Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work

8.31.2016

[5] FILIPINA TRIP: Kamera oh Dompet!

Karena jadwal kepulangan yang masih sore hari sementara sejak jam 12 ane sudah harus check out dari Friendly Backpacker, ane memutuskan akan ngenet dulu di warnet dekat penginapan untuk menghabiskan jam-jam terakhir di Filipina. Tapi setelah nyoba warnet di dekat Friendly Backpacker Guest House, ane males dengan tarifnya gan, masak setiap menit tarifnya 2 peso (400) ladelah baru tau ane warnet tarifnya menitan. Setelah ngenet bentar ane akhirnya memutuskan keluar dan mencari warnet di salah satu mall berukuran sedang yang ane lewatin kemarin karena lebih murah. Ane naik LRT sambung jeepney untuk menuju mall tersebut. Oya karena pas di warnet pertama ini ane sakit perut, ane ingat sempat boker disini gan. Penting ya? Penting bangeet soalnya pas mau cebok nggak ada airnya gan! Jadi modelnya kayak  ceboknya orang luar negeri gitu, cuma pakai tissue. Hueeekkk. Bayangin aja gimana rasanya gan hahahaha.

Mall yang ane kunjungi ini jauh lebih kecil dari Mall of Asia yang ane kunjungin kemarin gan. Modelnya persis kayak SGM (Solo Grand Mall gitu), dimana kebanyakan barang yang dijual adalah baju. Tapi ane nggak juga menemukan baju yang ada tulisan Filipina di depannya untuk oleh-oleh. Akhirnya karena lapar, ane mampir di sebuah restoran kecil yang menawarkan menu ayam kecap. Rasanya lagi-lagi mirip masakan Indonesia gan, uenakk. Harganya juga nggak terlalu mahal, untuk seporsi nasi ayam kecap dan air minum dibanderol 100 peso.

Selesai makan, ane pun segera menuju salah satu warnet yang ada disitu gan. Untungnya dapat paket murah, ngenet 3 jam cuma dipatok 60 peso aja. Alhasil sesorean itu ane gunain buat ngenet aja gan sambil nunggu jam 4 sore buat boarding di Bandara Ninoy Aquino. Tapi sedihnya, komputernya nggak bisa baca memori kamera ane sehingga mau pamer di fb terpaksa tertunda hahahaha.

Jam 4 sore, akhirnya ane memutuskan untuk segera menuju bandara gan. Berdasarkan petunjuk buku karangan Sihmanto, sebenarnya bisa aja naik taksi dengan biaya sekitar 200 peso, tapi karena malas membuang uang lagi ane sebelumnya sempat mencari informasi di internet cara menuju bandara dengan transportasi umum. Dari mall tersebut, ane hanya perlu jalan kaki sekitar 200 meter ke arah Stasiun LRT EDSA, kemudian  menyeberang lewat jembatan penyeberangan dan turun sampai menemukan terminal, disana naik bus putih untuk menuju Terminal 1 Bandara Ninoy Aquino. Semuanya berjalan lancar dan pukul 16.30 ane sudah nangkring di atas bis menuju bandara, biayanya hanya 60 peso.

Bandara Ninoy Aquino di Manila ini cukup luas dan bersih. Segera saja ane menuju konter check in Cebu Pacific untuk segera mendapatkan tiket dan menunggu dengan tenang. Semuanya lancar sampai ane membayar pajak penerbangan dan menuju gerbang imigrasi.

Saat itu imigrasi keluar nggak terlalu rame, dengan PD dan semangat tinggi karena akhirnya mau pulang ane segera antri untuk mendapatkan cap keluar Filipina sebelum boarding. Petugas imigrasi di depan ane ibu-ibu gitu gan, udah tua dan murah senyum. 

Akhirnya tiba giliran ane gan:

“Sobekan kertas imigrasinya mana neng?” tanya ibu itu dengan ramah dan senyum.

“Aduh buk, harus pakai itu ya?Maaf buk saya nggak tau.” Jawab ane.

“Yaudah, diisi dulu aja. Ambil kertasnya disana. Nanti balik lagi kesini ya kalau udah” Jawab ibunya lagi-lagi dengan ramah sambil menunjuk tempat pengambilan formulir kertas imigrasi.

“Iya buk. Makasih ya buk.”

“Iya neng.”

Wuaahh, baik banget gan ibu imigrasi ini. Selama ane traveling, baru kali ini ane dapat senyuman dan perlakuan ramah seperti itu dari imigrasi. Ane benar-benar tersentuh dengan kebaikan masyarakat Filipina yang lagi (lagi) ane dapatkan.

Ane pun segera menuju meja pengambilan formulir imigrasi dan menulis data bersama beberapa calon penumpang pesawat yang lain. Saat itu karena harus mengambil bolpoin, tanpa sadar ane menaruh tas slempang ane yang berisi 2 kamera, dompet, dan beberapa benda berharga lainnya di meja formulir. Dan yang terjadi selanjutnya......bisa ditebak....ane lupa bawa tas itu lagi gan. Huaaa!!

