Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work

10.29.2016

Road Trip Bromo via Tumpang 1 : Perjalanan ke Malang

Perjalanan 'Road Trip' Surabaya - Malang - Tumpang - Bromo - Probolinggo - Surabaya kami mulai pada hari Jumat tanggal 23 September 2016. Jumat itu seusai pulang kerja jam 14.30, aku tidak ping pong seperti biasanya melainkan segera pulang kos untuk memulai road trip ini yang menurut google map akan menempuh jarak total sekitar 283 kilometer. Benar-benar sebuah tantangan. Aku belum pernah nyetir sejauh itu. Tujuan utama road trip ini sendiri tentulah untuk refreshing dari rutinitas yang jarang berubah. Karena jujur saat itu aku sedang sangat jenuh dengan pekerjaan yang menumpuk. 

Setelah mengisi penuh bensin untuk motor kesayanganku - Si Merah 'Shogun R 125' - aku segera pulang ke kos untuk mempersiapkan pakaian dan bekal perjalanan, selain itu juga menjemput temanku yang sudah menunggu di kos. Setelah siap semua, langsung berangkat mengarahkan motor ke selatan menuju Kota Malang.


Aku dan Si Merah yang tangguh (GALUH PRATIWI)

Perjalanan dari Surabaya ke Malang dimulai dari kemacetan yang tak terhindarkan di ruas jalan Surabaya - Sidoarjo. Karena baru mulai, aku masih sabar menghadapai semuanya. Sekitar satu setengah jam menyetir, sampai di Kota Sidoarjo, tanganku mulai pegal dan perut mulai memberontak kelaparan. Jajanan pentol dan siomay meluncur mulus ke perut. Dengan beberapa teguk aliran air segar, kami melanjutkan perjalanan kembali.

Perjalanan Sidoarjo - Porong - Gempol - Pandaan - Purworedjo - Lawang kami lalui dengan leluasa dan menyenangkan karena jalanan relatif sepi serta suhu mulai berubah agak sejuk. Panasnya Kota Surabaya seakan menguap begitu Si Merah kupacu menuju Pandaan. Jalanan mulai naik dan gunung-gunung mulai terlihat di sebelah kanan, sesekali terlihat sawah yang menghampar luas. Pemandangan yang menyegarkan mata.


Sekitar Mahgrib, kami sudah sampai Lawang dan memutuskan beristirahat di warkop lesehan yang cukup nyaman. Segelas kopi panas dan gorengan hangat meluncur mulus ke perut kami yang mulai keroncongan kembali. Hawa sejuk nan dingin seakan menambah semangat suasana sore itu. Kami beristirahat selama setengah jam sebelum kembali bermotoran ria menuju Malang.


Gorengan dan Kopi di Lawang (GALUH PRATIWI)

Perjalanan dari Lawang ke Malang cukup menguras waktu karena macet yang tidak tertahankan. Bus, mobil, motor, seakan bertumpuk jadi satu di jalan yang relatif tidak terlalu lebar tersebut. Si Merah hanya mampu melaju di kisaran 30-40 kilometer per jam. Karena hawa yang dingin dan suasana hati yang sedang baik, kami bisa melalui itu semua dengan lancar. Sekitar pukul tujuh malam, kami akhirnya sampai di Kota Malang.

Kami menginap di Hotel Malang. Sebuah kamar sederhana dengan fasilitas kasur, TV dan kipas angin menyambut kami. Tarifnya cukup murah, untuk kamar ekonomi hanya 100ribuan/malam untuk berdua. Hawa Kota Malang yang sejuk-sejuk dingin membuat kami sama sekali tidak membutuhkan AC, cukup kipas angin yang dinyalakan menghadap ke tembok (itupun sudah membuat kami kedinginan).


Kamar Ekonomi di Hotel Malang, semalam Rp 100.000 (GALUH PRATIWI)

Kami menghabiskan malam itu dengan tiduran, cerita-cerita dan nonton TV, sempat keluar sebentar untuk makan nasi penyetan di dekat penginapan. Hawa Kota Malang sungguh sempurna untuk refreshing. Semua beban, permasalahan, kebingungan, seakan hilang saat aku sedang di jalan begini. Tanpa sadar, mataku semakin berat dan tertidur. Menyiapkan tenaga untuk 'road trip' hari kedua, menyusuri Malang - Tumpang - Bromo. Kuharap besok tidak menjadi hari yang berat.


