Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.28.2025

[3] Sawadee Malaysia : Keliling Bangunan Bersejarah di Kuala Lumpur !

Trip ini merupakan rangkaian trip Thailand - Kamboja - Malaysia yang kulakukan dari 23 Januari 2012 - 2 Februari 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan linknya di bagian paling bawah postingan.

Part Sebelumnya : DISINI

Berpose di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia


Kuala Lumpur, 31 Januari 2012

Keesokan paginya, kami memutuskan untuk memulai hari dengan lebih santai. Karena ini adalah hari terakhir kami di Kuala Lumpur sebelum pulang ke Indonesia, rasanya ingin menikmati suasana tanpa terburu-buru. Kami baru mulai beraktivitas sekitar jam 11 siang. Bangun pun tanpa alarm, menikmati sarapan perlahan, dan menyiapkan diri untuk keliling kota lagi. Rencana hari ini sederhana: menjelajahi beberapa sudut Kuala Lumpur yang belum sempat kami datangi kemarin. Target kami adalah di area sekitar Pasar Seni dan Dataran Merdeka.

Penginapanku dan Alfi di Bukit Bintang

Dari penginapan, kami memulai perjalanan dengan naik Monorail, sebuah transportasi praktis yang melayang di atas jalanan Kuala Lumpur. Kami turun di Stesen Maharajalela, yang lokasinya cukup strategis dekat beberapa tempat bersejarah. Begitu keluar stasiun, kami langsung disambut pemandangan Stadium Merdeka. Stadion ini bukan stadion biasa. Stadium Merdeka adalah tempat bersejarah di mana pada 31 Agustus 1957, deklarasi kemerdekaan Malaysia dibacakan untuk pertama kalinya. Stadion ini pernah menjadi saksi momen penting ketika rakyat Malaysia resmi mengumumkan kemerdekaan mereka dari penjajahan Inggris. Bangunannya sendiri bergaya klasik, dengan tiang-tiang tinggi dan tribun terbuka yang terasa sederhana tapi penuh makna sejarah. Kami berhenti sejenak untuk berfoto.

Selesai berfoto di sekitar stadion, kami melanjutkan perjalanan ke Chan She Shu Yuen Clan Ancestral Hall yang jaraknya tidak terlalu jauh. Bangunan ini adalah sebuah klenteng klan — tempat untuk menghormati leluhur marga Chan, terutama bagi komunitas Tionghoa yang bermigrasi ke Malaysia. Fungsinya bukan hanya sebagai tempat berdoa, tetapi juga sebagai pusat pertemuan keluarga besar, tempat acara budaya, dan simbol penghormatan terhadap asal-usul mereka.



Kami masuk ke dalam dan langsung disambut suasana yang tenang, dengan ukiran kayu huruf Mandarin, patung-patung dewa-dewi yang dihias rapi, lampion-lampion merah yang menggantung cantik, serta aroma dupa yang memenuhi udara. Desain interiornya didominasi warna merah dan emas, membuat tempat ini terasa sangat hidup sekaligus sakral. Rasanya seperti sejenak dibawa ke suasana klasik Tiongkok di tengah hiruk pikuk Kuala Lumpur.

langkah kami membawa kami ke sebuah kuil tua dengan pintu merah menyala yang mencolok. Begitu masuk, suasana berubah drastis. Wangi dupa menyambut dari kejauhan, dan nuansa damai langsung terasa. Di salah satu sisi kuil, mataku tertumbuk pada detail ukiran kayu berlapis emas yang luar biasa indah.


Ukiran itu menampilkan makhluk mirip qilin, hewan mitologis dalam budaya Tiongkok yang dipercaya sebagai simbol keberuntungan dan kedamaian. Bentuknya setengah rusa, setengah naga, berdiri di atas pohon dengan posisi dinamis, dikelilingi bunga, daun, dan elemen alam lain yang menggambarkan keharmonisan hidup. Warna emasnya terlihat kontras dengan latar merah, sebuah kombinasi warna yang sarat makna dalam kepercayaan Tionghoa—melambangkan rejeki, kekuatan, dan perlindungan dari energi jahat.
Di samping ukiran itu juga tertera aksara Mandarin, yang kemungkinan adalah doa atau nama penyumbang keluarga bagi kelestarian kuil ini. Detailnya begitu halus dan penuh makna, aku sempat terpaku beberapa menit hanya untuk mengagumi karya tangan pengrajin zaman dulu.

Dari sini, kami kembali berjalan santai menuju arah Petaling Street, area pecinan (Chinatown) yang terkenal di Kuala Lumpur. Dalam perjalanan, kami sempat melewati Old China Cafe, sebuah kafe bersejarah yang mempertahankan nuansa kolonialnya. Bangunan tua ini tampak unik dengan pintu kayu besar dan ornamen vintage, membuat kami tidak tahan untuk berhenti sejenak dan berfoto di depannya sebelum melanjutkan langkah. Maklum, ini rangkaian perjalanan kami pertama kali ke luar negeri, jadi setiap ada bangunan otentik, rasanya pasti pengen berfoto aja hehehe..

Tak lama kemudian, langkah kaki kami sampai di Petaling StreetMeskipun matahari siang cukup terik, suasana di sini tetap ramai. Deretan kios dan toko memenuhi sepanjang jalan, menawarkan berbagai macam barang — dari suvenir, pakaian, tas, jam tangan, hingga jajanan lokal. Teriakan para pedagang yang menawarkan dagangannya bercampur dengan aroma makanan khas Malaysia, membuat suasana Petaling Street terasa hidup dan penuh warna.
Kami berjalan pelan menyusuri lorong-lorongnya, sambil sesekali berhenti melihat-lihat barang unik dan mencicipi jajanan yang menarik perhatian. Oya sebenarnya Petaling Street ini best-nya dikunjungi kalau malam, karena warna lampu dan lampion yang menyala akan membuatnya semakin estetik. 

Dulu, katanya, Petaling Street bukan seperti sekarang — awalnya hanyalah lorong kecil tempat para imigran Tiongkok menetap di abad ke-19. Mereka datang mencari rezeki dari tambang-tambang timah yang waktu itu sedang booming. Dari sanalah, perlahan-lahan kawasan ini tumbuh, bukan cuma jadi tempat tinggal, tapi juga pusat perdagangan kecil. Orang-orang lokal menyebutnya Chee Cheong Kai, yang artinya "Jalan Pabrik Tapioka," karena memang banyak pabrik olahan tapioka di sini.

Aku membayangkan, di masa itu, Petaling Street pasti dipenuhi aroma tepung tapioka, suara pedagang yang sibuk menawarkan barang, dan orang-orang yang bercita-cita membangun hidup baru. Bahkan saat masa kolonial Inggris datang, jalan ini tetap hidup — malah makin ramai.

Sekarang, Petaling Street sudah berubah. Ada atap besar berwarna hijau dan merah yang menaungi seluruh jalan — orang-orang menyebutnya Green Dragon Roof. Tapi di balik tampilan baru itu, aku masih bisa merasakan napas lamanya. Di antara lapak-lapak yang jualan jam tangan KW, tas tiruan, dan berbagai suvenir murah, ada sisa-sisa sejarah yang tetap bertahan.

Setiap aku berjalan, aku selalu ingat: ini bukan cuma tempat belanja, tapi tempat di mana Kuala Lumpur dulu bertumbuh dari tanah keras, dari mimpi-mimpi para pendatang yang tak pernah menyerah.

Dari riuhnya Petaling Street, langkah kami membawa lebih jauh ke arah pusat kota lama. Melewati gang-gang kecil dan bangunan tua, akhirnya kami tiba di sebuah ruang terbuka yang terasa berbeda — Medan Pasar, atau yang lebih dikenal dengan Old Market Square.

Di sanalah, berdiri sebuah menara kecil sederhana berbentuk kotak, berwarna abu-abu tua, dengan sebuah jam bundar di puncaknya: Old Market Square Clock Tower.

Old Market Square Clock Tower, Kuala Lumpur

Awalnya menara ini mungkin terlihat biasa saja — tidak semewah menara jam di kota-kota besar Eropa — tapi ternyata, menara ini menyimpan kisah penting dalam sejarah Kuala Lumpur.

Clock Tower ini dibangun pada tahun 1937, di masa kolonial Inggris, sebagai bagian dari upaya mempercantik pusat perdagangan Kuala Lumpur. Dulu, Medan Pasar adalah jantung aktivitas jual-beli kota ini, bahkan sebelum kawasan seperti Petaling Street berkembang pesat. Di sekelilingnya, berdiri deretan toko bergaya art deco dan kolonial yang dulu dipenuhi oleh pedagang emas, tekstil, dan kebutuhan sehari-hari.

Gaya arsitektur menara ini juga unik — bergaya Art Deco, yang pada masa itu menjadi simbol kemajuan dan modernitas. Kalau dilihat lebih dekat, pintu di dasar menaranya punya ukiran pola sinar matahari, khas desain art deco era 1930-an. Bentuknya mungkin tampak kaku, tetapi justru sederhana itulah yang mencerminkan semangat era itu: tegas, praktis, namun penuh makna.

