Pesawat AirAsia yang kami tumpangi dari Kuala Lumpur mulai menurunkan ketinggian. Dari jendela, terbentang samudra biru luas yang mengelilingi pesisir Banda Aceh. Kota ini terletak di ujung utara Pulau Sumatra, di mana perairan Selat Malaka dan Samudra Hindia bertemu. Gugusan pulau kecil tampak di kejauhan, dan perlahan, daratan Aceh semakin jelas di bawah sana.
Ini adalah pertama kalinya aku dan Nur menginjakkan kaki di Aceh, yang juga dikenal sebagai Serambi Mekah. Ada rasa penasaran dan antusias yang bercampur dalam perjalanan ini, terutama karena Aceh memiliki sejarah dan budaya yang begitu khas dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Begitu pesawat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, kami langsung menuju imigrasi. Saat menyerahkan paspor, petugas sempat bertanya,
"Mau ke mana dan ngapain?"
Kami jawab singkat bahwa kami ingin jalan-jalan dan akan menyeberang ke Pulau Weh besok pagi. Setelah pemeriksaan yang cukup cepat, kami pun melangkah keluar bandara.
Begitu tiba di luar bandara, kami awalnya ingin mencari transportasi umum. Namun, setelah celingak-celinguk di sekitar bandara, ternyata tidak ada angkutan umum. Yang ada hanya taksi bandara yang langsung menawarkan tarif. Seorang sopir mendekati kami dan menyebut harga, tapi rasanya masih terlalu mahal.
Kami pun memutuskan untuk berjalan keluar dari area bandara, berharap bisa menemukan tempat yang memungkinkan untuk memesan Grab. Namun, baru beberapa ratus meter berjalan di bawah terik matahari, taksi yang tadi menawari kami datang lagi. Kali ini, dia menawarkan harga yang lebih murah. Setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kepraktisan, kami pun setuju dan langsung naik ke dalam mobil ber-AC yang cukup lega.
Tak butuh waktu lama, sekitar 25 menit, kami tiba di Hotel Kuala Nanggroe, hotel yang sudah kami pesan online. Hotel ini cukup sederhana, tetapi fasilitasnya lumayan lengkap—ada Wi-Fi, AC yang dingin, dan kamar yang bersih. Setelah perjalanan panjang, akhirnya bisa merebahkan badan di kasur empuk terasa sangat menyenangkan.
Saat melewati jalanan Banda Aceh menuju hotel, aku memperhatikan kota ini lebih detail.
- Tidak terlalu ramai, tidak ada hiruk-pikuk kendaraan seperti di kota besar lain di Indonesia.
- Jalanan tertata rapi, dengan trotoar yang cukup nyaman untuk pejalan kaki.
- Kota ini juga terasa bersih, hampir tidak ada sampah berserakan di pinggir jalan.
- Banyak bangunan berarsitektur khas Aceh, terutama masjid dengan kubah besar dan motif Islami yang indah.
Setelah beristirahat sebentar, malamnya kami memutuskan untuk memesan makanan online. Pilihan kami jatuh pada sesuatu yang familiar dan mengenyangkan—nasi Padang. Begitu makanan tiba, aku langsung membuka bungkusnya dan aroma rempahnya langsung menguar ke seluruh kamar.
Saat suapan pertama masuk ke mulut, aku dan Nur langsung saling pandang dengan ekspresi kaget.
"Gila, ini enak banget!"
Bumbunya benar-benar kaya rasa, dagingnya empuk, kuah gulainya terasa gurih, dan sambalnya memiliki pedas yang pas. Entah karena kami lapar atau memang makanan di Aceh seenak ini, tapi malam itu rasanya nasi Padang terbaik yang pernah kumakan.
Setelah perut kenyang, kami memutuskan untuk tidur lebih awal. Besok pagi, kami akan memulai perjalanan menuju Pulau Weh, petualangan yang sudah kami tunggu-tunggu sejak lama. Aku menutup mata dengan perasaan puas dan tak sabar untuk melihat apa lagi yang Aceh tawarkan.