Selanjutnya karena masih nggak sadar tas slempang ane ketinggalan di meja, ane pun segera melangkahkan kaki ke loket imigrasi ibu tadi. Si ibu tersenyum lagi dan segera memberikan cap ke ane. Ane pun segera melangkahkan kaki dengan PD untuk mencari tempat boarding pesawat ane, Cebu Pacific.

Saat berjalan itulah ane merasa ada sesuatu yang aneh gan, biasanya daerah sekitar leher ane itu akan sakit karena tali tas slempang. Kok sekarang nggak sakit ya?? 

Ya TUHANNN....

Ane lupa tas slempang ane!!

Ane berusaha menenangkan diri dan fokus, ane berusaha mengingat-ingat, kapan terakhir kali ane duduk atau melepas tas dan ane ingat itu di meja pengisian formulir imigrasi. Ya Tuhaann....ane kan udah di cap keluar, sekarang gimana caranya ane bisa masuk lagi untuk mengambil tas ane? Itupun kalau masih ada. Ane benar-benar mengutuki kecerobohan ane saat itu.

Sampai loket imigrasi lagi, segera saja ane mencari imigrasi yang nggak terlalu rame. Saat itu ane menemukan satu lagi ibu-ibu muda, dan ane pun menunjukkan paspor yang udah ada cap keluar Filipina sambil menjelaskan situasi ane kalau ada tas yang tertinggal. Dan ajaibnya, ibu itu langsung menganggukan kepala gan nggak banyak tanya. Wuaaahh, ane bersyukur berat dan segera meluncur ke meja formulir imigrasi untuk mencari tas ane dan ternyata.....MASIH ADA!! Ya Tuhaann...ane nggak berhenti-berhentinya bersyukur saat itu. Ane pun keluar Filipina lagi melalui loket imigrasi ibu muda tadi. Menjelaskan kalau ane sudah menemukan tas ane, dan kembali menunjukkan paspor yang sudah ada cap keluar. Wah terimakasih Tuhan, inilah bandara dan imigrasi terbaik ane selama jalan-jalan gan. Di Filipina, tepatnya Bandara Ninoy Aquino.

Maraming Salamat Po, Filipina!

Selanjutnya, perjalanan selama 4 jam dari Manila ke Jakarta dengan pesawat Cebu Pacific Airline ane lalui dengan lancar gan. Hal menakutkan yang terjadi, sepanjang jalan dari Manila ke Jakarta itu suering banget turbulensi gan pesawatnya. Saat itu yang ada di pikiran ane cuma hal buruk aja, ane mikir ane bakal kecelakaan pesawat karena sumpah pesawatnya goyang terus gan. Ane tatut. Tapi akhirnya sekitar pukul 12 malam, sampailah ane di Jakarta gan. Saat melihat lampu gemerlapan Bandara Soekarno Hatta, ane mengucap syukur sedalam-dalamnya. Rasanya senang sekali melihat tanah air tercinta ini setelah beberapa minggu terpisah. I LOVE INDONESIA.


[4] FILIPINA TRIP: Hari terakhir

Tragedi salah perhitungan uang saku membuatku terjebak di Manila. Ya, hari ketiga aku masih di kota yang sama dan tidak mempunyai rencana apapun. Setelah sarapan di Jollybee dan berpikir cukup lama, aku memutuskan akan ke Chinatown. Sekedar jalan-jalan mencari hal lain selain benteng dan bangunan Eropa sembari berharap bisa menemukan oleh-oleh murah untuk dibawa pulang. Untuk menemukan Chinatown tidak sulit karena aku sudah pernah melewatinya kemarin. Caranya ane naik LRT dari Querenno Avenue ke Carriedo, kemudian jalan kaki sekitar 400 meter.

Chinatown ini terletak di Distrik Binondo, dan ternyata merupakan Chinatown tertua di dunia yang didirikan pada 1594 oleh Gubernur asal Spanyol Luis Pérez DasmariñasWaahh, nggak nyangka ya ternyata ada di Manila? Justru bukan di negara-negara yang mayoritas Chinese macam Thailand ataupun Myanmar. 


Gerbang masuk Chinatown Manila (GALUH PRATIWI)

Chinatown ini didirikan sebagai kediaman permanen imigran asal China (orang Spanyol menyebutnya Chinese Sangleys) yang berubah keyakinan menjadi Katholik semenjak kedatangannya ke Manila. Awalnya para imigran China itu akan ditempatkan di Parian yang lokasinya juga dekat Intramuros. Parian merupakan area kediaman imigran China pertama kali. Tetapi Pemerintah Spanyol memberikan lahan yang lebih besar di Binondo kepada sekelompok pedagang dan pengukir China dengan perjanjian akan diberikan permanen, bebas pajak dan mempunyai gubernur sendiri. Mana bisa ditolak kan? Tetapi lagi-lagi tentunya Pemerintah Kolonial Spanyol mempunyai tujuan khusus dari semua kemudahan itu. Lokasi Binondo yang berada di dekat Intramuros tetapi di sisi seberang Sungai Pasig memang disengaja supaya pemerintah kolonial Spanyol tetap bisa mengawasi mereka. Tetapi sebenarnya lokasi ini merupakan pusat perdagangan orang China/keturunnanya sebelum Periode Kolonial Spanyol.