Dari Old Market Square Clock Tower, aku dan Alfi berjalan menyusuri trotoar kota hingga akhirnya tiba di depan bangunan berarsitektur unik dan mencolok ini—Masjid Jamek Sultan Abdul Samad, salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Dengan kubah-kubah putihnya yang berkilau dan menara bergaris merah-putih bergaya Mughal, masjid ini langsung mencuri perhatian siapa pun yang melintas.

Masjid ini dibangun pada tahun 1909 dan dulunya merupakan masjid utama kota sebelum adanya Masjid Negara. Lokasinya tepat di pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Klang dan Sungai Gombak, yang dikenal sebagai titik awal lahirnya Kuala Lumpur. Arsitekturnya dirancang oleh A.B. Hubback, arsitek Inggris yang juga merancang bangunan bersejarah lain di kota ini.

Saat kami sampai, Alfi menoleh dan berkata, “Aku masuk salat dulu ya, Luh.”
Aku mengangguk dan ikut melangkah mendekati pintu masuk, berniat untuk sekalian masuk dan melihat bagian dalam masjid. Tapi begitu sampai di area pengunjung perempuan, aku dihentikan oleh petugas dan diberi tahu bahwa pengunjung perempuan yang ingin masuk wajib memakai pakaian berlengan panjang dan penutup kepala.

Karena aku saat itu cuma pakai kaus dan tak membawa jaket ataupun syal, aku pun akhirnya memutuskan menunggu di luar saja. Sambil duduk di bangku dekat pagar putih, aku memandangi masjid ini dengan lebih seksama. Di balik pagar, suasana tampak tenang dan teduh, kontras dengan jalanan kota yang sibuk hanya beberapa meter jauhnya. Sesekali aku memotret bangunan megah ini dari berbagai sudut, mencoba menangkap keindahan arsitekturnya yang klasik dan fotogenik.

Di bawah bayangan pohon kelapa yang menjulang, aku menunggu Alfi sambil menikmati momen hening yang langka di tengah pusat kota. Rasanya seperti melihat potongan sejarah yang masih hidup berdiri di antara gedung-gedung modern. Sebuah jeda yang menyenangkan sebelum kembali melanjutkan petualangan kami menyusuri Kuala Lumpur.

Setelah melanjutkan perjalanan, langkah kami akhirnya berhenti di depan tanda ikonik "I Love KL". Tanda besar yang berwarna merah mencolok ini mungkin merupakan spot wajib untuk kami berfoto hehehe.. Maklum kan masih traveler pemula. Semua spot ingin dibuat foto untuk mengabadikan momen.

Dari sana, kami melangkah ke arah Perpustakaan Kuala Lumpur, yang tak jauh dari lokasi "I Love KL". Bangunan perpustakaan ini sendiri cukup menarik dengan desain modern yang menyatu dengan suasana kota. Perpustakaan Kuala Lumpur ini sudah berdiri sejak tahun 1989 dan sejak saat itu telah menjadi pusat informasi dan budaya yang penting di kota. Tidak hanya buku-buku yang beragam, tapi juga berbagai program edukasi dan kegiatan budaya yang sering diadakan di sini. Aku merasa bahwa tempat ini lebih dari sekadar tempat membaca; ia adalah wadah yang memungkinkan orang untuk bertumbuh dan belajar, menciptakan ruang bagi pengetahuan dan kreativitas yang berkembang di tengah kota metropolitan ini.

4.27.2025

[2] Sawadee Malaysia : Akhirya Melihat Menara Kembar Petronas di Kuala Lumpur!

Trip ini merupakan rangkaian trip Thailand - Kamboja - Malaysia yang kulakukan dari 23 Januari 2012 - 2 Februari 2012. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku berikan linknya di bagian paling bawah postingan.

Part Sebelumnya : DISINI

Menara Kembar Petronas, Kuala Lumpur

Penang, 30 Januari 2012

Cukup puas kemarin menghabiskan setengah hari keliling Georgetown, Pulau Pinang, hari ini kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju kota terakhir dalam rangkaian traveling kami kali ini: Kuala Lumpur. Kota ini akan menjadi pemberhentian terakhir sebelum akhirnya kami kembali ke Solo pada tanggal 2 Februari 2012.

Pagi itu, setelah proses check out dari penginapan dan sarapan, kami segera bergerak menuju Terminal Bus Penang, tempat kami akan naik bus menuju Kuala Lumpur. Perasaanku rasanya sedikit campur aduk — antara semangat menyambut petualangan baru dan perasaan waktu liburan yang perlahan mendekati akhir. Bagaimanapun rangkaian perjalanan kami dari 23 Januari - sekarang ini cukup melelahkan juga karena kami biasanya tidak berjalan kaki sebanyak ini.

Perjalanan dari Penang ke Kuala Lumpur memakan waktu sekitar 5–6 jam dengan bus, menempuh jarak kurang lebih 350 kilometer. Sepanjang perjalanan, pemandangan yang kami lewati didominasi oleh hamparan hijau perkebunan, pegunungan di kejauhan, dan sesekali terlihat kota-kota kecil yang kami lintasi. Jalan tol yang mulus membuat perjalanan terasa nyaman, meskipun di beberapa titik bus harus melambat karena lalu lintas yang cukup padat.

Kami tiba di Kuala Lumpur sore hari, tepatnya di daerah Bukit Bintang. Begitu sampai, kami langsung berkeliling untuk mencari penginapan, check-in dan beristirahat sejenak di kamar. Setelah beberapa saat, kami mendapatkan sebuah kamar sederhana ber-AC dengan 2 kasur tingkat dengan harga yang sesuai budget. Okelah. Rasanya sekarang cuma pengen segera istirahat tiduran sebelum nanti malam mulai eksplor. 

Malam harinya, kami memulai petualangan kecil di kawasan Bukit Bintang yang dipenuhi oleh deretan kedai makanan lokal. Malam itu suasana sangat ramai, penuh warna, dan hidup. Deretan kios menawarkan segala macam aroma yang menggoda. Mulai dari sate, nasi lemak, sampai aneka street food yang menggugah selera. Aku benar-benar menikmati vibe malam itu; suasananya hangat, penuh tawa, dan seolah kota ini tidak pernah tidur.


Setelah puas mencicipi beberapa makanan, kami melanjutkan perjalanan dengan naik LRT menuju Suria KLCC Mall. Begitu sampai, aku mengira jalan keluar ke area taman tempat spot foto itu akan mudah ditemukan. Kenyataannya, aku malah tersesat di dalam Suria KLCC. Naik turun eskalator, belok kanan, belok kiri, tapi tetap saja belum menemukan jalan ke luar. Aku hanya bisa melihat sedikit puncak menara dari sela-sela kaca mal, bikin makin penasaran.

Hampir satu jam aku keliling di dalam — kaki mulai terasa lelah, perut lapar, dan mulai sedikit frustasi. Rasanya seperti masuk ke labirin tanpa ujung. Tiap kali menemukan pintu keluar, ternyata malah masuk ke jalan lain atau ke dalam area parkir. Akhirnya, setelah bertanya ke beberapa orang dan mengikuti papan petunjuk kecil menuju "KLCC Park," aku menemukan jalan yang benar. 

Begitu keluar dan melihat menara kembar itu berdiri megah di depan mata... semua rasa lelah langsung hilang seketika. Akhirnya, momen yang kutunggu-tunggu sejak lama benar-benar ada di depan mataku. Mataku langsung tertuju ke atas — ke arah dua menara raksasa yang menjulang tinggi ke langit malam. Petronas Twin Towers berdiri megah, bersinar terang ditimpa ribuan lampu yang memantulkan cahaya ke segala arah. Rasanya sulit untuk mengalihkan pandangan.

Aku takjub melihat betapa kokoh dan elegannya kedua menara itu, berdampingan seolah saling menjaga. Di tengahnya, sebuah jembatan penghubung yang disebut skybridge tampak menggantung anggun, mengikat kedua menara menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Ada rasa kagum yang sulit digambarkan — seperti melihat sesuatu yang selama ini hanya ada di gambar atau brosur wisata, sekarang benar-benar ada di depan mata. Pengalaman pertama kali melihat sesuatu memang momen yang tidak bisa tergantikan.

Aku berdiri lama, mendongak ke atas, membiarkan diri larut dalam momen itu. Akhirnya, aku bisa melihat langsung ikon kebanggaan Malaysia ini dengan mata kepala sendiri. Sebuah pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan.


Setelah akhirnya berhasil menemukan spot foto terbaik untuk mengabadikan momen di depan Petronas Twin Towers, aku duduk sebentar di bangku taman, menikmati suasana malam Kuala Lumpur yang terasa hidup. Banyak orang lalu-lalang, dari wisatawan yang sibuk berfoto sampai warga lokal yang sekadar duduk berbincang. Suasana di sekitar KLCC Park ini memang terasa sangat santai, dengan pemandangan air mancur kecil dan cahaya menara kembar yang memantul di kolam-kolam di sekitarnya.