###

Aku terbangun jam enam pagi, tetapi kemudian kembali tidur setelah mengecek HP. Bagiku, refreshing adalah suatu kegiatan untuk me-refresh otak, mengisi otak dengan hal-hal baru, hijau dan bernuansa alam. Karena itulah aku tidak terlalu mempersoalkan jam kalau traveling jarak dekat. Lagipula, kamar ekonomi ini terlalu nyaman. Aku menarik selimut dan tertidur pulas lagi.


Aku terbangun satu jam kemudian karena mimpi buruk. Karena malas tidur lagi, akhirnya aku hanya tiduran sambil menyalakan TV dan main HP. Sejenak kemudian, tiba-tiba petugas hotel mengantarkan sarapan segelas teh hangat dan setangkup roti dengan selai nanas. Cukup mengejutkan karena sewaktu aku booking hotel ini di pegi-pegi disana dikatakan kami tidak mendapatkan sarapan.


Setelah mandi dan bersiap-siap, kami segera melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Tumpang. Tujuanku adalah mencari warung soto daging yang lezat untuk sarapan. Tidak lupa bensin kuisi penuh dan mengambil sejumlah uang di ATM untuk persiapan karena hari ini kami akan menuju pegunungan jadi tidak terlalu yakin ada mesin penarik uang disana. Mencari warung makan yang pas tanpa hasil, akhirnya aku memutuskan jalan dahulu sampai Tumpang dan mencari makan disana.


Kami menyusuri Jalan Raya Madyopuro, Jalan Raya Kedungrejo, Jalan Raya Slamet, Jalan Raya Bokor dengan santai.Jalanan yang sepi dan mulus memudahkan deru Si Merah. Tumpang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Malang yang berjarak 16 kilometer dari Kota Malang. Perjalanan kami akhirnya terhenti di Pasar Tumpang untuk mencari sarapan. Setelah bolak-balik kesana kemari, akhirnya kami sarapan di sebuah warung makan penyetan di dekat pertigaan.


Lokasi mendapatkan 'kesialan' di Tumpang (GALUH PRATIWI)

Sepertinya kami mendapat 'kesialan', karena dari nasi penyet mujair yang kami pesan, kami mendapatkan ikan yang sudah bau. Mau bilang penjualnya nggak enak. Orangnya ibu-ibu nyentrik yang masih muda, malas kalau harus berdebat. Aku paling malas berdebat mengenai hal-hal yang menurutku kurang begitu penting. Akhirnya kutahan makan semua itu, temenku cuma nyengar-nyengir makan nasi dan sayur. 

Seusai perjuangan makan ikan bau, Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Bromo. Tujuan kami selanjutnya adalah Coban (Air Terjun) Pelangi yang ada di Desa Ngadas. Jarak yang harus kami tempuh dari Pasar Tumpang adalah 16 kilometer. Jalanan yang kami lewati relatif mulus dengan medan yang semakin menaik dan terjal. Sepuluh menit berkendara, kami melewati gapura selamat datang Desa Gubugklakah. Pemandangan sawah yang menghijau mendominasi. Sesekali kami menjumpai rumah penduduk sederhana di kanan kiri jalan. Udara bersih dan segar.


Lembah yang cukup dalam di sepanjang jalan (GALUH PRATIWI)

Lembah yang cukup dalam di sepanjang jalan (GALUH PRATIWI)

Semakin mendekati Coban Pelangi, jalanan semakin meliuk-liuk tajam. Pada beberapa kesempatan, aku harus terus menggunakan gigi satu supaya motor dapat melaju. Kami sempat berhenti beberapa kali untuk berfoto karena pemandangan yang disajikan memang sangat yahud.

