Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

7.13.2016

[PART 3] Menggapai Himalaya: Eksplore Kochi, Kota Pelabuhan di India Selatan !

Cerita ini merupakan bagian dari perjalananku backpacking ke India dan Nepal dari 29 Juni 2016 - 11 Juli 2016. Part selanjutnya dari setiap cerita akan aku beri link di bagian bawah.

Part Sebelumnya: Disini

Kochi, 30 Juni 2016

Pagi-pagi sekitar jam 8 aku dan Fredo sudah keluar dari Hotel Srinivas untuk menuju Ernakulam Boat Jetty. Menurut google map, jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1,5 kilometer, kami jalan santai saja. Pagi itu suasana Kochi terlihat mendung. Jalanan masih basah. Sepertinya semalam habis diguyur hujan deras.

Perjalanan kami sempat terhenti di sebuah kuil India Selatan dengan patung dewa dewi yang memancar kehangatan di gerbangnya. Begitu kami masuk terlihat seorang pendeta Hindu sedang memberi makan burung-burung merpati yang beterbangan bebas. Beberapa orang juga terlihat memasuki kuil untuk siap melakukan puja.

Masuk semakin dalam ke kuil kami menjumpai beberapa "Deepa Aradhana", atau tempat lilin atau lampu minyak ritual yang terbuat dari logam (biasanya emas atau kuningan). Tempat lilin ini memiliki desain bertingkat seperti cawan melingkar yang berisi minyak dan sumbu kapas, dinyalakan sebagai persembahan kepada dewa. Api melambangkan kehadiran ilahi dan pemurnian spiritual. Aku melihat beberapa orang terlihat melakukan puja pagi dengan kusyuk. Tidak ingin mengganggu, kami tidak lama-lama berada di area ini dan segera bergeser ke sudut kuil lainnya.

"Yok lanjut ke arah pantai," kataku ke Fredo setelah kita selesai mengelilingi seluruh kuil dan mengambil beberapa memori dalam bentuk foto.

Acara kami pagi ini adalah mengikuti lokal tour yang bernama "Metro Backwater Tour" jam 9 pagi. Dengan morfologi area Ernakulam dan sekitarnya yang berbentuk pulau-pulau, maka untuk menuju Pulau Kochi kita memang harus naik kapal. Sewaktu booking tour kami diminta ke Ernakulam Boat Jetty dan menemui Mr. Ajay.

Tidak lama berjalan, kami sampai di kawasan Marine Drive. Marine Drive ini merupakan bangunan yang dibangun memanjang di sepanjang perairan antara Daratan Ernakulam dan Pulau Willingdon (pulau buatan). Sewaktu sedang jalan santai, tiba-tiba kami melihat plang bertuliskan Ernakulam Boat Jetty. tidak seperti perkiraanku yang tempatnya bakalan ramai dengan banyak boat, ternyata tempatnya sepi dan hanya ada beberapa boat yang bersandar. Kami segera bertanya kepada penjaga yang kebetulan ada di pos dermaga. Untunglah dia mengenal Mr. Ajay dan kami disuruh menunggu sampai jam 09.30 untuk memulai trip.


Sambil menunggu jam 10 kami sempatkan jalan-jalan di sepanjang Marine Drive Kochi. Pagi itu udara terasa lembab, dan cuaca mendung menciptakan nuansa sedikit suram tapi cukup nyaman untuk berjalan santai. Sepanjang jalan, kami melewati beberapa toko kecil yang masih baru membuka pintu, menjual barang-barang kerajinan tangan dan cendera mata khas Kerala.

Di tepian, ada beberapa perahu nelayan kecil yang terombang-ambing pelan oleh ombak, dan air laut terlihat agak keruh, senada dengan langit yang mendung di atasnya. Beberapa pria India duduk di bangku-bangku taman, bercakap-cakap dengan santai, sebagian merokok, sebagian lagi hanya menatap jauh ke laut, mungkin sedang memikirkan sesuatu. Beberapa dari mereka menatap kami sesaat dengan senyuman ramah, membuat kami merasa disambut di tempat ini.

