Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

5.09.2025

[13] Balada Eropa : Sunset, Tebing dan Rindu di Santorini !

 Aku di Fira, Santorini

Sekitar pukul 03.15 dini hari akhirnyaa aku mendarat dengan mulus di Santorini. Masih gelap, masih sepi. Awalnya aku mau duduk-duduk dulu di area dalam dekat kedatangan—yang sebelum pemeriksaan keluar itu, semacam ruang tunggu. Rencananya sih nunggu aja sampai pagi sambil rebahan. Tapi ternyata setelah beberapa lama duduk di situ, tempatnya malah makin sepi dan petugas datang bilang aku nggak boleh stay lama di sana. Waduh.

Akhirnya aku keluar ke area kedatangan yang sudah dekat pintu keluar bandara. Nah, di situ aku lihat ada beberapa bule yang udah kelesotan tidur juga, entah menunggu pagi atau penerbangan berikutnya. Yaudah, aku ikut aja, cari pojokan, lepas jaket, dan lanjut tidur di lantai. 

Tanpa sadar, ternyata aku bisa tertidur cukup nyenyak. Padahal niat awal cuma tidur-tidur ayam aja, eh tau-tau pas kebangun... sudah terang benderang! Matahari sudah mulai nongol, dan suasana bandara pun mulai ramai. Untungnya si bule di sebelahku masih molor juga, jadi aku nggak merasa aneh-aneh banget tidur di lantai wkwk.

Melihat manusia sudah mulai lalu-lalang, aku pun memutuskan buat bangun. Pas kucek-ucek mata, kulihat jam menunjukkan sekitar setengah tujuh pagi. Oke lah, cukup tidur daruratnya. Aku langsung menuju toilet, bersih-bersih sedikit—cuci muka, sikat gigi, ngerapiin diri sekadarnya. Nggak bisa mandi sih, tapi at least aku udah lumayan segar.

Pagi itu, begitu keluar dari Bandara Santorini, aku langsung menuju halte kecil di dekat area kedatangan. Tujuanku adalah Villa Kasteli, sebuah penginapan di daerah Perissa. Untuk menuju ke sana, aku naik bus lokal seharga 1,5 euro—transportasi murah meriah yang jadi favorit para backpacker.

Bus mulai melaju pelan meninggalkan area bandara. Di luar jendela, pemandangan khas Santorini mulai menyapaku: jalan berkelok, tanah berbatu, dan bukit-bukit gersang yang terbentang sejauh mata memandang. Warna tanahnya coklat muda kekuningan, nyaris tak ada pepohonan tinggi. Tapi justru di situ letak eksotismenya—kesan kering dan tandus itu membentuk lanskap yang unik, khas pulau vulkanik.

Matahari sudah mulai naik, tapi belum terasa terlalu panas. Udara pagi masih cukup sejuk, dengan angin tipis yang berhembus lewat sela-sela jendela bus yang terbuka sebagian. Sesekali terlihat rumah-rumah putih dengan atap datar, tersebar acak di lereng bukit. Kontras antara putih bangunan dan langit biru cerah menciptakan pemandangan yang memesona, bahkan dari dalam bus.

Bus perlahan berhenti di terminal kecil Perissa, titik akhir dari perjalanan singkat tapi penuh pemandangan eksotis. Aku turun bersama beberapa penumpang lain, kebanyakan turis dengan ransel besar dan topi lebar. Begitu kakiku menjejak aspal Santorini untuk pertama kalinya, udara hangat menyambut lembut—tidak menyengat, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa aku kini berada di pulau Mediterania yang kering dan cerah.

Dari terminal, aku mulai berjalan kaki menuju penginapanku: Villa Kasteli. Berdasarkan petunjuk yang sempat aku simpan dari Google Maps, jaraknya hanya sekitar 5–10 menit. Jalanan sempit tapi beraspal, agak berkelok namun tenang. Di sisi kiri dan kanan berdiri rumah-rumah bergaya Cycladic berwarna putih, beberapa dengan jendela biru laut khas Santorini. Tanah di sekitarnya gersang dan berbatu, namun justru menambah kesan eksotis khas pulau vulkanik ini.

Langit biru cerah menggantung tanpa awan. Sesekali aku melihat pohon zaitun kecil dan semak belukar tumbuh liar di pinggir jalan. Ada suara burung yang terdengar samar, dan hembusan angin kering yang sesekali membawa bau asin dari arah laut. Jalanku melewati minimarket kecil, beberapa restoran yang masih tutup pagi itu, dan penginapan-penginapan lain yang tampak sepi. Turis lain juga terlihat sedang berjalan menuju pantai, menyeret koper di atas jalanan aspal yang kasar.

Sesampainya di Villa Kasteli, aku disambut oleh seorang ibu penjaga penginapan yang ramah. Sebenarnya belum waktunya check-in, tapi beliau dengan senang hati membolehkan aku menitipkan tas besarku lebih dulu. Tanpa banyak tanya, beliau langsung memberikanku peta Santorini yang dilipat rapi, lalu mulai menjelaskan satu per satu tempat yang wajib kukunjungi.

"Kalau waktumu cuma satu hari, coba ke Fira, Oia, dan Red Beach. Tapi yang paling ikonik itu tentu saja Oia, tempat bangunan putih-biru khas Santorini yang sering kamu lihat di kartu pos," katanya sambil menunjukkan titik-titik di peta.

Mendengar itu, aku sempat kepikiran untuk menyewa motor agar bisa lebih bebas menjelajah. Aku memang agak malas naik bus, apalagi dengan waktu yang terbatas di sini. Tapi begitu aku coba hubungi salah satu rental via WhatsApp, ternyata mereka mewajibkan adanya kartu kredit untuk sewa motor—dan aku, yang hanya bawa debit dan cash, akhirnya harus merelakan ide itu. Ya sudah, sepertinya hari ini bakal ditempuh dengan kombinasi jalan kaki dan bus.

Gagal menyewa motor dan memutuskan untuk tetap mengandalkan bus, aku naik dari terminal kecil di Perissa menuju Fira. Perjalanan naik bus memakan waktu sekitar 30 menit, melewati jalur menanjak dan berkelok di tebing-tebing batu gersang khas Santorini. Di satu sisi jalan, terlihat laut biru membentang jauh, sementara sisi lainnya dihiasi bukit tandus dengan tanaman kering sesekali melambai diterpa angin. Meski tak semulus jalanan kota besar, ada sesuatu dari ketandusan ini yang terasa... cantik.

Begitu bus tiba di Fira dan aku melangkah keluar, langkahku langsung terhenti sesaat. Di depan mataku terbentang pemandangan yang selama ini cuma kulihat lewat layar ponsel atau brosur wisata: deretan bangunan putih mencolok dengan lengkungan khas, jendela biru, dan balkon-balkon mungil yang menghadap langsung ke laut Aegea. Langit di atasnya biru bersih tanpa awan, seolah menyatu dengan laut di kejauhan. Cahaya matahari memantul dari permukaan putih bangunan, membuat semuanya terlihat bersinar.

Tapi di balik keindahan itu, satu hal langsung terasa... panasnya mulai menggila. Sinar matahari memantul dari tembok putih dan batu jalanan, bikin rasanya seperti berjalan di atas pemanggang roti. Keringat mulai mengucur, dan telapak kakiku serasa terbakar setiap kali menginjak batu hitam yang menyerap panas. Angin memang sesekali berhembus, tapi rasanya lebih seperti hair dryer daripada semilir penyejuk. Tapi ya sudahlah, demi pemandangan ini, semua perjuangan ini sepadan.

Aku tetap melangkah, menyusuri jalur pejalan kaki yang membelah kompleks bangunan yang berdiri rapat namun tertata indah. Di sebelah kiriku laut terbentang, dan di kanan deretan hotel, restoran, butik, serta kapel putih kecil berjajar menawan. Aku sempat duduk di bangku kayu yang menghadap langsung ke kaldera, mencoba menenangkan detak jantung dan menikmati pemandangan meski kulit mulai terasa seperti digoreng.

Puas menikmati pemandangan kota Fira yang serba putih dan memukau, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan: hiking dari Fira ke Oia, demi mengejar momen ikonik Santorini—sunset di atas tebing biru Laut Aegea. Jalurnya cukup populer di kalangan turis, katanya sih butuh waktu 2–3 jam jalan kaki, tergantung kecepatan dan jumlah berhenti foto-fotonya. Dan aku, tentu saja termasuk kategori “sering berhenti buat foto dan ngelap keringat.”

Baru sekitar 10 menit berjalan, panas mulai terasa menyengat. Matahari di atas kepala seperti bersinar dua kali lebih terang dari biasanya. Jalan setapaknya berbatu, sempit, dan kadang tanpa bayangan sama sekali. Serasa sedang hiking di dalam oven. Serius, panasnya luar biasa. Pantulan cahaya dari batu-batu putih bikin mata silau, kulit mulai gatal kepanasan, dan nafas mulai pendek. Tapi begitu menoleh ke kanan, semua rasa terbakar itu entah kenapa jadi terasa layak.

Pemandangan sepanjang jalur itu luar biasa indah—laut Aegea membentang biru di bawah tebing curam, perahu-perahu kecil tampak seperti titik-titik putih, dan garis pantai melengkung sempurna. Di kejauhan, bangunan putih Oia mulai terlihat samar. Di belakangku, deretan kota Fira mengecil perlahan.

Sekitar 30 menit setelah jalan, aku sampai di sebuah restoran kecil yang berdiri tepat di tepi tebing. Perut mulai lapar dan kakiku butuh istirahat, jadi aku masuk dan mencari meja kosong di pinggir. Salah satu pelayannya menghampiri dan menyapaku, “Nihao!” Aku tersenyum sopan dan menjawab, “I’m not Chinese, I’m from Indonesia.” Dia tampak terkejut tapi langsung ramah, “Oh, Indonesia! Beautiful country!”

Aku memesan sepiring spaghetti dan segelas lemon dingin. Harganya? 20 euro. Huhuhu… dompet menjerit tapi lidah bersorak. Dari kursi tempatku duduk, pemandangan laut terhampar luas. Angin sepoi-sepoi mulai terasa lagi, dan momen makan siang itu tiba-tiba jadi salah satu highlight dari perjalanan ini. Santorini memang mahal, tapi vibes-nya tak ternilai.

Setelah makan dan istirahat cukup, aku lanjut lagi perjalanan menuju Oia. Jalur mulai naik-turun, kadang melewati ladang ilalang, kadang bebatuan kering, kadang jalur setapak tanpa pagar di pinggir jurang. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang ibu-ibu lokal menjajakan buah di pinggir jalan. Ada ceri merah segar di keranjang plastik. Aku sempat ragu, tapi rasa haus dan kepengen ngemil menang. Aku beli sekresek kecil. Harganya 7 euro. Cuma ceri ya ampun! Tapi sudahlah, mungkin ini bagian dari pengalaman rasa “Santorini pricing”.

Sambil ngemil ceri satu per satu, aku melanjutkan langkah menuju Oia, perlahan tapi pasti. Panas masih setia menemani, tapi langit biru dan laut Aegea yang terus mendampingi membuat segalanya tetap terasa magis.

Selesai beli sekresek ceri dari ibu-ibu tadi, aku lanjut lagi jalan kaki. Dalam hati aku bilang, "Siapa tahu aku benar-benar bisa sampai Oia, lihat sunset, lalu balik ke Perissa naik bus malam." Semangatku sempat naik lagi, apalagi jalur mulai agak landai, dan angin bertiup sedikit lebih kencang dari sebelumnya.

Tapi ya ampun... panasnya kayak nggak ada ampun. Matahari makin tinggi, kulit mulai terasa perih, dan ceri di tanganku sudah hampir habis—padahal itu satu-satunya penyemangatku barusan. Langkahku makin berat. Topiku udah nggak bisa menahan panas, dan keringat rasanya udah ngerembes sampai ke dalam jiwa.

Di tengah keputusasaan itu, aku melihat sebuah pohon kecil berdiri di pinggir jalan setapak, tumbuh sendirian di antara bebatuan dan semak kering. Batangnya nggak besar, tapi cukup untuk membuat bayangan kecil yang memotong jalur matahari. Tanpa pikir panjang, aku langsung melipir ke bawah pohon itu dan duduk. Beberapa menit kemudian, aku malah tiduran sambil selonjoran. Rasanya... surga.

Mataku menatap ke arah bawah tebing—di kejauhan terlihat deretan hotel-hotel mewah bertingkat, berdiri anggun menghadap laut. Balkon-balkon mereka sunyi, mungkin penghuninya sedang berendam di kolam pribadi atau ngadem di kamar ber-AC. Aku tersenyum sendiri sambil ngebayangin... "Enak banget ya kalau sekarang aku lagi tiduran di kasur empuk, ngadep laut, sambil diselimuti AC dan minum es lemon, bukan rebahan di bawah pohon kering kayak gini." Hehehe.