Esok paginya, aku dan Nur bangun lebih awal dengan semangat untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh, salah satu pulau terluar Indonesia yang menjadi tujuan utama kami. Setelah mandi dan berkemas, kami segera check-out dari hotel.
Beruntung, saat memesan Grab, kami mendapatkan promo dengan tarif Rp 1 menuju Pelabuhan Ulee Lheue, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 20 hingga 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas.
Setibanya di pelabuhan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung makan sederhana di depan pelabuhan. Menu yang kami pilih adalah nasi dengan sayur, ikan goreng, dan sambal. Rasanya sungguh nikmat, perpaduan bumbu khas Aceh yang kaya rempah membuat sarapan pagi itu menjadi pengalaman kuliner tersendiri.
Setelah selesai makan, kami menuju area keberangkatan untuk naik ke kapal. Suasana pelabuhan pagi itu cukup ramai; banyak warga lokal dan wisatawan yang juga hendak menyeberang ke Pulau Weh. Beberapa penjual makanan dan minuman tampak menjajakan dagangannya di sekitar area tunggu. Kendaraan seperti mobil dan motor antre untuk masuk ke dalam kapal feri. Meskipun ramai, suasananya tetap tertib dan teratur.
Kami memiliki dua pilihan transportasi laut menuju Pulau Weh:
Kapal Feri: Dengan tarif sekitar Rp 25.000, waktu tempuhnya sekitar 2 jam.
Kapal Cepat: Dengan tarif sekitar Rp 75.000, waktu tempuhnya lebih singkat, sekitar 45 menit.
Kami memilih kapal feri karena ingin menikmati perjalanan laut yang lebih santai dan hemat biaya. Pagi itu, kondisi laut cukup bersahabat, sehingga perjalanan berlangsung lancar dan menyenangkan. Selama di atas feri, kami menikmati pemandangan laut yang luas dan sesekali melihat pulau-pulau kecil di kejauhan, menambah antusiasme kami untuk menjelajahi keindahan Pulau Weh.
Catatan: Informasi mengenai tarif dan waktu tempuh kapal feri dan kapal cepat diperoleh dari pengalaman perjalanan dan dapat berubah sewaktu-waktu.
Setelah kapal feri merapat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh, kami segera bersiap untuk turun bersama para penumpang lainnya. Sejak awal, kami memang belum menyewa motor untuk transportasi selama di Pulau Weh. Namun, berdasarkan informasi yang aku baca sebelumnya, banyak sumber menyebutkan bahwa setelah tiba di pelabuhan, akan ada banyak orang yang menawarkan jasa sewa motor. Aku cukup yakin dengan info itu karena sudah membaca dari berbagai sumber.
Dan benar saja, begitu kami melangkah keluar dari kapal, seorang bapak langsung mendekati kami dengan senyum ramah.
"Sewa motor, Kak? 90 ribu per hari," katanya sambil menunjuk ke arah beberapa motor yang tersedia.
Motornya Honda Vario, tidak terlalu baru, tetapi juga tidak terlihat terlalu tua. Aku dan Nur mengecek kondisinya sebentar—lampu menyala, rem pakem, dan ban masih layak. Semua tampak baik-baik saja, jadi kami pun langsung deal untuk menyewa motor tersebut selama tiga hari.
Dengan motor ini, perjalanan kami di Pulau Weh akan jauh lebih fleksibel dan nyaman!
Setelah beberapa kilometer meninggalkan Pelabuhan Balohan, aku mulai merasakan ketidaknyamanan pada motor yang kami sewa.
"Aduh, remnya nggak pakem," kataku dari depan motor.
"Kita bawa ke bengkel dulu aja ya, paling rem belakang dikencangin, rem depan ganti kampas," lanjutku.