Aku dan Fredo terus berjalan, menyusuri tepian yang dihiasi pepohonan rindang, hingga menemukan sebuah restoran kecil yang sudah buka dan menjual nasi briyani. Menghirup bau nasi briyani yang hangat tiba-tiba aku merasa sedikit lapar lagi wkwk..Sebenarnya tadi pagi kita sudah mendapatkan sarapan di hotel. Berupa setangkup roti dan kari. Namun aku merasa itu belum cukup mengenyangkan.

"Aku mau makan lagi ya, kita masuk dulu" kataku ke Fredo.

Aku memesan sepiring nasi briyani, segelas teh chai, dan segelas jus nanas. Dan sewaktu pesanan datang... busettt porsinya besar banget 😁😁. Aku jadi merasa serakah sudah memesan kebanyakan seperti ini. Suapan persama nasi briyani, langsung terasa rempah India yang lezat. Sambil sarapan, aku menikmati pemandangan perairan Kochi yang tenang. Rasanya perutku benar-benar full... Dan sewaktu membayar OMG semua makanan yang ane pesen itu nggak sampai 30ribu rupiah...benar-benar worth it dan murah.


Selesai makan kami lamgsung standby di Ernakulam Boat Jetty untuk menunggu trip dimulai. Sekitar pukul 10.00 (ya, telar 2 jam) setelah teman serombongan trip kami sudah datang semua - sekelompok keluarga India dan sepasang keluarga kecil - akhirnya kami dipersilahkan juga naik boat dan siap untuk memulai aktivitas berkeliling kanal menggunakan boat (backwater boating). Yah well, sebenarnya pemandangan awalnya biasa aja sih. Airnya coklat dan sampah kecil-kecil mengapung. Tapi sejarah tempat inilah yang membuatnya menarik. 

Sedikit cerita sejarah, Kochi, yang juga dikenal sebagai Cochin, adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di negara bagian Kerala, India Selatan. Terletak di pesisir Laut Arab, kota ini memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, yang membuatnya dijuluki sebagai "Queen of the Arabian Sea." Sejak abad ke-14, Kochi telah menjadi titik pertemuan budaya, mulai dari Tiongkok,  Portugis, Belanda, hingga Inggris, karena lokasinya yang ideal untuk perdagangan rempah-rempah. 

Kedatangan bangsa Tiongkok ke wilayah ini terjadi sekitar abad ke-14, terutama melalui ekspedisi maritim yang dipimpin oleh Laksamana Zheng He selama Dinasti Yuan dan awal Dinasti Ming. Pada masa itu, Kochi sudah menjadi pelabuhan penting dalam perdagangan internasional, khususnya rempah-rempah seperti lada hitam, yang menarik perhatian pedagang dari Tiongkok. Mereka memperkenalkan Chinese Fishing Nets dan menjalin hubungan dagang yang erat dengan kerajaan lokal di Kochi. Bangsa Tiongkok lebih berfokus pada perdagangan dan hubungan damai dengan wilayah setempat tanpa membawa ambisi kolonial.

Portugis pada 1498 melalui Vasco da Gama tiba di Calicut (Kerala) dalam pencarian rute laut menuju India. Kochi segera menjadi perhatian karena lokasinya yang strategis dan ketersediaan rempah-rempah. Pada 1503 Portugis mendirikan benteng pertama mereka, Fort Emmanuel, di Kochi, menjadikannya koloni Eropa pertama di India. Kochi berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, khususnya lada hitam, di bawah kendali Portugis. Mereka juga membawa pengaruh Kristen ke wilayah tersebut, mendirikan gereja seperti Santa Cruz Basilica dan St. Francis Church (di mana Vasco da Gama awalnya dimakamkan).