Suasana Chinatown Manila (GALUH PRATIWI)

Hotel Emperor di Chinatown Manila (GALUH PRATIWI)

Bisnis kecil dan menengah menjamur di Chinatown (GALUH PRATIWI)

Romo asal dari Spanyol-Dominika menjadikan Binondo jemaah gereja mereka dan sukses merubah agama beberapa residen menjadi Katholik. Secara cepat Binondo kemudian menjadi tempat dimana imigran China mengubah keyakinannya menjadi Katholik. Mereka kemudian menikah dengan wanita pribumi Filipina dan mempunyai anak, dinamakan komunitas China Mestizo. Bertahun-tahun kemudian, populasi China Mestizo di Binondo menjadi semakin banyak. Hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah imigran wanita China serta kebijaksanaan Pemerintah Spanyol yang tidak segan-segan mengusir bahkan membunuh (dalam kasus konflik) para imigran China yang tidak mau mengubah agamanya.

Pengaruh kebudayaan China di Manila ini juga menyebar sampai ke Quaipo, Santa Cruz dan San Nicolas. Distrik Binondo sendiri merupakan pusat perdagangan di Manila, dimana semua tipe bisnis secara pesat dijalankan oleh keturunan Filipina-China. Hal ini tentulah tidak lepas dari sejarah tempat ini sendiri gan, yang sebelum Periode Kolonialisme Spanyol merupakan pusat perdagangan.

Barang yang dijual di sepanjang jalan Chinatown beraneka ragam mulai dari Jeruk Bonsai (tanamannya kecil tapi buahnya banyak banget), bawang, sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai macam perhiasan imitasi seperti gelang dan kalung, patung buddha dari kuningan, roti tikoy, bumbu dapur. Selain itu juga terdapat banyak banget toko kelontong, toko perhiasan, restoran-restoran kecil. Pokoknya isinya dagang semua gan, memang keren abis orang China ini gan jiwa bisnisnya.

Jeruk bonsai (GALUH PRATIWI)

Roti Tikoy (GALUH PRATIWI)

Aneka sayuran dan umbi-umbian (GALUH PRATIWI)

Di ujung jalan, akhirnya ane kembali menemukan gereja peninggalan Spanyol yang cukup tua sering disebut Minor Basilica of Saint Lorenzo Ruiz atau Gereja Binondo. Karena ingin mendingin sejenak dari keriuhan pasar, ane pun masuk ke dalam gereja dan ikut berdoa sejenak. Mengucap syukur kepada Tuhan karena trip selama 3 hari ke Manila ini berjalan lancar dan ane masih sehat serta bernafas lega sampai sekarang.

Bangunan tua Gereja Binondo (GALUH PRATIWI)

Gereja Binondo ini didirikan oleh Romo asal Dominika pada 1596 untuk melayani para Jemaah China yang merubah agamanya menjadi Katholik. Gedung asli gereja ini dihancurkan Inggris dengan pengeboman pada 1762. Pada area yang sama, dibangun kembali gereja dari granit yang selesai pada 1852 tetapi lagi-lagi hancur oleh Perang Dunia II, dimana hanya sedikit bagian dari gereja yang tersisa.

Ada sedikit kisah sedih berawal dari gereja ini. Saint Lorenzo Ruiz (ayahnya berasal dari China sementara ibunya dari Filipina) dilatih di gereja ini dan kemudian melakukan perjalanan misionaris ke Jepang. Disana dia dan teman-temannya mati martir karena menolak meninggalkan Katholik. Ruiz merupakan santo pertama dari Filipina, dan diangkat oleh Pope John Paul II pada 1987. Untuk mengingatnya, patung besar Saint Lorenzo Ruiz dipasang pada bagian depan gereja.

Selesai dari Chinatown, ane ingat masih belum beli oleh-oleh. Di buku Jalan-jalan keliling Filipina punya Sihmanto yang ane baca, disebutkan dia mengunjungi Mall of Asia, ane pun segera naik LRT dan turun di stasiun LRT EDSA kemudian sambung naik angkot ke Mall of Asia (MOA). Sebenarnya tujuan utama ke MOA itu mau membeli oleh-oleh gan, kata Mas Sihmanto ada toko oleh-oleh cukup terjangkau di MOA, dimana salah satu oleh-olehnya berupa gantungan kunci jeepney. 

Mall of Asia (GALUH PRATIWI)

Salah satu mall terluas di dunia (GALUH PRATIWI)

Mall of Asia (MOA) ini merupakan mall perbelanjaan yang terletak di Bay City, Pasay, Manila. Lokasinya yang berdekatan dengan Teluk Manila membuat pemandangan Kota Manila dari lantai atas terlihat sangat indah. Mall dengan luas area empat puluh dua hektar ini sukses menjadi salah satu mall terbesar di dunia. Bukan main-main, ratusan ruko dengan berbagai tawaran jasa maupun dagangan memang berjajar memanjakan mata. Bagi seorang kaya, tentulah bisa dengan mudah menghabiskan pundi-pundi uangnya disini.