"Iya, dibawa aja dulu, bahaya juga kalau gini," jawab Nur.
"Iya. Soalnya medan yang bakal kita lewatin banyak kelok dan pegunungan. Bisa bahaya kalau remnya nggak pakem."
Aku segera mencari bengkel terdekat melalui ponsel dan menemukan satu yang tidak jauh dari situ. Syukurlah, masalah bisa dibereskan dengan cepat. Aku membayar Rp 40.000 untuk perbaikan tersebut. Aku memutuskan untuk tidak meminta penggantian biaya kepada bapak penyewa motor, karena merasa kasihan jika rezekinya berkurang. Lagipula, ini demi keselamatan kami sendiri.
Setelah memastikan motor dalam kondisi baik, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang telah kami pesan sebelumnya, berlokasi di Pantai Gapang, namanya Cheapest Bungalow. Dari namanya udah ketebak ya, kenapa kami memilih penginapan ini 😁. Jarak dari Pelabuhan Balohan ke Pantai Gapang sekitar 20 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 30 hingga 40 menit menggunakan motor. Kondisi jalan di Pulau Weh umumnya baik, dengan beberapa bagian yang sepi dan berkelok-kelok melewati perbukitan. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat menawan, dengan hutan hijau dan sesekali pemandangan laut yang memukau.
Di tengah jalan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah warung sederhana di tepi pantai. Tempatnya sederhana, beratapkan daun rumbia dan beberapa meja kayu tua yang menghadap langsung ke laut. Kami duduk di salah satu meja yang paling dekat dengan air, dan dari sana bisa terlihat ombak kecil yang pelan-pelan menyapu pasir putih di garis pantai yang panjang dan sunyi. Alasanku berhenti disini tentunya satu, pengen banget ngerasain Mie Aceh langsung disini. Setelah semalam merasakan nasi Padang di Kota Banda Aceh dan 'termehek-mehek' dengan kelezatan rasanya, tentunya ekspetasiku untuk Mie Aceh ini lumayan tinggi.
"Mie Aceh 1 sama es kopi 1 mas," kataku ke penjaga warung.
Sesampainya di penginapan - Cheapest Bungalow Sabang, kami disambut dengan kejutan menyenangkan: kami diberikamar ber-AC! Padahal saat memesan kami memilih kamar dengan kipas angin. Penginapan ini langsung menghadap ke Pantai Gapang, menawarkan pemandangan laut yang menakjubkan. Terdapat gubuk-gubuk di depan hotel yang disediakan untuk duduk santai menikmati pantai. Setelah meletakkan barang dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Titik Nol Kilometer Indonesia, sebuah monumen yang menandai ujung barat wilayah Indonesia.
Perjalanan dari Pantai Gapang ke Titik Nol Kilometer memakan waktu sekitar 30 menit dengan motor, melewati jalan yang berkelok-kelok dan pemandangan alam yang asri. Sesampainya di sana, kami merasa bangga bisa berdiri di titik paling barat Indonesia, sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Sore itu, aku dan Nur memutuskan untuk mengunjungi titik nol kilometer Indonesia di Pulau Weh. Kami berangkat dari Pantai Gapang dengan motor sewaan, melaju di jalanan yang berkelok-kelok menembus perbukitan hijau yang masih asri. Jalanan cukup sepi, hanya sesekali kami berpapasan dengan motor lain atau truk kecil yang melintas perlahan. Sesekali di sisi jalan, monyet-monyet liar tampak bertengger di dahan pepohonan, mengawasi kami dengan tatapan penasaran.
Udara di sepanjang perjalanan terasa segar, dengan hembusan angin laut yang membawa aroma khas asin dari Samudra Hindia. Kami melewati beberapa tanjakan curam dan turunan tajam, sementara di beberapa titik, pepohonan di pinggir jalan terbuka, memperlihatkan pemandangan laut biru kehijauan yang terbentang luas di bawah sana.