Pada 1663, Portugis kehilangan kendali atas Kochi ketika Belanda menyerang dan mengambil alih wilayah tersebut. Belanda memperkuat kota dengan membangun kembali benteng dan memperluas sistem kanal untuk meningkatkan transportasi. Mereka juga memugar gereja-gereja Portugis, mengubah beberapa menjadi tempat ibadah Protestan, seperti St. Francis Church. Fokus utama Belanda adalah mempertahankan perdagangan rempah-rempah, tetapi mereka tidak terlibat terlalu banyak dalam kehidupan sosial atau budaya masyarakat lokal.

Pada 1795 Inggris merebut Kochi dari Belanda selama Perang Revolusi Prancis, setelah itu Kochi menjadi bagian dari British Raj. Di bawah Inggris, Kochi tetap menjadi pelabuhan penting, tetapi mereka juga mulai membangun infrastruktur modern seperti jalan, kereta api, dan pelabuhan baru. Kochi menjadi kota yang lebih terhubung dengan dunia luar, memperkuat posisinya sebagai pusat perdagangan global. Inggris juga mengizinkan raja-raja lokal dari Kerajaan Kochi untuk tetap berkuasa sebagai penguasa nominal, meskipun kendali sebenarnya ada di tangan pemerintah kolonial.

Begitulah sejarah singkat tentang kedatangan dan peran Bangsa Eropa di Kochi. Jadi bisa terlihat jelas perbedaan antara kedatangan Bangsa Tiongkok dan Bangsa Eropa. Bangsa Tiongkok lebih berfokus pada perdagangan dan hubungan damai dengan wilayah setempat, sementara bangsa Eropa, seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, memiliki ambisi kolonial. Pengaruh Tiongkok bersifat teknis dan praktis, seperti pengenalan teknologi Cheena Vala (jaring ikan Cina), yang masih digunakan hingga kini. Sementara itu, pengaruh Eropa mencakup perubahan besar dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya Kochi.

Eksplore Pulau Kochi
Kapal yang membawa kami tour berjalan melewati pesisir utara lepas Pulau Willingdon. Tujuannya adalah Pelabuhan Pulau Kochi, dimana kita akan diberikan waktu bebas selama beberapa jam untuk eksplore pulau secara mandiri. Di perjalanan ini juga kami berkenalan dengan keluarga India yang juga mengikuti tour.


"Are you from Japan, Korea, Taiwan?" Adalah pertanyaan yang sering kami dengar, dan jawabannya tentu saja, Indonesia dong hehehehe.. Orang-orang India ini, mereka sangat ramah dan kita berbincang banyak hal.

Tidak terasa, kami sampai di Pulau Kochi. Kami diberi pesan nahkoda kapal bahwa nanti untuk kepulangan bertemu lagi di titik ini jam 1 siang. Kami mulai masuk ke area yang dikenal dengan nama Jew Town—sebuah kawasan tua bersejarah di kota Kochi (Cochin), Kerala. Kawasan ini dulunya dihuni komunitas Yahudi yang datang dari Timur Tengah dan Eropa sejak abad ke-15. Sampai sekarang, walaupun jumlah mereka sudah sangat sedikit, jejak mereka masih kuat terasa.

Di kiri-kanan jalan, berjajar toko-toko kecil yang jual berbagai macam barang: dari sandal, kain sari, baju linen, sampai gantungan kunci dan dupa. Suasananya teduh, banyak pohon rindang, dan jalanan sempit yang tenang—nggak kayak pasar India pada umumnya yang biasanya penuh klakson dan keramaian. Disini suasananya jauh lebih tenang.

Pulau Kochi

Aku sempat berhenti di sebuah papan ungu besar yang kasih peringatan buat turis—supaya hati-hati sama agen yang ngajak belanja ke toko-toko tertentu. Ternyata di sini banyak ‘toko palsu’ yang ngaku sebagai toko pemerintah, padahal bukan. Kaget juga, tapi menarik. Artinya tempat ini saking turistiknya sampai ada yang manfaatin celah buat ngibulin turis. Wkwk.