Setelah cukup lama tiduran di bawah pohon kecil yang jadi penyelamatku dari terik, aku kembali melanjutkan langkah. Matahari mulai condong ke barat, dan sinarnya sudah tak segalak tadi siang. Jalanan berbatu masih menyambutku, tapi kali ini terasa lebih bersahabat. Dalam hati aku bersyukur, akhirnya summer yang membakar perlahan berubah jadi sore yang hangat.

Jam sudah menunjukkan mendekati pukul enam. Aku mulai berpikir ulang soal rencana awal untuk sampai di Oia. Jaraknya masih cukup jauh, dan tubuhku sudah mulai lelah. Akhirnya aku memutuskan: nggak perlu maksain sampai ke Oia. Aku akan tetap menikmati sunset dari tempatku sekarang. Bukit ini, jalan setapak yang sepi, dan laut Aegea di bawah sana—semuanya sudah cukup sempurna.

Menjelang matahari terbenam, aku naik sedikit ke atas tebing untuk mendapatkan pandangan lebih luas. Angin mulai berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut. Langit perlahan berubah warna, dari biru pucat menjadi keemasan. Lalu… datanglah momen itu.

Matahari bulat sempurna menggantung rendah di cakrawala, menyinari permukaan laut dengan semburat oranye yang memantul panjang seperti jalan emas di atas air. Sebuah perahu layar melintas perlahan, seolah tahu sedang jadi bagian dari lukisan hidup. Suasana benar-benar hening. Bahkan suara pikiranku pun rasanya ikut diam.

Aku berdiri di sana, membiarkan waktu berhenti barang sejenak. Semua rasa lelah, peluh, dan sengatan matahari siang tadi seolah lenyap. Hanya ada aku, lautan, langit, dan cahaya lembut yang perlahan tenggelam.

Selesai menikmati sunset yang luar biasa itu, aku bersiap untuk kembali ke penginapan di Perissa. Aku kembali menyusuri jalanan yang tadi siang sempat kujelajahi. Bedanya, sekarang suasananya sudah berubah. Malam mulai turun, dan Santorini pun bertransformasi.

Lampu-lampu mulai menyala, memantul lembut di dinding-dinding putih bangunan khas Cycladic. Jalanan yang tadi panas dan sepi kini mulai ramai dengan langkah kaki. Beberapa pasangan tampak berjalan beriringan, bergandengan tangan, sebagian bahkan berhenti untuk berfoto di bawah cahaya temaram. Dari balik jendela restoran, cahaya kuning hangat menguar, memantul di gelas anggur dan taplak meja putih. Aku bisa mencium aroma masakan Mediterania yang menggoda dari restoran-restoran yang mulai penuh. Beberapa tampak sudah dipesan sebelumnya—kursinya tertata rapi, dengan lilin kecil menyala di tengah meja.

Aku berjalan pelan, menikmati pemandangan malam Santorini yang cantik dan romantis. Tapi di tengah semua itu, aku mulai merasa sedikit... galau. Melihat para pasangan yang tampak bersiap untuk dinner romantis—sementara aku melangkah sendirian—aku sempat mikir, "Coba ya kalau ada travelmate, mungkin seru juga bisa makan malam bareng, ngobrol, ketawa-ketawa sambil nunggu makanan datang."

Tapi ya... malam itu aku sendirian. Dan jujur, aku belum cukup beken untuk makan malam sendirian di restoran fancy Santorini. Jadi aku terus berjalan, melewati meja-meja yang penuh canda tawa, sambil menyimpan rasa itu sendiri-sendiri. Bukannya sedih sih, tapi lebih ke... sepi yang tenang. Santorini malam itu tetap indah. Dan aku, meski sendiri, tetap bersyukur bisa sampai sejauh ini.

Begitu sampai kembali di sekitar Fira, aku langsung menyusuri pinggiran jalan aspal yang tampak sepi. Beberapa mobil lewat, tapi tak ada tanda-tanda halte atau keramaian. Sampai akhirnya... terlihat satu bus melintas dari kejauhan! Aku refleks melambaikan tangan—berharap dia berhenti. Tapi ternyata... bus itu malah lewat begitu saja tanpa melambat sedikit pun. Mungkin aku berdiri bukan di titik pemberhentian resmi. Hadehhh... nyaris!

Tapi aku nggak menyerah. Aku terus berjalan, mengikuti arah jalan, hingga akhirnya—dengan napas agak ngos-ngosan dan kaki mulai pegal—aku menemukan halte bus resmi. Halte sederhana dengan bangku besi dan papan jadwal yang setengah pudar. Tapi bagiku saat itu, rasanya seperti menemukan oase di padang pasir.

Beberapa menit kemudian, bus menuju Perissa datang. Kali ini beneran berhenti. Aku naik dengan lega dan membayar tiket seharga 1,5 euro. Kursi terasa empuk luar biasa, dan hembusan AC langsung menyapa wajahku yang gosong kena matahari.

Aku bersandar, memejamkan mata sejenak sambil tersenyum kecil. Hari yang panjang, penuh debu, keringat, dan tanjakan terbayar lunas dengan momen sunset yang magis. 

Sepanjang perjalanan ke penginapan, perasaanku masih dirisaukan satu hal, yaitu mikirin transportasi buat besok pagi. Besok aku sudah harus bergeser dari Santorini ke Athena, dimana aku sudah pegang tiket kapal feri Blue Star yang jadwal keberangkatannya jam 6.45 pagi.

Masalahnya... bus umum belum beroperasi sepagi itu. Jadi, mau nggak mau, aku harus cari cara sendiri buat sampai ke pelabuhan sebelum subuh.

'Coba aku nanti tanya ke staf penginapan, siapa tau dapat solusi,' kataku dalam hati.

Akhirnya sekitar jam 8 malam sampai juga aku di Villa Kasteli, dan aku langsung meluncur ke resepsionis.

Aku: “Permisi, besok pagi saya harus ke pelabuhan untuk naik kapal feri Blue Star ke Athena. Ada transportasi umum yang bisa saya gunakan pagi-pagi buta?” 

Penjaga Penginapan: “Maaf, tidak ada bus umum yang beroperasi sepagi itu. Satu-satunya pilihan adalah menyewa mobil.” 

Aku: “Oh, begitu ya... Apakah ada kemungkinan untuk berbagi mobil dengan tamu lain yang juga menuju pelabuhan?” 

Penjaga Penginapan: “Saya sudah cek, tapi sepertinya tidak ada tamu lain yang menuju pelabuhan besok pagi.” 

Aku: “Baiklah... Kalau begitu, berapa biaya sewa mobilnya?” 

Penjaga Penginapan: “25 euro.” 

Glek... Duhh...mahal juga, ya. Padahal jaraknya dari Villa Kasteli di Perissa ke Pelabuhan Athinios hanya sekitar 11 km, dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Akhirnya aku mengeluarkan 2 lembar 10 euro dan 1 lembar 5 euro dengan hati yang sangat tidak ikhlas wkwkwk... Tapi gimana.. aku butuh juga....

Ah tapi yasudahlah.. Daripada semalaman malah ga tidur mikirin besok pagi, trus ujung-ujungnya ribet sendiri karena  ketinggalan kapal dan harus ngatur ulang semuanya, mending amanin aja dulu. Jadi malam itu, sambil selonjoran di kamar, aku mantap buat booking mobil buat besok pagi-pagi buta. Perjalanan ke pelabuhan bakal dimulai sebelum matahari bangun, dan aku mulai nyiapin mental buat petualangan baru di daratan Yunani: Athena.

5.07.2025

[12] Balada Eropa : Vatican !

Aku berpose di Lapangan Santo Petrus, Vatican. Di belakangku itu adalah Basilika Santo Petrus.

Sebenarnya, sejak kemarin setelah dari Colosseum, aku sudah kepikiran banget pengen langsung lanjut ke Vatikan. Gimana enggak? Siapa sih yang ke Italia tapi enggak semangat pengen cepat-cepat ke Vatikan juga? Ibaratnya, ke Roma tanpa mampir ke Vatikan itu kayak makan pasta tanpa saus—kurang lengkap!

Bayangan akan berdiri di depan Basilika Santo Petrus, menginjak Lapangan Santo Petrus yang sering digambarkan megah di novel-novel Dan Brown, bikin hati ini penasaran bukan main. Tapi satu masalah kecil bikin rencana itu kutunda dulu: aku belum punya tiket masuk Museum Vatikan.

Padahal katanya, Museum Vatikan itu salah satu museum terbesar dan paling bersejarah di dunia. Di dalamnya tersimpan ri⁷buan koleksi yang mencakup ribuan tahun sejarah seni dan budaya: mulai dari patung-patung Romawi kuno, lukisan-lukisan Renaissance, hingga puncaknya: Kapel Sistina karya Michelangelo yang konon bikin orang bisa terdiam takjub berjam-jam hanya dengan memandangi langit-langitnya.

Akses dari Roma ke Vatikan sendiri sebenarnya gampang banget—tinggal naik metro saja, cepat dan langsung sampai. Masalahnya, dari jauh-jauh hari aku sudah cari info buat beli tiket online dari Indonesia, tapi enggak nemu link resminya. Banyak banget situs pihak ketiga, dan aku takut malah kena harga mahal atau penipuan.

Sementara itu, aku baca juga kalau beli tiket langsung di tempat, antriannya bisa panjang banget. Bisa-bisa udah capek berdiri berjam-jam, masuknya tinggal sore, dan kunjungannya jadi keburu-buru. Sayang banget kan?

Makanya aku putuskan, hari ini adalah hari khusus buat Vatikan. Aku mau full explore dari pagi, supaya semua spot penting bisa dinikmati maksimal: dari Lapangan Santo Petrus yang terbuka luas, hingga ke museum yang katanya bisa bikin kita “tersesat” di lorong-lorong sejarah yang luar biasa.

Pagi itu aku keluar dari hotel sekitar pukul 08.30. Langsung saja kutuju stasiun metro terdekat—dari area sekitar Termini, stasiun yang biasa digunakan untuk menuju Vatikan adalah Termini Station (jalur Metro Line A). Dari sana, aku naik metro arah Battistini, dan turun di Stasiun Ottaviano – San Pietro – Musei Vaticani. Inilah stasiun metro terdekat ke gerbang masuk Museum Vatikan maupun Lapangan Santo Petrus.

Jujur, pengalaman naik metro di Roma ini agak campur aduk. Lagi-lagi aku merasa kondisi metronya agak kurang bersih. Kursinya kadang kotor, dan di beberapa sudut stasiun, terutama dekat tangga, tercium aroma yang... yah, seperti toilet umum yang lupa disiram. Tapi ya sudah lah, bagian dari pengalaman otentik, kan?

Begitu keluar dari stasiun Ottaviano, aku langsung berjalan kaki menembus pagi kota Roma. Jalanannya mulai ramai dengan lalu lalang turis dan warga lokal yang bergegas memulai hari. Trotoarnya lebar, dan bangunan di kiri-kanan khas banget: tembok-tembok tua berwarna hangat, jendela-jendela besar, dan balkon kecil yang dihiasi tanaman. Semakin dekat ke Vatikan, suasana jadi makin “internasional”—semacam percampuran energi spiritual dan semangat turis yang excited.

Sebelum benar-benar masuk ke area Lapangan Santo Petrus, aku sempat mampir di sebuah kedai kebab Turki. Sederhana saja tempatnya, tapi entah kenapa pagi itu makanannya terasa nikmat luar biasa. Mungkin karena aku belum sarapan, mungkin juga karena cuaca yang masih sejuk membuat setiap gigitan kebab jadi lebih terasa. Kebab ayam hangat dengan roti yang garing di luar dan lembut di dalam, ditemani secangkir teh panas—perpaduan yang pas buat mengisi tenaga sebelum menjelajah Vatikan.

Sambil menyeruput teh, mataku menatap ke arah barisan orang yang mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang pelan sambil selfie, ada juga yang sibuk membuka Google Maps. Aku tersenyum sendiri—karena beberapa menit lagi, aku pun akan jadi bagian dari keramaian itu. Menuju tempat yang selama ini cuma bisa kulihat lewat foto-foto dan film: Lapangan Santo Petrus dan Museum Vatikan.

Berjalan kaki dari Stasiun Ottaviano selama kurang lebih 10–15 menit, akhirnya aku tiba juga di suatu lapangan besar yang begitu familiar dari buku dan film: Lapangan Santo Petrus.

Lapangan ini sungguh luar biasa luas dan bentuknya khas—melingkar seperti pelukan raksasa yang terbuka ke arah umat yang datang. Di sekelilingnya berdiri deretan kolom raksasa yang membentuk semacam pelataran oval. Di atas kolom-kolom itu berdiri puluhan patung para santo, tampak kecil dari bawah tapi sesungguhnya sangat tinggi dan penuh detail. Di tengah-tengah lapangan berdiri sebuah obelisk Mesir kuno, yang makin menegaskan bahwa tempat ini bukan cuma religius, tapi juga historis.