Setelah sekitar 30 menit berkendara dari Pantai Gapang, akhirnya kami tiba di kawasan Tugu Nol Kilometer. Tempat ini merupakan salah satu destinasi ikonik di Pulau Weh, menandai titik paling barat dari Indonesia. Tugunya sendiri cukup besar dan megah, dengan desain modern yang dihiasi warna putih dan kuning keemasan. Di bagian atasnya terdapat angka "0 KM" yang mencolok, sementara di bawahnya tertera tulisan "Indonesia" yang menegaskan bahwa inilah titik awal perhitungan jarak di negeri ini.
Tugu ini dibangun untuk menandai posisi geografis Indonesia, dan sejak dulu menjadi simbol bagi para petualang yang ingin menjejakkan kaki di ujung barat Nusantara. Dulunya, tempat ini hanya berupa tugu kecil, tetapi kini telah direnovasi menjadi lebih besar dan menarik. Ada juga papan informasi yang menjelaskan sejarah serta koordinat geografisnya.
Saat kami tiba, angin bertiup cukup kencang dari arah samudra. Ombak besar menghantam tebing di bawah sana, menciptakan suara gemuruh yang berpadu dengan desir angin di telinga kami. Langit sore yang semula cerah perlahan berubah kelabu, dan tak lama kemudian, gerimis mulai turun. Aku dan Nur sempat berteduh di bawah tugu, menikmati suasana yang mendadak menjadi syahdu.
Meski hujan turun, tempat ini tetap terasa istimewa. Berdiri di sini, menghadap langsung ke samudra luas, benar-benar menghadirkan perasaan seakan berada di ujung dunia. Ada rasa haru sekaligus bangga bisa sampai di titik ini, titik nol perjalanan darat Indonesia.
Setelah hujan sedikit reda, kami sempat mengambil beberapa foto, mengabadikan momen di tempat bersejarah ini. Nur bercanda, "Berarti kita ini sudah menyelesaikan perjalanan dari nol," katanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang jarak, tetapi juga pengalaman, cerita, dan kenangan yang akan selalu kami ingat.
Matahari mulai turun ke cakrawala saat kami bersiap untuk kembali. Kami menyalakan motor dan kembali menyusuri jalanan sepi yang berkelok-kelok, meninggalkan Tugu Nol Kilometer dengan hati penuh rasa syukur. Sore itu, kami telah sampai di ujung barat Indonesia, dan perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling berkesan dalam petualangan kami.
Malam itu, setelah kenyang dengan makan malam sederhana di warung sekitar penginapan, aku dan Nur berjalan santai menuju gubuk kecil di depan penginapan. Gubuk itu menghadap langsung ke pantai, tempat sempurna untuk menikmati suasana malam di Pulau Weh.
Suara deburan ombak terdengar jelas, berpadu dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut. Langit malam begitu jernih, bertabur bintang, sementara cahaya bulan menerangi permukaan air yang bergelombang tenang. Kami duduk di bangku kayu, mengobrol santai sambil menikmati ketenangan malam.
Nur membuka percakapan, "Besok pasti seru, snorkeling di Pulau Rubiah." Aku mengangguk antusias, membayangkan kejernihan airnya yang terkenal, dengan terumbu karang dan ikan-ikan warna-warni yang berenang bebas di bawahnya.
Tak banyak yang kami lakukan malam itu selain menikmati suasana. Sesekali kami diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, hanya ditemani suara alam yang menenangkan.
Setelah beberapa saat, kantuk mulai menyerang. Kami pun memutuskan untuk masuk ke kamar dan beristirahat. Besok adalah hari yang dinantikan—snorkeling di Pulau Rubiah, surga bawah laut yang katanya salah satu yang terbaik di Indonesia.
Dengan perasaan puas dan semangat untuk petualangan esok, aku menarik selimut dan perlahan terlelap, ditemani suara ombak yang terus berkejaran di pantai.