Ane berkeliling lebih jauh, entah kemana ane tidak tahu. Melewati bioskop dengan berbagai tawaran film terbaru yang tidak terlalu membuat ane tertarik. Kaki ini berjalan tanpa arah dan tujuan. Melewati ratusan orang-orang yang sedang berbelanja atau sekedar nongkrong. Es krim adalah salah satu stan yang paling banyak berjajar di sudut-sudut mall, ane sempat membeli satu toping untuk melegakan tenggorokan yang mulai kering.


Mungkin saking besarnya, ane tidak juga menemukan toko oleh-oleh murah yang ane incar. Kakiku mulai lelah, kepala sedikit pening. Mungkin ane butuh istirahat. Duduk sejenak, ane melangkahkan kaki untuk mencari jalan keluar dari mall. Setelahnya ane memutuskan pulang dan beristirahat di guest house. Solo backpacking maraton dari Singapura - Malaka - Filipina ini cukup membuat kakiku bengkak-bengkak. Capek sekali. Tapi ane puas! Ternyata ane bisa menaklukkan semua ketakutan dan keraguanku untuk berjalan sendiri. Terimakasih Filipina!!



[2] Jepara, 6 Mei 2016 : Perjuangan

"Ada apa ini?" aku bertanya kebingungan kepada Arin dan Ega yang sudah mengantri berdesak-desakan dengan ratusan penumpang lainnya.

"Ada tambahan 80 tiket Ekspress Bahari!" jawab Arin sembari meringis menahan dorongan orang-orang di belakangnya yang didominasi oleh lelaki.

WHAT? Tadi kan dikatakan tiketnya sudah habis! Bahkan beberapa bulan sebelumnya!

Antrian semakin rapat dan tak terkendali. Tidak peduli laki-laki maupun perempuan, semuanya berebut untuk mendapatkan tiket Ekspress Bahari. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada space sedikitpun untukku menyelip di belakang Arin. Aku hanya bisa berpasrah kepada mereka.

Semakin lama antrian mulai tak terkendali dan semakin banyak orang yang berteriak "Antri! Antri!" kepada rombongan orang yang dengan seenaknya memotong antrian dari sisi lain loket. Kejadian ini memaksa polisi pelabuhan turun tangan dan menertibkan calon penumpang. Aku hanya bisa memandang Arin dan Ega yang mulai tak terlihat karena terselip di dalam tumpukan manusia itu.

"Satu orang maksimal beli 2 tiket!" petugas penjaga loket mulai berteriak kesal karena ulah beberapa orang yang membeli lima bahkan sepuluh tiket sekaligus.

Aku mengobrol dengan petugas pelabuhan tentang kekacauan yang terjadi ini. Beliau mengatakan hal seperti ini memang tidak biasa terjadi dan mencurigai adanya konspirasi tertentu dari beberapa pihak. Aku hanya bisa mengangguk dan mendengarkan.

Akhirnya aku melihat tangan Arin masuk ke lubang loket, membawa identitasku dan dia sendiri. Setelah melalui perjuangan panjang, dia akhirnya bisa keluar dari antrian. Kami masih menunggu Ega. Keberadaan Ega masih tersembunyi oleh tumpukan laki-laki yang seperti tanpa ampun terus mendorong dan menutup lubang loket dengan badan mereka. Sesaat kemudian, kami bernafas lega karena telah melihat tangan Ega menyorongkan identitas ke lubang loket.

Kami akhirnya akan berangkat!! Apakah ini mimpi atau bagaimana?

Aku bahkan tidak mempercayai hal ini setelah hal-hal melelahkan yang harus kami lalui dari pagi tadi. Benar-benar suatu berkah yang luar biasa bahwa kami sudah membawa tiket Ekspress Bahari sekarang. Hati-hati sekali aku menyimpannya, laksana menyimpan ijazah.

Kami beristirahat sejenak di warung makan dekat pelabuhan untuk mengisi perut yang sedari pagi buta belum diisi makanan berat. Kapal Bahari Ekspress masih tiga jam lagi dijadwalkan berangkat. Sepiring nasi soto ayam dan segelas es sukses menyegarkan tenggorokanku yang mengering karena banyaknya hal yang harus kami lalui.

Menunggu di warung (GALUH PRATIWI)

Kami duduk di bangku belakang warung yang teduh. Disana terlihat juga para backpacker lain yang sedang istirahat menunggu jadwal keberangkatan kapal. Aku bertemu dengan lelaki muda ini, aku lupa namanya. Kita berbincang cukup seru dan dia memberikan banyak masukan untuk bekal ketika kami di Karimunjawa nanti.

"Saya orang Jepara asli, disini mengantarkan teman," katanya dengan ramah dan senyumnya yang khas.

