Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work

10.29.2016

Road Trip Bromo via Tumpang 1 : Perjalanan ke Malang

Perjalanan 'Road Trip' Surabaya - Malang - Tumpang - Bromo - Probolinggo - Surabaya kami mulai pada hari Jumat tanggal 23 September 2016. Jumat itu seusai pulang kerja jam 14.30, aku tidak ping pong seperti biasanya melainkan segera pulang kos untuk memulai road trip ini yang menurut google map akan menempuh jarak total sekitar 283 kilometer. Benar-benar sebuah tantangan. Aku belum pernah nyetir sejauh itu. Tujuan utama road trip ini sendiri tentulah untuk refreshing dari rutinitas yang jarang berubah. Karena jujur saat itu aku sedang sangat jenuh dengan pekerjaan yang menumpuk. 

Setelah mengisi penuh bensin untuk motor kesayanganku - Si Merah 'Shogun R 125' - aku segera pulang ke kos untuk mempersiapkan pakaian dan bekal perjalanan, selain itu juga menjemput temanku yang sudah menunggu di kos. Setelah siap semua, langsung berangkat mengarahkan motor ke selatan menuju Kota Malang.


Aku dan Si Merah yang tangguh (GALUH PRATIWI)

Perjalanan dari Surabaya ke Malang dimulai dari kemacetan yang tak terhindarkan di ruas jalan Surabaya - Sidoarjo. Karena baru mulai, aku masih sabar menghadapai semuanya. Sekitar satu setengah jam menyetir, sampai di Kota Sidoarjo, tanganku mulai pegal dan perut mulai memberontak kelaparan. Jajanan pentol dan siomay meluncur mulus ke perut. Dengan beberapa teguk aliran air segar, kami melanjutkan perjalanan kembali.

Perjalanan Sidoarjo - Porong - Gempol - Pandaan - Purworedjo - Lawang kami lalui dengan leluasa dan menyenangkan karena jalanan relatif sepi serta suhu mulai berubah agak sejuk. Panasnya Kota Surabaya seakan menguap begitu Si Merah kupacu menuju Pandaan. Jalanan mulai naik dan gunung-gunung mulai terlihat di sebelah kanan, sesekali terlihat sawah yang menghampar luas. Pemandangan yang menyegarkan mata.


Sekitar Mahgrib, kami sudah sampai Lawang dan memutuskan beristirahat di warkop lesehan yang cukup nyaman. Segelas kopi panas dan gorengan hangat meluncur mulus ke perut kami yang mulai keroncongan kembali. Hawa sejuk nan dingin seakan menambah semangat suasana sore itu. Kami beristirahat selama setengah jam sebelum kembali bermotoran ria menuju Malang.


Gorengan dan Kopi di Lawang (GALUH PRATIWI)

Perjalanan dari Lawang ke Malang cukup menguras waktu karena macet yang tidak tertahankan. Bus, mobil, motor, seakan bertumpuk jadi satu di jalan yang relatif tidak terlalu lebar tersebut. Si Merah hanya mampu melaju di kisaran 30-40 kilometer per jam. Karena hawa yang dingin dan suasana hati yang sedang baik, kami bisa melalui itu semua dengan lancar. Sekitar pukul tujuh malam, kami akhirnya sampai di Kota Malang.

Kami menginap di Hotel Malang. Sebuah kamar sederhana dengan fasilitas kasur, TV dan kipas angin menyambut kami. Tarifnya cukup murah, untuk kamar ekonomi hanya 100ribuan/malam untuk berdua. Hawa Kota Malang yang sejuk-sejuk dingin membuat kami sama sekali tidak membutuhkan AC, cukup kipas angin yang dinyalakan menghadap ke tembok (itupun sudah membuat kami kedinginan).


Kamar Ekonomi di Hotel Malang, semalam Rp 100.000 (GALUH PRATIWI)

Kami menghabiskan malam itu dengan tiduran, cerita-cerita dan nonton TV, sempat keluar sebentar untuk makan nasi penyetan di dekat penginapan. Hawa Kota Malang sungguh sempurna untuk refreshing. Semua beban, permasalahan, kebingungan, seakan hilang saat aku sedang di jalan begini. Tanpa sadar, mataku semakin berat dan tertidur. Menyiapkan tenaga untuk 'road trip' hari kedua, menyusuri Malang - Tumpang - Bromo. Kuharap besok tidak menjadi hari yang berat.


###

Aku terbangun jam enam pagi, tetapi kemudian kembali tidur setelah mengecek HP. Bagiku, refreshing adalah suatu kegiatan untuk me-refresh otak, mengisi otak dengan hal-hal baru, hijau dan bernuansa alam. Karena itulah aku tidak terlalu mempersoalkan jam kalau traveling jarak dekat. Lagipula, kamar ekonomi ini terlalu nyaman. Aku menarik selimut dan tertidur pulas lagi.