Setiap ada spot menarik langsung berhenti untuk berfoto (GALUH PRATIWI)

Perkebunan subur milik warga (GALUH PRATIWI)

Tanaman subur (GALUH PRATIWI)

Tanaman tropika menghampar lebat (GALUH PRATIWI)

Melewati beberapa liukan tajam dengan kondisi jalan bergelombang, akhirnya sampai juga di Coban Pelangi. Coban Pelangi ini adalah salah satu wilayah konservasi alam di bawah perlindungan Perhutani maka dari itu sangat terjaga. Tarif masuknya sendiri Rp 8000/orang dan parkir Rp 2000/motor.

Susu Jahe (GALUH PRATIWI)

Jalan menuju Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Pemandangan tanaman menghijau di sepanjang jalan turun ke Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Pemandangan tanaman menghijau di sepanjang jalan turun ke Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Fasilitas yang ada di kawasan wisata Coban Pelangi sendiri cukup lengkap, terdapat beberapa warung yang menyambut kedatangan kami. Warung tersebut menjual makanan dan minuman panas, sangat cocok di tempat dingin seperti ini. Setelah minum susu jahe segelas untuk meredakan pusing yang tiba-tiba melanda (kayaknya gara-gara mujaer bau), kami memutuskan segera berjalan menuju Coban karena jarak tempuhnya dari parkiran cukup jauh. Menurut petunjuk arah kami harus berjalan turun sejauh 800 meter.

Jalan turun tidak masalah karena sudah dibangun tangga-tangga yang memutar sampai bawah. Pepohonan tropika berjajar menyambut di kanan kiri kami, kicau burung bersahut-sahutan, angin dingin sepoi-sepoi menampar wajah kami. Semuanya tenang dan damai disini. Di beberapa titik disediakan tempat duduk untuk beristirahat, tempat sampah, warung, mushola dan toilet. Fasilitasnya cukup lengkap.


Kami terus berjalan menuruni tangga demi tangga yang terbuat dari batu. Jalan jauh seakan tidak menjadi masalah karena pemandangan yang sangat indah di kanan dan kiri jalan. Di sebelah kanan kita bisa melihat lembah yang dialiri oleh sungai berair jernih. Tanaman tropika lebat menghampar hampir di semua tempat. Tidak diragukan lagi tanah di daerah ini pastilah subur karena dekat dengan pegunungan.


Kurang lebih setengah jam jalan turun, kami diharuskan menyeberang jembatan yang terbuat dari kayu. Di bawahnya aliran air sungai membelah perbukitan dengan begitu derasnya. Banyak yang berfoto-foto disini karena memang pemandangannya sangat indah.


Sungai jernih di dekat Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Setelah menikmati pemandangan sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Coban. Dari sini jaraknya tidak terlalu jauh lagi, sekitar 200 meter melewati jalan berbatu yang basah. Tidak lama kemudian, kami sudah sampai di Coban Pelangi.

Sebuah air terjun dengan ketinggian 30 meter menghampar di depan mata kami. Air mengalir dengan derasnya melalui celah sempit perbukitan di atas sana. Aliran air tersebut menghantam dengan keras bebatuan di bawahnya. Sangat indah, segar, menyejukkan mata. Kami menghabiskan waktu berfoto dan menikmati pemandangan di bawah air terjun.


Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Coban Pelangi finish! (GALUH PRATIWI)

Mau gaya masukin air ke botol tapi gagal (GALUH PRATIWI)

Kami tidak menghabiskan waktu lama disini karena kami harus bergegas melanjutkan perjalanan dari Coban Pelangi ke Cemoro Lawang. Hari semakin siang dan kami harus bergegas karena sebelum menuju Cemoro Lawang nanti, kami harus melalui lautan pasir Tengger sejauh sepuluh kilometer. Kami membutuhkan waktu setengah jam untuk kembali ke atas kembali. Perjalanan naik tidaklah semudah perjalanan turun. Tarikan gravitasi memaksa kami berhenti beberapa kali untuk mengatus nafas.

Kami melanjutkan perjalanan kembali. Menurut rute google map, dari sini kami mengikuti jalan saja dari Desa Ngadas ke Desa Jemplang. Desa Jemplang adalah desa terakhir sebelum menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.  Jalanan yang beraspal bagus membuat Si Merah bisa melaju dengan leluasa.