Peringatan SCAM

Setelah jalan beberapa blok, aku nyasar ke dalam satu bangunan antik yang ternyata adalah Lulu International Heritage & Museum. Tempat ini bukan cuma toko oleh-oleh biasa, tapi juga memamerkan benda-benda seni dan sejarah India Selatan, khususnya dari Kerala. Di dalamnya adem dan bersih, dengan lantai tegel merah dan display yang ditata rapi. 

Begitu melangkah masuk, mataku langsung dimanjakan oleh deretan rak kaca berisi patung-patung perunggu, ukiran kayu dewa-dewi, miniatur alat musik tradisional, sampai aneka patung Ganesha dan Buddha dengan berbagai pose. Rasanya kayak tiba-tiba nyasar ke ruang tengah kuil Hindu dan Buddha sekaligus. Aku dan Fredo jalan pelan-pelan, bolak-balik saling nyeletuk, “Eh mas, lihat ini!,” “Wah, ini kayak yang di film India!”

Yang paling menarik perhatian tentu aja... cawan besar dari perunggu yang super gede! Ini bukan cawan minum ya, haha. Cawan ini disebut “Uruli”, dan dulunya digunakan untuk memasak dalam skala besar pada upacara kerajaan atau kuil di Kerala. Sekarang biasanya diisi air dan bunga lotus buat dekorasi. Cawan ini juga tercatat di Limca Book of Records karena ukurannya yang luar biasa. Bayangin aja, buat masak kari bisa buat satu RT. 😂

Cawan besar dari perunggu atau sering disebut 'URULI'

Masih di dalam museum, aku lihat banyak patung-patung kecil dari perunggu dan tembaga—ada yang berbentuk Dewa Ganesha, Shiva Nataraja, Dewi Saraswati, dan figur-figur musisi yang memainkan alat tradisional. Semuanya detail banget, dan menurutku jadi salah satu cara paling keren buat ngenalin seni tradisi India ke pengunjung.


Lalu... kami sampai di tengah ruangan, dan di sanalah benda ini berdiri megah.

Sebuah lampu minyak bertingkat raksasa—yang tingginya bisa jadi selevel manusia dewasa! Warnanya hitam legam, terbuat dari logam berat, dan setiap tingkatnya punya lekukan seperti piring lebar yang ditumpuk-tumpuk. Di bagian atasnya ada patung kecil berbentuk burung (kemungkinan burung Garuda atau merpati). 

Aku sempat nanya ke petugasnya, “What is this used for?”

Dia menjawab, “It’s a vilakku, a traditional oil lamp. Used during temple rituals. It can be fully lit during festivals.”

Aku dan Fredo langsung mengangguk-angguk gaya ngerti. Padahal dalam hati, “Wah keren juga ya, ini kalau dinyalain semua pasti kayak pohon natal versi India.”

Jadi ternyata ini namanya kuthuvilakku, sejenis lampu minyak besar yang biasa dipakai di kuil-kuil Hindu di India Selatan. Biasanya tiap tingkat diisi minyak dan sumbu, lalu dinyalakan satu per satu. Simbolis banget—melambangkan terang yang mengusir kegelapan, pengetahuan yang mengusir kebodohan. Aku jadi mikir... kalau hidup lagi gelap, mungkin yang kita butuh cuma "dinyalakan" dari dalam. Hehehe..

Selesai dari museum, kami lanjut lagi jalan ke destinasi paling bersejarah hari itu yaitu Sinagoga Paradesi. Ini adalah sinagoga Yahudi tertua di India, didirikan tahun 1568 oleh komunitas Yahudi Sephardic dari Eropa. Letaknya ada di ujung Jew Town, dan bangunannya masih kokoh dengan dominasi warna putih-biru.

Sebelum masuk, aku sempat foto dulu di depan pintunya yang klasik. Di bagian dalam, suasananya sunyi, tenang banget. Lantainya disusun dari ubin biru-putih bergaya China, dan di tengahnya ada Bimah—semacam mimbar berpagar emas tempat pembacaan kitab Taurat. Di langit-langitnya menggantung puluhan lampu gantung kaca antik dari Belgia. Rasanya kayak masuk ruang sakral yang udah berdiri selama ratusan tahun.