"Untuk menuju Pantai Kartini, kalian lewat jalan tikus saja. Gratis. Kalau lewat depan kalian harus bayar."

Aku tersenyum nakal dan mengingat petunjuk jalan darinya sebelum menuju Pantai Kartini. Memang benar, sesuai petunjuknya, jalan yang kami lalui adalah melewati pagar yang terbuka dan memang tidak dipungut biaya sepeserpun. Kami sempat melewati semak-semak dan onggokan kapal sebelum mencapai Taman Kartini.

Jalan tikus ke Pantai Kartini (GALUH PRATIWI)

Sebuah taman cukup luas dengan beberapa gazebo kayu sederhana menyambut kami. Panas matahari cukup terik, tetapi terhalangi oleh rimbunnya hijau pepohonan. Beberapa keluarga dan anak-anaknya terlihat menggelar tikar menikmati sejuknya angin laut. Memang suasana yang ideal untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.

Suasana taman di Pantai Kartini (GALUH PRATIWI)

Taman Laut Kura-Kura adalah salah satu tujuan kami memasuki kawasan Pantai Kartini. Bisa dibilang, patung kura-kura raksasa ini merupakan salah satu ikon yang paling dicari orang yang melancong ke Pantai Kartini (selain menunggu kapal ke Karimunjawa tentunya). Bangunan yang diresmikan Bupati Jepara pada 22 Februari 2011 ini memiliki ruangan bagian dalam yang bisa dimasuki, dimana lantai satu digunakan sebagai taman laut dengan akuarium yang berisi berbagai spesies ikan dan penyu, sementara lantai dua untuk wahana pendukung dari Taman Laut Kura-Kura. Karena masuknya berbayar, kami mengurungkan niat dan melanjutkan berjalan-jalan menikmati taman disekitarnya.

Taman Laut Kura-Kura (GALUH PRATIWI)

Taman Laut Kura-Kura (GALUH PRATIWI)

Cukup banyak penjual makanan dan minuman yang bertebaran, mulai menggodaku untuk mengeluarkan lembar-lembar rupiah. Jajanan salome tentu saja langsung kubeli, salah satu makanan kesukaanku sejak kecil. Cuaca yang terlalu panas memang menyebabkan tenggorokan mengering dengan cepat.

Kami melanjutkan berjalan sampai menemukan beberapa gazebo luas yang melingkari patung kura-kura. Setiap gazebo dihubungkan oleh jembatan yang dibangun diatas tiang-tiang di atas laut dangkal. Di sisi kiri kami, beberapa anak kecil usia belasan terlihat berenang-renang meminta koin kepada kami. Cukup atraktif.

Pejuang koin (GALUH PRATIWI)

"Koin mbak, koin!" kata mereka sembari mengayun-ayunkan kaki kecil mereka di Laut Jepara yang berwarna kecoklatan.

Aku melempar koin beberapa kali, menghabiskan koin limaratusan di dompetku yang mulai menggembung.

'Bahagia itu sederhana ya,' pikirku.

Selama dua jam berikutnya, kami habiskan dengan tiduran di tempat duduk yang tersedia di gazebo. Mataku sungguh terlalu berat. Perjalanan kemarin malam tanpa tidur sedikitpun telah sedikit menguras energiku. Mataku mulai berat dan tubuhku merasa rileks, aku sempat tertidur sebentar.

Gazebo (GALUH PRATIWI)

Harum asap sate dari penjual di dekatku memaksaku bangun. Perutku lapar lagi ternyata. Sebungkus sate lontong sukses meluncur ke perutku. Tak terasa, sebentar lagi kami harus kembali ke dermaga karena sudah mendekati jadwal keberangkatan.

Ternyata ujian buat kami tidak berakhir disini.

Diary Menggapai Himalaya 26 : Perjalanan di bibir jurang

7 Juli 2016
Perjalanan dari Lumbini ke Kathmandu

Aku melihat sisi kiriku, roda bus hanya berjarak kurang dari satu meter ke bibir jurang! Kalau sampai bus ini terpeleset dan jatuh, tidak ada kesempatan lagi. Kami akan digilas oleh derasnya aliran sungai yang membelah perbukitan di bawah sana.

Jantungku berdegup kencang. Aku hampir tidak tidur semalaman. Busku berjalan lambat beriringan dengan beberapa bus dan truk di depan. Bus hanya mampu melaju dengan kecepatan maksimal lima puluh kilometer per jam. Jalanan basah dan licin sehabis diguyur hujan deras, sebelah kiri jurang menganga. Menambah sedikit kecepatan lagi tentunya mempertaruhkan nyawa puluhan penumpang di bus yang kebanyakan sedang tertidur pulas.


Aku membuka jendela. Udara cukup dingin, di tengah ketakutanku aku tersenyum bahagia. Aku telah resmi memasuki kawasan Pegunungan Himalaya. Aku biarkan udara sejuk menampar mukaku. Kugunakan jaket tebal untuk menghangatkan tubuhku. Rasanya seperti mimpi!