Setelah cukup beristirahat, aku melanjutkan langkah, berjalan sedikit lebih jauh dari area Twin Towers. Di tengah perjalanan, mataku langsung tertarik pada sebuah gedung tinggi lain yang tak kalah mencuri perhatian. Gedung itu terlihat begitu elegan dengan pencahayaan warna emas yang membalut seluruh sisinya, membuat bentuk berundaknya semakin terlihat tegas di malam hari.
Itulah Menara Public Bank — salah satu gedung bank tertua dan terbesar di Malaysia. Bangunannya terlihat berbeda dibanding gedung-gedung modern kaca lainnya, dengan desain kokoh dan kesan klasik yang tetap kuat.

Tanpa banyak pikir, aku berjalan mendekat. Jalur menuju gedung ini dipenuhi air mancur kecil di kanan kiri jalan, menciptakan suasana yang tenang dan sedikit romantis. Aku berhenti sejenak, mengambil beberapa foto, sambil sekali lagi merasa takjub melihat betapa Kuala Lumpur tidak hanya menawarkan satu ikon, tapi begitu banyak bangunan cantik di sekitarnya.

Dari posisi itu juga, aku bisa melihat Menara KL (KL Tower) menjulang di kejauhan. Meski terlihat lebih kecil dari Petronas jika dilihat dari sini, keberadaannya tetap mencuri perhatian, dengan lampu warna-warni yang berganti perlahan di puncaknya. Rasanya menyenangkan bisa melihat dua landmark terkenal dalam satu malam.

Malam itu, aku menghabiskan waktu dengan santai, hanya berjalan kaki sambil menikmati suasana kota. Meski kaki terasa mulai lelah setelah seharian berpindah kota dari Penang ke Kuala Lumpur, ada rasa puas yang sulit digambarkan. Melihat langsung ikon-ikon yang selama ini hanya kulihat lewat buku atau internet, dan bisa berdiri di tengah-tengahnya, memberi sensasi pencapaian kecil yang membahagiakan.


Setelah merasa cukup puas menikmati suasana malam di sekitar KLCC, kami memutuskan untuk kembali ke Bukit Bintang menggunakan LRT. Malam makin larut, tapi suasana kota masih tetap ramai dan hidup. Kuala Lumpur memang nggak pernah benar-benar tidur.

Dalam perjalanan, kami sempat melewati Pavilion Kuala Lumpur, salah satu pusat perbelanjaan paling terkenal di kota ini. Mal pun tampak megah dengan dekorasi lampu yang indah di bagian depannya.
Sebenarnya, sempat ada keinginan untuk masuk dan melihat-lihat dalamnya, tapi rasa capek sudah benar-benar menguasai badan. Akhirnya kami memilih berfoto sebentar di depan Pavilion saja, sekadar untuk mengabadikan momen, sebelum lanjut berjalan lagi menuju hotel.

Begitu sampai di kamar hotel, rasanya benar-benar lega. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung rebahan. Kaki pegal, badan lelah, tapi hati terasa puas. Hari ini benar-benar panjang dan penuh cerita — dari Penang ke Kuala Lumpur, dari terminal bus ke Twin Towers, lalu mengeksplorasi malam kota yang penuh lampu dan kehidupan.

Dan malam itu, di tengah rasa capek yang luar biasa, aku tersenyum kecil sebelum akhirnya tertidur pulas. Perjalanan ini memang melelahkan, tapi semua kenangan yang didapat benar-benar sepadan.


4.22.2025

Solo, 22 April 2025 : Sejenak Berhenti......

Ada kalanya dalam hidup, kita merasa ingin berhenti sejenak dari segala sesuatu. Bukan karena ada yang salah, tetapi terkadang kelelahan muncul karena hidup yang penuh dengan keharusan, kekuatiran, kegelisahan, dan kegundahan. Ada kalanya kita hanya ingin beristirahat dari rutinitas yang terus-menerus menuntut kita untuk berlari mengejar uang, membahagiakan orang lain, dan memenuhi ekspektasi yang terkadang terasa begitu berat.

Pikiran itu muncul seperti angan-angan, tetapi bukan tanpa makna. Ketika pemikiran 'sejenak berhenti' muncul, aku membayangkan sebuah tempat yang luas, jauh dari hiruk-pikuk dunia—sebuah tempat di mana ketenangan dan kedamaian menjadi satu-satunya hal yang diperlukan. Sebuah campervan yang terbuka, diletakkan di tengah area luas, seperti padang savana Ndoro Canga di Sumbawa. Di sana, angin berhembus pelan, sejuk di bawah pohon-pohon besar yang menaungi rumput kehijauan yang tumbuh subur. Di dekat situ, ada sungai yang alirannya bersih, memberi ketenangan bagi setiap pendengarnya. Suasana ini seakan membawaku jauh dari semua kekhawatiran.

Ilustrasi tempat 'sejenak berhenti' dalam angan-anganku. Created by AI.

Setiap pagi, aku bangun dan rasanya seperti dunia ini hanya milikku. Tak ada yang perlu dipikirkan berlebihan, tak ada kekhawatiran akan deadline yang harus dikerjakan hari itu. Aku minum dua gelas air putih untuk menyegarkan tubuh, kemudian membuat sarapan sederhana yang sehat. Setelah itu, aku membuat kopi dengan kepulan asap yang nikmat, menghirup aromanya yang hangat dan menenangkan. Setelah sarapan, aku bisa meluangkan waktu untuk merawat sayur-sayuran yang kutanam di dekat campervanku. Menyentuh tanah yang lembap dan melihat tanaman-tanaman kecil itu tumbuh perlahan memberi rasa puas yang tak terungkapkan.

Selanjutnya, aku mandi dengan air jernih dari sungai yang mengalir dengan tenang, merasakan kesejukan air yang menyegarkan. Tak ada yang terburu-buru, tak ada waktu yang terus mengejar. Setelah itu, aku bisa membaca buku, menulis, atau melakukan kegiatan lainnya yang memberi ketenangan dan rasa produktif tanpa tekanan. Di sini, aku bisa merasa bebas—bebas dari hiruk-pikuk dunia, bebas dari ekspektasi orang lain, dan bebas untuk menjadi diri sendiri.

Di sampingku, ada seekor kucing yang setia menemani. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada kehadiran seekor kucing yang duduk dengan santai, menatap dunia dengan mata yang penuh ketenangan. Kucing itu tidak peduli apakah aku sibuk atau tidak, apakah aku bahagia atau sedang resah. Ia hanya ada di sana, dengan keberadaannya yang penuh kehangatan, tidak menuntut apa-apa selain memberikan kenyamanan. Kehadirannya mengingatkan aku pada kesederhanaan hidup—bahwa kadang, yang kita butuhkan hanyalah ada di saat ini, tanpa terbebani dengan masa lalu atau kekhawatiran masa depan.

Kucing, kepulan asap kopi, dan kebun sawi. Created by AI. Tapi kok tiang penyangga awning-nya jadi 1 aja ya wkwk..

Selain itu, aku tahu orangtuaku juga berada dalam keadaan yang baik. Mereka sehat dan bahagia di rumah pensiun mereka, menjalani hari-hari dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan, tanpa kekhawatiran yang mengikat. Hal itu memberi rasa nyaman dan aman dalam hatiku, mengetahui bahwa mereka menikmati masa tua mereka dengan bahagia.

Di dunia yang penuh tuntutan ini, kadang kita butuh untuk beristirahat dari kehidupan, bukan dengan menghindar atau menyerah, tetapi dengan memberi ruang bagi diri sendiri untuk mereset, untuk mengembalikan keseimbangan. Kita sering terjebak dalam tekanan untuk selalu berproduksi, untuk selalu berusaha lebih keras, untuk selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Tetapi pada akhirnya, kesejahteraan mental dan kebahagiaan sejati datang ketika kita memberi izin pada diri kita sendiri untuk berhenti sejenak, untuk merasakan kebebasan, dan untuk menikmati keheningan.

Mungkin itu bukan pelarian, melainkan sebuah cara untuk menemukan kembali kekuatan dalam keheningan, untuk meresapi setiap detik tanpa terburu-buru. Mencari tempat yang tidak mengharuskan kita menjadi siapa-siapa selain diri kita yang sebenarnya, tanpa label atau beban yang membelenggu.

Aku tahu, aku harus kembali ke dunia nyata, tapi aku juga tahu bahwa aku tak perlu terburu-buru. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat dari kehidupan yang tak pernah berhenti. Karena terkadang, kita tak perlu mencari tujuan atau jawaban, cukup berhenti sejenak dan membiarkan diri kita merasakan kedamaian yang sederhana.

Suatu saat nanti, mungkin aku akan menemukan tempat seperti itu. Dan untuk saat ini, aku akan membiarkan angan-angan itu menjadi tempat persembunyian untuk sejenak. Sebuah pengingat bahwa kita semua butuh waktu untuk beristirahat dari kehidupan—bukan untuk melarikan diri darinya.

[2] ACEH : Gua Sarang, Snorkeling di Pulau Rubiah dan Sate Gurita khas SABANG!