Aku berdiri terpaku beberapa saat. Rasanya seperti mimpi bisa benar-benar menginjakkan kaki di tempat yang selama ini cuma bisa kulihat di buku sejarah, dokumenter, atau novel Dan Brown. Ini bukan sekadar lapangan—ini jantungnya Vatikan, pusat dari ribuan tahun sejarah Katolik, tempat berkumpulnya para peziarah dan pelancong dari seluruh dunia.

Pagi itu suasananya cukup tenang. Wisatawan memang ada, tapi tidak terlalu ramai. Tidak ada desakan atau kerumunan yang membuat sesak. Aku jadi bisa benar-benar menikmati atmosfernya. Kuedarkan pandangan pelan-pelan, mencoba menyerap setiap detail. Langit Roma saat itu cerah, dan matahari mulai menghangatkan batu-batu besar yang membentuk lantai lapangan.

Aku sempat berjalan mendekat ke arah Basilika Santo Petrus, bangunan megah dengan kubah ikonik yang menjulang tinggi. Tapi dari pengamatan, sepertinya hari itu basilika belum dibuka untuk umum atau hanya untuk yang sudah memiliki izin khusus. Ada pagar pembatas dan beberapa penjaga berjaga di sekitar pintu masuk.

Sementara untuk Museum Vatikan, aku akhirnya memutuskan untuk tidak jadi masuk. Bukan karena tidak mau, tapi karena aku tidak punya koneksi internet saat itu. Tanpa internet, aku tidak bisa cari tahu link resmi untuk beli tiket, dan aku juga tidak mau ambil risiko datang tanpa tiket dan harus antre panjang. Lagi pula, tubuhku sudah cukup lelah setelah eksplorasi dari pagi dan semalam juga belum istirahat penuh.

Akhirnya aku duduk di salah satu sisi lapangan, menikmati hembusan angin, arsitektur yang agung, dan rasa syukur yang diam-diam meluap. Kadang memang, traveling itu bukan soal harus mengunjungi semua tempat wajib atau mencentang checklist. Kadang, cukup berdiri diam di tengah sejarah—dan membiarkan dirimu larut di dalamnya.

Sekitar pukul tujuh malam, karena memang sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan di kota Roma, aku akhirnya memutuskan untuk naik bus TAM kembali ke bandara. Penerbanganku ke Santorini dijadwalkan tengah malam, tepatnya pukul 12. Jadi... ya, kupikir lebih baik menunggu di bandara saja daripada berkeliaran tanpa tujuan.

Singkat cerita, proses check-in berjalan lancar. Aku saat itu sudah ngantuk banget—mata rasanya berat, tubuh pun sudah minta rebahan. Setelah menunggu sebentar, akhirnya waktu boarding tiba juga. Aku naik ke pesawat, duduk, dan mencari posisi se-PW mungkin. Perjalanan menuju Santorini sendiri akan memakan waktu sekitar tiga jam. Aku sih berharap bisa tidur, ya, karena jujur saja, ini perjalanan Eropaku benar-benar ngebut. Hari-hari terakhir sudah terasa berat banget—capek numpuk, kaki pegal, dan energi mulai menipis. Jadi, di pesawat ini aku cukup mudah terlelap. Begitu duduk, aku langsung pasrah ke kantuk. Syukurlah, bisa tidur meskipun nggak benar-benar nyenyak. 

Santorini, sebentar lagi aku datang!

5.06.2025

[11] Balada Eropa : Colosseum dan Fontana di Trevi !

Aku di Colosseum

Keesokan harinya. Tepat pukul setengah lima pagi, alarm di HP-ku berbunyi cukup keras—dan langsung membuatku terlonjak meski sebenarnya aku belum benar-benar tidur. Ya, balik lagi, aku ini tipe orang yang susah banget tidur di tempat umum atau di transportasi publik, kecuali kalau sudah benar-benar super capek dan ngantuk banget. Dan semalam, meskipun tubuhku lelah, tetap saja aku tidak bisa benar-benar terlelap.

Lantai bandara itu dingin dan keras, bukan tempat yang ramah buat punggung apalagi mimpi indah. Selain itu, aku juga terus-menerus waspada dengan tasku. Meskipun kupeluk dan kuselipkan kaki di atasnya, tetap aja rasa khawatir bikin mataku enggan terpejam penuh. Beberapa kali aku hanya tertidur ayam—merem bentar, kebangun lagi karena suara pengumuman, derap langkah orang, atau dingin yang makin menusuk dini hari.

Tapi, di balik semua itu, aku tetap merasa puas. Karena toh ini semua sudah aku rencanakan. Bagian dari petualangan, bagian dari pengalaman, dan bagian dari “jalan sendiri ke tempat impian” yang sudah lama aku idam-idamkan.

Begitu jam menunjukkan pukul lima lewat dikit, aku langsung beranjak untuk mencari toilet, cuci muka, dan merapikan diri seadanya. Wajah masih agak kusut, tapi semangatku sudah mulai menyala lagi. Sebentar lagi aku akan terbang ke Roma—kota penuh sejarah, pasta, dan mungkin, kejutan lain yang belum kutahu.

Setelah sedikit menyegarkan diri di toilet, aku segera menuju konter check-in. Maskapai yang kupilih kali ini adalah Fueling Airlines—ya, salah satu budget airlines Eropa yang cukup populer untuk rute-rute pendek antarnegara. Proses check-in berjalan lancar tanpa hambatan, dan aku pun melangkah masuk ke area tunggu dengan perasaan campur aduk: antara ngantuk, excited, dan sedikit lapar.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, proses boarding pun dimulai. Semua berjalan cukup tertib dan cepat—tipikal bandara besar seperti Schiphol. Aku duduk di kursiku, meletakkan tasku di bawah kursi, dan tanpa banyak basa-basi langsung bersiap untuk... tidur.

Ya, akhirnya momen itu datang juga. Penerbangan dari Amsterdam ke Roma memakan waktu sekitar dua jam—dan dua jam itulah yang akhirnya benar-benar bisa kupakai untuk tidur. Tidak panjang, tidak lelap, tapi cukup untuk membuat tubuhku sedikit recharge setelah semalaman ngemper di lantai bandara yang dingin dan keras.

Ketika pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat, aku membuka mata dan langsung merasa segar. Di luar jendela, langit cerah menyambut, dan beberapa menit kemudian roda pesawat menyentuh tanah. Pukul sembilan pagi waktu setempat, aku resmi menginjakkan kaki di Roma.

Yay! Italy! This is my first time here. Negara yang selama ini hanya kulihat dari film-film dan buku sejarah, kini akhirnya kulihat dengan mata kepala sendiri. 

Pesawatku mendarat mulus di Bandara Internasional Leonardo da Vinci – Fiumicino (FCO), yang merupakan bandara utama di Roma jam 9 pagi. Begitu keluar dari pesawat, seperti biasa karena Italia juga termasuk negara Schengen, kami tidak melewati imigrasi lagi. Aku langsung mencari transportasi menuju pusat kota—tujuanku adalah Stazione Termini, terminal kereta utama dan pusat transportasi di Roma. Aku memang sengaja menuju ke sana karena ingin menukarkan Roma Pass yang sebelumnya sudah kubeli secara online. Roma Pass ini harus ditukar dengan kartu fisik transportasi, dan salah satu titik penukaran resminya ada di Termini.

Untungnya, bandara ini menyediakan Wi-Fi gratis, jadi aku bisa browsing sebentar untuk cari info transportasi. Sebenarnya, sebelum mendarat aku juga sudah sempat browsing, dan tahu bahwa salah satu opsi paling praktis dari bandara ke Termini adalah menggunakan bus. Setibanya di area kedatangan, aku langsung menuju konter dan memutuskan untuk menggunakan bus operator TAM—yang rutenya langsung menuju Stazione Termini.

Di konter, aku sekalian bertanya apakah bisa beli tiket pulang juga untuk besok, dan ternyata bisa. Jadi aku langsung beli tiket PP (pulang-pergi) seharga 16 euro—hemat waktu dan nggak ribet nanti pas balik ke bandara.

Setelah tiket di tangan, aku menunggu sebentar di halte yang sudah ditentukan. Udara Roma pagi itu cukup hangat dan matahari bersinar cerah, jauh lebih hangat daripada Amsterdam. Rasanya seperti disambut hangat oleh kota ini—dan aku pun makin nggak sabar buat mulai petualangan di negeri pizza dan pasta ini.

Bus bandara yang kutumpangi akhirnya datang juga—bodinya besar, bersih, dan cukup nyaman. Aku naik, mencari kursi dekat jendela, lalu bersandar sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan menuju pusat kota Roma.

Bus TAM dari Bandara Fiumicino (FCO) ke Stazione Termini

Sumber Gambar : Disini

Begitu bus bergerak, dari balik kaca, aku bisa melihat landskap pinggiran Roma yang kering tapi elegan. Hamparan ladang dan semak-semak kecokelatan, pepohonan pinus Italia yang tinggi ramping, serta deretan rumah-rumah bertembok krem dengan atap genteng merah yang khas Mediterania—semuanya menyatu dalam lanskap yang sangat... Italia. Tidak terlalu hijau subur seperti di Belanda, tapi justru memberi kesan hangat dan klasik.

Sepanjang jalan, tampak juga reruntuhan bangunan tua yang berdiri tak jauh dari jalan raya, seperti sisa-sisa dinding kuno atau struktur bata merah yang dibiarkan terbuka begitu saja—seolah menjadi bagian alami dari kota. Sesekali, terlihat mobil-mobil kecil khas Eropa melaju, dan papan-papan petunjuk berbahasa Italia yang terasa asing tapi eksotis.

Suasananya jauh berbeda dari Belanda yang rapi dan modern. Roma terasa lebih “kasar” tapi justru memikat, penuh karakter dan kesan historis di setiap sisinya. Jalanan di pinggiran kota cenderung lebih lebar dan berdebu, tapi tetap tertata. Ada kehidupan lokal yang terasa lebih santai—orang-orang duduk di bar kecil, atau berdiri sambil ngobrol di pinggir jalan.

Perjalanan dari Bandara Fiumicino ke Stazione Termini memakan waktu sekitar 45 hingga 60 menit, tergantung lalu lintas. Waktu yang cukup buat tubuhku sedikit istirahat setelah penerbangan pagi dari Amsterdam.

Begitu sampai di Termini, aku langsung disambut oleh hiruk-pikuk khas stasiun besar Eropa. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper di tangan, bus dan tram berseliweran, dan bangunan tinggi mengelilingi area terminal. Tapi di balik keramaiannya, aku merasakan sesuatu yang berbeda—semacam aura antik yang masih hidup di tengah modernitas. 

Aku berdiri sebentar, menarik napas dalam-dalam sambil berkata dalam hati, “Roma, akhirnya aku sampai juga.”

Begitu turun dari bus dan masuk ke area Stazione Termini, hal pertama yang kulakukan adalah menukarkan Roma Pass yang sebelumnya sudah kubeli online. Di dalam stasiun ada konter resmi informasi wisata, dan di sanalah aku menunjukkan bukti pemesananku. Prosesnya cepat dan efisien—petugasnya langsung menukarkan bukti digital itu dengan kartu fisik Roma Pass lengkap dengan brosur panduan. Selain sebagai tiket masuk ke beberapa situs wisata, kartu ini juga berfungsi sebagai kartu transportasi umum selama 48 jam, dan itu yang paling kubutuhkan untuk mobilitas selama di Roma.

Setelah urusan kartu selesai, aku langsung berjalan kaki menuju penginapanku di Via Castelfidardo 48, yang jaraknya sekitar 700 meter dari stasiun Termini. Jalannya cukup lurus dan mudah diikuti lewat petunjuk Google Maps. Tapi tentu saja, ini Roma—jadi bukan hanya soal arah, tapi juga suasana sepanjang jalan yang jadi pengalaman tersendiri.

Aku menyusuri trotoar dengan koper di tangan, melewati deretan bangunan apartemen tua bergaya Italia, tinggi-tinggi dengan jendela-jendela besar dan balkon besi berukir. Banyak dari bangunan itu tampak sudah berumur, catnya mulai kusam, tapi justru di situlah pesonanya. Jalanan juga dipenuhi batu-batu paving yang membuat langkahku agak bergoyang, apalagi sambil menarik koper. Tapi rasanya khas banget, seperti berjalan di dalam film klasik.

Setibanya di alamat penginapan, aku sempat kebingungan. Bangunannya terlihat seperti apartemen biasa, tanpa papan nama mencolok. Pintu masuknya besar dan tertutup rapat, tanpa resepsionis di depan. Tapi aku ingat instruksi dari email pemesanan—cukup menekan bel sesuai lantai atau unit hostel, dan nanti akan dibukakan dari atas. Benar saja, setelah menekan tombol dan menyebutkan namaku lewat interkom, klik!—pintu terbuka otomatis.

