaknya traveling sama cowok itu, bisa disia-sia, disuruh apapun biasanya mau, sementara kami berdua masih ngorok selimutan di kasur hahaha. Kami mendapatkan motor Revo dan Mio, dan karena Fredo merasa dia yang menerima motor, ane dikasi motor Mio yang kalau starter harus di standart dua dulu. Huh, dasar. Kena apesnya, menangan lagi orangnya.

Pagi itu kami memutuskan makan dulu di warung makan Jawa, selesai makan sempat ada tragedi motor revo yang ditumpangi Fredo ambruk karena dia nggak kuat nahan ketawa. Bujubuset dah, motor baru dipinjem belum ada 2 jam udah dijatuhin. Untung motor orang nggak rusak. Destinasi pertama kami adalah Gua Kristal yang berada di jalur Pelabuhan Bolok. Gaya-gayanya sih mau renang gitu - padahal nggak ada yang bawa baju ganti - dsahh.........

Di perjalanan menuju Gua Kristal, kami sempat mampir ke Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center beralamat tepat di Jl. Soekarno No 24 Fontein, Kota Kupang. Pertama ane melihat Masjid ini, kesannya memang wahh banget gan. Masjid ini terlihat berdiri gagah dengan 3 kubah berwarna biru, selain itu terdapat menara pada salah satu sisinya. Kami sempat berbincang dengan kakak penjaga masjid yang mengatakan bahwa masjid ini mulai dibangun pada 2012 dan selesai pada akhir 2013. Interior masjid ini sendiri sangat indah gan, bersih dan luas sekali. Tempat shalat untuk pria dan wanita pun dipisahkan dengan batas yang cukup jelas. Tidak diragukan lagi, merupakan masjid terbesar dan termegah di Kota Kupang gan. 

Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center (GALUH PRATIWI)

Bagian dalam Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center (GALUH PRATIWI)

Bagian yang ditutup kain hijau untuk shalat kaum perempuan (GALUH PRATIWI)

Pembangunan Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center mencerminkan kerukunan umat beragama disini gan. Meski Islam tidak mayoritas, tahap demi tahap pembangunan Masjid Raya dan Islamic Center berjalan tanpa kendala apapun. Itu terbukti ketika peletakan batu pertama hadir turut andil memberi sumbangan Bapak Gubernur NTT (yang beragama katolik) dan Walikota Kota Kupang NTT. Pembangunan masjid ini sendiri menghabiskan biaya sekitar 8 milyar.

Selesai dari sini, dalam perjalanan ke Gua Kristal kami sempat mampir ke Situs Kuburan Belanda yang ada di Kelurahan Nunhila. Lokasi kuburan ini berada di pinggir jalan menuju Pelabuhan Bolok gan, jadi tidak terlalu susah mencarinya. Ane sempat membaca beberapa nisan, semuanya nama Belanda dan kebanyakan meninggal di abad 16, sewaktu Belanda sempat menguasai Pulau Timor. Beberapa nisan sudah pudar dan tidak terbaca karena terlalu tua gan. Melalui kuburan Belanda ini, kita bisa melihat pemandangan Selat Rote yang sangat indah. Kami tidak terlalu lama disini dan segera meneruskan perjalanan.
Pemandangan Selat Rote dari Situs Kuburan Belanda Nunhila (GALUH PRATIWI)

Salah satu nisan orang Belanda yang meninggal pada abad 16 (GALUH PRATIWI)

Salah satu nisan orang Belanda yang tulisannya mulai tidak terlihat terkikis waktu (GALUH PRATIWI)

Kami belum bisa menemukan Gua Kristal, sang penunjuk jalan -Arin- malah menuntun kita ke Pelabuhan Bolok. Pelabuhan Bolok merupakan salah satu pelabuhan terpenting di Kota Kupang untuk pelayaran jarak jauh. Fyi, pelabuhan di Kupang itu ada 2 gan, Bolok dan Tenau. Kalau Pelabuhan Tenau untuk pelayaran jarak dekat seperti ke Pulau Rote. Untuk pelayaran ke Jawa, kalimantan, sulawesi, semuanya dari Pelabuhan Bolok. Saat itu hanya ada beberapa kapal besar yang sedang bersandar karena memang pelayaran sedang ditutup karena ombak tinggi. Beberapa nelayan terlihat mulai beraktivitas di sekitar pantai, mencari penghidupan. Kalau biasanya pelabuhan itu kondisi perairannya keruh, beda dengan Pelabuhan Bolok ini gan. Airnya biru bersih, bahkan menurut beberapa sumber yang ane baca bisa melakukan kegiatan snorkeling di perairan sekitar Bolok. Memang terbukti semakin sedikit manusia, alam semakin terjaga ya gan.
Beberapa kapal yang bersandar pada Pelabuhan Bolok (GALUH PRATIWI)