Hari kedua di Pulau Weh, aku dan Nur bangun cukup pagi. Udara masih segar, dengan sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan. Setelah mandi dan bersiap, kami berjalan kaki ke sebuah warung sederhana dekat penginapan untuk sarapan. Menu yang kami pilih cukup sederhana, tapi mengenyangkan—nasi dengan ikan goreng dan sambal khas Aceh yang sedikit pedas, ditemani segelas teh hangat.

Pagi itu, aku dan Nur melajukan motor menuju destinasi pertama kami hari ini—Gua Sarang di Pulau Weh. Kami memilih ke sana lebih dulu karena jaraknya paling dekat dari penginapan. Udara pagi yang sejuk membelai wajah saat motor kami melaju di jalanan berkelok dengan pemandangan hijau di kanan dan kiri. Sesekali, kami melewati bukit kecil yang dari puncaknya, sekilas terlihat lautan biru membentang di kejauhan.

Semakin mendekati Gua Sarang, jalan mulai menurun dengan beberapa bagian berbatu. Kami pun memarkir motor di area yang disediakan, lalu bersiap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari titik ini, sudah terdengar suara deburan ombak yang menghantam tebing-tebing karang, seolah memanggil kami untuk segera turun.

Perjalanan ke bawah dimulai dengan menuruni ratusan anak tangga yang curam, berliku-liku menempel di lereng bukit. Setiap langkah membawa kami semakin dekat ke laut, dan di sela-sela anak tangga, celah pepohonan membuka pemandangan ke laut lepas yang luas dan berkilauan diterpa matahari pagi. Semakin turun, udara semakin terasa lembap, bercampur dengan aroma asin khas laut yang segar.

Setibanya di bawah, kami melangkah menyusuri tepi pantai yang dipenuhi batu-batu karang. Ombak kecil bergulung, menyapu kaki kami yang sesekali terendam air laut. Jalan setapak ini membawa kami mendekati tebing-tebing tinggi yang menjulang megah, berdiri kokoh berbatasan langsung dengan laut. Dinding-dinding karang yang dipenuhi lumut dan tanaman liar menciptakan suasana alami yang masih sangat asri.

Di depan kami, gua-gua alami tampak menganga di tebing, seolah menjadi mulut raksasa yang menyimpan rahasia. Beberapa gua lebih dalam dan gelap, sementara yang lain terbuka, membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi bagian dalamnya. Dari celah-celah gua, suara burung-burung laut menggema, berpadu dengan deru ombak yang terus menghantam batuan karang.

Kami terdiam sejenak, membiarkan semua pemandangan ini meresap dalam ingatan. Ada rasa takjub melihat betapa alam bisa membentuk tempat seindah ini. Rasa lelah setelah menuruni ratusan anak tangga seketika lenyap, tergantikan oleh ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini—jauh dari hiruk-pikuk, hanya ada kami, tebing-tebing kokoh, dan laut yang seakan tak berujung.

Hari ini, rencana kami sudah jelas: snorkeling di Pulau Rubiah. Snorkeling di sana adalah aktivitas wajib bagi siapa pun yang datang ke Pulau Weh. Pulau Rubiah terkenal dengan keindahan bawah lautnya yang luar biasa—airnya jernih kebiruan, terumbu karangnya masih alami, dan ikan-ikan tropis berwarna-warni berenang bebas di antara karang-karang. Banyak wisatawan yang mengatakan bahwa snorkeling di Pulau Rubiah adalah salah satu pengalaman terbaik di Indonesia.

Setelah sarapan, kami berangkat dari Pantai Gapang menuju Pantai Iboih, titik keberangkatan utama menuju Pulau Rubiah. Perjalanan dengan motor hanya sekitar 10-15 menit, melewati jalanan berliku dengan pemandangan indah di sepanjang sisi jalan. Sesekali, kami bisa melihat laut biru kehijauan yang membentang luas di kejauhan, membuat perjalanan singkat ini terasa menyenangkan.

Begitu tiba di Pantai Iboih, suasana lebih ramai dibandingkan Pantai Gapang. Banyak turis berlalu-lalang, beberapa sedang bersiap untuk snorkeling atau diving, sementara yang lain hanya duduk menikmati pemandangan. Deretan warung dan kios penyedia jasa wisata berjejer di sepanjang pantai, menawarkan penyewaan peralatan snorkeling, diving, hingga kapal untuk menyeberang ke Pulau Rubiah.

Kami mendekati salah satu stand penyewaan dan bertanya tentang paket snorkeling. Seorang pria muda menjelaskan bahwa kapal ke Pulau Rubiah pulang pergi seharga Rp100.000. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5-10 menit perjalanan dengan kapal, karena Pulau Rubiah berada tepat di seberang Pantai Iboih. Dari bibir pantai saja, pulau itu sudah terlihat jelas dengan pepohonannya yang hijau dan air laut yang begitu bening.

Untuk peralatan snorkeling, biaya sewanya Rp80.000, termasuk pelampung dan snorkel. Kami juga memutuskan untuk menyewa kamera underwater seharga Rp150.000, supaya bisa mengabadikan momen di bawah laut. Setelah setuju dengan harga tersebut, kami menunggu sebentar sambil melihat kapal-kapal kecil yang berseliweran mengantar wisatawan ke Pulau Rubiah.

Tak lama, kapal kami siap. Kami naik ke perahu kayu bermotor bersama beberapa wisatawan lainnya. Mesin kapal dinyalakan, dan perlahan kami bergerak meninggalkan Pantai Iboih. Air laut yang jernih membuat dasar laut terlihat jelas, bahkan dari atas kapal. Dengan semangat, kami bersiap untuk menjelajahi keindahan bawah laut Pulau Rubiah.

Selesai snorkeling, kami mengendarai motor menuju Kota Sabang. Angin sore yang sejuk menemani perjalanan kami, sementara sisa air laut yang masih menempel di kulit terasa mengering perlahan. Sepanjang jalan, deretan pepohonan dan rumah-rumah sederhana khas daerah pesisir memberi suasana yang tenang. Namun, satu hal yang terus ada di pikiranku: sate gurita.

Sudah sejak lama aku penasaran dengan kuliner khas Pulau Weh ini. Begitu melihat sebuah warung sate gurita yang tampak cukup meyakinkan—bersih, ramai pengunjung, dan aromanya menggoda—kami pun berhenti. Kami memesan satu porsi lebih dulu, harganya 20 ribu rupiah.

Tak butuh waktu lama, sepiring sate gurita tersaji di depan kami. Lima tusuk sate tersusun rapi di atas piring, dengan saus kacang yang kental menggenang di sekelilingnya. Aroma asap panggangan masih tercium samar, bercampur dengan wangi khas bumbu rempah yang menggugah selera.

Aku mengambil satu tusuk dan menggigitnya perlahan. Tekstur guritanya sungguh unik—kenyal tapi tidak alot, justru terasa empuk dan sedikit renyah di bagian luar, hasil dari proses pemanggangan yang sempurna. Setiap gigitan dipenuhi rasa gurih alami dari daging gurita yang berpadu dengan manis, pedas, dan sedikit smoky dari bumbu sate. Saus kacangnya menambah kekayaan rasa, memberikan sentuhan gurih dan sedikit creamy yang melapisi setiap potongan daging.

Satu tusuk habis dalam hitungan detik. Aku dan Nur saling pandang, lalu tertawa kecil. Tanpa ragu, kami langsung memesan satu porsi lagi. Sate gurita ini benar-benar lezat—paduan rasa dan teksturnya menciptakan pengalaman kuliner yang sulit dilupakan.

Esoknya seharusnya kami pulang kembali ke Banda Aceh, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Dua hari sudah kami mengeksplor Pulau Weh, namun entah kenapa aku merasa belum puas. Seolah masih ada sesuatu yang belum lengkap, sudut-sudut yang belum sempat kusentuh.

Aku duduk di tepi pantai sore itu, memandangi laut yang perlahan berubah warna seiring matahari mulai condong ke barat. Ombak bergulung dengan tenang, dan angin lembut menerpa wajahku. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa perjalanan ini sudah cukup, bahwa besok aku harus kembali ke Banda Aceh seperti rencana awal. Namun, pikiranku terus melayang ke bagian timur Pulau Weh—tempat yang belum sempat kami jelajahi.

Aku menoleh ke arah Nur, yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Kayaknya aku mau extend semalam lagi," kataku akhirnya.

Nur mengangkat alis, sejenak terdiam, lalu tersenyum kecil. "Aku udah nebak," katanya santai. "Oke, ayo kita eksplor bagian timur besok."

Keputusan itu langsung membuat hatiku lebih ringan. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang. Besok, satu hari lagi di Pulau Weh—satu hari lagi untuk menyelami sudut-sudutnya yang masih tersembunyi. Aku tidak ingin terburu-buru meninggalkan tempat ini sebelum benar-benar merasa puas.

[1] ACEH : First Impression, Pulau We dan 0 Kilometer INDONESIA!