Kututup kembali kaca jendelaku karena udara semakin dingin. Aku memejamkan mata, tersenyum. Inikah kebahagiaan?

Bus Ammar, dari Lumbini ke Kathmandu (GALUH PRATIWI)

Bus berhenti untuk makan malam dan ke toilet (GALUH PRATIWI)

Segelas chai di malam yang dingin (GALUH PRATIWI)

Surabaya, 31 Agustus 2016 : Mimpi di siang bolong?


Pernahkan kamu merasakan frustasi dengan semua mimpi-mimpimu?

Mimpi yang sudah kamu bangun, katakan, dari sepuluh sampai sebelas tahun yang lalu?

Aku pernah, rasanya begitu menyesakkan.

Aku tahu, terkadang aku mempunyai mimpi di luar nalar. Well, katakanlah, seperti mengunjungi Antartika. Bukankah itu gila? Siapa pula yang mempunyai pemikiran seperti itu sewaktu masih duduk di bangku SMA.

Semua orang yang aku kenal mempunyai mimpi yang sama. Lulus kuliah dengan IPK terbaik (predikat cumlaude), bekerja di perusahaan ternama dengan gaji fantastis, menikah dengan orang yang dicintainya, mempunyai anak-anak yang lucu, membesarkan anak, melihat anak sukses, menua dan berbahagia bersama pasangan di hari tua. Bukan mimpi yang muluk, bukan?

Tetapi bukan mimpi seperti itulah yang terbangun di pikiranku sejak aku duduk di bangku SMP.

Aku ingin berkeliling dunia!

Aku seorang remaja yang mempunyai rasa ingin tahu lebih tinggi dari kakakku. Mempunyai rasa penasaran yang terlalu besar, 'bagaimanakah dunia luar itu?'

Aku bahkan tidak akan betah berdiam diri di satu tempat dalam waktu lama, hanya melakukan hal itu-itu saja setiap hari. Aku tidak ingin hidup monoton sampai aku tua dan mati.

Aku ingin mengisi hari-hariku dengan pengalaman yang menakjubkan. Melihat setiap sisi indah dunia, berkenalan dengan orang asing, mencicipi makanan baru, budaya baru, bahasa baru.

Saat itulah mimpiku mulai kubangun. Hawai'i adalah tempat pertama yang benar-benar ingin kukunjungi sejak aku SMA. Keinginanku tercipta setelah aku melihat sebuah film berjudul 'Forgetting Sarah Marshall' yang lokasi pengambilan filmnya di Pulau Oahu, Kepulauan Hawai'i, Amerika Serikat.

Aku begitu takjub dengan keindahan Hawai'i.

Aku mulai mencari-cari informasi. Dimana Hawai'i? Berapa harga paket tur kesana? Apa bahasa yang digunakan? Bagaimana biaya hidup disana? bla bla bla.

Aku mengumpulkan foto-foto, membaca forum-forum, mendownload video-video gratisan, mempelajari peta bus, membuat rencana perjalanan, bahkan sempat mempelajari Bahasa Hawai'i.

Aku seperti begitu menikmati mimpiku. Aku menikmati merencanakan semua itu. Selama bertahun-tahun.....

Pada tahun kelima, aku mulai frustasi dengan semua mimpi-mimpiku. Selain Hawai'i, tentulah aku mempunyai daftar destinasi impian lainnya. Mulai dari Thailand, Vietnam, China, Jepang, India, Selandia Baru, Mesir, Italia, Inggris, Spanyol, Antartika.

Aku mulai merasa semua mimpi itu hanyalah omong kosong! Akui saja, aku memang tidak mempunyai sumber daya untuk mewujudkan mimpiku. Disaat seperti itu, aku hanya bisa berdoa.

Mungkin akan banyak yang berpikiran, 'kenapa tidak mencoba mengikuti kejuaraan/paper/sejenisnya?'. Well, jujur aku mengakui, aku tidak terlalu suka hal-hal seperti itu lagi. Ketidaksukaanku itu berawal dari SMA sewaktu aku sering menjuarai lomba-lomba mata pelajaran, bahkan hingga tingkat nasional dan melakukan seleksi untuk tingkat internasional. Entah kenapa, dengan semua prestasiku itu justru membuatku tertekan. Setiap orang seakan melihatku sebagai seorang pintar yang harus sempurna nilainya dalam segala hal. Ekspetasi itu membuatku tertekan dan aku merasa menjadi bukan diriku sendiri. 

Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, seseorang yang biasa saja. Tidak ada yang mengharapkan apapun dari aku, tetapi aku bisa melampaui apa yang orang lain bisa pikirkan.

Tuhan menjawab doaku. Tahun 2010 akhir, aku mendapatkan beasiswa kuliah yang untuk ukuranku jumlahnya cukup fantastis. Dengan uang itu, bahkan bisa aku sisihkan sebagian untuk mulai mewujudkan mimpiku. Negeri pertama itu adalah Thailand. Disusul Kamboja, Malaysia, India (2012); Singapura, Malaysia, Filipina, Timor Leste (2013); Timor Leste (2014); India, Nepal (2016); China, Myanmar, Rusia, Vietnam (2017). Semuanya aku wujudkan dengan hasil keringatku sendiri

Dengan pekerjaanku sekarang yang lebih banyak di lapangan, sebenarnya memungkinkanku untuk menyisihkan sebagian dan mewujudkan mimpi paling pertamaku, Hawai'i, tahun depan.