Seperti sebelumnya, sebelah kanan kiri jalan didominasi oleh pepohonan tropika yang menghampar tinggi dan lebat. Jalanan sepi sekali. Bisa dihitung berapa kali kami menjumpai pengendara lain. Tapi aku tidak boleh takut. Pilihan kami hanya ada dua, maju terus sampai Cemoro Lawang (lebih dekat) atau kembali lagi ke Tumpang dan Malang (lebih jauh). Aku tidak suka perjalanan kembali, karena itulah aku memantapkan untuk terus melaju apapun yang terjadi meskipun jalanan semakin sepi dan dingin.


Kami terus melaju ke tempat yang lebih tinggi. Jalan aspal masih bagus, tetapi lagi-lagi sepi sekali. Tidak ada pengendara yang lain. Kabut mulai turun. 'Sial, aku rasa mau hujan', ujarku dalam hati.


Tiba-tiba setelah melewati jalan dengan perkampungan di sekitarnya, kami harus melalui jalan dengan jurang di sisi kanan dan kirinya. Iya benar-benar jurang di kanan kirinya, tanpa pengamanan sama sekali! Jalan aspal dengan lebar sekitar dua meteran itu sontak membuatku pusing. Bayangan akan jatuh langsung berkelebat. Tapi aku memaksa diriku tetap fokus menghadap ke depan. Syukurlah kami bisa melaluinya dengan lancar sampai menemukan jalan yang normal kembali (well, setidaknya hanya ada satu jurang di salah satu sisinya, bukan kedua sisi seperti yang tadi).


10.28.2016

Diary Menggapai Himalaya 30 : Keliling Kompleks Lumbini 1

Aku tertegun melihat peta Kompleks Lumbini di depanku.

"Wuahh....ternyata luas banget Lumbini itu. Nggak mungkin kita mengelilinginya dengan jalan kaki, apalagi waktu kita hanya dua jam sebelum bus ke Kathmandu berangkat," kataku ke Fredo.

Belum sempat Fredo menjawab seorang lelaki tua mendekati kami dan menawarkan tumpangan cycle rickshaw untuk berkeliling Lumbini. Memang tidak memungkinkan mengelilingi Lumbini dengan jalan kaki, ujarnya. Kecuali kaki mau gempor dan hanya membuang-buang waktu. Lelaki tua itu meminta 500 Rupee untuk mengantarkan kita berdua keliling Kompleks Lumbini.

Aku menawar 400 Rupee, beralasan kita mahasiswa yang jalan dengan uang pas-pasan. Tawar menawar sejenak, dia akhirnya setuju dengan tarif 400 Rupee dan mulai mengayuh sepedanya membawa kami berkeliling.

Lumbini merupakan salah satu situs ziarah umat Buddha yang berlokasi di Distrik Rupandehi. Menurut tradisi Buddha, di tempat inilah Ratu Mayadevi melahirkan Siddharta Gautama pada tahun 528 SM tepatnya di Kuil Mayadevi. Desain Situs Lumbini sendiri cukup unik, disini kita menjumpai zona biara yang cukup luas. Tidka ada toko-toko, hotel ataupun restoran. Biaranya sendiri terbagi menjadi dua yaitu Zona Biara Timur dan Zona Biara Barat, dimana zona timur dibangun biara-biara beraliran Theravadin, sementara zona barat dibangun biara-biara beraliran Mahayana dan Vajrayana. Biara-biara tersebut dibangun oleh negara-negara yang kebanyakan mempunyai penduduk mayoritas beragama Buddha, tetapi ada juga biara yang dibangun oleh Jerman dan Perancis.

Biara pertama yang kami kunjungi adalah biara milik negara Myanmar. Sebuah pagoda berwarna keemasan yang sering disebut Pagoda Lokamani Cula Burma berdiri gagah di depan kami. 


"Panas....panas...", ujarku kepada Fredo sesaat setelah melangkahkan kaki untuk mengelilingi pagoda. Kita memang diwajibkan melepas alas kaki saat masuk ke area biara.


"Udah ayo kita keliling cepat saja terus segera lanjut," kata Fredo.