Aku masuk ke dalam lorong bangunan yang tinggi dan sunyi, menaiki beberapa anak tangga, dan akhirnya tiba di unit hostel yang akan jadi rumah sementaraku selama di Roma.

Koloseum, atau dalam bahasa Italia disebut Colosseo, adalah amfiteater raksasa peninggalan Kekaisaran Romawi yang dibangun pada abad ke-1 Masehi, tepatnya mulai sekitar tahun 72 M di masa Kaisar Vespasianus dan selesai di bawah pemerintahan putranya, Titus. Dulu, tempat ini digunakan sebagai arena pertunjukan gladiator, pertarungan binatang buas, eksekusi publik, hingga teater drama mitologi. Kapasitasnya luar biasa—bisa menampung hingga 50.000 penonton, yang duduk di tribun melingkar bertingkat seperti stadion masa kini.

Bentuknya yang oval dan terbuka di tengah bukan hanya untuk keindahan arsitektur, tapi juga supaya penonton bisa melihat dengan jelas semua pertunjukan di arena. Arsitekturnya canggih banget untuk ukuran zamannya—lengkungan-lengkungan yang menopang struktur, sistem koridor bawah tanah untuk mengatur jalannya pertunjukan, bahkan dulu ada kanopi raksasa yang bisa ditarik untuk meneduhkan penonton dari panas.

Setelah melewati proses pemeriksaan tiket dengan Roma Pass, aku pun mulai masuk ke dalam Koloseum melalui pintu yang diarahkan petugas. Dari pintu masuk itu, aku langsung naik tangga batu yang cukup curam. Langkah demi langkah, aku makin penasaran—dan saat tiba di atas, aku melihat sebuah lorong dengan berbagai papan informasi. Di situ dijelaskan tentang sejarah bangunan, fungsi arena, dan bagaimana sistem hiburan rakyat kala itu berjalan. Ada juga replika miniatur serta potongan-potongan reruntuhan yang diberi penjelasan singkat.

Setelah melewati bagian edukatif itu, aku akhirnya tiba di lingkaran utama tribun Koloseum. Dan... wow. Pemandangan langsung menghadap ke area tengah arena yang kini terbuka, memperlihatkan struktur bawah tanah tempat dulu para gladiator dan binatang disiapkan sebelum naik ke atas. Langit biru cerah tanpa awan, dan sinar matahari menyinari dinding batu tua yang kini tampak keemasan.

Saat aku berdiri di tribun utama dan melihat ke bawah, mataku langsung tertuju pada bagian dasar arena yang tampak tidak rata, penuh dengan lorong-lorong batu bata. Banyak orang mungkin mengira bahwa bagian tengah Koloseum dulu berbentuk lantai datar seperti stadion modern, tapi sebenarnya yang kamu lihat sekarang adalah bagian bawah tanah Koloseum yang dulu tersembunyi di balik lantai kayu.

Struktur ini disebut hypogeum, dan dulu merupakan labirin lorong, ruang tahanan, serta lift dan perangkap rahasia tempat para gladiator, binatang buas, dan properti pertunjukan disiapkan sebelum “naik” ke arena melalui platform yang bisa digerakkan secara manual. Bisa dibilang, ini adalah dapur belakang dari seluruh pertunjukan brutal Romawi Kuno.

Sayangnya, lantai kayu di atasnya sudah runtuh berabad-abad lalu, dan kini pengunjung bisa melihat langsung ke bagian hypogeum yang dulu tersembunyi dari penonton. Lorong-lorong sempit itulah yang membuat bagian tengah Koloseum terlihat tidak rata hari ini.

Melihat itu dari atas, aku jadi makin sadar betapa megah dan canggihnya arsitektur Romawi kuno. Bukan cuma soal bangunan megah, tapi juga bagaimana mereka menciptakan sistem pertunjukan yang terencana dan terstruktur secara teknis, bahkan lebih dari yang kita bayangkan untuk zaman itu.

Aku melanjutkan berjalan memutari tribun sambil sesekali berhenti untuk melihat dari berbagai sudut. Di kejauhan tampak turis-turis lain yang sibuk berfoto, ada yang duduk istirahat, ada yang serius baca penjelasan sejarah. Suasananya cukup ramai, tapi tetap tertib. Namun, panasnya Roma mulai terasa—suhu siang itu bisa mencapai 28 derajat, dan aku pun sudah melepas jaketku sejak tadi. Keringat mulai mengalir, dan langkah kakiku mulai terasa berat.

Jujur saja, di tengah jalan saat memutar tribun, aku mulai merasa agak lelah. Mungkin karena kurang tidur semalam di bandara, ditambah panasnya cuaca Roma, membuat mood-ku sedikit drop. Aku sempat berhenti di pojok bayangan, hanya untuk duduk sejenak dan menarik napas panjang.


[10] Balada Eropa : "Kincir Angin, Rumput, Domba dan Kanal: Sehari di Zaanse Schans"

Aku berpose di kanal Kota Amsterdam, tepatnya di jembatan yang melintasi kanal Singel, dekat Centraal Station dan Ronde Lutherse Kerk (Gereja Lutheran Bulat), yang kubahnya tampak di kejauhan sebelah kanan tengah.

Keesokan harinya aku bangun dengan cukup segar. Mungkin karena malam sebelumnya tidurku lumayan nyenyak, atau mungkin karena excited banget sama itinerary hari ini: seharian penuh eksplor Zaanse Schans dan Amsterdam! Hari ini aku punya waktu seharian penuh untuk eksplor tanpa terburu-buru, karena pesawatku ke tempat selanjutnya—Roma—baru akan berangkat besok pagi jam 7. Jadi, bisa puas jalan-jalan, tanpa harus mikir ngejar flight sore ini. Mantap, kan?

Zaanse Schans sendiri merupakan desa wisata ikonik yang terletak di bagian utara Belanda. Tempat ini terkenal dengan deretan kincir angin tradisionalnya yang masih berfungsi, rumah-rumah kayu khas abad ke-18, serta berbagai kerajinan tangan Belanda seperti pembuatan keju, klompen (sepatu kayu), dan cokelat. Pokoknya, kalau mau ngerasain nuansa Belanda klasik yang otentik, Zaanse Schans adalah tempat yang wajib dikunjungi. Tempat ini kayak versi hidup dari kartu pos.

Aku mengawali hari dengan cukup semangat. Begitu alarm berbunyi, langsung bangun, mandi, bersih-bersih, dan siap-siap check out dari hostel. Barang-barang sudah kupacking semalam, tinggal dicek ulang biar nggak ada yang ketinggalan—karena sekali ketinggalan di trip begini, ribet nyarinya. Setelah siap, aku turun ke lobi sambil menyeret koper dan backpack, menyapa resepsionis yang masih sama seperti kemarin malam, dan bilang terima kasih atas penginapan yang nyaman.

Hari ini aku punya waktu seharian penuh untuk eksplor tanpa terburu-buru, karena pesawatku ke tempat selanjutnya—Roma—baru akan berangkat besok pagi jam 7. 

Aku berjalan keluar dari penginapan. Aku benar-benar menyukai dan mengagumi tata kota di Alkmaar. Semuanya diatur dengan rapi, estetik dan membuat hati nyaman. Hal itulah yang membuatku suka mengambil foto-foto suasana jalanan menggunakan Infinix Hot Note 2016-ku. Aku memang hobby menfoto suasana jalanan saat traveling, karena dengan melihatnya lagi ane jadi bisa kembali merasakan suasana saat itu.

Saat sedang asik mengambil beberapa foto suasana jalanan, dan setelahnya berniat naik metro untuk ke tujuanku selanjutnya, tiba-tiba ada seorang perempuang yang menghampiriku dengan terburu-buru,

"Excuse me, why you take my photo?" Tanyanya dengan nada bicara dan pandangan yang kurang bersahabat.

Ane kebingungan setengah mati. 
'Hah? Foto anda? Kapan saya menfoto anda ya?' ekpresi wajahku yang kebingungan kalau diartikan dengan kata-kata mungkin seperti ini.

"What? I don't take your photo. I just take photo for the view and street. I'm a tourist. I take photo from around," kataku membela diri karena aku benar-benar kebingungan. Aku nggak tau si mbak ini siapa, dan kapan aku menfotonya. Bahkan kalaupun ga sengaja kefoto, kalau dia posisinya cukup dekat, harusnya aku sadar dong ya. Nyatanya aku benar-benar ga tau dan ngeliat sama sekali.

"No. You just take my photo. Why you take my photo?" Kata dia dengan nada semakin memojokkaku.

"No, I don't take your photo. Why I take your photo?" Balasku setengah kesal karena aku benar-benar gatau manusia random ini siapa.

Untuk membuktikan akhirnya aku buka HP Infinixku dan kutunjukkan ke dia foto-foto yang kuambil. Aku menunjukkan aku banyak mengambil foto dari tadi bahkan sebelum di area ini, dan SEMUANYA BENAR-BENAR HANYA FOTO PEMANDANGAN. Aku bahkan galiat sama sekali si mbak ini lagi dimana saat foto kuambil. Bahwa aku benar-benar seorang turis, dan tidak ada pentingnya dan gunanya sama sekali mengambil fotonya. Memang dia siapa??? Artis?? Kalaupun merasa difoto dan diganggu privasinya, at least ngomong baik-baik lah ga nuduh sembarangan. Liat dulu fotonya di HP ane kayak gimana, baru nuduh. Ane nulis ini pun masih kesel wkwkwk...

Akhirnya aku ngalah supaya si mbak puas. Ane juga kepikiran ga mau sampe berurusan dengan polisi di negara orang. Ane delete beberapa foto-foto pemandangan terakhir yang ane ambil. Dan setelah itu dia ngoyor pergi gitu aja sambil tetap menggerutu. Hh dasar orang aneh..!

Ah sudahlah, kejadian yang tidak harus kupikirkan terlalu dalam. Lagipula aku nggak mau mood-ku rusak hanya karena satu insiden nggak penting barusan. Setelah menarik napas dalam dan menenangkan diri, aku melanjutkan langkah masuk ke Stasiun Kereta Alkmaar. Tujuanku sekarang adalah kembali ke Stasiun Amsterdam Central, supaya bisa menitipkan tas besarku terlebih dahulu di luggage storage yang tersedia di sana.

Aku naik kereta dan duduk di dekat jendela. Tapi meskipun tubuhku tenang, pikiranku masih cukup gusar dengan kelakuan wanita tadi. "Mungkin di sini memang nggak boleh sembarangan ambil foto ya..." kataku dalam hati, mencoba mencari alasan logis atas tuduhan yang tiba-tiba tadi. Tapi tetap saja, aku masih merasa ganjil. Aku tidak merasa bersalah, tapi ya sudahlah—aku tidak ingin memperpanjang drama.

Kereta terus melaju membelah lanskap Belanda yang hijau dan rapi. Perjalanan selama kurang lebih 45 menit itu terasa sedikit lebih panjang karena pikiranku masih sibuk memutar ulang kejadian barusan. Tapi begitu kereta mulai melambat dan pengumuman terdengar bahwa kami akan segera tiba di Stasiun Amsterdam Central, aku kembali fokus. Oke, saatnya melanjutkan petualangan!

Begitu sampai di Stasiun Amsterdam Central, aku langsung celingak-celinguk mencari penunjuk arah menuju luggage storage. Untungnya cukup mudah ditemukan—ada sign besar bertuliskan "Locker" dan petunjuk panah yang mengarah ke ujung stasiun. Aku mengikuti arah itu sampai tiba di sebuah area khusus berderet locker dengan ukuran bervariasi. Tapi yang bikin aku sempat bengong sebentar: semuanya serba otomatis. Tidak ada petugas yang berjaga, tidak ada resepsionis, tidak ada tempat nanya-nanya manual. Semua harus dilakukan sendiri lewat mesin.

Di depan area locker, terdapat layar sentuh besar sebagai pusat pengoperasian. Aku mulai mencoba memilih opsi di layar, tapi sempat kesulitan karena seingatku saat itu tampilannya default dalam Bahasa Belanda. Aku jadi bingung harus menekan apa, takut salah dan malah keliru memilih ukuran atau durasi.

Untungnya, ada seorang wanita yang kebetulan juga ingin menitipkan tasnya. Melihat aku kebingungan, dia menghampiri dan dengan ramah menawarkan bantuan. Dia membantuku memilih opsi yang benar, mengganti bahasa ke English, dan menjelaskan langkah-langkah berikutnya.

"Nanti kalau mau ambil tasnya kamu cukup masukkan pin-nya saja," katanya sambil tersenyum setelah aku selesai melakukan pembayaran dan pintu locker terbuka otomatis.

"Okey, thank you, ma'am," jawabku lega dan berterima kasih.

Setelah tas besarku aman tersimpan di dalam locker, aku merasa lebih ringan—secara fisik dan mental. Aku jalan keluar dengan membawa tas kecil saja yang berisi paspor, dompet, Hp, air minum dan beberapa cemilan.