Bimah—semacam mimbar berpagar emas tempat pembacaan kitab Taurat

Di sinilah aku merasa... betapa India itu bukan cuma tentang kuil Hindu dan masjid megah. Tapi juga tentang komunitas kecil yang hidup berdampingan, seperti Yahudi di Kochi ini, yang berhasil membawa tradisinya sejauh ribuan kilometer dari tanah leluhur mereka.

Setelah puas muter-muter di sekitaran Jew Town, aku dan Fredo lanjut jalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju Dutch Palace. Tapi, sebelum sampai ke gerbangnya, kami sempat berhenti di salah satu kios yang langsung menarik perhatian. Bukan karena ada diskon atau suvenir lucu, tapi karena... tumpukan bubuk warna-warni yang disusun kerucut tinggi dalam mangkok-mangkok logam. Warna-warnanya ngejreng banget—merah, kuning kunyit, hijau terang, ungu, biru elektrik, sampai pink fanta. Kami spontan berhenti.

Aku nyeletuk, “Eh mas, ini bubuk apaan ya?”

Dia jawab, “Kayaknya ini bubuk yang dipakai waktu Holi Festival itu deh.”

Aku manggut-manggut sok ngerti. Tapi jujur ya, aku baru lihat yang sebanyak dan sekeren ini. Selama ini tahunya dari foto-foto di Instagram orang India pas festival warna itu, tapi kali ini aku lihat sendiri bubuknya sebelum dilempar-lempar ke orang. Hehe.

Setelah aku browsing, bubuk gulal ini memang umum dijual di tempat-tempat turis, karena selain dipakai buat perayaan Holi, banyak juga yang beli buat oleh-oleh atau dekorasi. Di sampingnya juga dijual dupa dan minyak aroma terapi, jadi aromanya campur antara harum dan menyengat. 

Penasaran sih sebenernya pengen beli dan coba, tapi mikir juga, “Ini kalo nyimpen di tas, ntar tas gue isinya pelangi semua.” Wkwkwk... Akhirnya cuma kami abadikan lewat kamera. Jepret, dan lanjut jalan lagi.

Tidak terlalu lama, kami sampai juga di sebuah bangunan tua berwarna kuning pudar dengan papan petunjuk besar bertuliskan: Archaeological Museum – Mattancherry Palace. Aku langsung celingak-celinguk dan nyeletuk ke Fredo, "Eh, tempat apaan ini ya." Fredo cuma nyengir sambil balas, “Masuk aja dulu, ntar juga tahu.”

Kami pun menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk museum. Dari luar, bangunannya tampak sederhana, kayak rumah tua zaman kolonial, tapi begitu masuk... wow, ternyata tempat ini dulunya adalah istana! Namanya Mattancherry Palace, tapi lebih sering disebut Dutch Palace—meskipun justru yang membangunnya itu Portugis pada tahun 1555. Katanya, istana ini dulunya dikasih ke Raja Kochi sebagai "hadiah penenang" karena Portugis sempat ngerusak kuil di sekitar situ. Hadiah yang cukup niat sih, bentuknya istana.

Setelah diambil alih oleh Belanda, istana ini direnovasi besar-besaran dan akhirnya disebut Dutch Palace. Tapi meskipun dibangun oleh orang Eropa, unsur arsitekturnya kental banget unsur lokalnya—atap genteng merah, lorong-lorong kayu, dan mural-mural khas India yang penuh warna

Salah satu hal paling menarik di dalamnya adalah mural-mural epik yang menggambarkan kisah dari Ramayana, serta berbagai dewa seperti Krishna, Durga, dan Shiva. Gaya lukisannya beda dari yang biasa aku lihat di Indonesia, penuh detail dan ceritanya kuat banget. Ada satu ruangan khusus tempat dilangsungkannya upacara penobatan raja. Aku dan Fredo sempat berdiri lama di situ sambil ngebayangin: “Bayangin mas, dulu di sini ada raja duduk kayak maharaja, rakyatnya ngantri bawa persembahan.” Fredo pun nyeletuk, “Iya, trus kita yang sekarang malah ngantri buat foto doang.” Kami tertawa bareng, tapi ya memang itulah realitas traveler zaman now. Sayang di bagian dalamnya tidak boleh difoto.