Kami berjalan cepat-cepat mengelilingi biara dan segera melanjutkan perjalanan ke biara selanjutnya. Lelaki Nepal pengayuh cycle rickshaw kami terlihat semangat mengayuh sepedanya. Keringat mulai berjatuhan di pelipisnya, tapi tidak menghalanginya untuk terus emnjawab keingintahuan kami tentang Nepal.


"Sir, di Nepal mayoritas Hindu atau Buddha?" tanyaku. Aku penasaran karena di negara inilah pemimpin spiritual Buddha terbesar lahir.


"Hindu madam..70 persen orang Nepal beragama Hindu, " katanya.


"Sir, disini sangat tenang dan damai. Sebelumnya kami di India keadaan sangat ribut, jadi sangat aneh sekarang jadi sepi," kata Fredo.


"Yeah, disini lebih baik dari Kathmandu," kata lelaki itu lagi.


"Sir, kamu bisa berbicara bahasa Hindi?" tanya Fredo lagi.


"No, kita berbicara bahasa Nepal disini Sir," jawabnya tanpa lelah.


Bla bla bla masih banyak pertanyaan lain yang kami ajukan kepada supir auto rickshaw kami. Pemberhentian kami selanjutnya adalah biara milik negara India. Beberapa anak tangga menyambut kami sebelum masuk ke kompleks biara utama, seperti biasa kami juga harus melepas alas kaki disini.


"Dari Indonesia ya Pak?" aku mendengar Fredo bertanya kepada seorang Bapak yang juga hendak memasuki biara India.

"Iya, iya," jawab Bapak tersebut, "Kamu juga?"

"Iya Pak..," jawab Fredo.

"Wah Bapak dari Indonesia ya? Kami baru ketemu orang Indonesia pertama ini pak selama jalan dari India," kataku ikut nimbrung.

bla, bla, bla, selanjutnya kami langsung mengobrol dengan akrab. Rasanya senang sekali bertemu teman sebangsa kalau sedang jalan-jalan di luar negeri begitu. Setelah mengobrol sejenak aku segera mengelilingi biara ini. Di sepanjang dindingnya dilukis cerita Buddha ketika pertama kali meninggalkan istana dan memutuskan mengakhiri penderitaan duniawi untuk menjadi pertapa, godaan-godaan ketika Buddha mulai bertapa, ketika Sujata Garh memberinya makanan dan minuman ketika Buddha sudah sangat lemah, ketika Buddha memperoleh pencerahan, dan saat Buddha memberikan ajaran Dhamma kepada pengikutnya. Cerita gambar yang menarik, aku mengambil setiap foto. Sungguh aku sangat menghormati Sang Buddha.

Oiya, Bapak dari Indonesia tadi datang dengan istrinya. Istri bapak tersebut segera bergabung dengan kami setelah selesai mengelilingi kompleks biara. 

"Ibu Buddha ya? Saya lihat tadi ibu berdoa," tanyaku.

"Tidak, saya Katolik, tapi tidak apa-apa kan kita berdoa? Kita harus mengucap syukur karena perjalanan sudah diberkahi sampai kesini," jawab ibu tersebut.

"Iya bu. Oya dari mana bu?"

"Dari Surabaya. Ini sudah hari-hari terakhir kami disini. Sebelumnya kami dari Kathmandu dan Phokara. Saya senang disini karena suasananya tenang. Di Kathmandu sering hujan. Kalau kalian dari mana?"

"Kami dari India bu. Setelah ini akan lanjut ke Kathmandu. Bagus ya bu disana?"

"Yah bagus kok, cuma waktu kami disana sering mendung setiap hari, " kata ibu itu lagi.

"Kalau Phokara menurut kami biasa saja ya. Bahkan malah kaya Sarangan. Tau Sarangan kan? Yang di Gunung Lawu itu, katanya lagi.

"Wah trimakasih Bu infonya. Sedikit menghibur kami, karena sebenarnya kami mau ke Phoakra tapi karena kereta dari India telat sehingga terpaksa dibatalkan."