Tapi kenapa aku takut??

Aku takut Hawai'i tidak seperti yang kubayangkan. Fantasi-fantasi indah selama 11 tahun itu, entah kenapa aku ingin semuanya menjadi sempurna. Aku takut akan ditolak visa USA. Aku takut Hawai'i tidak jauh berbeda dengan Indonesia karena sama-sama beriklm tropis. Kenapa semua ketakutan ini datang disaat aku sudah sedikit mampu untuk mewujudkannya? Bahkan, perlukah semua rasa takut ini datang?

Waktu akan menjawab, semoga ini bukan hanya menjadi mimpi di siang bolong. Quote di bawah ini akan menjadi panduanku,

"I don't want to regret!"


*curhatan di tengah malam, di saat mata belum sanggup terpejam

8.30.2016

[1] Jepara, 6 Mei 2016 : Dikejutkan Kapal

Berebut tiket (GALUH PRATIWI)

Saat kami merencanakan liburan ke Kepulauan Karimunjawa pada long weekend 5-8 Mei 2016 kemarin, kami tidak sadar bahwa kami akan menghadapi beberapa hal yang sangat chaotic dan benar-benar menguras tenaga serta tekad kami untuk ke Karimunjawa. Pemilihan waktu long weekend ane rasa kurang tepat karena pada waktu yang seperti inilah wisatawan lokal akan membludak di Karimunjawa. Semuanya ingin refreshing, semuanya ingin snorkeling, semuanya ingin mengunjungi Karimunjawa. Semuanya seakan tidak menjadi masalah karena pada hari Jumat (6 Mei 2016) terdapat kapal ferry Siginjai dengan kapasitas lumayan besar yang akan mengantarkan kami ke Karimunjawa.

"Loh, ini tanggal 6 Mei Kapal Siginjai off?" kata Arin setengah terkejut sembari menunjuk kertas pengumuman di depan loket pembelian tiket kapal Siginjai, Pelabuhan Kartini.

"Hah, mana mungkin Rin??" jawabku seraya langsung berdiri tadi posisi tiduranku yang enak.

Di kertas tersebut tertulis, keberangkatan Kapal Siginjai untuk tanggal 6 Mei 2016 (sekarang) OFF.

Mati aku! Aku sudah terlanjur membawa kedua temanku kesini. Ega sudah membatalkan trip ke Bali untuk bergabung ke Karimunjawa denganku. Arin sudah datang jauh-jauh dari Madura. Ini tidak boleh terjadi!

"Nggak mungkin Rin. Kapalnya ada kok. Lihat aja banyak banget penumpang yang udah datang, mana mungkin kapalnya off. Kita tunggu aja dulu," kataku dengan tidak yakin. Di sekitar kami memang sudah banyak backpacker yang berdatangan. Kita semua mempunyai harapan yang sama, ke Karimunjawa.

Berjam-jam kami menunggu loket dibuka dengan perasaan was-was. Dalam hati, aku sudah merencanakan berbagai alternatif untukt tetap bisa menginjakkan kaki ke Karimunjawa.

'Naik kapal Bahari Ekspress? Ah.....mana mungkin tiketnya masih. Pasti sudah habis.'

'Naik ferry dari Semarang? Semarang masih 2,5 jam dari Jepara, apakah tiketnya masih ada? Apakah akan terkejar?'


'Naik pesawat Semarang-Karimunjawa? Cuma ada pesawat kecil dengan maksimal penumpang 10 orang. Mahal...paling udah habis juga.'


Pusing. Aku cuma bisa terdiam sembari berharap waktu cepat berputar dan loket segera dibuka. Aku ingin kepastian.

Menit demi menit seakan berjalan sangat lambat. Aku hanya bisa membaringkan tubuh lelahku ke lantai. Dengan berbantal tas ransel, aku mencoba memejamkan mata. Nihil. Aku memang orang yang tidak mudah memejamkan mata di sembarang tempat.

Perlahan demi perlahan, langit mulai berubah cerah. Wisatawan ala 'backpacker' yang menunggu semakin banyak. Sebagian mengemper di depan loket, sebagian di bagian luarnya karena ruangan di depan loket memang sudah penuh. Aku masih berharap Kapal Siginjai akan beroperasi hari ini. Bagaimanapun, itu adalah satu-satunya harapan untuk bisa mengantarkan kami ke Karimunjawa hari ini.

Harapan kami dikacaukan oleh kedatangan seorang bapak paruh baya setengah mabuk yang terus menerus bilang ke kelompok wisatawan di sebelah kami kalau hari ini Kapal Siginjai memang tidak berangkat. Selain itu dia juga terus menerus bilang kalau dia asli orang Karimunjawa. Aku tidak bisa menarik kesimpulan dari omongan dia yang diulang-ulang.