"Masalah tas beres, nanti malam tinggal diambil dan langsung cus otw ke Bandara." Kataku menyusun rencana dalam hati.

Sekarang waktunya kembali melanjutkan petualangan. Aku segera naik kereta lagi dari Amsterdam Central menuju Zaanse Schans, desa kincir angin yang sudah sejak lama ingin aku kunjungi.

Kereta menuju Zaanse Schans berangkat dari salah satu peron di Stasiun Amsterdam Central. Setelah memastikan jalur dan jadwal keberangkatan, aku naik ke dalam gerbong yang cukup nyaman. Interiornya bersih, modern, dan tenang. Kursi empuk dengan jendela besar yang memungkinkan penumpang menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Aku memilih duduk dekat jendela, tentu saja—karena buatku, bagian seru dari perjalanan bukan cuma destinasinya, tapi juga pemandangan di sepanjang jalan.

Begitu kereta mulai bergerak, lanskap kota Amsterdam perlahan-lahan berganti menjadi pedesaan khas Belanda. Hamparan hijau terbentang luas, sesekali terlihat rumah-rumah mungil beratap merah yang tertata rapi. Kanal-kanal kecil membelah ladang-ladang luas, dan di kejauhan, tampak beberapa kincir angin berdiri gagah—seolah menyambut kami yang datang. Langit saat itu cerah, dengan awan putih menggumpal manis menghiasi langit biru. Suasana yang tenang, bersih, dan memesona.

Perjalanan dari Amsterdam Central ke stasiun Zaandijk Zaanse Schans memakan waktu sekitar 20 menit. Begitu turun, aku mengikuti arus penumpang yang sebagian besar juga turis. Dari stasiun, aku berjalan kaki melewati jalan besar yang cukup ramai oleh mobil dan sepeda. Setelah itu, aku menyeberangi sebuah jembatan besar yang membentang di atas sungai. Dari atas jembatan ini, pemandangan mulai terasa magis—di kejauhan sudah mulai terlihat siluet kincir angin berjejer.

Begitu melewati jembatan, jalan perlahan mulai masuk ke area pedesaan yang lebih tenang. Deretan rumah kayu hijau dan coklat dengan desain klasik Belanda mulai terlihat, lengkap dengan pagar-pagar kecil dan taman bunga warna-warni. Tak lama kemudian aku sampai di gerbang masuk kawasan wisata Zaanse Schans. Untuk masuk Zaanse Schans ini sendiri tidak dikenakan biaya. Siapapun bebas menjelajah area desanya tanpa membayar, kecuali jika ingin masuk ke museum atau atraksi tertentu. 

Zaanse Schans sendiri adalah desa wisata yang merepresentasikan kehidupan pedesaan Belanda pada abad ke-18 dan 19. Kincir angin di sini bukan sekadar pajangan; dulunya mereka digunakan untuk berbagai kebutuhan industri, seperti menggiling rempah-rempah, memotong kayu, bahkan mengeringkan lahan rawa agar bisa dihuni. Beberapa dari kincir ini masih berfungsi hingga hari ini, dan bisa dikunjungi jika kamu membeli tiket masuk ke dalamnya.

Pemandangan pertama yang menyambutku adalah kanal yang mengalir tenang, dikelilingi rumput hijau yang terawat rapi. Beberapa kapal kecil sesekali lewat, menambah semarak suasana desa. Di kejauhan, deretan kincir angin berdiri gagah menghadap danau. Warnanya hijau tua khas Belanda, berputar perlahan mengikuti arah angin, seolah menghidupkan suasana masa lalu. Di sisi lain, rumah-rumah kayu bergaya klasik dengan jendela putih kecil dan atap curam berdiri berjajar, seperti latar belakang lukisan zaman dulu.

Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membuat udara sejuk meski sedang musim panas bulan Juni. Udara bersih dan segar, penuh aroma rerumputan dan kayu basah. Di beberapa titik, terlihat toko-toko kecil yang menjual roti panggang, bakery lokal, dan cappuccino hangat. Aroma kopi sesekali terhembus, menggoda untuk singgah sebentar dan menikmati secangkir sambil menatap danau. Aku juga melihat beberapa domba sedang merumput santai di padang rumput kecil di sisi kanal, benar-benar pemandangan yang menghangatkan hati.

Setiap langkah membawa suasana damai. Tak ada suara bising, hanya decit kayu, gemericik air, dan suara alam. Kanal-kanal kecil menghubungkan rumah-rumah dan jalanan berbatu, beberapa di antaranya memiliki jembatan kayu kecil yang bisa dilalui pejalan kaki.

Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak berbatu yang mengarah ke danau. Di sisi kanan, kincir angin tampak semakin dekat, baling-balingnya berputar perlahan, menciptakan irama lembut yang hampir tidak terdengar tapi terasa—seperti penanda bahwa waktu berjalan pelan di tempat ini. Satu hal yang membuatku kaget ternyata kincir angin ini kalau didekati ukurannya besar banget. Di sisi kiri, kanal kecil mengalir tenang, dengan rumah-rumah khas Belanda berdiri rapi di belakangnya. Beberapa turis lain tampak asyik berfoto, ada juga yang duduk di bangku sambil menikmati kopi dan roti manis dari bakery terdekat.

Aku tiba di sebuah titik dekat danau yang agak sepi. Ada bangku kayu panjang menghadap langsung ke air, dan tanpa pikir panjang aku duduk di situ. Kutarik napas dalam-dalam—udara segar masuk memenuhi paru-paru, membawa rasa syukur yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Kuambil snack dari tasku, dan mulai makan sambil melihat air yang tenang memantulkan bayangan kincir angin.

Beberapa menit kemudian, seekor bebek muncul dari balik rerumputan di pinggir danau. Lalu dua ekor, tiga ekor, hingga akhirnya ada sekelompok kecil bebek mendekatiku. Mereka seperti tahu aku sedang makan, dan mendekat dengan tatapan penuh harap. Aku tertawa kecil—dalam hati merasa ini lucu dan menyentuh. Kupatahkan sedikit bagianku dan kubagi ke mereka. Mereka mematuk makanan kecil itu dengan riang, lalu berenang pelan lagi menjauh. Ternyata interaksi kecil seperti itu bisa begitu membahagiakan.

Setelah cukup lama duduk dan menikmati suasana, aku kembali berjalan, kali ini menyusuri area toko dan museum. Ada rumah keju yang bisa dikunjungi, lengkap dengan demo pembuatan keju Belanda dan deretan varian keju di etalase. Lalu ada toko klompen, tempat sepatu kayu tradisional Belanda dibuat—aku sempat mampir sebentar, melihat bagaimana mereka mengukir dari kayu balok menjadi sepatu yang lucu dan unik. Beberapa klompen digantung di dinding toko, penuh warna dan motif.

Waktu berjalan tanpa terasa. Suara air, angin, dan derap langkah pelan pengunjung menyatu jadi simfoni yang menenangkan. Aku terus menyusuri area demi area, kadang berhenti untuk sekadar memotret rumah-rumah lucu, kadang hanya berdiri menatap kincir angin yang terus berputar dalam diam.

Tak terasa sudah tiga jam aku habiskan di sini. Berkeliling dari satu sudut ke sudut lain, menyusuri jalanan sempit berbatu, berhenti di beberapa spot untuk sekadar mengagumi pemandangan atau mengambil foto. Aku benar-benar menikmati waktu berjalan pelan, membiarkan setiap detil desa ini terekam dalam ingatan. Yang paling membuatku terkesima adalah betapa masifnya kincir-kincir angin itu. Dulu aku pikir kincir hanya ornamen wisata semata—nyatanya, mereka besar, kokoh, dan benar-benar pernah jadi mesin utama kehidupan Belanda ratusan tahun lalu. Tak heran Belanda dijuluki Negeri Kincir Angin.

Setelah puas menyusuri setiap penjuru desa dan mengisi hati dengan kehangatan sederhana, aku memutuskan untuk bergeser. Masih ada satu area lagi yang ingin kujelajahi hari ini yaitu kota Amsterdam itu sendiri. Jadi aku mulai berjalan perlahan ke arah pintu keluar kawasan Zaanse Schans.

Di sepanjang jalan keluar, aku kembali dibuat kagum oleh pemandangan rumah-rumah mungil khas Belanda. Jendelanya kecil-kecil, ada yang dihiasi pot bunga, ada yang berdiri tepat di pinggir kanal. Kanal-kanal kecil itu bersih dan tenang, seolah menjadi cermin bagi langit mendung yang menggantung tipis di atasnya. Rumah-rumah itu dikelilingi air, dan aku sempat berhenti sejenak di salah satu jembatan kayu, menatap rumah-rumah itu sambil merenung.

"Itu gimana ya kalau mereka mau keluar rumah? Mau ke minimarket gitu misalnya, apa harus nyari jembatan terdekat terus?" Tanyaku dalam hati, sambil senyum-senyum sendiri. Mungkin kedengarannya konyol, tapi memang seperti itulah pemandangannya—rumah-rumah berdiri di atas semacam pulau-pulau kecil, dihubungkan oleh jembatan dan kanal. Tapi di situlah letak pesonanya. Hidup dengan air sebagai jalan utama, seperti dunia yang hanya bisa kubayangkan dalam cerita anak-anak, tapi kini kulihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Sungguh indah, tenang, nyaman.....

Dari Stasiun Zaanse Schans, aku naik kereta kembali ke arah Stasiun Amsterdam Central. Sampai di Stasiun Amsterdam Central, aku memulai eksplorasiku dengan berjalan kaki menyusuri kanal-kanal yang melengkung indah di jantung Kota Amsterdam. Kanal-kanal ini membentuk pola setengah lingkaran yang mengelilingi pusat kota, dan setiap lengkungannya menawarkan panorama yang menenangkan.

Sepanjang kanal, mataku dimanjakan oleh rumah-rumah khas Belanda yang berdiri berjejer rapi. Bangunannya tinggi, ramping, dan berarsitektur klasik dengan jendela-jendela besar serta atap segitiga. Warna-warnanya hangat—ada yang bata merah, krem, hingga cokelat gelap—memberi nuansa vintage yang khas Eropa Barat.

Di sela-sela keindahan itu, aku teringat bahwa kanal-kanal ini bukan sekadar estetika. Belanda adalah negara yang sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Karena itulah, sejak abad ke-17, mereka membangun sistem kanal yang canggih sebagai bentuk pengelolaan air, drainase kota, sekaligus jalur transportasi dan pertahanan. Kanal-kanal ini menjaga kota dari risiko banjir, dan saat itu juga jadi jalur utama pengangkutan barang dagangan—mengingat Amsterdam adalah pelabuhan penting di masa kejayaan dagang Belanda.

Menariknya, sistem kanal seperti ini dulu pernah diterapkan juga di Batavia (Jakarta zaman kolonial). Bahkan, dulu kanal di Jakarta dibangun meniru sistem kanal Amsterdam. Tapi ya, seiring waktu dan perubahan tata kota, banyak kanal di Jakarta yang tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya, dan sebagian tertutup oleh permukiman.

Kembali ke Amsterdam—sesekali aku melihat kapal kecil melintas di kanal, membawa turis atau warga lokal yang bersantai menikmati kota dari atas air. Ada pula houseboat yang menjadi rumah permanen di tepi kanal, lengkap dengan tanaman dan kursi malas seperti halaman depan rumah biasa.

Di sepanjang kanal, tersedia banyak bangku taman. Di beberapa titik, kursinya menghadap langsung ke kanal, dikelilingi pohon-pohon rindang. Suasananya sangat bersih, tenang, dan nyaman, dengan suhu sekitar 15 derajat Celcius—cuaca yang pas buat berjalan kaki dan sekadar duduk menikmati sore.

Aku beberapa kali duduk santai, menarik napas panjang sambil memandangi air kanal yang mengalir pelan. Di salah satu bangku, sempat ada keluarga kecil—ayah, ibu, dan dua anak—yang minta tolong difotokan. Mereka ingin mengabadikan momen di depan kanal. Aku tentu senang membantu, dan setelah foto-foto, kami saling tersenyum dan mengucap terima kasih.

Aku terus berjalan menyusuri kanal, menuju ke arah selatan kota Amsterdam, mengikuti alur kanal yang berkelok dengan tenang. Jalur ini membawaku ke salah satu kawasan paling terkenal di Amsterdam: Museumplein, tempat berkumpulnya museum-museum besar seperti Rijksmuseum, Van Gogh Museum, dan Stedelijk Museum.

Begitu sampai di area depan Rijksmuseum, aku langsung disambut oleh pemandangan yang sangat ramai. Di sana berdiri sebuah taman luas yang terawat, dan tepat di depannya ada salah satu ikon paling terkenal dari Amsterdam: tulisan “I amsterdam” berwarna merah dan putih. Tulisan raksasa ini seperti menjadi magnet wisatawan—tempat wajib berfoto, dan memang terlihat sangat ikonik dengan latar museum megah bergaya klasik di belakangnya.