Kami masih mengobrol panjang setelah itu, bahkan sempat foto-foto. Usia mereka bisa dibilang tidak lagi muda, tetapi semangat menjelajahnya masih mengagumkan. Aku harap aku bisa seperti mereka, mempunyai semangat berpetualang tanpa dibatasi usia. Mereka memberikan kami banyak nasehat sebelum kami berpisah pada arah sebaliknya.

Trimakasih Bapak, Ibu, saya akan selalu mengingat kalian!

Peta Kompleks Lumbini, luas banget ya (GALUH PRATIWI)

Salah satu gerbang keluar Kompleks Lumbini (GALUH PRATIWI)

Zona biara dibagi dua yaitu zona biara barat (bagian atas) dan zona biara timur (bagian selatan). Zona tersebut berdasarkan aliran Buddha yang diyakini. (GALUH PRATIWI)

Pagoda Lukamani Cula Burma (milik Myanmar) (GALUH PRATIWI)

Pagoda Lukamani Cula Burma (milik Myanmar) (GALUH PRATIWI)

Ukiran pada pagoda sangat detail, indah dan cantik (GALUH PRATIWI)

Semangat mengantarkan kami keliling (GALUH PRATIWI)

Kenampakan bagian depan biara milik India (GALUH PRATIWI)

Kelahiran dan langkah pertama Pangeran Siddharta, dibelakangnya adalah sosok Ibunya, Ratu Mayadevi. Langkah kaki Pangeran Siddharta ditandai oleh bunga teratai. (GALUH PRATIWI)

Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan semua kesengsaraan duniawi dan memotong rambutnya di Sungai Anoma untuk menjadi seorang pertapa (GALUH PRATIWI)

Pangeran Siddharta melakukan praktek meditasi di Uruvela, Gaya selama 6 tahun. Melakukan penyiksaan diri untuk melepaskan diri dari kesengsaraan duniawi. Tubuhnya menjadi sangat kurus dan lemah saat itu. (GALUH PRATIWI)

Seorang perempuan desa bernama Sujata Garh tidak tega melihat kondisi Pangeran Siddharta yang sudah sangat lemah sehingga menawarinya nasi susu. Dari situlah Pangeran Siddharta menyadari bahwa penyiksaan diri yang ekstrim bukanlah jalan untuk memperoleh pencerahan. Kemudian beliau pindah bermeditasi di bawah pohon bodhi dan memperoleh pencerahan, mengajarkan ajaran "jalan tengah" dan menjadi Buddha (GALUH PRATIWI)

Seekor gajah dan kera menawari Buddha madu dan buah-buahan untuk dimakan (GALUH PRATIWI)

Buddha merawat Biksu Putigatta Tissa yang sedang sakit (GALUH PRATIWI)

Buddha mengajarkan Dhamma kepada pengikut-pengikutnya di Sarnath (sekarang di India dekat kota Bodh Gaya) (GALUH PRATIWI)

Buddha menjinakkan gajah yang mengamuk di Nalagiri (GALUH PRATIWI)

Posisi terakhir Buddha sebelum meninggal. Posisi ini banyak diabadikan di beberapa patung Buddha di berbagai belahan dunia seperti Bangkok (Wat Pho) dan Mojokerto (Mahavira Majapahit) (GALUH PRATIWI)


10.26.2016

Diary Menggapai Himalaya 29 : Stupa Swayambunath

Motor matik kami kembali berjalan menembus kepadatan Kota Kathmandu. Motor, mobil, manusia, bangunan usang, debu saling bercampur di jalanan kota yang nyaris tanpa lampu pengatur lalu lintas ini. Untaian kabel-kabel melilit di tiang listrik yang ukurannya tidak seberapa. Matahari bersinar menyengat, klakson motor bersahut-sahutan. Pemandangan yang cukup klasik dan biasa di Kathmandu. Kami sudah terbiasa.

Semakin lama jalanan yang kami lewati terasa semakin menanjak. Rumah-rumah penduduk berjajar di sepanjang jalanan aspal yang cukup halus ini. Setelah setengah jam berkendara, kami telah sampai di Stupa Swayambunath. Tidak seperti sebelumnya, disini kami bisa memarkir motor karena disediakan tempat parkir yang luas dan gratis. Rupaya Stupa Swayambunath berada di salah puncak Bukit Swayambhunath di Lembah Kathmandu.