 Pesawat AirAsia yang kami tumpangi dari Kuala Lumpur mulai menurunkan ketinggian. Dari jendela, terbentang samudra biru luas yang mengelilingi pesisir Banda Aceh. Kota ini terletak di ujung utara Pulau Sumatra, di mana perairan Selat Malaka dan Samudra Hindia bertemu. Gugusan pulau kecil tampak di kejauhan, dan perlahan, daratan Aceh semakin jelas di bawah sana.

Ini adalah pertama kalinya aku dan Nur menginjakkan kaki di Aceh, yang juga dikenal sebagai Serambi Mekah. Ada rasa penasaran dan antusias yang bercampur dalam perjalanan ini, terutama karena Aceh memiliki sejarah dan budaya yang begitu khas dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Begitu pesawat mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, kami langsung menuju imigrasi. Saat menyerahkan paspor, petugas sempat bertanya,

"Mau ke mana dan ngapain?"

Kami jawab singkat bahwa kami ingin jalan-jalan dan akan menyeberang ke Pulau Weh besok pagi. Setelah pemeriksaan yang cukup cepat, kami pun melangkah keluar bandara.

Begitu tiba di luar bandara, kami awalnya ingin mencari transportasi umum. Namun, setelah celingak-celinguk di sekitar bandara, ternyata tidak ada angkutan umum. Yang ada hanya taksi bandara yang langsung menawarkan tarif. Seorang sopir mendekati kami dan menyebut harga, tapi rasanya masih terlalu mahal.

Kami pun memutuskan untuk berjalan keluar dari area bandara, berharap bisa menemukan tempat yang memungkinkan untuk memesan Grab. Namun, baru beberapa ratus meter berjalan di bawah terik matahari, taksi yang tadi menawari kami datang lagi. Kali ini, dia menawarkan harga yang lebih murah. Setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kepraktisan, kami pun setuju dan langsung naik ke dalam mobil ber-AC yang cukup lega.

Tak butuh waktu lama, sekitar 25 menit, kami tiba di Hotel Kuala Nanggroe, hotel yang sudah kami pesan online. Hotel ini cukup sederhana, tetapi fasilitasnya lumayan lengkap—ada Wi-Fi, AC yang dingin, dan kamar yang bersih. Setelah perjalanan panjang, akhirnya bisa merebahkan badan di kasur empuk terasa sangat menyenangkan.

Saat melewati jalanan Banda Aceh menuju hotel, aku memperhatikan kota ini lebih detail.

  • Tidak terlalu ramai, tidak ada hiruk-pikuk kendaraan seperti di kota besar lain di Indonesia.
  • Jalanan tertata rapi, dengan trotoar yang cukup nyaman untuk pejalan kaki.
  • Kota ini juga terasa bersih, hampir tidak ada sampah berserakan di pinggir jalan.
  • Banyak bangunan berarsitektur khas Aceh, terutama masjid dengan kubah besar dan motif Islami yang indah.

Setelah beristirahat sebentar, malamnya kami memutuskan untuk memesan makanan online. Pilihan kami jatuh pada sesuatu yang familiar dan mengenyangkan—nasi Padang. Begitu makanan tiba, aku langsung membuka bungkusnya dan aroma rempahnya langsung menguar ke seluruh kamar.

Saat suapan pertama masuk ke mulut, aku dan Nur langsung saling pandang dengan ekspresi kaget.

"Gila, ini enak banget!"

Bumbunya benar-benar kaya rasa, dagingnya empuk, kuah gulainya terasa gurih, dan sambalnya memiliki pedas yang pas. Entah karena kami lapar atau memang makanan di Aceh seenak ini, tapi malam itu rasanya nasi Padang terbaik yang pernah kumakan.

Setelah perut kenyang, kami memutuskan untuk tidur lebih awal. Besok pagi, kami akan memulai perjalanan menuju Pulau Weh, petualangan yang sudah kami tunggu-tunggu sejak lama. Aku menutup mata dengan perasaan puas dan tak sabar untuk melihat apa lagi yang Aceh tawarkan.

Esok paginya, aku dan Nur bangun lebih awal dengan semangat untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh, salah satu pulau terluar Indonesia yang menjadi tujuan utama kami. Setelah mandi dan berkemas, kami segera check-out dari hotel.

Beruntung, saat memesan Grab, kami mendapatkan promo dengan tarif Rp 1 menuju Pelabuhan Ulee Lheue, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 20 hingga 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Setibanya di pelabuhan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung makan sederhana di depan pelabuhan. Menu yang kami pilih adalah nasi dengan sayur, ikan goreng, dan sambal. Rasanya sungguh nikmat, perpaduan bumbu khas Aceh yang kaya rempah membuat sarapan pagi itu menjadi pengalaman kuliner tersendiri.

Setelah selesai makan, kami menuju area keberangkatan untuk naik ke kapal. Suasana pelabuhan pagi itu cukup ramai; banyak warga lokal dan wisatawan yang juga hendak menyeberang ke Pulau Weh. Beberapa penjual makanan dan minuman tampak menjajakan dagangannya di sekitar area tunggu. Kendaraan seperti mobil dan motor antre untuk masuk ke dalam kapal feri. Meskipun ramai, suasananya tetap tertib dan teratur.

Kami memiliki dua pilihan transportasi laut menuju Pulau Weh:

  1. Kapal Feri: Dengan tarif sekitar Rp 25.000, waktu tempuhnya sekitar 2 jam.

  2. Kapal Cepat: Dengan tarif sekitar Rp 75.000, waktu tempuhnya lebih singkat, sekitar 45 menit.

Kami memilih kapal feri karena ingin menikmati perjalanan laut yang lebih santai dan hemat biaya. Pagi itu, kondisi laut cukup bersahabat, sehingga perjalanan berlangsung lancar dan menyenangkan. Selama di atas feri, kami menikmati pemandangan laut yang luas dan sesekali melihat pulau-pulau kecil di kejauhan, menambah antusiasme kami untuk menjelajahi keindahan Pulau Weh.

Catatan: Informasi mengenai tarif dan waktu tempuh kapal feri dan kapal cepat diperoleh dari pengalaman perjalanan dan dapat berubah sewaktu-waktu.

Setelah kapal feri merapat di Pelabuhan Balohan, Pulau Weh, kami segera bersiap untuk turun bersama para penumpang lainnya. Sejak awal, kami memang belum menyewa motor untuk transportasi selama di Pulau Weh. Namun, berdasarkan informasi yang aku baca sebelumnya, banyak sumber menyebutkan bahwa setelah tiba di pelabuhan, akan ada banyak orang yang menawarkan jasa sewa motor. Aku cukup yakin dengan info itu karena sudah membaca dari berbagai sumber.

Dan benar saja, begitu kami melangkah keluar dari kapal, seorang bapak langsung mendekati kami dengan senyum ramah.

"Sewa motor, Kak? 90 ribu per hari," katanya sambil menunjuk ke arah beberapa motor yang tersedia.

Motornya Honda Vario, tidak terlalu baru, tetapi juga tidak terlihat terlalu tua. Aku dan Nur mengecek kondisinya sebentar—lampu menyala, rem pakem, dan ban masih layak. Semua tampak baik-baik saja, jadi kami pun langsung deal untuk menyewa motor tersebut selama tiga hari.

Dengan motor ini, perjalanan kami di Pulau Weh akan jauh lebih fleksibel dan nyaman!

Setelah beberapa kilometer meninggalkan Pelabuhan Balohan, aku mulai merasakan ketidaknyamanan pada motor yang kami sewa.

"Aduh, remnya nggak pakem," kataku dari depan motor.

"Kita bawa ke bengkel dulu aja ya, paling rem belakang dikencangin, rem depan ganti kampas," lanjutku.

"Iya, dibawa aja dulu, bahaya juga kalau gini," jawab Nur.

"Iya. Soalnya medan yang bakal kita lewatin banyak kelok dan pegunungan. Bisa bahaya kalau remnya nggak pakem."

Aku segera mencari bengkel terdekat melalui ponsel dan menemukan satu yang tidak jauh dari situ. Syukurlah, masalah bisa dibereskan dengan cepat. Aku membayar Rp 40.000 untuk perbaikan tersebut. Aku memutuskan untuk tidak meminta penggantian biaya kepada bapak penyewa motor, karena merasa kasihan jika rezekinya berkurang. Lagipula, ini demi keselamatan kami sendiri.

Setelah memastikan motor dalam kondisi baik, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang telah kami pesan sebelumnya, berlokasi di Pantai Gapang, namanya Cheapest Bungalow. Dari namanya udah ketebak ya, kenapa kami memilih penginapan ini 😁. Jarak dari Pelabuhan Balohan ke Pantai Gapang sekitar 20 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar 30 hingga 40 menit menggunakan motor. Kondisi jalan di Pulau Weh umumnya baik, dengan beberapa bagian yang sepi dan berkelok-kelok melewati perbukitan. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat menawan, dengan hutan hijau dan sesekali pemandangan laut yang memukau.