Aku terbangun satu jam kemudian karena mimpi buruk. Karena malas tidur lagi, akhirnya aku hanya tiduran sambil menyalakan TV dan main HP. Sejenak kemudian, tiba-tiba petugas hotel mengantarkan sarapan segelas teh hangat dan setangkup roti dengan selai nanas. Cukup mengejutkan karena sewaktu aku booking hotel ini di pegi-pegi disana dikatakan kami tidak mendapatkan sarapan.


Setelah mandi dan bersiap-siap, kami segera melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Tumpang. Tujuanku adalah mencari warung soto daging yang lezat untuk sarapan. Tidak lupa bensin kuisi penuh dan mengambil sejumlah uang di ATM untuk persiapan karena hari ini kami akan menuju pegunungan jadi tidak terlalu yakin ada mesin penarik uang disana. Mencari warung makan yang pas tanpa hasil, akhirnya aku memutuskan jalan dahulu sampai Tumpang dan mencari makan disana.


Kami menyusuri Jalan Raya Madyopuro, Jalan Raya Kedungrejo, Jalan Raya Slamet, Jalan Raya Bokor dengan santai.Jalanan yang sepi dan mulus memudahkan deru Si Merah. Tumpang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Malang yang berjarak 16 kilometer dari Kota Malang. Perjalanan kami akhirnya terhenti di Pasar Tumpang untuk mencari sarapan. Setelah bolak-balik kesana kemari, akhirnya kami sarapan di sebuah warung makan penyetan di dekat pertigaan.


Lokasi mendapatkan 'kesialan' di Tumpang (GALUH PRATIWI)

Sepertinya kami mendapat 'kesialan', karena dari nasi penyet mujair yang kami pesan, kami mendapatkan ikan yang sudah bau. Mau bilang penjualnya nggak enak. Orangnya ibu-ibu nyentrik yang masih muda, malas kalau harus berdebat. Aku paling malas berdebat mengenai hal-hal yang menurutku kurang begitu penting. Akhirnya kutahan makan semua itu, temenku cuma nyengar-nyengir makan nasi dan sayur. 

Seusai perjuangan makan ikan bau, Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Bromo. Tujuan kami selanjutnya adalah Coban (Air Terjun) Pelangi yang ada di Desa Ngadas. Jarak yang harus kami tempuh dari Pasar Tumpang adalah 16 kilometer. Jalanan yang kami lewati relatif mulus dengan medan yang semakin menaik dan terjal. Sepuluh menit berkendara, kami melewati gapura selamat datang Desa Gubugklakah. Pemandangan sawah yang menghijau mendominasi. Sesekali kami menjumpai rumah penduduk sederhana di kanan kiri jalan. Udara bersih dan segar.


Lembah yang cukup dalam di sepanjang jalan (GALUH PRATIWI)

Lembah yang cukup dalam di sepanjang jalan (GALUH PRATIWI)

Semakin mendekati Coban Pelangi, jalanan semakin meliuk-liuk tajam. Pada beberapa kesempatan, aku harus terus menggunakan gigi satu supaya motor dapat melaju. Kami sempat berhenti beberapa kali untuk berfoto karena pemandangan yang disajikan memang sangat yahud.

Setiap ada spot menarik langsung berhenti untuk berfoto (GALUH PRATIWI)

Perkebunan subur milik warga (GALUH PRATIWI)

Tanaman subur (GALUH PRATIWI)

Tanaman tropika menghampar lebat (GALUH PRATIWI)

Melewati beberapa liukan tajam dengan kondisi jalan bergelombang, akhirnya sampai juga di Coban Pelangi. Coban Pelangi ini adalah salah satu wilayah konservasi alam di bawah perlindungan Perhutani maka dari itu sangat terjaga. Tarif masuknya sendiri Rp 8000/orang dan parkir Rp 2000/motor.

Susu Jahe (GALUH PRATIWI)

Jalan menuju Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Pemandangan tanaman menghijau di sepanjang jalan turun ke Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Pemandangan tanaman menghijau di sepanjang jalan turun ke Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Fasilitas yang ada di kawasan wisata Coban Pelangi sendiri cukup lengkap, terdapat beberapa warung yang menyambut kedatangan kami. Warung tersebut menjual makanan dan minuman panas, sangat cocok di tempat dingin seperti ini. Setelah minum susu jahe segelas untuk meredakan pusing yang tiba-tiba melanda (kayaknya gara-gara mujaer bau), kami memutuskan segera berjalan menuju Coban karena jarak tempuhnya dari parkiran cukup jauh. Menurut petunjuk arah kami harus berjalan turun sejauh 800 meter.