Nelayan di Pelabuhan Bolok (GALUH PRATIWI)

Jalan menuju Gua Kristal ini lumayan susah juga gan nyarinya, setelah bertanya kepada beberapa orang, akhirnya kami sampai juga ke Polair (Polisi Air) yang berjarak 200 meter dari gua. Kami pun menitipkan motor disitu, kemudian melanjutkan berjalan kaki ke Gua Kristal. Tidak ada petunjuk apapun gan untuk kesini, jadi nanti ikuti aja bekas tapak kaki dari rerumputan di sekitarnya.
Kondisi jalan dari Polair menuju Gua Kristal (GALUH PRATIWI)

Kondisi jalan tanah sebelum lokasi Gua Kristal (GALUH PRATIWI)

Turun ke Gua Kristal (GALUH PRATIWI)

Gua Kristal (GALUH PRATIWI)

Jalan masuk ke Gua Kristal ini sempit, gelap, licin, bau eek kelelawar dan terjal gan. Jadi harus super hati-hati supaya tangan jangan sampai pegang eek kelelawar pas pegangan, atau kaki jangan sampai terpeleset. Lebih baik menggunakan senter karena cukup gelap ketika sudah sampai di bawah. Airnya pun benar-benar bening dan biru seperti kristal gan, itulah mengapa gua ini disebut Gua kristal. Bukan karena ada kristal besar-besar, ada intan, ada emas, tapi karena airnya bening seperti kristal terutama jika terkena sinar matahari yang masuk melalui celah bebatuan. Kami (saya dan fredo) menghabiskan waktu beberapa saat dengan berenang disini (berenang di pinggir doank, mau ke tengah takut ditarik monster gua ke bawah haha), airnya sendiri sangat segar dan berasa payau, yang menandakan di suatu tempat di bawah, ada lubang yang tembus ke laut (jadi teringat Film Sanctum hahahaha). Menurut beberapa sumber yang kami baca, waktu terbaik untuk mengunjungi gua ini antara jam 09.00 sd 14.00 gan. Itu saatnya sinar matahari pas mengarah ke gua sehingga membuat warna air menjadi bening kebiruan.

Selesai renang dan berfoto-foto, kami pun segera melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, Air Terjun Oenesu. Jarak dari Gua Kristal ke Air Terjun Oenesu cukup jauh gan, dengan ketidaktahuan jalan juga, kita membutuhkan sekitar 1 jam untuk menemukan tempat ini. Perjalanan kami juga beberapa kali dihambat oleh hujan yang tiba-tiba aja menyerbu dengan derasnya. Biaya masuknya Rp 3000,00 per orang. Untuk menuju Air Terjun ini, kita harus menuruni anak tangga sekitar 100 meter.
Air Terjun Oenesu (GALUH PRATIWI)


Air Terjun Oenesu 3 Tingkat (GALUH PRATIWI)


Air Terjun Oenesu (GALUH PRATIWI)

Karena sedang musim hujan, tentu saja kami tidak mengharapkan ketemu air terjun yang bening, dangkal dan indah. Nyatanya, kami menjumpai air terjun 3 tingkat dengan debit air yang cukup deras serta berwarna coklat. Saat itu pun kami tidak dianjurkan berenang gan karena terlalu bahaya. Sebenarnya saat musim kemarau, Air Terjun Oenesu ini airnya akan berwarna bening dan bisa untuk berenang gan. Karena tidak ada yang bisa kami nikmati selain foto dan membuat video, kami segera meninggalkan tempat ini untuk menuju Pantai Tablolong.

Di tengah jalan, lagi-lagi kami harus berhenti karena hujan lagi gan. Hufft, memang terlalu banyak cobaan kalau traveling di musim hujan. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, sementara Any harus ujian jam 4, akhirnya kami merelakan tidak ke Pantai Tablolong dan kembali ke Kota Kupang.