Di tengah jalan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah warung sederhana di tepi pantai. Tempatnya sederhana, beratapkan daun rumbia dan beberapa meja kayu tua yang menghadap langsung ke laut. Kami duduk di salah satu meja yang paling dekat dengan air, dan dari sana bisa terlihat ombak kecil yang pelan-pelan menyapu pasir putih di garis pantai yang panjang dan sunyi. Alasanku berhenti disini tentunya satu, pengen banget ngerasain Mie Aceh langsung disini. Setelah semalam merasakan nasi Padang di Kota Banda Aceh dan 'termehek-mehek' dengan kelezatan rasanya, tentunya ekspetasiku untuk Mie Aceh ini lumayan tinggi.

"Mie Aceh 1 sama es kopi 1 mas," kataku ke penjaga warung.


Sesampainya di penginapan - Cheapest Bungalow Sabang, kami disambut dengan kejutan menyenangkan: kami diberikamar ber-AC! Padahal saat memesan kami memilih kamar dengan kipas angin. Penginapan ini langsung menghadap ke Pantai Gapang, menawarkan pemandangan laut yang menakjubkan. Terdapat gubuk-gubuk di depan hotel yang disediakan untuk duduk santai menikmati pantai. Setelah meletakkan barang dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Titik Nol Kilometer Indonesia, sebuah monumen yang menandai ujung barat wilayah Indonesia.

Perjalanan dari Pantai Gapang ke Titik Nol Kilometer memakan waktu sekitar 30 menit dengan motor, melewati jalan yang berkelok-kelok dan pemandangan alam yang asri. Sesampainya di sana, kami merasa bangga bisa berdiri di titik paling barat Indonesia, sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Sore itu, aku dan Nur memutuskan untuk mengunjungi titik nol kilometer Indonesia di Pulau Weh. Kami berangkat dari Pantai Gapang dengan motor sewaan, melaju di jalanan yang berkelok-kelok menembus perbukitan hijau yang masih asri. Jalanan cukup sepi, hanya sesekali kami berpapasan dengan motor lain atau truk kecil yang melintas perlahan. Sesekali di sisi jalan, monyet-monyet liar tampak bertengger di dahan pepohonan, mengawasi kami dengan tatapan penasaran.

Udara di sepanjang perjalanan terasa segar, dengan hembusan angin laut yang membawa aroma khas asin dari Samudra Hindia. Kami melewati beberapa tanjakan curam dan turunan tajam, sementara di beberapa titik, pepohonan di pinggir jalan terbuka, memperlihatkan pemandangan laut biru kehijauan yang terbentang luas di bawah sana.

Setelah sekitar 30 menit berkendara dari Pantai Gapang, akhirnya kami tiba di kawasan Tugu Nol Kilometer. Tempat ini merupakan salah satu destinasi ikonik di Pulau Weh, menandai titik paling barat dari Indonesia. Tugunya sendiri cukup besar dan megah, dengan desain modern yang dihiasi warna putih dan kuning keemasan. Di bagian atasnya terdapat angka "0 KM" yang mencolok, sementara di bawahnya tertera tulisan "Indonesia" yang menegaskan bahwa inilah titik awal perhitungan jarak di negeri ini.

Tugu ini dibangun untuk menandai posisi geografis Indonesia, dan sejak dulu menjadi simbol bagi para petualang yang ingin menjejakkan kaki di ujung barat Nusantara. Dulunya, tempat ini hanya berupa tugu kecil, tetapi kini telah direnovasi menjadi lebih besar dan menarik. Ada juga papan informasi yang menjelaskan sejarah serta koordinat geografisnya.

Saat kami tiba, angin bertiup cukup kencang dari arah samudra. Ombak besar menghantam tebing di bawah sana, menciptakan suara gemuruh yang berpadu dengan desir angin di telinga kami. Langit sore yang semula cerah perlahan berubah kelabu, dan tak lama kemudian, gerimis mulai turun. Aku dan Nur sempat berteduh di bawah tugu, menikmati suasana yang mendadak menjadi syahdu.

Meski hujan turun, tempat ini tetap terasa istimewa. Berdiri di sini, menghadap langsung ke samudra luas, benar-benar menghadirkan perasaan seakan berada di ujung dunia. Ada rasa haru sekaligus bangga bisa sampai di titik ini, titik nol perjalanan darat Indonesia.

Setelah hujan sedikit reda, kami sempat mengambil beberapa foto, mengabadikan momen di tempat bersejarah ini. Nur bercanda, "Berarti kita ini sudah menyelesaikan perjalanan dari nol," katanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang jarak, tetapi juga pengalaman, cerita, dan kenangan yang akan selalu kami ingat.

Matahari mulai turun ke cakrawala saat kami bersiap untuk kembali. Kami menyalakan motor dan kembali menyusuri jalanan sepi yang berkelok-kelok, meninggalkan Tugu Nol Kilometer dengan hati penuh rasa syukur. Sore itu, kami telah sampai di ujung barat Indonesia, dan perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling berkesan dalam petualangan kami.

Malam itu, setelah kenyang dengan makan malam sederhana di warung sekitar penginapan, aku dan Nur berjalan santai menuju gubuk kecil di depan penginapan. Gubuk itu menghadap langsung ke pantai, tempat sempurna untuk menikmati suasana malam di Pulau Weh.

Suara deburan ombak terdengar jelas, berpadu dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut. Langit malam begitu jernih, bertabur bintang, sementara cahaya bulan menerangi permukaan air yang bergelombang tenang. Kami duduk di bangku kayu, mengobrol santai sambil menikmati ketenangan malam.

Nur membuka percakapan, "Besok pasti seru, snorkeling di Pulau Rubiah." Aku mengangguk antusias, membayangkan kejernihan airnya yang terkenal, dengan terumbu karang dan ikan-ikan warna-warni yang berenang bebas di bawahnya.

Tak banyak yang kami lakukan malam itu selain menikmati suasana. Sesekali kami diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, hanya ditemani suara alam yang menenangkan.

Setelah beberapa saat, kantuk mulai menyerang. Kami pun memutuskan untuk masuk ke kamar dan beristirahat. Besok adalah hari yang dinantikan—snorkeling di Pulau Rubiah, surga bawah laut yang katanya salah satu yang terbaik di Indonesia.

Dengan perasaan puas dan semangat untuk petualangan esok, aku menarik selimut dan perlahan terlelap, ditemani suara ombak yang terus berkejaran di pantai.

[5] Explore Sumba : Bendungan Kambaniru dan Kepulangan (Finished)

                                 Part Sebelumnya : DISINI

Bendungan Kambaniru

Hari kelima di Sumba, hari terakhir kami sebelum terbang kembali ke Denpasar lalu lanjut ke Jogja. Pagi itu, setelah check-out dari hotel di pusat kota Waingapu, aku, Arin, Fredo, dan Mbak Hayu langsung melanjutkan perjalanan terakhir kami di pulau ini. Tujuan utama kami pagi itu adalah Bendungan Kambaniru, salah satu ikon penting di Sumba Timur.

Perjalanan dari kota menuju bendungan terasa menyenangkan. Mobil kami melaju melewati deretan bukit khas Sumba yang menggulung lembut, dengan warna keemasan yang mencolok di bawah sinar matahari pagi. Pemandangan bukit-bukit itu seperti lautan yang diam—hening, luas, dan memukau. Sumba benar-benar punya cara sendiri untuk memanjakan mata.

Sesampainya di Bendungan Kambaniru, kami langsung disuguhi dengan pemandangan air bendungan yang membentang tenang, dan di sekelilingnya, bukit-bukit hijau menjulang dalam diam. Kami sempat berfoto-foto di beberapa titik, menikmati momen terakhir kami di alam terbuka Sumba. Di sekitar Bendungan Kambaniru, bukit-bukit hijau menjulang dengan bentuk yang melekuk-melekuk cantik. Bukit-bukit ini tampak seperti gelombang yang perlahan mengalir, dengan warna hijau segar dari pepohonan yang menghiasi setiap lerengnya.


Bendungan Kambaniru sendiri bukan sekadar cantik. Bendungan ini dibangun sejak tahun 1992 dan selesai pada 1996, dan berfungsi sangat vital untuk masyarakat sekitar. Ia mampu mengairi sekitar 1.740 hektar lahan pertanian di Kabupaten Sumba Timur—sumber kehidupan yang sangat berarti di tanah yang cukup kering ini.

Setelah cukup puas menikmati pemandangan dan mengabadikan kenangan lewat kamera, kami langsung diantar oleh driver ke rumah makan yang searah dengan bandara. Tidak mampir ke tempat lain, kami memilih makan siang santai di sana sambil menikmati detik-detik terakhir perjalanan ini. Obrolan ringan, tawa kecil, dan rasa kenyang perlahan menggiring kami ke momen perpisahan.

Setelah makan siang, kami pun meluncur ke Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu. Saat duduk di ruang tunggu, rasanya campur aduk. Perjalanan lima hari ini terasa begitu cepat, tapi penuh warna. Dari bukit Wairinding, Pantai Walakiri, savana-savana luas, hingga hari ini di Bendungan Kambaniru, semuanya akan membentuk memori yang abadi di hidupku.

Penerbangan dari Waingapu ke Denpasar berlangsung lancar tanpa ada turbulensi berarti, sekitar 1,5 jam yang terasa cepat. Sekitar jam 4 sore, kami sudah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Begitu tiba, rasanya campur aduk. Ini adalah titik perpisahan kami berempat setelah beberapa hari penuh petualangan di Sumba.