Aku seperti kehabisan akal. Bagaimana ini? Kami sudah jauh-jauh kesini, masa tidak jadi berangkat? Aku sudah membicarakan berbagai kemungkinan dengan Ega dan Arin. Tetapi mereka sendiri merasa pesimistis dengan kemungkinan tersebut. Jika memang hari ini tidak bisa berangkat, dan kami tetap memaksa ingin ke Karimunjawa, kami harus berangkat besok. Implikasinya? Kami kehilangan waktu satu hari di Karimunjawa, kehilangan paket snorkeling dan keliling pulau yang sudah kami DP, serta sangat melelahkan karena disaat hari Sabtu sudah sampai di Karimunjawa, Minggunya kami sudah harus kembali ke Jawa. Bukan pilihan yang menguntungkan sepertinya.

Kegalauan itu memaksaku berpikir keras. Tiba-tiba aku ingat, Bahari Ekspress mempunyai kantor cabang di Jepara, tepatnya di Jalan Dermaga. Setelah aku cek via google map dan bertanya kepada beberapa pedagang di sekitar pelabuhan, letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Kartini (tempatku sekarang). Siapa tahu jika aku kesana, maka kantornya akan buka lebih dahulu sehingga aku bisa mendapatkan tiket kapal cepat Bahari Ekspress duluan sebelum para backpacker disini.

Aku segera menyampaikan ideku ke Arin dan kami tindaklanjuti dengan pembagian kartu identitas untuk membeli tiket. Aku membawa dua Surat Izin Mengemudi (SIM) dan satu Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan berjalan kaki dan menanyakan arah kepada satpam pelabuhan, aku segera menuju kantor Bahari Ekspress.

Ternyata Kantor Bahari Ekspress adalah sebuah rumah bertingkat dua bercat biru yang cukup sederhana. Begitu sampai disana, aku cukup tertegun karena ternyata disana sudah ada beberapa backpacker lain yang mempunyai pemikiran sama denganku. Kantor terlihat masih ditutup rapat, hanya ada beberapa agen travel yang bolak-balik keluar masuk kantor dengan membawa tiket kapal segepok. 

Ah, aku hanya bisa memandangi segepok tiket itu.

Aku bertanya kepada beberapa laki-laki dari travel agen yang juga terlihat berdiri di depan. Pertanyaanku hanya dijawab dengan jawaban singkat dan jelas, kantor masih tutup. Di saat genting seperti ini, semua manusia memang seakan menjadi egois dan mementingkan diri sendiri.

Aku hanya bisa terduduk di sudut, menunggu dan menunggu. Nomor telepon kantor yang terpasang di baliho beberapa kali kutelpon tidak ada respon.

Beberapa kali Arin menghubungiku, menanyakan bagaimana kemajuan disini. Nihil, Rin, Jawabku dengan sedih dan pasrah. Aku menunggu hampir dua jam, menumpang meluruskan kaki di halaman rumah orang.

Sesaat kemudian, datang beberapa backpacker lain yang mempunyai pemikiran sama denganku juga, datang ke kantor travel. Aku mengobrol dengan mereka, mengeluhkan keputusan pihak kapal Siginjai yang dengan seenaknya tidak memberangkatkan kapal di awal akhir pekan yang panjang seperti ini. Kami masih mending hanya tiga orang, mereka bahkan membutuhkan dua puluh tiket. Aku yang sudah pesimis dengan peluangku, menjadi bertambah pesimis untuknya.

Penantian kami diruntuhkan oleh kedatangan seorang pria bertubuh tinggi besar yang mengatakan bahwa tiket Bahari Ekspress sudah habis dari jauh-jauh hari sehingga tidak ada gunanya kita menunggu disini sekarang. Kami mendesah dengan sedih. Sudahlah, mungkin memang belum waktunya ke Karimunjawa.

"Sudahlah, kita ke Pulau Panjang saja," kataku kepada beberapa backpacker lain sembari kita jalan kembali ke Pelabuhan Kartini.

"Pulau Panjang? Mana itu?" tanya seorang lelaki bertubuh tambun yang berjalan di depanku.

Aku tidak terkejut. Nama Pulau Panjang memang sama sekali belum terkenal di mata traveler. Aku bahkan baru mengetahui nama dan keberadaan pulau ini beberapa hari menjelang keberangkatan.

"Itu pulau berjarak 2,5 kilometer sebelah barat Pelabuhan Kartini. Bisa naik kapal dari dalam pelabuhan."

Sewaktu aku kembali ke loket (tempat dudukku bersama Arin dan Ega tadi pagi), aku dikejutkan satu hal. Terlihat orang-orang antri berdesak-desakan tanpa ampun berebut tiket Kapal Cepat Ekspress Bahari!

Lho, Apa ini?!


Ada apa ini? (GALUH PRATIWI)

Riuhnya suasana di loket (GALUH PRATIWI)