Museum ini juga memajang berbagai artefak kerajaan Kochi, kayak kursi takhta, tandu istana, senjata, lukisan raja-raja, dan bahkan kostum upacara lengkap dengan payung kebesaran dan payet emas. Aku sempat terpaku di satu pojok ruangan yang memajang berbagai patung logam dewa-dewi Hindu. Ada juga etalase khusus yang menampilkan ukiran kayu rumit dan instrumen musik kuno. 

Oh iya, di area museum ini juga ada kuil Hindu, namanya Pazhayannoor Bhagavathy Temple. Tapi karena hanya boleh dimasuki oleh umat Hindu, aku cuma bisa melihat dari luar. Menarik juga karena dalam satu kompleks bisa ada istana, museum, dan tempat ibadah yang masih aktif sampai sekarang.

Setelah puas eksplorasi, kami keluar dan duduk sebentar di bawah pohon besar. 



Menimbang sejenak, kami simpulkan bahwa mode paling murah adalah naik bus umum. Jadilah kami mencoba naik bus umum India. Disentak-sentakkan kesana kemari, rem mendadak, klakson tiada henti, lagu-lagu Bollywood hehe. Tarif sangat murah hanya 13 rupee (2600 rupiah) untuk 45 menit perjalanan (jarak sekitar 10 km). 

Tempat duduk untuk laki2 dan perempuan dipisah. Perempuan di depan, untuk laki-laki di belakang. Busnya gak ada jendelanya, aku gak tau, mungkin sejak ada kasus pemerkosaan di dalam bus beberapa saat yang lalu. 

[19] hindi & friend on the road
"Apka nam kya hai? Mujhe kuch Hindi ati hai... Kyaa tum angrezee boul sakte ho? " Tanyaku kepada beberapa orang India dengan sok tau.
(Siapa namamu? Aku bisa berbicara Hindi sedikit. Kamu bisa berbahasa Inggris?)
Terkadang sebaliknya, mereka bertanya.
"Hi, are you from china? Japan? Korea? Taiwan?"
Terkadang hanya dengan beberapa sapaan singkat dengan pronouncation Hindi yang kacau, bisa membuka percakapan dengan mereka. Aku memang orang sok tau, ketika mereka mulai menjawab sapaanku dengan bahasa hindi, aku kewalahan dan ketawa-tawa, sama sekali nggak paham apa maksud mereka. Kelihatan hanya sekedar menghafalkan sedikit frase hehehe. Selanjutnya tentu saja kita bercakap Bahsa Inggris ala patah2. Wkwkwk.
Menurutku roh dari sebuah perjalanan bukan terletak hanya pada tujuan-tujuan eksotis yang hendak/sudah kita capai. Tapi apakah kita puas dan bahagia dengan perjalanan itu. Salah satu yang membuat batinku lebih puas, saat aku bisa berinteraksi dengan sesama traveler lain/orang lokal. Karena sebenarnya dalam diriku, ada pribadi introvert sekaligus ekstrovert. Ketika aku mencoba diriku keluar dari zona introvert dan membuka diri, aku menyadari bahwa kita bisa menikmati dunia ini bagaimanapun caranya, salah satunya dengan berinteraksi dengan manusia yang lain.
Orang manapun di dunia, aku rasa kebanyakan adalah orang baik. Jika terus berpikir positif dan mampu mawas diri, aku yakin kita akan terus bertemu orang baik di sepanjang jalan. Aku bersyukur bertemu mereka. Mereka yang menambah cerita indah tentang India.
Seperti kutipan lagu Justin Bieber, " All around the world....people want to be loved...."









0 comments:

Posting Komentar