Aku dan Fredo akan melanjutkan perjalanan ke Jogja, sementara Arin harus terbang ke Surabaya, dan Mbak Hayu menuju Jakarta. Sejujurnya, aku seharusnya langsung ke Surabaya, karena besok sudah harus kembali kerja. Namun, karena tiket SJ Travel Pass tujuan Surabaya sudah habis, aku harus terbang ke Jogja dulu, baru naik kereta malam ini juga menuju Surabaya. Meskipun perjalanan harus sedikit lebih panjang, setidaknya aku masih bisa menikmati beberapa jam di Jogja sebelum kembali ke rutinitas.

Aku dan Fredo akhirnya sampai di Jogja sekitar jam 7 malam. Setelah berpamitan singkat di bandara, Fredo langsung meninggalkan aku karena sudah dijemput adiknya. Memang dia orang Jogja asli, jadi bisa langsung istirahat di rumah. Sementara itu, perutku sudah mulai keroncongan, jadi aku keluar bandara dan makan mie geprek di stand bandara yang rasanya cukup memuaskan.

Setelah makan, aku naik ojek menuju Stasiun Tugu untuk menunggu keretaku. Keretaku masih lama, yaitu jam 2 dini hari, dan aku harus menunggu selama beberapa jam. Rasanya penantian itu cukup menyiksa karena aku ngantuk banget, tapi nggak bisa tidur. Waktu berjalan lambat banget, dan aku mulai merasa semakin lelah.

Akhirnya, jam 2 dini hari pun tiba, dan aku naik kereta menuju Surabaya. Selama perjalanan, aku mencoba tidur, tapi nggak terlalu sukses. Kereta bergetar dan berhenti di beberapa stasiun, sementara aku cuma bisa mencoba mencari posisi tidur yang nyaman.

Setelah perjalanan yang panjang, aku sampai di Surabaya sekitar jam 5 pagi. Langsung menuju kos untuk istirahat sebentar sebelum kembali ke realita—yaitu kerja. Rasanya berat banget, tapi ya begitulah, kehidupan harus terus berjalan!

Meskipun aku sangat capek setelah perjalanan panjang ini, tapi ada rasa puas dan bahagia yang nggak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Perjalanan ini benar-benar seperti mereset otakku, yang sebelumnya hanya dipenuhi pekerjaan dan rutinitas yang kadang membuatnya terasa monoton. Sekarang, otakku terasa lebih ringan, segar, dan penuh dengan kenangan baru yang memuaskan.

Selain itu, perjalanan ini juga punya makna yang lebih dalam bagi aku. Ini adalah perjalanan terakhirku sebagai pegawai, karena per-akhir 2018 ini aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan kantor dan memilih jalur freelance. Sebuah langkah besar yang tentu saja membawa banyak tantangan, tapi aku merasa siap untuk menjalani hal baru. Beberapa pengalaman seru sudah menunggu di tahun 2019, dan aku tidak sabar untuk menjalaninya.

Terima kasih, Sumba, untuk semua pengalaman yang luar biasa. Kau mengajarkanku banyak hal—tentang keindahan alam, keramahan orang-orang, dan bagaimana menyatu dengan ketenangan. Semoga perjalanan ini menjadi awal dari banyak cerita seru yang akan datang.

FINISHED...

4.20.2025

[4] Explore Sumba : Padang Savana Puru Kambera, Pantai Puru Kambera dan Air Terjun Tanggedu

Part Sebelumnya : DISINI

Pemandangan sepanjang jalan ke Air Terjun Tanggedu..

Setelah tiga hari menjelajahi keindahan alam dan budaya Sumba dari barat ke tengah, akhirnya kami tiba juga di ujung timur pulau ini — Waingapu, kota yang jadi gerbang menuju sisi Sumba Timur. Kalau hari-hari sebelumnya kami disuguhi perbukitan hijau dan kampung adat, kali ini waktunya bertemu hamparan savana kering yang eksotis, panas, dan liar. Tapi justru di situ letak daya tariknya.

Semalam aku, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu menginap di sebuah hotel sederhana di Waingapu. Badan sudah mulai terbiasa dengan ritme petualangan yang padat. Pagi ini, saat matahari baru mulai naik pelan-pelan di ufuk timur, kami turun ke lobi hotel sambil menguap kecil (wkwk), masih setengah ngantuk tapi excited. Sekitar pukul 08.00, driver kami datang menjemput. Mobil meluncur pelan, dan perjalanan menuju Padang Savana Puru Kambera pun dimulai.

Jaraknya sekitar 25 kilometer ke arah timur dari kota, dengan estimasi waktu 30–40 menit. Awalnya, jalanan mulus banget — aspal hitam membentang, dengan latar pemandangan khas pedesaan Sumba: rumah-rumah sederhana, ladang, dan aktivitas pagi warga yang masih berjalan santai. Tapi begitu mulai menjauh dari kota, jalan mulai bervariasi. Beberapa lubang kecil muncul, lalu aspal mulai putus, dan akhirnya berubah jadi jalanan tanah berbatu yang cukup berdebu.

Di sepanjang perjalanan, aura Sumba Timur mulai terasa. Bukit-bukit tandus, ilalang yang mengering ditiup angin, dan pohon-pohon lontar yang berdiri tegak sendiri seperti penjaga sunyi savana — semuanya menciptakan pemandangan yang khas dan fotogenik banget. Langit biru cerah tanpa awan jadi latar sempurna untuk semua itu. Sesekali kami juga melihat rumah-rumah panggung tradisional Sumba, atapnya dari rumbia dan dinding bambu, berdiri tenang di tengah ladang atau dekat pohon-pohon jarang.

Begitu tiba, kami langsung disambut pemandangan yang sangat luas dan terbuka. Padang Savana Puru Kambera adalah hamparan padang rumput yang tampak tak berujung. Di musim kemarau seperti sekarang, warna kecoklatan mendominasi, menciptakan lanskap yang eksotis. Jika datang saat musim hujan, savana ini berubah menjadi hijau subur, tetapi saat ini, rerumputan kering bergoyang diterpa angin, memberikan kesan sepi namun indah.

Kami turun dari mobil dan mulai berjalan menyusuri savana. Udara terasa hangat meski matahari belum terlalu tinggi. Beberapa ekor kuda liar terlihat merumput di kejauhan, salah satu ciri khas dari savana ini. Kuda-kuda ini bukan sepenuhnya liar, sebagian besar dimiliki oleh warga setempat yang membiarkan mereka berkeliaran bebas. Selain kuda, ada juga sapi dan kerbau yang sesekali terlihat di kejauhan.

Vegetasi di sini cukup khas. Selain ilalang yang mendominasi, ada pohon-pohon lontar yang tumbuh menyebar, memberikan sedikit keteduhan di tengah padang yang terbuka. Beberapa burung kecil terbang rendah di antara rerumputan, dan jika beruntung, bisa melihat burung elang melayang tinggi di angkasa mencari mangsa.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di sini, menikmati lanskap yang terasa begitu luas dan tenang. Angin berembus perlahan, membawa aroma rumput kering dan tanah yang panas. Rasanya seperti berada di Afrika, dengan padang savana yang membentang luas sejauh mata memandang.

Setelah puas menikmati padang savana, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Puru Kambera, yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari savana. Perjalanan tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 15 menit, tetapi jalanan semakin berbatu dan berdebu mendekati pantai.

Begitu tiba, kami langsung disambut dengan suara deburan ombak yang tenang. Pantai ini masih sangat alami dan sepi, tidak banyak wisatawan yang datang. Pasirnya putih kecoklatan, membentang panjang dengan garis pantai yang luas. Air lautnya luar biasa jernih, berwarna biru toska, kontras dengan pasir dan langit yang cerah.

Saat melangkah ke tepi pantai, kami langsung merasakan panasnya pasir di bawah kaki. Matahari sudah cukup terik, dan angin laut bertiup cukup kencang, membawa aroma garam. Ombak di sini tidak terlalu besar, cukup tenang untuk sekadar bermain air atau berendam di tepi.

Kami berjalan menyusuri pantai, merasakan hembusan angin yang menerpa wajah. Arin dan Mbak Hayu langsung melepas sandal dan bermain air di tepi pantai, sementara aku dan Fredo memilih duduk di bawah pohon ketapang yang tumbuh di dekat bibir pantai, menikmati pemandangan laut yang begitu luas.

Pantai Puru Kambera benar-benar menawarkan ketenangan. Tidak ada deretan warung atau keramaian turis, hanya kami, suara ombak, dan angin yang terus berembus. Setelah puas menikmati suasana pantai, kami akhirnya kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Hari keempat di Sumba masih panjang, dan kami tidak sabar untuk melihat lebih banyak keajaiban alam pulau ini.

Setelah menikmati Pantai Puru Kambera yang tenang, kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Tanggedu, salah satu air terjun tersembunyi di Sumba Timur yang sering dijuluki "Grand Canyon-nya Sumba". Dari Pantai Puru Kambera, perjalanan menuju Tanggedu memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2 jam, dengan jarak sekitar 46 kilometer ke arah utara Waingapu.