Jalan turun tidak masalah karena sudah dibangun tangga-tangga yang memutar sampai bawah. Pepohonan tropika berjajar menyambut di kanan kiri kami, kicau burung bersahut-sahutan, angin dingin sepoi-sepoi menampar wajah kami. Semuanya tenang dan damai disini. Di beberapa titik disediakan tempat duduk untuk beristirahat, tempat sampah, warung, mushola dan toilet. Fasilitasnya cukup lengkap.


Kami terus berjalan menuruni tangga demi tangga yang terbuat dari batu. Jalan jauh seakan tidak menjadi masalah karena pemandangan yang sangat indah di kanan dan kiri jalan. Di sebelah kanan kita bisa melihat lembah yang dialiri oleh sungai berair jernih. Tanaman tropika lebat menghampar hampir di semua tempat. Tidak diragukan lagi tanah di daerah ini pastilah subur karena dekat dengan pegunungan.


Kurang lebih setengah jam jalan turun, kami diharuskan menyeberang jembatan yang terbuat dari kayu. Di bawahnya aliran air sungai membelah perbukitan dengan begitu derasnya. Banyak yang berfoto-foto disini karena memang pemandangannya sangat indah.


Sungai jernih di dekat Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Setelah menikmati pemandangan sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Coban. Dari sini jaraknya tidak terlalu jauh lagi, sekitar 200 meter melewati jalan berbatu yang basah. Tidak lama kemudian, kami sudah sampai di Coban Pelangi.

Sebuah air terjun dengan ketinggian 30 meter menghampar di depan mata kami. Air mengalir dengan derasnya melalui celah sempit perbukitan di atas sana. Aliran air tersebut menghantam dengan keras bebatuan di bawahnya. Sangat indah, segar, menyejukkan mata. Kami menghabiskan waktu berfoto dan menikmati pemandangan di bawah air terjun.


Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Coban Pelangi (GALUH PRATIWI)

Coban Pelangi finish! (GALUH PRATIWI)

Mau gaya masukin air ke botol tapi gagal (GALUH PRATIWI)

Kami tidak menghabiskan waktu lama disini karena kami harus bergegas melanjutkan perjalanan dari Coban Pelangi ke Cemoro Lawang. Hari semakin siang dan kami harus bergegas karena sebelum menuju Cemoro Lawang nanti, kami harus melalui lautan pasir Tengger sejauh sepuluh kilometer. Kami membutuhkan waktu setengah jam untuk kembali ke atas kembali. Perjalanan naik tidaklah semudah perjalanan turun. Tarikan gravitasi memaksa kami berhenti beberapa kali untuk mengatus nafas.

Kami melanjutkan perjalanan kembali. Menurut rute google map, dari sini kami mengikuti jalan saja dari Desa Ngadas ke Desa Jemplang. Desa Jemplang adalah desa terakhir sebelum menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.  Jalanan yang beraspal bagus membuat Si Merah bisa melaju dengan leluasa.


Seperti sebelumnya, sebelah kanan kiri jalan didominasi oleh pepohonan tropika yang menghampar tinggi dan lebat. Jalanan sepi sekali. Bisa dihitung berapa kali kami menjumpai pengendara lain. Tapi aku tidak boleh takut. Pilihan kami hanya ada dua, maju terus sampai Cemoro Lawang (lebih dekat) atau kembali lagi ke Tumpang dan Malang (lebih jauh). Aku tidak suka perjalanan kembali, karena itulah aku memantapkan untuk terus melaju apapun yang terjadi meskipun jalanan semakin sepi dan dingin.


Kami terus melaju ke tempat yang lebih tinggi. Jalan aspal masih bagus, tetapi lagi-lagi sepi sekali. Tidak ada pengendara yang lain. Kabut mulai turun. 'Sial, aku rasa mau hujan', ujarku dalam hati.


Tiba-tiba setelah melewati jalan dengan perkampungan di sekitarnya, kami harus melalui jalan dengan jurang di sisi kanan dan kirinya. Iya benar-benar jurang di kanan kirinya, tanpa pengamanan sama sekali! Jalan aspal dengan lebar sekitar dua meteran itu sontak membuatku pusing. Bayangan akan jatuh langsung berkelebat. Tapi aku memaksa diriku tetap fokus menghadap ke depan. Syukurlah kami bisa melaluinya dengan lancar sampai menemukan jalan yang normal kembali (well, setidaknya hanya ada satu jurang di salah satu sisinya, bukan kedua sisi seperti yang tadi).


0 comments:

Posting Komentar