Lokasinya juga persis di depan pintu masuk taman Vondelpark, taman kota terbesar dan paling terkenal di Amsterdam. Jadi suasananya benar-benar hidup—turis lalu-lalang, kelompok anak muda duduk-duduk di rumput, anak-anak bermain, dan ada yang sekadar tiduran santai menikmati matahari sore. Waktu itu, suasananya ramai tapi tetap tertib dan bersih, khas kota-kota di Eropa Barat.

Aku ikut duduk di area taman, menikmati keramaian sambil mengistirahatkan kaki. Di situ aku juga sempat berfoto dengan latar tulisan “I amsterdam”, meskipun harus sedikit bersabar karena antrean turis yang ingin foto juga cukup panjang.

Untuk Rijksmuseum sendiri, aku tidak masuk. Bukan karena tidak tertarik, tapi memang dari awal aku sudah memutuskan bahwa eksplorasi Amsterdam kali ini adalah eksplorasi kota, bukan masuk ke tempat wisata berbayar. Aku hanya ingin menyerap atmosfer kotanya.

Aku duduk santai di Taman Vondelpark selama 1 jam sebelum memutuskan kembali berjalan. Kali ini aku berjalan kembali ke arah utara, menuju Amsterdam Central Station, melewati jalur kanal yang berbeda dari sebelumnya. Jalannya tetap cantik, kanal-kanal tetap setia menemani di sisi kanan atau kiri, tapi suasananya sedikit lebih tenang dari rute sebelumnya.

Dalam perjalanan ini, aku memutuskan untuk mencoba salah satu ikon transportasi Amsterdam: tram kota.

Tram di Amsterdam bukan sekadar alat transportasi—ia adalah denyut nadi kota ini. Rel-relnya membelah hampir semua jalan utama, bahkan melintasi trotoar dan memotong jalan raya, membuatnya terasa benar-benar menyatu dengan kehidupan kota. Saking terintegrasinya, kadang tram bisa muncul tiba-tiba dari kanan atau kiri tanpa suara mesin yang mencolok. Jadi, tiap kali aku mau menyeberang jalan, aku selalu melihat kanan-kiri lebih dari sekali, khawatir tiba-tiba ada tram lewat dengan bunyi khas tring-ting-ting yang datang mendadak.

Untuk merasakan langsung atmosfernya, aku membeli tiket GVB 1 jam, seharga sekitar 3,40 euro. Tiket ini berlaku untuk naik turun semua tram, bus, dan metro GVB dalam jangka waktu satu jam sejak pertama kali digunakan. Tiket bisa dibeli di mesin otomatis atau langsung di tram tertentu, dan harus dipindai saat masuk dan keluar.

Begitu aku naik, suasana di dalam tram terasa tenang, bersih, dan teratur. Banyak penumpang lokal yang duduk diam sambil membaca atau mendengarkan musik. Jendela besar di kiri-kanan memberikan pemandangan kota yang lewat seperti film dokumenter urban.

Dan ya, bunyi lonceng tram—tring-ting-ting—itu benar-benar khas dan entah kenapa terdengar merdu. Setiap kali tram berjalan atau ingin memberi tanda di persimpangan, bunyi itu terdengar lembut, mengiringi suasana sore Amsterdam yang syahdu.

Tram ini, jalannya tidak terlalu cepat, bahkan bisa dibilang relatif lambat, tapi justru itulah yang membuatnya nyaman. Aku bisa menikmati pemandangan kota dari balik jendela besar dengan tempo santai—melihat orang-orang bersepeda, turis berjalan kaki, kafe-kafe kecil dengan meja di pinggir jalan, dan kanal-kanal yang tak pernah jauh dari pandangan.

Selama beberapa puluh menit, tram membawaku melintasi berbagai bagian kota, mulai dari pusat yang ramai hingga kawasan yang lebih tenang di pinggiran. Di daerah pinggiran itu, suasananya jauh lebih sepi dan damai. Bangunan apartemen tampak lebih modern, jalan lebih lebar, dan tak banyak lalu lalang orang. Tapi justru di situ aku merasakan sisi lain Amsterdam—tenang, rapi, dan teratur. Udara terasa segar dan suasana sangat tertib. Bahkan ketika sepi, kota ini tetap terasa hidup dalam kesunyiannya.

Setelah puas berkeliling dengan tram, aku memutuskan turun di salah satu titik dekat pusat kota. Aku kembali menyusuri jalanan di area sentral Amsterdam—tempat di mana kanal, toko-toko kecil, dan bangunan bersejarah saling berdampingan. Aku tidak punya tujuan pasti, hanya berjalan ke mana kaki membawa. Kadang mampir ke toko oleh-oleh, kadang hanya duduk sebentar di bangku taman atau pinggir kanal, menatap air yang tenang dan perahu yang lewat.

Menjelang jam 6 sore, aku merasa waktuku di Amsterdam sudah cukup untuk hari itu. Aku pun kembali ke Stasiun Amsterdam Central, tempat awal aku memulai eksplorasi siang tadi. Hari mulai beranjak senja, lampu-lampu kota mulai menyala, dan udara terasa mulai dingin lagi. Tapi hatiku hangat karena hari ini penuh dengan pengalaman kecil yang menyenangkan—berjalan menyusuri kanal, duduk di taman, menatap langit dari dalam tram, dan merasakan denyut kota dengan langkahku sendiri.

Malam harinya, aku pun kembali ke stasiun Amsterdam Central. Tujuanku mengambil tasku yang sejak pagi kusimpan di dalam locker. Locker-lokernya modern, tinggal scan barcode, pintu terbuka, dan voila—tasku masih aman di dalam.

Begitu keluar dari stasiun, aku langsung menuju halte bus yang akan membawaku ke Bandara Schiphol. Aku memutuskan naik bus, Amsterdam Airport Express, karena bus itu langsung sampai bandara. Aku sudah terlalu lelah kalau harus memikirkan naik kereta dan transit-transit, lagipula aku tidak ada internet. Waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam, dan udara mulai terasa lebih dingin. Busnya cukup nyaman, dan perlahan kota Amsterdam mulai berganti jadi kilau lampu malam dari balik kaca jendela.

Sejak awal, aku memang sudah merencanakan untuk tidur di bandara malam ini. Dengan penerbangan ke Roma yang dijadwalkan jam 7 pagi besok, jelas tidak masuk akal bagiku untuk menyewa penginapan hanya untuk tidur beberapa jam—buatku yang backpacker-budget, itu terasa seperti buang-buang duit. Jadi ya, pilihan paling masuk akal dan murah: ngemper di bandara.

Setibanya di Schiphol, aku langsung mencari spot strategis. Karena belum bisa check-in, otomatis aku hanya bisa stay di area sebelum pemeriksaan tiket. Aku pun berkeliling, menyisir lorong-lorong terminal sampai akhirnya menemukan sudut yang cukup sepi. Di sana sudah ada beberapa bule juga yang tampaknya senasib—rebahan di lantai, berselimut jaket, dan menempel dekat colokan.

“Oke, ini zona sah para pejuang early flight,” pikirku sambil tersenyum kecil.

Aku pun memilih salah satu pojokan, menurunkan tas, colok charger HP, lalu mencoba membuat diriku senyaman mungkin. Meski lantainya keras dan suhu bandara lumayan dingin, aku sudah siap mental sejak awal. Sambil menunggu baterai HP penuh, aku rebahan dan perlahan menutup mata. Di kepala, aku mulai membayangkan seperti apa suasana Roma esok pagi.

Terimakasih Amsterdam, Terimakasih diriku hari ini. Semoga malam ini aku bisa tidur.........

[9] Balada Eropa : Goodbye Iceland, Selamat Datang Jerman dan Belanda!

Good Bye Iceland... I hope someday I can go back here... Btw can you spot me sit in the middle? Hehe

Perjalanan selama 45 menit dari Terminal BSI membawa aku kembali ke Bandara Keflavik, Islandia. Di dalam bus, aku hanya terdiam, memandangi gelapnya malam yang perlahan mulai merayap, dengan perasaan campur aduk—antara lelah, puas, dan sedikit sedih karena harus meninggalkan negeri penuh keajaiban ini.

Sesampainya di bandara, waktu menunjukkan sekitar pukul 10 malam. Penerbanganku sendiri baru akan berangkat pukul 00.35 dini hari, jadi masih ada cukup banyak waktu. Konter check-in juga belum dibuka. Aku pun memanfaatkan waktu itu untuk ngemil sambil duduk santai di salah satu sudut bandara. Mumpung masih ada waktu, aku isi perut dulu, karena penerbangan nanti cukup panjang—dan pasti akan lapar kalau perut dibiarkan kosong.

Begitu konter check-in dibuka, aku langsung mengurus prosesnya, yang syukurnya berjalan lancar. Setelah melewati imigrasi dan pemeriksaan keamanan, sekitar pukul 12 malam akhirnya aku bersiap untuk boarding ke pesawat Eurowings yang akan membawaku ke Jerman.

Penerbangan malam itu berjalan lancar tanpa kendala. Karena tubuh sudah mulai kelelahan setelah eksplorasi penuh selama di Islandia, aku akhirnya tertidur cukup pulas di kursi pesawat. Saat bangun, aku mendengar pengumuman dari awak kabin—kami akan segera mendarat.

Jam menunjukkan pukul 5 pagi waktu Jerman. Tak lama kemudian, roda pesawat menyentuh landasan dengan mulus.

Yee! Selamat datang di Jerman!
Babak petualangan berikutnya pun dimulai.

Begitu mendarat di Bandara Berlin, aku langsung mencari toilet untuk cuci muka dan sikat gigi. Rasanya segar banget setelah perjalanan udara yang cukup panjang dan melelahkan. Setelah itu, aku juga mengisi ulang botol airku di water fill station gratis yang tersedia di bandara—fasilitas simpel tapi berguna banget buat backpacker macam aku ini.

Hari itu aku punya agenda penting: jam 10 pagi aku sudah harus sampai di Terminal Bus ZOB Berlin, karena aku akan melanjutkan perjalanan ke Amsterdam dengan Flixbus. Perjalanan ke Amsterdam cukup panjang, sekitar 7 jam, jadi aku harus pastikan tidak ada drama nyasar pagi-pagi begini.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju konter informasi bandara. Di sana aku bertanya ke petugasnya dengan sopan, “Excuse me, how can I get to ZOB Berlin?” Awalnya dia hanya menjawab singkat, “Please wait.” Dalam hati aku sempat mikir, oh oke, mungkin dia masih ngurus penumpang lain, jadi aku berdiri aja nunggu.

Tapi beberapa menit kemudian, ternyata dia bukan cuma menjawab asal. Dia mengetikkan seluruh langkah demi langkah perjalanan menggunakan transportasi umum—lengkap banget! Mulai dari kereta mana yang harus aku ambil, line berapa, harus transit di mana, semua ditulis dengan rapi dan langsung dicetak pakai printer kecil mereka.

Wow. Aku benar-benar takjub dengan pelayanan sepraktis itu. Jadi bukan cuma dikasih informasi lisan yang rawan lupa, tapi bener-bener dibekali panduan cetak. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali, sambil keluar dari konter itu dengan rasa percaya diri penuh.

Dalam kertas arahan yang diberikan tadi, tertulis jelas: dari bandara aku harus naik kereta A sampai di satu stasiun transit, lalu lanjut naik kereta B untuk sampai ke Terminal Bus ZOB. Petunjuknya cukup jelas dan mudah diikuti, bahkan untukku yang belum terlalu familiar dengan sistem transportasi Berlin.

Aku pun dengan cepat menemukan peron untuk kereta A. Keretanya bersih, modern, dan tepat waktu banget—seperti yang sudah kudengar tentang efisiensi Jerman. Pemandangan selama di dalam kereta pun menyenangkan: melewati perumahan, taman kota, dan jalanan yang mulai sibuk oleh aktivitas pagi.

Setelah beberapa belas menit, aku tiba di stasiun transit. Sebenarnya disitu aku cukup kebingungan karena ada beberapa jalur kereta. "Mana ya yang ke arah ZOB?" Kataku dalam hati. 

Aku langsung berinisiatif bertanya ke seorang wanita yang juga sedang menunggu kereta. Dia sangat ramah dan menunjukkan bahwa aku harus naik ke peron 1, saat itu peron terdekat tempatku berdiri. Woww.. benar-benar keramahan warga Jerman yang mulai sering dijumpai disini. Tidak berapa lama kereta dimaksud datang dan aku sudah berada di jalur yang tepat, menuju Terminal ZOB.

Begitu keluar dari peron Terminal ZOB, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang sangat... menggoda: penjual hotdog kecil di sudut stasiun. Dan ketika kulirik harganya—2 euro saja—aku langsung senyum lebar.