Awalnya, kami masih melaju di jalan nasional yang cukup bagus. Namun, setelah beberapa kilometer, kami berbelok masuk ke jalan tanah yang mulai menantang. Jalan ini membelah perbukitan, berkelok-kelok mengikuti lekukan alam, dengan pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit savana khas Sumba terbentang di sekeliling, sebagian besar berwarna kecoklatan karena musim kemarau, dengan beberapa pepohonan lontar tumbuh di sela-sela lereng.

Semakin jauh masuk, kondisi jalan semakin sulit. Beberapa bagian masih berbatu dengan debu yang cukup tebal, membuat perjalanan terasa lebih lambat. Di beberapa titik, kami harus melewati tanjakan dan turunan curam, memberikan sensasi petualangan yang sebenarnya. Meski begitu, perjalanan ini justru membuat kami semakin antusias untuk melihat keindahan yang tersembunyi di ujung jalan ini.

Setelah berkilo-kilometer membelah perbukitan, akhirnya kami tiba di sebuah desa kecil yang menjadi titik awal trekking menuju Air Terjun Tanggedu. Begitu kami turun dari mobil, beberapa penduduk lokal menghampiri dan menyarankan kami untuk menyewa guide karena dari titik ini, masih dibutuhkan trekking sekitar 45 menit yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, melewati bukit dan lembah. Setelah berdiskusi sejenak, kami menyetujui menggunakan guide dengan tarif Rp 100.000/antar. Guide kami ternyata seorang gadis kecil lokal.

"Mari kak ikut saya," katanya dengan ramah.

Awal perjalanan masih terasa ringan. Jalan setapak melintasi ladang-ladang penduduk dan bukit-bukit hijau yang mengapit kami di kiri dan kanan. Tapi, karena kami berangkat menjelang siang, matahari mulai naik tinggi, dan sengatannya mulai terasa di kulit. Langit bersih tanpa awan, dan jalur yang kami lewati jarang ada naungan pohon besar. Seiring waktu, langkah jadi makin lambat. Keringat mulai mengucur deras. Sinar matahari memantul dari tanah kering dan bebatuan.

Yang bikin tetap semangat adalah pemandangan sepanjang jalur. Sumba ini seperti lukisan hidup. Bukit-bukit hijau menjulang gagah, sebagian tampak seolah dipotong rapi, memperlihatkan lapisan-lapisan tanah dan batu kapur. Jalur trekking yang kami lewati kadang naik, kadang turun, kadang rata, lalu menanjak kembali. Peluh bercucuran? Sudah pasti. Nafas ngos-ngosan? Wajar. Tapi hati senang? Jelas! Jarang-jarang kan kami menjumpai pemandangan seperti ini di tempat kami.


Tapi seindah-indahnya pemandangan, panasnya siang itu tetap jadi tantangan. Matahari bulan Desember di Sumba ternyata tidak kalah menyengat. Kami duduk bersila di tanah, membuka bekal air minum, sambil mengipasi wajah dan saling melempar canda. Panasnya siang hari terasa lebih bersahabat saat ada tawa dan semangat bareng teman seperjalanan.

Setelah istirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan sengatan matahari yang masih membakar. Tapi tiap kali kami berpikir, “Masih jauh nggak sih ini air terjun?”, pemandangan sekeliling terus membalas dengan keindahan. Bukit-bukit menjulang seperti pelindung raksasa, padang luas tanpa batas, dan langit biru bersih—semuanya seolah menguatkan langkah kami untuk terus maju.

Hingga akhirnya, setelah sekitar 45–50 menit berjalan, sebuah papan kayu sederhana menyambut kami: “Selamat Datang di Air Terjun Tanggedu”. Rasanya seperti melihat oasis di tengah padang yang luas. Meski air terjunnya belum terlihat dari situ, keberadaan papan itu seperti alarm bahwa perjuangan kami hampir berakhir. Rasa lelah sedikit sirna, digantikan rasa semangat yang baru karena tahu tujuan kami sudah dekat.


Akhirnya, tidak lama kemudian, kami mendengar suara gemuruh air yang semakin jelas. Tak lama, kami sampai di pinggir sebuah aliran sungai yang dikelilingi formasi bebatuan besar berwarna putih pucat. Air sungai mengalir lembut di sela-sela batuan, menciptakan panorama yang sangat kontras dengan pemandangan perbukitan kering yang kami lewati sebelumnya. Kami sempat berhenti sejenak di sini, terpana dengan keindahan alam yang begitu unik—hamparan batu kapur yang tampak seperti pahatan alam, seolah sungai ini telah mengukirnya perlahan selama ribuan tahun.

Dari titik ini, kami masih harus melanjutkan sedikit lagi perjalanan sekitar lima menit menyusuri aliran sungai. Jalurnya cukup menantang karena harus melewati bebatuan yang licin dan naik-turun, tapi semua itu terbayar lunas saat akhirnya kami tiba di depan Air Terjun Tanggedu.

Dari titik pandang ini, kami bisa melihat keseluruhan lanskap air terjun yang luas dan bertingkat-tingkat. Di sisi kiri, air terjun utama mengalir deras menuruni dinding batu seperti tirai raksasa yang membentang. Airnya jernih dan deras, jatuh ke kolam alami berwarna hijau toska yang tenang di bawahnya. Tepat di depannya, aliran sungai terus mengalir menyusuri celah-celah batu kapur berlapis-lapis, seolah-olah membentuk jalan air alami yang mengarahkan mata hingga ke kejauhan.

Sementara itu, di sisi kanan, ada aliran lain yang tak kalah dramatis, jatuh dari undakan batuan kapur yang lebih kecil tapi membentuk aliran cantik yang seperti mengalir dari sela-sela jari bumi. Dinding-dinding tebing tinggi yang mengapit air terjun ini menambah kesan megah dan tersembunyi—benar-benar seperti surga kecil yang disembunyikan di balik bukit-bukit Sumba.

Beberapa pengunjung terlihat berdiri di bebatuan tengah sungai untuk berfoto, sementara yang lain duduk santai di pinggir kolam menikmati kesejukan air dan panorama yang menghipnotis. Suasana di sini terasa damai, hanya diiringi suara gemuruh air, angin semilir, dan gelegak riang air yang membentur batu.

Air terjun ini tidak seperti air terjun tinggi yang jatuh dalam satu aliran deras, melainkan lebih seperti serangkaian cascading waterfalls, di mana air mengalir deras melewati celah-celah batu dan membentuk kolam alami di beberapa titik. Aliran air yang kuat menciptakan riak-riak kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari. Kami bisa mendengar suara air menghantam batu, menciptakan suasana yang begitu alami dan menenangkan.

Di dekat air terjun, beberapa mama terlihat menjual kelapa muda. Melihat kami yang kepanasan setelah trekking, mereka langsung menawarkan kelapa segar. Tanpa pikir panjang, kami pun membeli beberapa butir. Sensasi air kelapa dingin yang segar setelah trekking panjang benar-benar menyegarkan. Kami menghabiskan waktu cukup lama di sini, menikmati kesegaran air, berfoto dengan latar bebatuan yang eksotis, dan berbincang dengan penduduk lokal. Suasana begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya ada suara air terjun, tawa wisatawan, dan angin yang berhembus lembut.

"Kalau mau bisa coba naik ke atas kak, pemandangannya bagus," kata seorang mama kepadaku.

"Oh iya ma, bisa ya naiknya?" Jawabku.

"Bisa kak, itu ada jalannya. Hati-hati aja soalnya agak licin."

Kami akhirnya memutuskan untuk naik ke atas. Jalurnya sempit dan berbatu. Dari atas sini, pemandangan air terjun terlihat lebih jelas dan luas. Kami bisa melihat aliran sungai yang berliku di antara tebing, dan formasi batu yang makin terlihat artistik. Kemudian karena waktu sudah mendekati ashar, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu yang beragama Muslim hendak shalat. Mereka mengambil air wudhu dari sungai lalu menunaikan salat di atas batu datar yang cukup luas. Ada rasa damai melihat mereka menunaikan ibadah di tengah keheningan alam, dengan gemuruh air sebagai background alami.

Setelahnya kami pun duduk santai sembari menyelupkan kaki ke aliran sungai yang sejuk. Diam sejenak. Menikmati setiap belaian alam. Momen ini bukan cuma soal perjalanan atau destinasi, tapi soal bagaimana alam perlahan-lahan membasuh penat, menyisakan rasa syukur yang dalam.

Setelah puas menikmati keindahan Air Terjun Tanggedu, kami bersiap untuk perjalanan pulang, kembali menapaki jalur trekking yang menantang. Meski harus berjalan kaki lagi sejauh 45 menit, rasanya tidak terlalu berat karena hati masih dipenuhi oleh keindahan yang baru saja kami lihat. Sumba memang penuh kejutan, dan hari keempat ini menjadi salah satu pengalaman terbaik dalam perjalanan kami.


Part Selanjutnya : DISINI