Suasana stupa terlihat sangat tenang dan damai. Begitu masuk, pemandangan pertama yang kami lihat adalah sebuah kolam melingkar dengan patung Buddha ketika masih berusia belia di bagian tengahnya. Pada bagian bawah patung terdapat sebuah lempengan besi yang penuh dengan uang logam. Beberapa uang logam yang dilemparkan pengunjung meluncur masuk ke kolam. Aku sendiri kurang paham maksudnya untuk apa, mungkin sebagai bentuk persembahan, keberuntungan?


Kami melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam kuil. Menurutku Kuil Swayambunath ini sangat damai dan menarik. Di bagian bawah aku bisa melihat monyet-monyet berlompatan dan berenang dengan bebas. Turis lokal maupun turis asing saling berjajar di pagar untuk melihat aktraksi menarik tersebut.

Petualangan kami berlanjut ke puncak bukit Swayambunath. Karena posisi kuil yang berada di puncak, kita bisa melihat pemandangan Lembah Kathmandu dari atas. Bendera-bendera doa warna-warni berkibar tertiup angin gunung yang segar. Penjual berbagai pernak-pernik mulai dari alat bersembahyang umat Buddha (mulai dari patung Buddha berbagai ukuran, roda doa, kalung doa, cawan-cawan kuningan), lukisan minyak, kalung, gelang, topeng dengan berbagai macam ukiran, kartu pos, dan masih banyak lagi.

Menaiki anak tangga yang cukup banyak dan curam, akhirnya kami sampai di bagian atas kuil yang merupakan tempat ziarah utama yakni Stupa Swayambhunath. Sebuah mandala berbentuk setengah bola berwarna putih menjadi alas bagi Stupa Swayambunath. Di sekeliling mandala terlihat dikelilingi oleh pagar dan roda doa. Bendera-bendera doa saling dibentangkan dari ujung stupa ke sekeliling arah, menyebarkan mantra-mantra yang diharapkan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi makhluk hidup di dunia. Berdasarkan tulisan di lempengan sekitar stupa, untuk melakukan ziarah mengelilingi stupa atau memutar roda doa diharapkan searah dengan jarum jam.

Dari stupa kami beranjak ke bagian ujung kuil yang langsung menghadap pegunungan dan Lembah Kathmandu. Pemandangan sangat indah dan damai, ditambah cuaca sedang sedikit mendung sehingga kami terhindar dari terik matahari. Ribuan rumah berbentuk kotak-kotak bertumpuk di Lembah Kathmandu. Banyak bangunan bertingkat-tingkat disini, mungkin seperti rumah susun. 

Aku memandang ke bawah, aku memandang ke gunung. Hatiku berdesir, hatiku bahagia. Terimakasih Tuhan telah mengizinkanku kesini.

Kolam dengan patung Buddha di Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Monyet-monyet berlompatan dan berenang di kolam (GALUH PRATIWI)

Naik puluhan anak tangga menuju puncak bukit (GALUH PRATIWI)

Penjual souvenir di Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Penjual souvenir di Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Buddha Siddharta Gautama (GALUH PRATIWI)

Penjual souvenir di Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Penjual souvenir di Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Berfoto bersama penjual lukisan minyak (GALUH PRATIWI)

Stupa Swayambhunath yang berwarna kuningan dengan lukisan Buddha (GALUH PRATIWI)

Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Stupa Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Kuil Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Pemandangan Lembah Kathmandu dari puncak Bukit Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Pemandangan Lembah Kathmandu dari puncak Bukit Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Langit mendung menggelayuti Lembah Kathmandu (GALUH PRATIWI)

Bendera doa berkibar tertiup angin (GALUH PRATIWI)

PBendera doa berisi mantra-mantra. Ketika berkibar tertiup angin diharapkan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi dunia (GALUH PRATIWI)

Pemandangan Lembah Kathmandu dari puncak Bukit Swayambhunath (GALUH PRATIWI)

Pemandangan Lembah Kathmandu dari puncak Bukit Swayambhunath (GALUH PRATIWI)