Bayangkan saja, setelah beberapa hari di Islandia di mana sekali makan bisa menghabiskan 17 hingga 30 euro, sekarang aku bisa sarapan dengan 2 euro saja! Ini seperti kejutan manis di pagi yang sudah cukup menyenangkan. Tanpa pikir panjang, aku langsung melipir dan memesan satu hotdog hangat. Sosisnya besar, rotinya empuk, dan disajikan dengan mustard—sederhana, tapi cukup mengenyangkan untuk sarapan 

Dengan perut kenyang dan semangat kembali penuh, aku melanjutkan langkah kaki menuju terminal. Di kejauhan, tampak bangunan besar dengan huruf-huruf mencolok bertuliskan "Zentraler Omnibusbahnhof"—atau yang lebih dikenal dengan nama ZOB Berlin. Inilah terminal bus antarkota utama di Berlin, yang jadi titik berangkat dan datangnya bus-bus dari dan ke berbagai kota di Eropa.

Bangunannya nggak mewah-mewah banget, tapi cukup besar dan fungsional. Di dalamnya ada ruang tunggu yang cukup nyaman, deretan kursi, beberapa vending machine, papan jadwal digital yang terus berganti-ganti menampilkan info keberangkatan, dan tentu saja—suasana khas terminal: orang-orang dengan ransel besar, beberapa rebahan setengah tidur, ada juga yang sibuk mengecas HP sambil terus lirik layar monitor.

Begitu aku lihat papan pengumuman, ternyata busku ke Amsterdam belum datang. “Oke, masih ada waktu,” batinku. Akhirnya aku pilih duduk santai di salah satu bangku yang belum ditempati, menarik napas panjang, dan membiarkan kakiku sedikit beristirahat. Di sekitar, kulihat ada rombongan turis dengan koper segede kulkas, pasangan muda yang sibuk selfie, dan satu dua traveler solo seperti aku yang diam-diam seolah sedang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Terminal ini memang jadi simpul penting mobilitas darat di Jerman, apalagi buat traveler hemat sepertiku. Dari sinilah bus-bus FlixBus, BlaBlaBus, dan lainnya datang dan pergi, menghubungkan Berlin dengan kota-kota besar macam Amsterdam, Praha, Paris, bahkan sampai ke Barcelona kalau niat banget. Terminal ZOB ini ibarat pintu gerbang Eropa bagi para pejalan dengan bujet terbatas—dan hari itu, aku jadi salah satunya.

Nah, sewaktu sedang duduk santai mengamati aktivitas terminal—deru mesin bus yang datang silih berganti, orang-orang yang sibuk mengecek tiket, dan sesekali suara koper tergesek lantai—tiba-tiba kejadian tak terduga terjadi. Seorang anak laki-laki, mungkin usianya sekitar belasan, berjalan agak terburu-buru di depanku. Entah dia lagi ngelamun atau memang tidak terlalu awas, tapi tiba-tiba saja—BRAK!—kakiku disandung cukup keras.

Padahal posisi kakiku biasa aja, nggak sampai menjulur ke depan. Tapi yang bikin aku lebih kaget adalah reaksinya. Atau lebih tepatnya, ketiadaan reaksi. Anak itu terus berjalan begitu saja, tanpa sekalipun menengok ke belakang. Tidak ada ucapan maaf, tidak ada sekadar lirikan refleks untuk melihat apakah yang dia tabrak itu manusia atau tiang listrik.

Aku yang merasa cukup kaget sekaligus kesal karena gesture-nya yang kurang sopan langsung spontan menegurnya.

"Heeey!??!!" seruku, dengan nada sedikit meninggi.

Baru setelah itu dia berhenti, menoleh setengah kikuk, dan berkata pelan,
"I’m sorry."

Hhh… sudahlah. Aku tidak benar-benar marah, tapi jujur aja aku agak terganggu. Aku paham kalau kecelakaan kecil seperti ini bisa terjadi di tempat ramai. Tapi setidaknya, ucapan maaf harusnya jadi reaksi otomatis ketika menyandung seseorang—apalagi kalau itu cukup keras dan menyandung bagian kaki manusia, bukan cuma ransel atau tas.

Dalam hati aku bergumam, “Yah, semoga dia belajar lebih aware dan behave lebih baik ke depannya.” Karena traveling bukan cuma soal ke mana kita pergi, tapi juga gimana kita memperlakukan orang lain di sepanjang perjalanan.

Tidak menunggu lama, sekitar pukul 10 kurang, busku akhirnya datang. Warnanya hijau terang—ciri khas FlixBus—dengan papan digital yang jelas menunjukkan tujuan: Amsterdam. Aku segera berdiri, mengambil ransel, dan masuk ke dalam bersama penumpang lainnya yang juga sudah tak sabar ingin duduk. Setelah menemukan bangkuku, aku bersyukur banget karena ternyata aku duduk sendirian.

"Syukurlah, aku duduk sendirian. Ga ada sebelahnya," gumamku dalam hati sambil melonggarkan jaket dan menyandarkan kepala.

Bus perlahan mulai bergerak meninggalkan terminal ZOB. Kami menyusuri pinggiran kota Berlin, melintasi kawasan perumahan dan gedung-gedung bertingkat yang berganti dengan ladang luas dan rimbun pepohonan. Cuaca saat itu cerah, langit sedikit berawan, dan rasanya suasana hati pun ikut ringan. FlixBus ini nyaman banget—kursinya empuk, ada colokan USB, dan yang paling penting: pemandangan di luar jendela benar-benar jadi hiburan utama.

Kami melaju mulus di jalan tol Jerman yang terkenal rapi dan cepat—ya, Autobahn! Nggak terasa laju bus kadang ngebut banget, tapi tetap stabil. Sepanjang perjalanan, aku sempat melihat plang kota-kota yang kami lewati, meskipun tidak semua sempat disimak detail. Beberapa kota yang kuingat terlewati antara lain Hannover, kemudian sempat juga melihat tanda arah ke Osnabrück, dan entah kapan persisnya kami melintasi wilayah North Rhine-Westphalia—negara bagian besar di barat Jerman.

Yang menarik, saat bus memasuki wilayah perbatasan menuju Belanda, tidak ada pos pemeriksaan sama sekali. Nggak ada petugas imigrasi, nggak ada kontrol paspor. Bus terus melaju tanpa hambatan, seolah perpindahan antarnegara ini hanya seperti berpindah provinsi. Aku sempat ngelirik ke luar jendela, berharap lihat semacam gerbang atau plang “Welcome to Netherlands,” tapi sepertinya aku kelewat.

Setelah masuk wilayah Belanda, suasananya mulai sedikit berbeda. Rumah-rumah bergaya khas Belanda mulai terlihat—berjendela lebar, dengan taman-taman kecil di depannya. Ladang luas masih menemani perjalanan, tapi mulai ada kanal-kanal kecil dan kincir angin modern yang muncul di kejauhan.

Sambil mendengarkan lagu dari earphone dan sesekali menatap keluar jendela, aku merasa perjalanan ini menyenangkan banget. Hening, reflektif, tapi juga mengandung rasa bebas—semacam rasa “woy, aku lagi nyebrang negara dari Jerman ke Belanda pakai bus!” Sebuah sensasi yang sederhana, tapi bermakna. Satu lagi langkah kedepan telah terlewati .


Sekitar pukul 4 sore, akhirnya bus perlahan memasuki wilayah kota Amsterdam. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Berlin, melewati jalan tol dan hamparan pedesaan yang luas, akhirnya kota ini menyambutku dengan langit agak mendung dan suasana yang mulai sibuk. Bus mengarah ke terminal Amsterdam Sloterdijk, salah satu hub transportasi utama di kota ini.

Begitu bus benar-benar berhenti, para penumpang langsung berdiri dan mengambil barang bawaan masing-masing. Suasananya tetap tertib dan tenang—nggak ada dorong-dorongan atau buru-buru. Aku bahkan sempat membangunkan seorang penumpang di sebelah yang tertidur sangat pulas, sampai-sampai nyender ke jendela dan nyaris nggak sadar kalau kami sudah sampai. “Mas, udah sampai,” kataku pelan sambil senyum. Dia hanya mengangguk setengah sadar sambil buru-buru merapikan tasnya.

Amsterdam Sloterdijk sendiri bukan terminal bus biasa. Ini adalah pusat transportasi besar yang menghubungkan kereta antar kota, bus lokal dan internasional, serta trem dan metro. Dari luar, bangunannya terlihat modern dan agak industrial. Begitu masuk ke bagian dalam, suasananya seperti stasiun besar: atap tinggi, dinding kaca, dan papan digital informasi keberangkatan yang berjajar. Ada beberapa kafe kecil, mesin penjual tiket otomatis, dan tempat duduk tersebar di sana-sini. Tapi yang paling aku cari saat itu adalah: sinyal Wi-Fi.

Dengan ransel yang sudah mulai bikin pundak pegal, aku segera masuk ke dalam bangunan terminal dan membuka HP, berharap bisa konek ke Wi-Fi gratis. Setelah beberapa menit coba-coba login ke jaringan publik, akhirnya sinyal berhasil nyambung. Aku langsung membuka Google Maps—niatnya sederhana: mencari rute ke hostel yang sudah aku pesan, Amigo Budget Hostel, yang lokasinya ada di pusat kota Amsterdam.

Tapi saat lagi fokus liat peta, tiba-tiba notifikasi email masuk. Aku buka. Dan...
Kaget setengah mati.

Email dari pihak hostel masuk dengan isi yang cukup mengejutkan:
Reservasiku dibatalkan.
Alasannya? Mereka tidak bisa memverifikasi kartu kredit yang aku gunakan sebagai jaminan saat booking.

"Owalah... Apa lagi ini?" gerutuku sambil menatap layar dengan wajah kosong.

Aku sempat bengong beberapa detik. Udah sampai kota, udah siap menuju hostel buat istirahat, tapi malah dapat kabar bahwa tempat menginapku batal sepihak. Yah, beginilah realita traveling—selalu ada kejutan, dan sayangnya, kadang nggak selalu yang menyenangkan.

Aku mencoba menenangkan diri sejenak, menyadari bahwa bengong doang akan membuatku tidak punya tempat tinggal malam ini. Aku segera membuka aplikasi booking lagi, dan ternyata harga booking Amigo Hostel kini sudah naik tiga kali lipat. Hampir 50 euro hanya untuk satu kasur di dormitory semalam.

"Gila, nggak mungkin aku booking lagi," kataku dalam hati sambil mengernyitkan dahi.

Di tengah kebingungan, aku mulai mencari alternatif lain. Pusat kota Amsterdam memang sudah terlalu mahal, dan harga 50 euro itu benar-benar bikin kantong bolong. "Gimana ya?" gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, sebuah ide terlintas. Kenapa nggak cari penginapan di kota sekitar Amsterdam saja? Asalkan nggak terlalu jauh, kan masih bisa naik transportasi umum—seperti kereta atau bis—untuk kembali ke Amsterdam keesokan harinya. Aku berpikir, yang penting tetap hemat.

Aku mulai telusuri Google Maps lagi dan mempertimbangkan beberapa opsi. Tiba-tiba, aku menemukan kota Alkmaar. Jarak antara Amsterdam dan Alkmaar sekitar 40 kilometer—jaraknya cukup dekat sehingga perjalanan dengan kereta intercity hanya memerlukan sekali naik dan mungkin sekitar 30–40 menit saja. Di aplikasi booking, aku menemukan kamar dorm di Alkmaar dengan harga 'hanya' 19 euro semalam, dengan rating yang cukup bagus.

"Nah, mantap nih, ini aja," kataku dalam hati, merasakan secercah harapan di tengah dilema penginapan malam ini.

Setelah memastikan rute di Google Maps bahwa perjalanan ke hotel di Alkmaar bisa ditempuh dengan kereta intercity langsung, aku merasa tenang. Namun, muncul pertanyaan yang tak bisa kutinggalkan: "Wah, berapa nih harga tiket kereta PP (Alkmaar – Amsterdam)? Kalau tiketnya mahal, sama aja, jadi aku harus cari kejelasan."

Tak tahan penasaran, aku pun mendekati loket tiket di stasiun. Aku bertanya kepada petugas tiket dengan nada bercampur penasaran dan cemas. "Permisi, Pak/Bu, berapa harga tiket kereta pulang-pergi antara Amsterdam dan Alkmaar?"

"It’s 7 euro," jawab petugas tiket dengan ramah, membuatku langsung mengangguk pelan.

Aku mengucapkan terima kasih, lalu berjalan menjauh sebentar ke sudut stasiun untuk menimbang-nimbang. Otak dan kalkulatorku langsung jalan otomatis: 19 euro untuk dorm di Alkmaar, ditambah 7 euro untuk tiket pulang-pergi kereta. Total 26 euro. Masih jauh lebih murah dibanding booking ulang hostel di Amsterdam yang tembus 50 euro hanya untuk semalam.

"Masih boleh lah," gumamku dalam hati, sedikit lega.

Tanpa menunda, aku segera booking kasur dorm itu melalui aplikasi. Beberapa klik dan konfirmasi kartu, dan… done! Kamar di Alkmaar berhasil diamankan. Rasanya seperti menang lotre kecil-kecilan. Dari nyaris nginep di bangku stasiun, jadi dapat penginapan nyaman dengan harga wajar.