Sebagai pengganti Pantai Tablolong, kami pun bergegas melajukan motor ke arah Museum NTT yang hanya buka sampai jam 5 sore. Waktu itu kami tidak dikenakan biaya untuk masuk karena sedang direnovasi. Museum Daerah Nusa Tenggara Timur adalah sebuah museum provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Kota Kupang. Terletak di Jl. Raya Eltari II. Museum ini didirikan pada 1986.
Denah Museum NTT (GALUH PRATIWI)


Bendera merah putih dengan panjang 1000 m yang diserahkan oleh Front Pembela Merah Putih sebagai wujud cinta tanah air Indonesia terkait berpisahnya Timor Leste (GALUH PRATIWI)


Barang-barang peninggalan masa lalu (GALUH PRATIWI)


Barang-barang peninggalan masa lalu (GALUH PRATIWI)


Replika kapal yang digunakan masyarakat NTT untuk melaut (GALUH PRATIWI)


Koleksi kain adat dari kabupaten se-NTT (GALUH PRATIWI)


Rangka Ikan Paus Biru yang ditemukan terdampar di Pantai Oeba pada 4 Oktober 1973 dengan panjang 25 meter dan lebar 4 meter (GALUH PRATIWI)


Perahu kayu (disebut PALEDANG) yang digunakan untuk berburu paus. Perahu ini memang dirancang terbuka supaya mudah dalam memantau buruan. Layar dibuat dari daun gewang. Perburuan dibantu dengan menggunakan tombak/harpun yang biasa disebut tempuling. Tali panjang yangdisebut tali Leo diikatkan pada mata tempuling, ditambah bambu sepanjang 4 m sebagai alat bantu tikam. Sebuah perahu Paledang biasanya memuat hingga 7 orang yang didalamnya terdapat seorang juru tikam/lamata/balalaing (GALUH PRATIWI)

Dan saat sudah di dalam, kami malah ketemu petugas Museum, Kak Riki, yang dengan fasihnya menjelaskan tentang setiap pameran yang ada disitu. Kak RIki menjelaskan dengan cukup detail tentang setiap peraga yang kami jumpai. Museum ini memiliki 6.199 koleksi yang berasal dari kelompok etnis yang mendiami 14 kabupaten dan kota di wilayah NTT. Disini asik banget loh gan, kita bisa lihat bendera merah putih sepanjang 1 km yang dibawa oleh Front Pembela Merah Putih terkait berpisahnya Timor leste dari Indonesia, benda-benda peninggalan zaman Perunggu yang ada di NTT, tradisi berburu paus di Desa Lamarela Lembata, tulang ikan paus yang ditemukan di pantai NTT, berbagai jenis kain adat dari Kabupaten se-NTT, Replika rumah-rumah adat kabupaten di NTT, dan lain-lain. Dengan biaya masuk yang begitu murah, kita bisa mengenal sejarah serta budaya provinsi NTT dengan baik gan.

Sebagai pengganti karena batal mengunjungi Pantai Tablolong, kami melajukan motor ke arah Oesapa untuk mengunjungi Pantai Lasiana. Menurut beberapa sumber yang kami baca, sunset di Lasiana itu sangat indah gan. Tapi lagi-lagi kami gagal mendapatkan sunset karena mendung. Mendung, mendung dan mendung. Hufftt. Saat itu suasana sangat sepi, hanya ada kami sebagai pengunjung. Tidak ada penjual makanan/gula aren juga. Ane tidak terlalu terkesan karena banyak sekali sampah bertebaran gan.
Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)


Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)


Jajaran pohon lontar disepanjang pesisir Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)

Sebagai penutup hari, kami pun melajukan motor kembali ke Pasar Malam Kampung Solor untuk makan malam seafood. Kami mengorder kepiting asam manis, cumi saos tiram dan udang asam manis. Huaaa, bisa dibayangkan rasanya, enaaaaak banget gan makan sambil ditemani alunan lagu ambon dan dangdut. Semuanya cuma habis 150ribuan aja, murah ya padahal kepitingnya besar banget. Malam itu kami bermimpi dengan manis.Target hari kedua tercapai 90 %. Besok akhirnya ke ATAMBUA!!
Ikan segar di Pasar Malam Kampung Solor (GALUH PRATIWI)


Mata ane langsung tertuju ke kepiting (GALUH PRATIWI)


Menutup hari dengan makan seafood (GALUH PRATIWI)