Aku kembali ke loket tiket dan menyapa petugas tadi,
"Baik, Pak. Saya beli tiket sekali jalan ke Alkmaar ya."

Petugas itu dengan cekatan mengetik sesuatu di layar dan kemudian mencetak tiket kecil dari mesin di depannya.
"3,5 euro," ujarnya sambil menyerahkan tiket itu padaku.

"Terima kasih," kataku sambil menyerahkan uang dan menerima tiket dengan senyum lega.

Tanganku menggenggam tiket kecil itu erat-erat seperti menggenggam tiket menuju harapan. 

Setelah memegang tiket di tangan, aku segera melangkah menuju area peron. Mencari peron untuk kereta Intercity tujuan Alkmaar ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Petunjuk arah di Amsterdam Sloterdijk sangat jelas, dengan papan informasi digital yang terus diperbarui secara real-time. Aku hanya perlu memastikan nomor peron dari layar besar di tengah aula stasiun, lalu mengikuti panah petunjuk yang mengarah ke peron yang dimaksud.

Sesampainya di peron, udara sore mulai terasa dingin. Orang-orang berdiri dengan ransel dan koper, beberapa duduk sambil main ponsel. Tak butuh waktu lama, kereta Intercity datang dengan tenang. Warnanya khas—biru dan kuning, ciri khas NS (Nederlandse Spoorwegen), perusahaan kereta api nasional Belanda.

Aku masuk ke salah satu gerbong dan langsung merasakan kenyamanan khas kereta Eropa. Interiornya bersih dan cukup modern, dengan jendela besar dan kursi empuk berlapis kain biru. Tempat duduknya lega dan tertata rapi, sebagian besar kosong. Hari itu aku beruntung bisa duduk sendiri tanpa ada penumpang di sebelah.

Kereta mulai melaju, perlahan meninggalkan hiruk-pikuk Amsterdam. Sepanjang perjalanan menuju Alkmaar, aku disuguhi pemandangan yang berbeda dari suasana kota. Kereta melewati pinggiran kota, lalu berangsur-angsur berubah menjadi desa-desa kecil yang tenang. Ladang hijau terbentang luas, sesekali terlihat kanal-kanal kecil yang mengalir tenang. Rumah-rumah bata merah khas Belanda berjajar rapi, sebagian dengan taman kecil di depannya. Langit sore yang mulai redup menambah nuansa syahdu.

Di tengah perjalanan, seorang kondektur dengan seragam biru dan topi datang menyusuri lorong. Ia mengecek tiket dengan ramah sambil menyapa penumpang. Setelah aku menunjukkan tiketku, ia hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya.

Sekitar 40 menit kemudian, mendekati pukul 6 sore, kereta melambat. Alkmaar—tujuan akhirku malam ini—akhirnya tiba.

Stasiun Alkmaar tampak jauh lebih tenang dibanding Sloterdijk atau Amsterdam Centraal. Bangunannya tidak besar, tapi bersih dan terawat. Ada nuansa klasik khas kota kecil Eropa, dengan peron sederhana dan kanopi melengkung di atasnya. Beberapa penumpang turun bersamaku, tapi tak banyak. Di kejauhan kulihat deretan sepeda parkir rapi, dan bangunan-bangunan batu bata yang memberi kesan hangat meski udara mulai dingin.

Begitu keluar dari stasiun Alkmaar dan menjejakkan kaki di pelatarannya, hal pertama yang kulakukan adalah mengaktifkan Wi-Fi. Dan seperti yang kusyukuri sejak awal tiba di Eropa: akses Wi-Fi publik di sini luar biasa mudah. Gratis, tanpa password, dan sinyalnya kuat. Dalam hitungan detik, aku sudah terkoneksi dan langsung membuka Google Maps—mencari rute ke hostel tempatku akan bermalam malam ini: King's Inn City Hostel.

Rute yang kutemukan di peta menunjukkan jarak yang tak terlalu jauh. Hanya sekitar 12 menit jalan kaki, atau bisa juga naik transportasi umum selama 8 menit. Tapi karena suasana kota ini terlihat tenang dan nyaman, aku memutuskan untuk jalan kaki saja sambil menikmati suasana.

Langkahku mulai menyusuri jalan kecil yang keluar dari stasiun. Udara sore menjelang malam terasa sejuk, dan suasananya sangat berbeda dari hiruk pikuk Amsterdam. Ini kota kecil yang terasa ramah. Di kiri-kanan jalan, rumah-rumah khas Belanda dengan tembok bata berwarna cokelat berjajar rapi. Jendela-jendelanya lebar, beberapa dihiasi bunga di pot gantung, dan nyaris semuanya tampak sangat bersih dan terawat.

Tak lama kemudian, aku sampai di sebuah kanal kecil. Airnya jernih, memantulkan cahaya lampu jalan dan pepohonan di sekitarnya. Aku menyeberang lewat jembatan kecil yang membelah kanal itu. Dari atas jembatan, aku sempat berhenti sejenak, sekadar mengamati air yang tenang, dan rumah-rumah yang berjajar di kejauhan. Pohon-pohon rindang tumbuh di sepanjang tepi jalan, menambah kesan teduh dan asri.

Aku tersenyum sendiri. Perasaan nyaman dan tenang mulai mengisi dadaku, menggantikan rasa panik dan stres yang sempat kurasakan di Amsterdam tadi siang. Ada rasa syukur yang pelan-pelan muncul—syukur karena aku memilih solusi yang tepat, syukur karena masih bisa bermalam dengan aman dan nyaman, dan syukur karena bisa melihat sisi lain dari Belanda yang lebih damai dan tenang.

Begitu sampai di depan King's Inn City Hostel, aku langsung masuk ke lobi dengan langkah lega. Bangunannya tidak terlalu besar, tapi tampak hangat dan modern. Proses check-in berlangsung cepat dan lancar—resepsionisnya ramah, dan aku hanya perlu menunjukkan paspor serta bukti booking.

Syukurlah, aku diberi kasur di bagian bawah—hal kecil yang sangat kusyukuri setelah hari yang cukup melelahkan. Kamarku adalah dorm campur, tapi saat aku masuk, kondisinya masih sepi. Hanya ada satu koper di pojok dan suara gemerisik dari ranjang atas di ujung ruangan. Aku segera meletakkan tas besarku, mengganti baju dengan yang lebih nyaman, dan duduk sejenak untuk menarik napas panjang.

Tapi tak lama kemudian, rasa lapar mulai menyergap. Rasanya energi hari ini sudah terkuras sejak dari Amsterdam. Aku pun mengaktifkan Wi-Fi hostel dan mulai browsing tempat makan di sekitar. Setelah menimbang-nimbang beberapa pilihan, akhirnya aku putuskan untuk main aman: KFC aja deh. Lumayan dekat dari hostel, dan rasanya sudah bisa terbayang—hangat, gurih, dan mengenyangkan.

Sekalian saja, aku niatkan untuk jalan-jalan sore di kota Alkmaar. Kota kecil ini punya suasana yang damai dan menenangkan—cocok banget untuk menutup hari yang penuh kejutan ini.

Langit mulai berwarna keemasan, cahaya senja menyentuh pelan bangunan bata tua dan kanal-kanal kecil yang berliku di tengah kota. Aku pun melangkah keluar hostel, siap menyambut malam dengan perut kenyang dan hati yang jauh lebih ringan.

Sore itu, aku melangkah santai dari hostel menuju KFC yang lokasinya tak jauh. Udara Alkmaar terasa dingin tapi menenangkan—angin sepoi-sepoi menyapa wajah, dan jalanan kota terlihat lengang. Cahaya sore keemasan menyinari rumah-rumah bata khas Belanda yang berjajar rapi. Di sepanjang jalan, sesekali aku melintasi kanal kecil yang tenang, memantulkan langit yang perlahan berubah warna.

Begitu sampai di KFC, aku masuk dan langsung memesan: satu porsi kentang goreng, ayam crispy, nugget, dan secangkir hot chocolate. Makanan comfort yang pas banget untuk menghangatkan tubuh dan hati. Aku memilih duduk di kursi bagian luar, tepat di area teras KFC yang menghadap ke jalan kecil yang damai.

Suasananya tenang. Hampir tidak ada suara bising. Hanya sesekali deru sepeda melintas dan percikan air kanal yang mengalir pelan. Udara dingin sore hari terasa justru pas, membuat hot chocolate yang kupesan jadi makin nikmat saat diseruput.

Saat aku sedang menikmati kentang goreng, beberapa burung kecil mulai mendekat. Mereka berjalan pelan-pelan ke arahku, kepala miring ke kiri dan kanan seperti minta jatah. Aku tersenyum sendiri, lalu menyobek beberapa kentang dan kuberikan ke mereka. Mereka langsung berebut, tapi tetap dengan cara yang lucu dan tidak gaduh. Rasanya seperti adegan dari film indie Eropa—sunyi, sederhana, tapi hangat.

Lalu, hal kecil tapi sangat berkesan terjadi. Seorang pria paruh baya duduk di bangku seberangku. Ia mengeluarkan rokok, tapi sebelum menyalakan, ia menoleh ke arahku dan bertanya dengan sopan—bolehkah ia merokok.

Aku sedikit kaget, tapi sekaligus salut. Di Eropa, duduk di luar memang otomatis area merokok. Tapi tetap saja, dia memilih untuk bertanya dulu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum,
"Of course, it's okay."
Dalam hati aku kagum. Sebuah bentuk etika sederhana yang jarang kulihat di banyak tempat.

Aku duduk cukup lama di situ. Menikmati makanan, suasana, angin yang membelai ringan, dan langit yang perlahan berganti warna jadi jingga tua. Waktu seolah melambat, dan aku hanya duduk diam, merasa damai di titik ini. Tidak ada yang perlu buru-buru. Tidak ada yang harus dikejar malam ini.

"Besok aku check out pagi-pagi dan harus ke Zaanse Schans," bisikku dalam hati, mulai menyusun rencana esok hari.
"Backpack kayaknya aku bawa sekalian aja dan kutaruh di luggage storage. Biar praktis, gak usah balik-balik lagi ke Alkmaar."

Sore itu kututup dengan syukur. Karena di balik segala kekacauan hari ini, aku justru mendapat momen ketenangan yang sulit dicari di kota besar. Dan semua itu dimulai dari sebuah kasur dorm 19 euro dan sebungkus kentang goreng yang dibagi ke burung jalanan.

Malam itu tak banyak yang bisa kulakukan. Setelah tadi sore kamar dorm masih kosong dan sunyi, ternyata saat aku pulang dari KFC, suasananya sudah berubah. Beberapa pria berbadan besar sudah mengisi ranjang-ranjang lainnya. Dari logat mereka saat berbicara satu sama lain, aku bisa menebak itu bahasa Slavia—sepertinya bahasa sirilik. Dan benar saja, ketika salah satu dari mereka bertanya padaku dengan aksen berat,
“Where are you from?”
Aku jawab, “Indonesia,” sambil tersenyum ramah.

Saat aku balik bertanya, mereka mengangguk sambil berkata,
“Russia.”

Wah, menarik juga. Meskipun penampilan mereka bisa bikin ciut nyali—badan besar, suara berat, wajah sangar—ternyata mereka sangat ramah dan sopan. Kami berbincang ringan sejenak, lalu masing-masing kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang langsung selonjoran sambil scrolling HP, ada juga yang rebahan memejamkan mata.

Perutku masih terasa agak lapar, mungkin karena udara dingin dan sisa perjalanan hari ini. Jadi aku mengeluarkan rice cooker mini andalanku. Yup, traveler sejati wajib siap dengan alat tempur semacam ini. Aku pun mulai merebus air dan memasak stok terakhir Indomie rebus yang kubawa dari rumah. Aroma bumbu mie yang familiar langsung memenuhi ruang tengah hostel—dan seketika, rasanya seperti pulang.

Aku duduk santai di ruang tengah hostel sambil menikmati setiap suapan mie panas itu. Nikmat banget. Sambil makan, pikiranku melayang—membayangkan seperti apa kisah esok hari. Mungkinkah ada kejutan lain yang menanti di Zaanse Schans? Mungkinkah aku akan bertemu orang baru lagi, atau malah kehilangan arah di tengah desa kincir angin?

Setelah kenyang dan suasana mulai hening, kantuk mulai menyerang. Aku bereskan mangkukku, membereskan sedikit barang, lalu beranjak ke kasur. Lampu kamar sudah redup, dan hanya terdengar suara napas pelan para penghuni dorm.

"Semoga besok menjadi hari yang menyenangkan," ujarku dalam hati.
"Terima kasih, diriku, untuk tetap kuat hari ini."

Dan dengan perasaan damai, aku pun terlelap dalam diam, membiarkan tubuhku istirahat dari hari yang panjang, dan hatiku bersiap untuk petualangan esok pagi.